Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Sabtu, 19 April 2014

makalah Sejarah wakaf dan Fiqih wakaf yang responsif di indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Wakaf, sebagaimana halnya zakat, adalah termasuk harta/asset umat muslim yang harus dijaga dan dikembangkan demi kepentingan umat muslim itu sendiri.[1] Dalam perjalanannya, wakaf pada dunia Islam mengalami berbagai macam kondisi pasang surut yang terus mewarnai perkembangannya dan tampaknya hal seperti itu akan terus terjadi sepanjang masa. Meski demikian, masih banyak masyarakat, khususnya umat Islam di Indonesia yang belum memahami makna wakaf secara komprehensif. Padahal kondisi umat Islam di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih jauh dari kondisi ideal.[2] Oleh karena itu, optimalisasi pengumpulan dan pendayagunaan wakaf menjadi salah satu opsi yang potensial dalam menanggulangi kemiskinan yang melilit mayoritas umat Islam di Indonesia.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik.
Maka dari itu, penting kiranya mengetahui lebih lanjut bagaimana sejarah perkembangan wakaf di Indonesia serta kemungkinan yang mampu membentuk fikih wakaf yang lebih komprehensif bagi masyarakat Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Perkembangan wakaf di Indonesia?
2.      Bagaimana kemungkinan Pembentukan fikih wakaf responsif di Indonesia?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan  Sejarah Wakaf Di Indonesia
Lembaga wakaf yang dipraktekkan di berbagai negara juga dipraktekkan di Indonesia sejak pra Islam datang ke Indonesia walaupun tidak sepenuhnya persis dengan yang terdapat dalam ajaran Islam. Namun spriritnya sama dengan syari’at wakaf. Hal ini dapat dilihat kenyataan sejarah yang sebagian masih berlangsung sampai sekarang  diberbagai daerah di Indonesia. Di Banten umpamanya, terdapat “ Huma serang” adalah ladang-ladang yang setiap tahun dikelola secara bersama-sama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama. Di Lombok terdapat “ tanah paremen “ ialah tanah negara yang di bebaskan dari pajak untuk kepentingan bersama. Di Jawa Timur terdapat tanah “Perdikan“ ialah sebagai tanah yang merupakan pemberian raja kepada seseorang atau kelompok yang ber jasa. Menurut Rachmat Djatnika bahwa, bentuk ini hampir menyerupai wakaf keluarga dari segi fungsi dan pemanfaatan yang tidak boleh diperjualbelikan. Secara umum perkembangan wakaf di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kurun waktu, yaitu :[3]
1.    Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia
Wakaf merupakan suatu lembaga ekonomi Islam yang eksistensinya sudah ada semenjak awal kedatangan Islam.[4] Wakaf adalah lembaga Islam kedua tertua di Indonesia setelah (atau bersamaan dengan) perkawinan. Sejak zaman awal telah dikenal wakaf masjid, dan wakaf tanah pemakaman di berbagai wilayah Indonesia. Selanjutnya muncul wakaf tanah untuk pesantren dan madrasah atau wakaf tanah pertanian untuk membiayai pendidikan Islam dan wakaf-wakaf lainnya.[5]
Pada mulanya lembaga wakaf di Indonesia sering dilakukan oleh umat Islam, sebagai konsekuensi logis banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Sekalipun lembaga wakaf merupakan salah satu pranata Islam, tetapi seolah-olah sudah merupakan kesepakatan diantara para ahli hukum bahwa pewakafan merupakan masalah dalam Hukum Adat Indonesia, sebab diterimanya lembaga berasal dari suatu kebiasaan dalam pergaulannya. Sejak itu persoalan wakaf telah diatur dalam Hukum Adat yang sifatnya tidak tertulis dengan mengambil sumber dari Hukum Islam.
Sewaktu Belanda mulai menjajah Indonesia lebih kurang tiga abad yang lalu, maka wakaf sebagai lembaga keuangan Islam telah tersebar di berbagai persada nusantara Indonesia. Pada masa pemerintah Kolonial Belanda dalam menyikapi pratek dan banyaknya harta benda wakaf telah di keluarkan sebagai aturan yang mengatur tentang persoalan wakaf, antara lain:[6]
a.       Surat Edaraan skretaris Convernemen pertama tanggal 31 Januari 1905, No. 435, sebagai mana termuat di dalam Bijblad 1905 No. 6196, tentang Toezicht op den bouw van Muhammadaansch bedehuizen. Dalam surat edaran ini meskipun tidak secara khusus tentang wakaf, tetapi pemerintah kolonial tidak bermaksud melarang atau menghalang-halangi praktek wakaf yang dilakukan oleh umat Islam untuk memenuhi keperluan keagamaannya.
b.      Surat Edaran dari sekretaris Convernemen tanggal 4 Jani 1931 nomer 1361/A tentang Toezich van de regeering op Muhammadaansche bedehuizen, vridagdiensten en wakafs. Dalam surat Edaran ini pada garis besarnya memuat agar Biblad  tahun1905 nomor 6169 diperhatikan dengan baik untuk mewakafkan harta tetap diperlukan izin Bupati, yang menilai permohonan itu dari segi tempat harta tetap itu dan masuk pendirian. Bupati memberi perintah supaya wakaf yang diizinkannya di masukan ke dalam daftar, yang di pelihara oleh ketua pengadilan agtama. Dari semua pendaftaran diberitahukan kepada Asisten Wedana untuk bahan baginya dalam pembuatan laporan kepada kantor  Landrente.
c.       Surat Edara skretaris Governemen tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagai mana termuat didalam Bijblad tahun 1934 tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht van regeering op Muhammadaansche bedehuizen, vrijdag diesten en wakafs. Surat Edaran ini sifatnya hanya mempertegas apa yang di sebutkan oleh surat Edaran sebelumnya, yang isinya memberi wewenang kepada Bvupati untuk menyelesaikan perkara, jika terjadi perselisihan atau sengketa tentang tanah-tanah wakaf tersebut.
d.      Surat Edaran skretaris Governemen tanggal 27 May 1935 Nomor 13480. Surat Edaran inipun bersifat penegasan terhadap surat-surat di dalam sebelumnya, yaitu khusus mengenai tata cara perwakafan, sebagai realisasi dari ketentuan Bijblad Nomor 6169/1905 yang menginginkan registasi dari tanah-tanah wakaf tersebut.
2.    Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia
Peraturan-peraturan tentang perwakafan yang dikeluarkan pada masa penjajah Belanda, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agusus 1945 masih tetap berlaku berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.  Maka untuk menyesuaikan dengan Negara Republik Indonesia dikeluarkan petunjuk Menteri Agama RI tanggal 22 Desember 1953 tentang Petunjuk-petunjuk mengenai wakaf, menjadi wewenang Bagian D (Ibadaha Sosial), Jawatan Urusan Agama, dan pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan SE Nomor 5/D/1959 tentang Prosedur Perwakafan Tanah.[7]
Dalam rangka penertiban dan pembaharuan sistem Hukum Agraria, masalah wakaf mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah nasional, antara lain melalui Departemen Agama RI. Selama lebih tiga puluh tahun sejak tahun 1960, telah dikeluarkan berbagai Undang-undang, Peraturana Pemerintah, Peraturan Menteri, Insturksi Menetri / Gebernur dan lain-lain yang berhubungan karena satu dan lain hal dengan masalah wakaf.
Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, yang pada intinya menyatakan benda wakaf adalah hukum agama yang diakui oleh hukum adat di Indonesia, di samping kenyataan bahwa hukum adat (al-‘uruf) adalah salah satu sumber komplementer hukum Islam. Sehingga dalam pasal 29 ayat (1) UU yang sama dinyatakan secara jelas tentang hak-hak tanah untuk kepelruan suci dan sosial. Wakaf adalah salah satu lembaga keagaaan dan sosial yang diakui dan dilingdungi oleh UU ini.

3.    Era Peraturan Perudang-undangan Republik Indonesia
Sebagaimana yang diketahui peraturan tentang perwakafan tanah di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan maupun dapat memberikan kepastian hukum, dari sebab itulah seuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (3) UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan berlakunya peraturan ini maka semua peraturan perundang tentang perwakafan sebelumnya yang bertentangan dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku.
Dalam rangka mengamankan, mengatur dan mengelola tanah wakaf secara lebih baik maka pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya juga mengatur masalah wakaf, sehingga setelah munculnya Inpres ini, kondisi wakaf lebih terjaga dan terawat, walaupun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal.
Pada tanggal 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Dan atas dukungan political will Pemerintah secara penuh salah satunya adalah lahirnya  Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).
Dari pasal undang-undang ini telah mewacana yang mengemuka tentang wakaf tunai dan realitas respon dari berbagai kalangan menjadi dasar pemikiran pentingnya penyusunan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang di dalamnya memuat aturan tentang wakaf tunai. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, sebagai satu-satunya peraturan perundang-undangan tentang wakaf sama sekali tidak mengcover masalah tersebut, Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan optimisme dan keteraturan dalam pengelolaan wakaf secara umum dan wakaf tunai secara khusus di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan.

B.     Fiqih Wakaf yang Responsif di Indonesia
Pendayagunaan wakaf secara optimal dapat membantu pemerintah dalam mensejahterakan rakyat karena jika wakaf dikelola dengan baik maka akan sangat menunjang pembangunan, baik di bidang ekonomi, agama, sosial, budaya, politik maupun pertahanan keamanan seperti yang di lakukan oleh negara-negara timur yang sudah maju seperti misalnya negara Mesir dan turki.[8] Memang ditinjau dari kekuatan hukum yang dimiliki, ajaran wakaf merupakan ajaran yang bersifat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki sesungguhnya begitu besar sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat banyak.[9]
 Indonesia pun dapat mengoptimalkan peran wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi yang dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia.[10] Selain itu, wakaf sejatinya merupakan salah satu instrumen penting dalam Islam yang memiliki potensi besar untuk mengangkat kesejahteraan ummat Islam, sehingga wakaf dapat dikatakan mampu mengangkat kondisi ummat Islam dari kondisi terpuruk menuju ummat yang terbaik (khoiru ummah).[11]
Menurut  perkembangannya pembentukan fikih wakaf terbagi kedalam 3 (tiga) periode antara lain sebagai berikut:
1.        Wakaf traditional
Dalam periode ini paham-paham yang menonjol antara lain[12]:
a)         Ikrar wakaf yang hanya sebatas ucapan lisan, tanpa adanya bukti tertulis (sertifikat ikrar wakaf), sehingga banyak harta wakaf yang hilang karena tidak adanya bukti setelah dikelola oleh generasi selanjutnya
b)        Harta yang diwakafkan lebih banyak berupa benda-benda yang tidak bergerak, sehingga peruntukanya tidak maksimal untuk kebijakan.
c)         Nadzir berdasarkan ketokohan yaitu penyerahan wakaf hanya kepada tokoh tertentu dalam masyarakat seperti kyai, ustadz, kyai dan lain-lain
d)        Legalitas hukum yang belum memadai, sehingga wakaf cenderung menjadi beban pengelolaan nadzir.
2.        Periode semi-profesional
Periode ini adalah masa dimana pengelolaan wakaf secara umum sama dengan periode traditional, namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif, meskipun belum maksimal.
3.        Periode professional
Periode ini adalah sebuah kondisi, dimana wakaf mempunyai kekuatan ekonomi umat mulai diperhatikan. Keprofesional yang dilakukan meliputi aspek menejemen sumber daya kemanusian kenadziran.
Upaya pembentukan fikih wakaf responsif di Indonesia dapat dilakukan dengan jalan istidlal. Istibdal wakaf merupakan istilah penggantian barang wakaf yang telah dijual maupun penggantian dalam hal peruntukan wakaf.[13] Jelaslah sudah bahwa salah satu cara bagaimana wakaf bisa menjadi produktif adalah dengan melakukan praktik Istibdal wakaf. Maqasid syariah dari Istibdal wakaf adalah manfaatnya yang terus mengalir dan memberikan kesejateraan umat. Dengan melihat realita umat muslim Indonesia yang notabene masih dibawah sejahtera, Istibdal wakaf sangat relevan dengan kebutuhan umat. Apalagi kalau melihat data yang ada bahwa sebagian besar wakaf yang ada di Indonesia adalah berbentuk fix asset khususnya tanah. Sampai abad ke-19 saja, menurut Rahmat Djatnika, dari semua luas tanah wakaf yang ada hampir semuanya berupa tanah kering. Jika tidak diberdayakan dengan baik maka maqasid syariah wakaf akan sulit tercapai.[14]
Tidak perlu ragu lagi, sesungguhnya praktik Istibdal wakaf bukanlah hal yang bertentangan dengan Syariah. Karena para ulama berbagai mazhab pun sudah membahasnya dan sampai pada membolehkan praktek tersebut. Melihat kondisi tersebut maka perlu dilakukan upaya secara serius untuk merumuskan strategi nasional untuk mengoptimalkan penggalangan dan pengembangan dana wakaf.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Perkembangan wakaf di Indonesia terjadi dalam tiga kurun waktu yaitu Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia, Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, Era Peraturan Perudang-undangan Republik Indonesia
2.      Upaya pembentukan fikih wakaf responsif di Indonesia dapat dilakukan dengan jalan istidlal. Istibdal wakaf merupakan istilah penggantian barang wakaf yang telah dijual maupun penggantian dalam hal peruntukan wakaf. 




















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah al-kabisi, abid, Hukum wakaf (kajian kontemporer pertama dan terlengkap tentang fungsi dan pengelolaan wakaf serta penyelesaian atas sengketa wakaf), Jakarta, Dompet Dhuafa Republika, 2003
Djunaidi, Achmad dan thobieb al-asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta, Mitra Abadi Press, 2006
Farid, Wadjdy, Wakaf dan Kesejahteraan Umat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007
Fiqih Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Jakarta 2006
Fiqih Wakaf, Pedoman Pengelolaan wakaf Tunai, Jakarta, 2006
Lubis, Suhrawardi K, Wakaf Dan Pemberdayaan Umat, Jakarta, Sinar Grafika, 2010
Suhadi, Imam, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 2002


[1] Direktorat pemberdayaan wakaf,  Fiqih Wakaf, (Jakarta, 2006), hlm. 3.

[2] Suhrawardi K. Lubis, Wakaf Dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta;  Sinar  Grafika,  2010), hlm. 7
[3] Direktorat pemberdayaan wakaf,  Fiqih Wakaf, (Jakarta ,2006), hlm. 15

[4] Ibid, hlm. 18.

[5]Direktorat pemberdayaan wakaf, Pedoman Pengelolaan wakaf Tunai, (Jakarta, 2006), hlm. 70
[6] Farid Wadjdy, Wakaf dan Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007), hlm 37
[7] Ibid, hlm. 41
[8] Abid Abdullah al-kabisi, Hukum wakaf (kajian kontemporer pertama dan terlengkap tentang fungsi dan pengelolaan wakaf serta penyelesaian atas sengketa wakaf), (Jakarta; Dompet Dhuafa Republika, 2003), hlm 23
[9] Ibid, hlm. 43                                                 

[10] Achmad djunaidi dan thobieb al-asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), hlm. 70
[11]Fiqih Wakaf, (Jakarta; Direktorat Pemberdayaan Wakaf,  2006), Hal, 99

[12] Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 61.
[13] Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002), hlm.32.

[14] Ibid, hlm. 64

0 komentar:

Posting Komentar