Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Jumat, 18 April 2014

Makalah Ruju' dan iddah


‘IDDAH DAN RUJU’
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan Islam
Dosen Pengampu : Drs. Abdul Halim, M.Hum

I.                  ‘IDDAH
A.    Pengertian dan Dasar Hukum ‘Iddah
 ‘Iddah berasal dari kata al-‘adad, artinya bilangan dan menghitung, yaitu hari yang dihitung dan dipergunakan bagi seorang perempuan selama ia suci dari haid. dalam syara’, ‘iddah  artinya waktu menunggu dan dilarang kawin, setelah seorang perempuan ditinggal mati atau diceraikan suaminya.[1]
Bilangan ‘iddah dimulai sejak adanya penyebab ‘iddah, yaitu thalaq atau meninggalnya suami. ‘Iddah sudah dikenal sejak zaman jahiliyah, kemudian setelah Islam datang, ‘iddah ini dilanjutkan karena bermanfaat. Ulama bersepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan firman Allah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ...
Artinya:
"wanita-wanita yang ditolak hendaknya menahan diri (menunggu tiga kali Quru')…"(Q.S. Al-Baqarah:228)
Kewajiban ‘iddah ini dapat juga dilihat berdasarkan ucapan Rasulullah kepada Fatimah binti Qais:
Ber’iddahlah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum.
‘Iddah memiliki dua sebab, pertama: wafatnya suami baik ia telah berkumpul dengannya atau belum berkumpul dengannya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al qur’an:
Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah: 234)
Dan juga berdasarkan ucapan Rasulullah SAW : janganlah seorang perempuan berkabung atas mayit lebih dari tiga hari kecuali kepada suami selama empat bulan sepuluh hari, ia tidak memakai pakaian yang ditenun kecuali pakaian dari ashab[2], tidak bercelak, tidak memakai harum-haruman kecuali jika telah suci sedikit pun atau pada kuku-kuku.
Kemudian terjadinya perpisahan antara suami istri dalam kehidupan, baik dengan sebab talak atau yang lain seperti fasakh. Dengan syarat perpisahan setelah berhubungan. Hal ini di dasarkan pada firman Allah SWT:
“Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu.” ( QS. At Thalaq:1)
Adapun jika istri tidak bercampur maka tidak ada ‘iddah baginya. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”. (QS. Al Ahzab: 49)
Ibnu Al-Qayyim telah menjelaskan hikmah disyariatkannya ‘iddah bahwa dalam syriat ‘iddah terdapat beberapa hukum, diantaranya ilmu dalam melepaskan kekerabatan. Sehingga tidak terkumpul sperma dari dua orang yang bersetubuh atau lebih banyak dalam satu rahim, sehingga bercampurlah keturunan dan menjadi rusak. Diantara hikmah disyri’atkannya ‘iddah adalah sebagai berikut:
1.      Keagungan akan pentingnya akad ini, menghilangkan kekuatannya, dan menampakkan kemuliannya.
2.      Memberikan waktu untuk kembali bagi orang yang bercerai. Diharapkan ia menyesal dan kembali sehingga ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk kembali.
3.      Memenuhi hak suami, menampakkan pengaruh kehilangannya dalam mencegah dan berhias. Oleh karena itu, disyariatkan berkabung padanya lebih lama darai pada berkabung pada orang tua dan anak.
4.      Berhati-hati atas hak suami, kemaslahatan istri, hak anak, dan melaksanakan hak Allah SWT yang mewajibkannya.[3]
Lain dari pada itu hikmah ber’iddah ialah supaya rahim istri suci dan bersih dari bekas suami yang pertama, tidak ada lagi kekhawatiran bahwa istri itu hamil dari suaminya yang pertama. Dengan demikian suami yang kedua mengawini perempuan itu dengan hati yang tidak ragu-ragu, sehinnga jika istrinya melahirkan ia yakin bahwa anak tersebut adalah anaknya. Dengan demikian terjagalah keturunan anak yang sah dalam masyarakat sebagai salah satu tujuan perkawinan.[4]
a.      Macam-macam ‘iddah
Seorang istri waktu bercerai dengan suaminya ada yang sudah dan ada yang belum pernah bercampur dengan suaminya itu.[5]
Istri yang telah bercerai dengan suaminya dan belum pernah bercampur dengan suaminya itu, tidak mempunyai masa ‘iddah, berdasarkan firman Allah:
     يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا....
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya."(Q.S. Al-Ahzab:49).
 ‘Iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, apabila ia tidak hamil, baik ia masih berdarah haid ataupun sudah putus haid, berdasarkan firman Allah[6]:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا......
Artinya:
"Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)empat bulan sepuluh hari."(Q.S. Al-Baqarah:234).
Bagi istri-istri yang bercerai dengan suaminya dan sudah pernah terjadi percampuran antara keduanya ada beberapa kemungkinan tentang masa iddahnya[7]:
1.      ‘Iddah perempuan yang masih berdarah haid, yaitu tiga kali haid.
Apabila seorang masih berdarah haid diceraikan oleh suaminya, maka ia ber’iddah tiga kali haid[8], menurut firman Allah :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِر
Artinya:
"wanita-wanita yang ditolak hendaknya menahan diri (menunggu tiga kali Quru'). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat".(Q.S. Al-Baqarah:228)
Menurut pendapat yang lebih kuat, quru’ artinya haid, meskipun quru’ juga berarti suci, yaitu masa suci diantara dua kali haid.
2.      ‘Iddah perempuan yang telah berhenti (putus) haid atau perempuan yang belum pernah haid karena masih kanak-kanak, yaitu tiga bulan.
Perempuan yang tidak berdarah haid ‘iddahnya tiga bulan. Demikian pula perempuan yang masih anak-anak yang belum baligh atau perempuan yang tidak haid, baik yang tidak pernah haid maupun yang sudah putus haid, berdasarkan firman Allah:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid".(At-Thalak:4)

3.      ‘Iddah perempuan yang sedang hamil, yaitu sampai perempuan itu melahirkan anaknya.
Masa ‘iddahnya wanita yang hamil ialah sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya, berdasarkan firman Allah:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid".(At-Thalak:4)
4.      Wanita hamil dan suaminya meninggal dunia
Bagi wanita yang sedang hamil dan suaminya meninggal dunia, ada dua kemungkinan masa ‘iddahnya.
Kemungkinan I: Sebagai seorang wanita yang hamill, maka masa ‘iddahnya ialah sampai ia melahirkan anaknya. (Ath-Thalaq: 4)
Kemungkinan II: Sebagai seorang wanita yang saminya meninggal dunia, maka masa ‘iddahnya ialah empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)
Menjawab pertanyaan diatas kebanyakan ulama berpendapat bahwa lama masa ‘iddah wanita hamil dan kematian suami ialah masa yang terpanjang dari masa yang terdapat dari kedua kemungkinan di atas.
5.      Istri ditalak, kemudian suami meniggal
Apabila seorang suami telah mentalak istrinya kemudian suami tersebut meninggal dunia dalam masa istrinya menjalani masa ‘iddah, maka istri wajib menjalankan masa ‘iddah wanita yang ditinggal suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari, seandainya talak yang dijatuhkan suaminya adalah talak raj’i.
b.      Ketentuan Ketika ‘Iddah
Selama waktu ‘iddah, berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Istri yang ditalak dengan talak raj’i, berhak mendapat nafkah, pakaian dan tempat kediaman dari bekas suaminya, dan bekas suaminya berhak rujuk kepadanya berdasarkan kesepakatan madzhab yang empat.
2.      Istri yang sedang hamil yang ditalak dengan talak ba’in, berhak mendapat nafkah dengan segala macamnya, hingga lahir anaknya.
3.      Istri yang tidak hamil dan ditalak dengan talak ba’in, tidak berhak mendapat nafkah, menurut Syafi’i, Maliki dan Hambali, dan berhak mendapat nafkah menurut Hanafi.
4.      Istri yang dalam ‘iddah karena kematian suaminya, tidak berhak mendapatkan nafkah, berdasarkan kesepakatan ulama.[9]
c.       Hikmah ‘Iddah
 Hikmah-hikmah ‘iddah antara lain :
1.      Agar tidak ada keragu-raguan tentang kesucian rahim bekas isteri, sehingga sehingga tidak ada keragu-raguan tentang anak yang dikandung oleh bekas isteri apabila ia telah kawin laki-laki lain
2.      Apabila perceraian itu adalah perceraian, yang bekas suami masih berhak rujuk kepada bekas isterinya, maka masa iddah itu adalah masa berfikir bagi bekas suami ; apakah ia akan kembali menggauli bekas isterinya atau mereka tidak dapat bergaul kembali sebagi suami isteri.[10]
3.      Masa berkabung bagi isteri yang ditinggal mati suaminya digunakan sedikit mengenang kembali kenangan lama dengan suaminya. Sangant tidak etis, seandainya sang isteri bila sang suami melangsungkan perkawinan dengan laki laki lain, sementara sang suami baru saja meninggalkannya. Oleh karena iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya merupakan masa berkabung
4.      Memperpanjang masa kembali bagi suami pertama untuk meruju’ mantan isteri, dalam kasus talak raji’.
5.      Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calon suami yang akan menikahinya, untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan si perempuan yang baru berpisah dari mantan suaminya, karena kemungkinan dia masih mempunyai persoalan dengan mantan suaminya, mungkin persoalan harta dan lain sebagainya, biarkan mereka menyelesaikan masa iddah dahulu[11]
II.               RUJUK
A.    Pengertian dan Dasar Hukum Rujuk
Rujuk” berarti kembali. Maksudnya ialah: hak yang diberikan oleh agama kepada bekas suami untuk melanjutkan perkawinannya dengan bekas isterinya yang telah ditalaknya pada pertengahan masa ‘iddahnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.
Dasar hukum dari rujuk sesuai dengan firman Allah s.w.t:

..وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا...
Artinya:
"Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah."(Q.S. Al-Baqarah: 228)
Karena rujuk merupakan hak bekas suami,maka bekas isteri tidak dapat menghalangi maksud dari bekas suaminya itu apabila ia berkehendak melaksanakan haknya. Hal ini adalah karena rujuk bukanlah permulaan akad nikah yang baru, tetapi merupakan kelanjutan daripada akad nikah yang kemudian terjadi perceraian. Karena itu pihak isteri tidak berhak mendapat mahar yang baru diwaktu bekas suaminya merujukinya itu.[12]
B.     Pembagian Rujuk
Rujuk dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1.      Rujuk untuk talak 1 dan 2 (talak raj’iy)
Dalam suatu hadist disebutkan : dari Ibnu Umar r.a. waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia berkata, “Adapun engkau yang telah menceraikan ( istri) baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW telah menyuruhku merujuk istriku kembali” (H.R. Muslim)
Karena besarnya hikmah yang terkandung dalam ikatan perkawinan, maka bila seorang suami telah menceraikan istrinya, ia telah diperintahkan oleh Allah SWT agar merujukinya kembali.
Firman  Allah SWT dalam surat Q.S. Al-Baqarah : 231, yang artinya:
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. Al-Baqarah : 231)
2.      Rujuk untuk talak 3 (talak ba’in)
Hukum rujuk pada talak ba’in sama dengan pernikahan baru, yaitu tentang persyaratan adanya mahar, wali, dan persetujuan. Hanya saja jumhur berpendapat bahwa utuk perkawinan ini tidak dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.
Mengenai macamnya rujuk, hanya dapat dilakukan dalam talak yang raj'i selama istri masih dalam masa iddah. Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُمَا لَمَّاسَأَلَهُ سَائِلٌ قَالَ: اَمَا اَنْتَ طَلَقْتَ اِمْرَاَتَكَ مَرَّةً اَوْمَرَّتَيْنِ فَاِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ اَمَرَنِى اَنْ اُرَجِعُهَا (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar r.a waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia berkata,"Adapun engkau yang telah mencerikan istri baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW. telah menyuruhku merujuk istriku kembali."(HR.Muslim)
Firman Allah SWT:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ...
Artinya:
"Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf pula."(Q.S. Al-Baqarah:231)
C.     Syarat dan Rukun Rujuk
Bahwasannya rujuk mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
a)      Saksi untuk rujuk
b)      Rujuk dengan kata-kata atau penggaulan istri
c)      Kedua belah pihak yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik
d)     Istri telah di campuri
e)      Istri baru dicerai dua kali
f)       Istri yang di cerai dalam masa iddah raj'i
Rukun rujuk antara lain:
a.  Ada suami yang merujuk atau wakilnya
b. Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampurinya
c. Kedua belah pihak (suami dan istri) sama-sama suka
d. Dengan pernyataan ijab qobul, seperti mengucapkan kata-kata rujuk misalnya:"aku rujuk engkau pada hari ini". Atau: "telah ku rujuk istriku yang bernama: … pada hari ini".dan sebagainya.[13]
D.    Konsekuensi Ruju’
Konsekuensi atau akibat dari rujuk sebenarnya tidak begitu eksterm atau keras, justru rujuk berfunsi sebagai penyelamat pernikahan dari rusaknya cinta dan hubungan pernikahannya yang tidak membaik. Dengan adanya rujuk maka setiap orang yang akan melepaskan hubungan pernikahannya akan sadar bahwa yang namanya thalak, berlanjut ke iddah, akan membuat seseorang itu bosan mengikuti proses-prosesnya. Jika seorang suami istri masih diberi kecintaan maka ia akan kembali lagi. [14]
Pelaksanaan ruju’ sebaiknya dipersaksikan, hal tersebut digunakan untuk menghindari kemadhorotan dan menghindari fitnah. Aturan tentang ruju’ ini merupakan indikasi bahwa islam sebenarnya menghendaki perkawinan itu dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Oleh karena itu jika terjadi perceraian maka mantan suami dianjurkan untuk melaksakan ruju’ sebelum kesempatan tersebut diambil orang lain setelah masa ‘iddah selesai, pihak istri berhak menerima dan menolak ruju’ dari mantan suaminya itu. Di Indonesia terdapat adanya perpaduan hukum antara hukum islam,hukum positif, dan ada hukum adat pula. Jadi kompilasi hukum islam (KHI) mengatur persoalan ruju’ ini pada bab XVII pasal 163-166, sedangkan tata cara ruju’ diatur dalam pasal 167-169.[15]


KESIMPULAN

1.      ‘Iddah berasal dari kata al-‘adad, artinya bilangan dan menghitung, yaitu hari yang dihitung dan dipergunakan bagi seorang perempuan selama ia suci dari haid. dalam syara’, ‘iddah  artinya waktu menunggu dan dilarang kawin, setelah seorang perempuan ditinggal mati atau diceraikan suaminya
2.      Waktu ‘iddah bagi seorang istri di hitung sebagai berikut:
1.      Bagi seorang istri yang masih berhaidh, tiga kali suci.
2.      Bagi seorang istri yang sudah tidak berhaidh, tiga bulan.
3.      Bagi seorang istri yang sedang hamil, sampai melahirkan.
4.      Bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya, bila ia tidak hamil, empat bulan sepuluh hari.
3.      Selama waktu ‘iddah, berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
-          Istri yang ditalak dengan talak raj’i, berhak mendapat nafkah, pakaian dan tempat kediaman dari bekas suaminya, dan bekas suaminya berhak rujuk kepadanya berdasarkan kesepakatan madzhab yang empat.
-          Istri yang sedang hamil yang ditalak dengan talak ba’in, berhak mendapat nafkah dengan segala macamnya, hingga lahir anaknya.
-          Istri yang tidak hamil dan ditalak dengan talak ba’in, tidak berhak mendapat nafkah, menurut Syafi’i, Maliki dan Hambali, dan berhak mendapat nafkah menurut Hanafi.
-          Istri yang dalam ‘iddah karena kematian suaminya, tidak berhak mendapatkan nafkah, berdasarkan kesepakatan ulama.[16]
4.      Rujuk” berarti kembali. Maksudnya ialah: hak yang diberikan oleh agama kepada bekas suami untuk melanjutkan perkawinannya dengan bekas isterinya yang telah ditalaknya pada pertengahan masa ‘iddahnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.
5.      Rujuk dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
-          Rujuk untuk talak 1 dan 2 (talak raj’iy)
-          Rujuk untuk talak 3 (talak ba’in)
6.      Adapun Syarat dan rukun Rujuk.











DAFTAR PUSTAKA
Supriatna, dkk Drs. 2008. Fiqh munakahat II. yogyakarta : bidang akademik UIN sunan kalijaga.
Mukhtar Kamal. Drs. 1974.Asas-asas hukum islam tentang perkawinan. jakarta: Bulan bintang.
Marwani AI. 1975.  Hukum Perkawinan Dalam Islam. Yogyakarta: BPFE.
Al Hamdani diterjemah Agus Salim. 2002. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta: Pustaka Amani.
Subkhi, Ali as. 2010. Fiqih Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Yunus,Mahmud. 1956. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Al-hidayah.


[1] Al Hamdani diterjemah Agus Salim, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 299.
[2] Ashab adalah baju dari Yaman di dalamnya terdapat putih dan hitam.

[3] Ali As Subkhi, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 351.
[4] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: ………, 1956), hlm.143.
[5] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 231.
[6] Al Hamdani, ibid, hlm. 303.
[7] Kamal Mukhtar, ibid,.
[8] Al-Hamdani, ibid, hlm. 301.
[9]Marwani AI, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1975), hlm. 29

[10] Dr. Kamal Muchtar, ibid., hlm 230.
[11]Drs. Supriatna, Fiqh Munakahat II, cet I (Yogyakarta, UIN Suka , 2008), hlm 71.
[12] Drs. Kamal Mukhtar, ibid., hlm. 238.
[13] Kamal mukhtar, Ibid, hlm. 238.
[14] Drs Supriatna Dkk, ibid.,, hlm 71.

[15] Ibid,. hlm.76.








[16]Marwani AI, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1975), hlm. 29.

0 komentar:

Posting Komentar