Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Rabu, 04 Juni 2014

Resume materi kontrak politik


Kontrak Politik dan Berbagai macam permasalahannya
A.    Teori-teori kontrak
Para mujtahid aliran-aliran Islam secara keseluruhan selain kelompok Syi’ah bersepakat bahwa jalan untuk mencapai kursi keimanan adalah melalui pilihan dan kemufakatan, artinya bukan melalui wasiat atau penunjukan. Tidak ada jalan lain untuk tercapainya kursi keimamahan kecuali dengan dua jalan tersebut. Keimamahan menurut as-Sanhuri berkata “ Maksudnya, keimamahan merupakan sebuah kontrak yang hakiki. Maksudnya, keimamahan ( dapat dianggap sah jika) merupakan kontrak yang mencukupi syarat-syarat, dilihat dari sudut hukum.
Kontrak keimamahan merupakan kontrak antara imam dan umat, ulama-ulama islam telah mengetahui substansi teori Rosseau yang berbnyi bahwa seorang penguasa atau kepala negara memperoleh keukuasaannya dari umat sebagimana fungsinya sebagai ulama wakil mereka. Sehingga para ulama Islam telah mengetahui teori kedaulatan yang dikemukakkan tadi , walaupun teori-teori mereka tetap mengandung nilai tambah yang spesifik. Tidak hanya bukti sejarah yang mendukung teorinya, sedangkan teori kontrak islam bersandarkan pada masa lalu yang bersejarah dan benar-benar terjadi yaitu pengalaman umat islam pada periode keemasan kekhalifahan islam.
B.     Muamalat dan Bai’at
Para umat islam tekah memformulasikan beberapa kesepakatan yang ditimbulkan oleh keinginan manusia yang bebas, dan dilaksanakan dalam interaksi antarvmanusia dalambeberapa kasus tertentu dan menggunakan kesepakatan yamg telah disertujui dalam bentuk transaksi atau kontrak. Inilah bagian yang memiliki presentasi yang sangat besar dalam hukum islam yang disebut al- mu’amalat sebagai lawan dari bagian yang disebut al-ibadat.
Prosedur yang menjadi jalan terselesaikannya kontrak tersebut dinamakan bai’at dikiaskan dari format awal dalam hal jual-beli. Hanya saja, kita perlu menggaris bawahi bahwa kontrak keimamahan dalam sistem sosial dapat disebiut dengan kontrak pertama atau kontrak terbesar,yang menjadi sentral semua bentuk kontrak yang lai, dan meligimastikan terjadinya kontrak-kontrak yang lain. Lebih dari itu, kontrak tersebut menjadi pilar yang menopang berjalanya sistem pemerintahan.
C.    Kehormata Kontrak dalam Islam
Karena kehormatan dalam Islam,Allah SWT ttelah mewajibkan untuk menepati kontrak sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits karena setiap kontrak memiliki nilai yang sakral. Berdasaran hal itu, setiap  faktor yang dapat mempengaruhi keabsahan kontrak dan memiliki konsekuensi hukum, secara general maupun parsial.
Elemen-elemen kontrak yang terpenting setelah semua yang telah tersebut diatas adalah syarat kontrak karena keabsahan kontrak sangat bergantung pada adanya syarat-syarat itu yaitu,
1.      Umat adalah Sendi Asal kontrak Keimamahan
Ketika sebuah kontrak terlaksana dengan ijan dan qabul, itu akan menentukan unsur terpenting yang memungkinkan kita untuk menjelaskan karakteristik negara  karena signifikansi yang dimiliki oleh jawaban pertanyaan ini kita akan menengahkanya dengan disertai dalil-dalil yang menguatkannya, seperti dalil-dalil dibawah ini,
a.       Para ulama fukaha menegaskan bahwa keabsahan sebuah keimamahan hanya tercapai dengan dua cara. Pertama, dengan menggunakan nash-petuunjuk langsung dari Allah dan kedua dengan cara pemlilihan, yaitu pemilihan oleh umat.
b.      Para ulama fuqaha mengkategorikan bahwa menegakan keimamahan adalah fardhu kifayah. Karena itu, sebetulnya umat mempunyai kewajiban untuk mendirikan keimamahan karena melaksanakannya dan memenuhi kewajibannya.
c.       Ketika mendiskusikan definisi-definisi keimamahan selama umat masih menjadi pemilik kepemimpiman umum, dan selama umat adalah pihak yang berhak  untuk memecat seorang imam disebabkan oleh kefasikannya.
d.      Inilah naskah ungkapkan al-Baghdadi dalam bukunya yang berjudul Ushuludin yang mengatakan,
“Mayoritas atau jumhur ulama dari kalangan kita (yang al-Baghdadi memaksudkan adalah Ahlu Sunnah) dan Jumhur ulama Muktazilah, Khawarij, serta kelompok an-Najjariyah berpendapat bahwa jalan untuk menetapkan keimamahan adalah melalui ara pemilihan dari umat.
e.       Disamping itu, menengahkan beberapa naskah perkataan imam Abul Hasan al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam as-Sulthaniyah. Dalam semua itu beliau tidak perlu dipertanyakan lagi. Inilah sebagian dari penuturan al-Mawardi :
-          Ketika baiat salah satu dari keduanya telah terjadi  lebih dahulu ( pada situasi ketika terjadi pertikaian antara dua pihak atas keimamahan) dan susah menentukan siapakah yang lebih terdahulu dari kedua orang yang bertikai maka permasalahan keduanya bergantung pada hasil investigasi.
-          Kalau salah satu dari keduanya mengaku bahwa temannya memang telah dibaiat terlebih dahulu, maka keimamahan langasung terlepas darui yang mengakui, tetapi tidak secara iotomatis menjadi hak yang diakui karena sebenarnya dia mengakui hak kaum muslimin.
-          Imamah termasuk hak milik umum, yang tergabung didalamnya hal Allah dan Hak Asasi Manusia.
-          Seorang Imam tidak berhak mencatat siapa yang telah ditunjuknya ( berkienaan dengan putra mahkota ) selama keadaan yang disebut terakhir ini berubah walaupun dia memiliki hak prerogratif dalamm mencatatb hal siapapun yang menjadi wakilnya dalam suatu permasalahan.
Rasulullah SAW bersabda “Jika seorang panglima perang teerbunuh hendaknya kaum muslimin memilih salah seorang laki-laki ( sebagai p0enggantinya). “ Jika nabi SAW senfiri telah melakukannya dalam kepemimpinan perang, t5entu saja hal seperti itu juga beraku dalam ke khalifahan
-            Jika seorang imam telam melaksanakan apa yang telah kami sebutkan berkenan dengan hal umat, berarti dia telah melaksanakan juga hal Allah berkenaan dengan hak kewajiban umat islam itu sendiri
-            Perkara yang melarang diadakanya kontrak keimamahan dan kontrak kesinambungannya adalah faktor yang membuatnya tidak mampu menjalankan aktifitasnya... atau bangkit dari keadaanya... dan jika hal itu terjadi kontrak keimamahan tidak dapatr dilangsungkan dan diteruskan karena imam itu telah tidak mampu memenuhi kewajibannya berkaitan dengan hak-hakkaum muslimin
-            Kondisi darurat terjadi jika sang imam terjatuh menjadi tawanan dirtangan musuh. Imam tidak dapat melepaskan diri dari tawanan itu, sehingga kontrak keimamahan tidak dapat dilaksanakan karena dia tidak mampu mengawasi pemerintahan kaum muslimin pada saaat itulah umat berhak memilih umat lain diantara orang-orang yang mempunyai kapabilitas.
-            Dalam hal0-hal yang membedakan seorang imam dari seorang menteri  bawha seorang imam dapat menyerahkan kembali mandat keimamahan kepada umat, sebaliknya seorang menteri tidak dapat melakukan itu.
-            Jika seorang panglima perang diangkat oleh khalifah,tidak secara otomatis dia berhenti dari jabatannya dengan kematian khalifah itu.


2.      Sumber Kekuasaan Tertinggi
Dari naskah diatas tadi membuktikan bahwa kontrak keimamahan adalah umat dan membuktikan bahwa keimamahan atau kekhalifahan merupakanmandat umat. Selain itu, membuktikan juga bahwa keimamahan merupakan hak umat secara keseluruhan dan memuat hak-hakmereka secara langsung. Pada hakikatnya tidak berubah dengan perubahan sudut pandang keimamahan yang merupakan hak Allah yang bertanggung jawab melakasanakan dan mengayomi hak-hak Allah.
Itulah teori yang telah dicapai oleh fuqaha syariat Islam, dan yang telahmereka putuskan dalam buku-buku mereka sejak beberapa abad yang lampau, yang sampai saat ini belum ada tokoh demokrasi modern yang mengemukakkan teori yang lebih berkualitas dari pada itu.
3.      Konsep Iktifa atau Berpresentasi
Karakteristik sebuah fardhu kifayah disebut sebagai kewajiban umum atausosial bahwa kewajiban itu tidak mungin dilaksanakan oleh setiap individu dalam waktu yang bersamaan. Demikian juga masalah keimamahan, masalah tersebut seperti kewajiban-kewajiban kifayah atau umum, yaitu diwajibkan atas umat secara umum. Diantara bentuk-bentuk aktivitas umum ini adalah kehakiman, jihad dan pengajaran, juga termasuk dalam kewajiban kifayah ini adalah pemilihan seorang imam.pemilihan tersebut yang notabene merupakan sebuah tanggung jawab yang besar dan membuahkan hasil yang monumental, melainkan harus memperhatikan syarat-syarat tertentu sehingga menjamin berlangsungnya pemilihan yang berhasil dan dapat mewujudkan kemaslahatan umum. Karena itu, para pakar syariat islam berfikir untuk menerapkan iktifaa’ ( mencakupkan pelaksanaannya dari sebagian umat) yang identik dengan perwakilan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.
4.      Ahlul Halli wal Aqli
Merupakan ide dasar dari apa yang digambarkan oleh para ulama fiqh sebagai suatu institusi khusus yang dinamakan ahlul halli wa’ aqli. Al-mawardi dan beberapa ulama lainnya menyebutkan ahlul ikthiar ( orang-orang yang memiliki kualifikasi untuk memilih). Mengenai ini, syarat styarat yang layak dipertimbangkan berkenaaan dengan mereka ada tiga, yaitu ;
Yang pertama, keadilan yang integral dengan syarat-syaratnya. Yang dimaksud dengan keadilan adalah istiqamah, integritas (amanah), dan sifat wara’, atau dalam istilah sekarang kita katakan ketakwaan dan ahlak mulia.
Kedua, kapabilitas keilmuwan yang dengannya ahlul halla wal’ aqdi dapat mengetahui orang yang menjadi imamdan sesuai dengan syarat-syarat yang menjadi bahan pertimbangan.
Ketiga, memiliki sikap dan kebijakansanaan (al-hikmah) yang akan mendorong memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam dan lebih dapat mewujudkan kemashlahatan umum.
Imam an-Nawawi sempat menyingggung juga tentang ahlul halli wal’ aqdi dalam bukunya al-Minhaj bahwa mereka adalah para ulama, pemimpin-pemimpin, dan pemuka-pemuka rakyat, yang mudah dikumpulkan. Yang dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan oleh an-Nawawi adalah para pemimpin umat, atau individu-individu umat yang paling menonojol ataupunorang yang mempunyai kepentingan umat.
5.      Dua Intiusi yang Berbeda
Syarat-syarat ini dan dari perkataan fuqaha dalam  tema tersebut bahwa institusi ( ahlul ijtihad ) dalam buku-buku ilmu fiqh walaupun keduannya sama. Ijtihad agama memiliki syarat-syarat khusus yang telah ditentukan, yaitu pencapaian tingkat tertinggi dalam keilmuwan. Untuk pengertian intuisi yang pertama mungkin dapat kita namakan institusi peruundang- undangan syariat.
6.      Masalah Kuantitas
Satu kelompok berpendapat bahwa keimamahan tidak dapat terlaksana kecuali dengan jumhur ahlu halli wa aqdi yang mewakili seluruh negeri. Mahzab ahlus Sunnah atau mahzab mayoritas berpendapat bahwa 0penentuan jumlah tertentu merupakan bentuk kesewenang-wenangan, dan tidak ada dalill yang mengharuskan untuk berpegang teguh pada angka tertentu tanpa yang lainnya, selama belum ada nash yang menyebutkan adanya ijma ulama, dan selama ijab dalam akad merupakan bentuk tahkim ( pelantikan sebagai pemimpin).
7.      Sanggahan dan Jawaban
Sebagaian kritikus menyanggah pendapat tentang jumlah yang hadir dalam pengangkatan imam, dan juga pendapat- pendapat serupa yang membolehkan pengangkatan imam dengan hanya dihadiri oleh jumlah yang minim sehingga pendapat mereka menghancurkan secara mendasar dan pendapat itu tidak sesuai dengan semangat syariat. Sebagian kelompok muktazilah dan para ulama fikih telah dalam kesalahan  ketika mereka mengatakan bahwa pembataian dipastikan keabsahanya dengan lima personal. Mereka menyebutkan bahwa mahzab as’syari berpendapat bahwa pembataian dapat terlaksana dengan baiat satu orang dari kelompok mereka jika dilakukan dihadapkan saksi-saksi. Inilah merupakan tentang al-Mawardi, “sesungguhnya dia (al-mawardi) dengan cerdiknya telah berusaha keras untuk menjadikan teori pemilihan sesuai dengan apayang dilakukan oleh para khalifah pada waktu itu, yaitu bahwa khalifah pada waktu itulah yang  menentutkan siapa yang akan menggantikannya.

F. Persatuan Umat Islam
Argumen fundamental yang dipakai oleh ulama syariat sebagai pendukung opini mereka dan berpendapat mengenai larangan pluralitas secara mutlak atupun dalam berdasan suatu negri adalah banyaknya ayat al-quran dan hadits nabi mengajak kaum muminin kepada persatuan melarang mereka dari perpecahan dan perselisihan. Para fuqaha mendapati bahwa persatuan keimaman secara umumsulit dicapai setelah dipublikan oleh pengalaman-pengalaman oprasional mereka telah berfatwa bahwa dibolehkan beragamnya keimamahan ketika kawasannya semakin luas dan jarak antar daerah semakin jauh yang membuktikan kebenaran presfeksi ini adalah bukti-bukti konkret sejarah bahwa pluralitas keimamahan bisa jadi pada sebagaian kondisi dan masa lebih mendukung kemampuan umat untuk memeprbaiki kondisi mereka dan lebih memudahkan pengaturan urusan-urusan mereka, juga dapat melipatgandakan kekuatan umat. Sedangkan persatuan pemerintahan atau administrasi dengan berbagai perbedaan karakter dan kebutuhan suatu daerah dan bangsa akan menjadi kontra produktif, menimbulkan tidak adanya perhatian terhadap rakyat, kekacauan dan eksploitasi.
Pluralitas diperbolehkan berdasarkan apa yang dituntut kemaslhatan rakyat saja bukan kemaslahatan individu atau beberapa keluarga agar hendaknya tercapai persatuan dalam tujuan dan sasaran. Diantara tujuan-tujuan terpenting adalah agar umat seluruhnya berdiri dari barisan musuh.
Dalam perkembangan politik modern ini telah memudahkan manusia untuk memperoleh gambaran beragam dari sistem politik. Maka yang menjadi kewajiban umat islam adalah menjadikan komite dan instansi tersebut sebagai sarana untukmencapai kemaslahatan.
G.  Masalah-masalah Parsial
 Masalah pertama, apakah dibolehkan mengangkat seorang khalifah yang tidak lebih unggul? Padahal masih ada yang lebih baik.
·         menurut Hasan Alsari imam harus dari seseorang yang unggul pada zamannya kalau ada satu kaum yang mengangkat seseorang kaum yang tidak unggul menjadi imam, maka yang mengangkatnya itu berasal dari kalngan raja bukan kalangan ulama-ulama.
·         Imam an-nazhzham dan imam al-jahidz dari kalangan mu’tazilah berkata bahwa keimamahan hanya berhak diduduki oleh yang paling unggul (al-Afdhal).
·         Mayoritas ulama’  syafi’iyah  membolehkan pengangkatan imam dari seseorang yang tidak diunggulkan jika orang itu memenuhi syarat-syarat keimamahan.
Masalah kedua, apakah wajib mengetahuidiri dan nama imam?
·         Syiah à mewajibkan mengetahui nama dan pribadi seorang imam.
·         Ahlussunnah à yang wajib bagi seluruh umat adalah mengetahui apakah kekhilafahan sudah terlaksana kepada orang yang layak sifat-sifatnya.
Masalah ketiga, ketika dua imam dibaiat pada dua negeri yang berdekatan, bagaimana hukumnya?
·         Pendapat pertama, bahwa orang yang menjadi imam adalah orang yang telah terlaksanan baiatnya di dalam negeri tempat imam terdahulu meninggal, karena  penduduk negeri itu  lebih dikhususkan untuk mengangakat seorang imam  dan lebih berhak untuk mendirirka kekhalifahan.
·         Pendapat kedua, untuk keduanya diharuskan menolah jabatan kekhalifahan untuk dirinya  dan menyerahkanya kepada yang berhak, demi menjagakeselamatan dan meminimalisir fitnah.
·         Al -Mawardi à jabatan keimamahan  diserahkan kepada yang terdahulu dari keduanya dalam baiat dan pengangkatan.
·         Imam ghazali à jiak mereka berdua berbeda dalam perkara-perakra prinsip, maka wajib mengunggulkan (tarjih) berdasarkan prinsip mayoritas (Al-katsrah).
Jika pilihan hanya terabatas untuk memilih satu daru dua orang (pilihan hanya terabts pada mereka berdua) karena keduanya orang yang layak dan memenuhi syarat, kemudian meraka berebut untuk menjadi imam. Bagaimana hukumnya?
·         Pendapat pertama, keduanya dilarang menjadi imamdan dialihkan kepada orang lain karena pertentangan tersebut merupakan awal bahaya bagi mereka.
·         Pertentangan itu tidak merupakan awal bahaya yang akan mneghalanginya untuk menjadi imam.argumentasinya bahwa tim permusyawaratansaling merebutkan dan mempertentangkan keimamahan, namun tidak menjadi alasan untuk melarang salah seorang dari mereka menjadi imam.
Masalah kelima, ketika syarat-syarat keimamahan tidak terpenuhi kecuali oleh satu orang, bagaimana pendapat para ulama? Konsekuensi hukum telah disepakati bahwa kaimamahan secra otomatis jatuh kepada orang  yang telah memenuhi syarat keimamahan dan tidak dibolehkan  untuk mengalihkanyaselain dia, namun apakah kekuasaanya telah terkukuhkan tanpa melaui baiat dan pemilihan?
·         Fuqoha irak à kekuasaanya dapat dikukuhkan dan keimamahanya dapat terlaksana, walaupun pembaiatanya belum dilaksanakan oleh tim khalifah.
·         Mayoritas fuqoha dan ulama ilmu kalam àkeimamahan tidak terlaksana kecuali dengan kerelaan dan pemilihan.
Masalah keenam, apakah diperbolehkan mengangkat putra makota lebih dari satu orang, dua orang atau lebih? Tanpa menentukan satu orang diantara mereka?
·         Diperbolehkan dengan syarat bahwa jumlah calon putra mahkota harus terbatas.
·         Fuqoha menyandarkarkan pada peristiwa sejarah yaitu pewarisan kekhakifahan umar kepada tim musyawarah.
Masalah ketujuh, jika seorang khalifah  mewariskan jabatan kekahalifahan keppada dua orang atau lebih, dan dia memutuskan membuat hirarki kemahkotaaan pada mereka. Bagaimana hukumnya?
·         Diperbolehkan dan kekhalifahan mereka berpndah secara berurutan sesuai dengan urutan yang telah ditentukan.
·         Seperti :
v  Sulaiman bin abdul malik à umar bin abdul aziz à yazid bin abdul malik
v  Harun Ar-Rasyid membuat urutan kepad anaknya :Al-Amin àAl-Makmun àal Muktamin
·         Dasar : Qiyas  terhadap urutan kacang yang dilakukan oleh Rasulallah dalam memimpin pasukan perang mut’ah, pertama beliau menunjuk zaid bin haritsah jika terluka atau tewas diberikan kepada à Ja’far bin Abu Thalib à Abdullah bin Rawahah  jika terluka atau tewas boleh memili pimpinan yang mereka senangi.


D.    Jabatan Putra Mahkota
Ada dua cara untuk tercapainya  keimamahan:
·         Teks penunjukan (dari agama) atau pemilihan.
·         Penunjukan putra mahkota oleh imam kepada seorang tertentu atau kepada orang-orang yang memiliki kriteria tertentu (krabat sendiri atau bukan)
Menurut Al-Mawardi berkata , ‘’ mengenai terlaksananya keimamahan dengan penunjukan yang dilakukan oleh Kholifah/raja adalah hal yan telah tercapai ijma’/kesepakatan untuk pembolehannya, dan telah disepakati keabsahannya, yaitu dengan dua perkara yag telah dilakukan oleh kaum muslimin dan mereka tidak saling berselisih.
·         Bahwa Abu Bakar r.a telah menurunkan kehkalifahan kepada Umar r.a dan kaum muslimin mengakui keimamahan Umar dengan penunjukan yang di lakukan Abu Bakar r.a
·         Bahwa Umar r.a telah mewariskan keimamahan kepada tim permusyawarahan (ahli syura). Para ahli syura tidak menolak untuk masuk ke dalam tim ini. Hal itu karena meyakini akan sahnya penunjukan itu.
1.      Kriteria Putra Mahkota
Dalam pembaiatan seorang  yang akan menjadi imam harus memenuhi kriteria keiamamahan, yaitu :
·         Imam harus dapat di percaya (amin)
·         Mempunyai kredibilitas (tsiqoh)
·         Wara’
·         Seorang yang ikhlas kepada Allah
·         Bias memberi nasihat bagi kaum muslimin.
Pendapat Al-Mawardi,” ketika seorang imam berkeinginan untuk menunjuk seorang pengganti, dia harus mengerahkan kemampuan pikirannya untuk memilih orang yang paling berhak dalam kedudukan keimamahan dan paling mampu memenuhi syarat-syaratnya”.
Para fuqoha’ berpendapat bahwa barang siapa yang ditunjuk sebagai [utra mahkota kekhalifahan maka harus sudah mengetahui syarat-syarat keimamahan. Apabila syarat syarat itu tidak terpenuhi maka penunjukan itu menjadi tidak sah (batal)dengan sendirinya.
2.      Keimamahan Tidak Diwariskan
Ø  Bagaimana hukum keimamahan yang diwariskan ?
Para mayoritas umalam sepakat bahwa keimamahan itu tidak boleh diwariskan.
Abdul Qahir Al-Baghdadi berkata,” semua yang menyepakati keimamahan Abu Bakar pasti akan berkata juga bahwa keimamahan ini tidak diwariskan. Maksudnya setiap orang yang berpendapat bahwa keiamamahan didapat melalui proses pemilihan.
Ibnu Hazm berkata,” tidak ada perbedaan pendapat diantara para pemeluk agama islamatas tidak bolehnya pewarisan dalam kehkalifahan ini”. Demikian, system pewarisan pemerintahan (monarki) ama sekali tidak memiliki legitimasi dalam islam.
3.      Kerelaan Umat terhadap Pengganti
Dalam pemilihan kekhalifahan, selain harus terpenuhinya syarat-syarat kekhalifahan, maka dengan melihat realita dalam sejarah kekhalifahan pada masa Umar r.a dan Utsman r.a tidak dapat di pungkiri bahwa telah terlaksana dengan kerelaan Umat dan telah tercapai kesepakatan atas keduanya, tanpa ada seorang pun yang keluar dari barisan.
Masalah pembaiatan Umar dan Utsman menjadi bahan perdebatan pada periode sang muhaqqiq Ibnu Taimiyah. Setelah beberapa lama mendiskusikan maslah tersebut beliau berkata,”Demikian juga Umar tidak ditunjuk oleh Abu Bakar, sesungguhnya Umar baru menjadi imam (khalifah) ketika masyarakat membaiatnya dan mentaaatinya. Jika ditakdirkan masyarakat tidak melaksanakan wasia Abu Bakar dan tidak mau membaiat Umar, niscaya Umar tidak akan menjadi imam (khalifah)”.
Hal itu menunjukan bahwa kesepakatan umat merupakan prinsip-prinsip dasar dan kerelaan umat merupakan legitimasi kontrak keimamahan.
E. Antara Pluralitas dan Persatuan
Prinsip yang telah disepakati adalah umat dilarang memiliki seorang imam lebih dari satu orang dalam satu daerah atau satu wilayah. Baiat tidak akan terlaksana untuk dua orang atau lebih karena hal itu menimbulkan pertentangan, perpecahan, dan perselisihan.
Para ulama’ meliputi imam Al-Baghdadi, Imam Al-Mawardi Imam Al-Haramain dan ibnu Hazm, mereka berpendapat bahwa mengangkat dua orang pemimpin dalam satu daerah dan dalam satu waktu maka itu tidak di perbolehkan.
Kecuali Muhammad bin Karam As-Sajastani dan Abu Ash-shabah As-Samarqandi, serta para pengikutnya mereka memperbolehkan adanya dua orang imam dalam satu waktu. Mereka berdua berargumentasi dengan ucapan kaum Anshar, atau orang yang berkata dari kelompok mereka pada hari Saqifah,” Dan kami seorang Amir dan begitu juga dari kelompok kalian. Mereka juga berargumen pada kasus yang terjadi antara  Ali r.a dan Husain melawan Mu’awiyah.
Al-Mawardi mendefinisikan sebagai berikut.” Ketika seorang amir dapat berkuasa di astu negeri  dengan kekerasan tempat dia telah dinobatkan oleh seorang khalifah untuk menjadi amirnya, maka amir tersebut telah memonopoli semua kebijakan dalam berpolitik dan dalam mengatur negeri tersebut. Dalam pelaksanaan hokum-hukum agama, khalifah harus melalui izin amir itu. Kosndisi seperti ini, walaupun keluar dari kebiasaan pengangkatan mutlak dalam syarat dan hokum-hukumnya, didalamnya masih ada jaminan bahwa undang-undang masih tetap terjaga, begitu juga hokum-hukum agama yang tidak boleh ditinggalkan sehingga menjadi kacau atau menjadi rusak dan cacat. Tidak dapat di pungkiri bahwa kondisi seperti ini merupakan contoh dari pluralitas.

0 komentar:

Posting Komentar