Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Senin, 09 Juni 2014

Badal Thawaf dan Melempar Jumrah

Badal Thawaf dan Melempar Jumrah

Penanya : Ahmad Sumiyono, Banyumas, Jawa Tengah
Pertanyaan:
Dalam rangkaian ibadah haji, di antara yang harus dilakukan adalah thawaf dan melempar jumrah. Dalam pelaksanaan thawaf tidak boleh diwakilkan, sekalipun yang bersangkutan sakit harus ditunaikan misalnya dengan menggunakan kursi roda. Tetapi dalam lempar jamrah, jika yang berhaji sakit, sehingga tidak dapat melaksanakan, dapat diwakilkan bukan saja oleh anak atau saudarannya, tetapi boleh juga oleh jamaah haji yang lain. Mohon penjelasan tentang perbedaan kebolehan dan tidak bolehnya perwakilan dalam dua hal tersebut dilengkapi dengan dalil-dalilnya.
Jawaban:
Terima kasih atas kepercayaan saudara kepada kami untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, kami akan menjelaskan tentang rukun dan wajib haji.
Dalam haji, terdapat serangkaian ibadah yang termasuk rukun haji dan wajib haji. Adapun yang membedakan antara rukun haji dengan wajib haji adalah, rukun haji adalah sesuatu yang harus dikerjakan dalam rangkaian ibadah haji, apabila tidak dikerjakan, apapun alasannya, haji tidak sah. Sedangkan wajib haji adalah sesuatu yang harus dikerjakan dalam rangkaian ibadah haji, tetapi jika tidak dikerjakan, hajinya tetap sah asalkan membayar dam. Rangkaian ibadah haji yang termasuk rukun haji adalah Ihram, Wuquf di Arafah, Thawaf ifadhah, Sa’i dan Tahalul, sedangkan yang termasuk wajib haji adalah Ihram dari miqat, wuquf sampai terbenam matahari, bermalam di muzdalifah, melempar jamarat, mabit di mina dan thawaf wada’.
Thawaf ifadhah termasuk rukun haji, oleh karena itu thawaf ifadhah tidak boleh ditinggalkan, termasuk dibadalkan atau diwakilkan. Berdasarkan hadis berikut,
حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ يَذْكُرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِلْحَائِضِ أَنْ تَصْدُرَ قَبْلَ أَنْ تَطُوفَ إِذَا كَانَتْ قَدْ طَافَتْ فِي الْإِفَاضَةِ
“Telah menceritakan kepada kami Rauh telah menceritakan kepada kami Zakariya telah menceritakan kepada kami Amru bin Dinar bahwa Ibnu Abbas pernah menyebutkan bahwa Nabi saw memberi keringanan kepada wanita haidl untuk pulang sebelum thawaf, bila sebelumnya telah thawaf ifadlah.” (H.R Ahmad)
Hadis di atas menunjukkan bahwa Nabi saw mewajibkan thawaf ifadhah bagi siapa saja termasuk wanita yang sedang haid. Thawaf ifadhah juga harus dikerjakan termasuk bagi orang yang sedang sakit. Karena thawaf tersebut termasuk rukun haji, maka thawaf ifadhah tidak boleh ditinggalkan, begitu juga tidak boleh untuk dibadalkan oleh orang lain.
Berkenaan dengan thawaf wada’ dan melempar jumrah, maka boleh bagi seseorang yang sakit untuk meninggalkannya atau mewakilkannya kepada orang lain. Orang yang tidak dapat melaksanakan sendiri melempar jumrah (karena sakit, tua, hamil, lemah dan lain-lain) dapat mewakilkan kepada orang lain. Berdasarkan hadis Jabir:
حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَلَبَّيْنَا عَنْ الصِّبْيَانِ وَرَمَيْنَا عَنْهُمْ [أخرجه ابن ماجه]
 “(Jabir berkata) Kami menunaikan haji bersama Rasulullah saw dan bersama wanita-wanita dan anak-anak. Kami membaca Talbiah mewakili anak-anak dan melempar jumrah mewakili mereka.” (HR. Ibnu Majah)

Jika meninggalkan thawaf wada’ atau melempar jumrah, maka orang tersebut harus membayar dam.
حَدَّثَنَا أَبُو عَمَّارٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ فَلْيَكُنْ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ إِلَّا الْحُيَّضَ وَرَخَّصَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ
Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ammar, telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus dari 'Ubaidullah bin 'Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar berkata; "Barangsiapa yang berhaji ke Baitullah, maka hendaknya terakhir kali yang dia lakukan ialah di Baitullah, kecuali para wanita yang haidh. Rasulullah saw pun memberi keringanan bagi mereka." Abu 'Isa berkata; "Hadits Ibnu Umar merupakan hadits hasan shahih dan diamalkan oleh para ulama." (H.R Tirmidzi)

Konseptor:
1.   Anggraeni Putri Rahayu
2.   Eka Parida Apriliasari
3.   Hanina Maria Ulfah
4.   Laily Shofyanida
5.   Mutia Afifati

--- dalam lafadz shibyan ... -> namunpertanyaannya adalah  semua goongan --- lafadz shibyan disini adala lafadza Amm—dan dikatakan  bagwa disini adalah yang perlu ditambahkan adalah saudara atua bukan ...


0 komentar:

Posting Komentar