Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Rabu, 04 Juni 2014

FATWA MUI TENTANG CARA PENSUCIAN EKSTRAK RAGI (YEAST EXTRACT) DARI SISA PENGOLAHAH BIR (BREWERYEAST)


FATWA MUI TENTANG CARA PENSUCIAN EKSTRAK RAGI (YEAST EXTRACT) DARI SISA PENGOLAHAH BIR (BREWERYEAST)

BAB I
PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang Masalah
Bir secara harafiah berarti segala minuman berolkohol yang diproduksi melalui proses fermentasi bahan berpati seperti biji malt, cereal dan diberi aroma flavor hops, tetapi tanpa proses melalui proses penyulingan setelah fermentasi. Proses pembuatan Bir disebut Brewing. Karena bahan yang digunakan untuk membuat Bir berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, maka karakteristik Bir seperti rasa dan warna sangat berbeda baik jenis maupun klasifikasinya.[1] bir yang termasuk kategori minuman khamr yang haram hukumnya,[2] akan tetapi hasil limbah produksi bir berupa ekstrak ragi (yeast extract) dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk, misalnya media mikroba bahan penyusun flavor/seasoning suplemen karena banyak mengandung mineral, vitamin dan protein.
MUI Sebagai sebuah organisasi keagamaan tingkat nasional, tentunya Majelis Ulama Indonesia memiliki standar operasional prosedur (SOP), terutama dalam merespons berbagai permasalahan, baik berupa pertanyaan melalui surat, ataupun melalui media lain. Standar operasional prosedur ini dalam bahasa yang dikemukakan oleh MUI sebagai pedoman rumah tangga. Dalam hal fatwa, MUI memiliki Mekanisme kerja Komisi Fatwa MUI yang telah ditetapkan pada tahun 1997 dengan Nomor U-634/MUI/X/1997. Pedoman ini merupakan penyempurnaan dari pedoman penetapan fatwa yang diputuskan pada tahun 1986. Karena menganggap bahwa pedoman penetapan fatwa yang ada dianggap kurang memadai, maka Komisi Fatwa MUI melakukan penyempurnaan terhadap metode fatwa yang lama dan mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama tanggal 12 April 2001. 
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama, Sehingga MUI tak lepas dalam memandang fenomena yang terjadi di masyarakat indonesia sebagai hasil dari pengejawentahan terhadap pembacaan situasi dan kondisi yang mempengaruhi pola dari paradigma yang ia bangun sehingga menghasilkan produk hukum yang khas.
Pada tahun 2003 MUI menetapkan bahwa ekstrak ragi (yeast extract) dari sisa pengolahan bir (brewer yeast) bisa dimanfaatkan setelah dicuci hingga hilang warna, bau dan rasa birnya, akan tetapi belum ada penjelasan mengenai tata cara pensuciannya, atas dasar hal tersebut, muncul pertanyaan mengenai tata cara pencucian tersebut.oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Cara Pencucian Ekstrak Ragi (yeast Extract) Dari Sisa Pengolahan Bir (Brewer Yeast), sebagai pedoman.

II.                Rumusan Masalah
Bagaimana cara pensucian ekstrak ragi (yeast extract) dari sisa pengolahah bir (brewer yeast) menurut MUI?
III.             Tujuan Penulisan
Untuk menjelaskan cara pensucian ekstrak ragi (yeast extract) dari sisa pengoiahah bir (brewer yeast) menurut MUI?











BAB II
PEMBAHASAN
I.                   Pengertian 
Ragi bir adalah Sebuah makanan nutrisi diproduksi sebagai produk sampingan dari industri pembuatan bir. Setelah fermentasi bir 5-10, ragi tidak lagi dianggap dapat diterima untuk membuat bir. Ragi ini kemudian dikeringkan dan diproses untuk membuat enzim yang tidak aktif. Ragi bir dimakan untuk tinggi B-vitamin dan kandungan protein sebagai suplemen nutrisi. Namun, ragi tidak akan digunakan untuk membuat roti.[3]
Menurut MUI, ekstrak ragi (yeast extract) ialah produk yang berupa isi sel ragr yang diproses dengan cara memecahkan dinding sel ragi sehingga isi sel ragi terekstrak keluar kemudian dinding selnya dipisahkan. isi sel ragi dimanfaatkan untuk berbagai produk pangan dan suplemen stelah melalui beberapa tahapan proses.[4]

II.                Dasar Hukum

1.      Al-Quran Surat Al-A’raf 157
@Ïtäur.... ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ...  
...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk ...
 Maksudnya: dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.
Ayat di atas menunjukkan halalnya segala sesuatu yang baik(at-hayyibat) dan   mengharamkan segala sesuatu yang buruk {al-khabaits). Salah satu penyebab sesuatu dianggap buruk (khabits) adalah jika terkena najis (Mutanajjis).
2.      Hadis-hadis Nabi SAW, Antara lain :

 حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَن ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مَيْمُونَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ فَأْرَةٍ سَقَطَتْ فِي سَمْنٍ فَقَالَ أَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوهُ وَكُلُوا سَمْنَكُمْ
Telah menceritakan kepada kami Isma'il telah menceritakan kepadaku Malik dari Ibnu Syihab Az Zuhri dari Ubaidullah bin 'Abdullah dari Ibnu 'Abbas dari Maimunah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya tentang bangkai tikus yang jatuh ke dalam lemak (minyak samin). Maka Beliau menjawab: "Buanglah bangkai tikus itu ada apa yang ada di sekitarnya, lalu makanlah lemak kalian."



Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: "apabila tikus jatuh di dalam keju, (maka lihatlah): jika (keju tersebut) padat maka buanglah (keju yang tertimpa tikus) dqn sekitarnya (lalu makanlah yang lainnya), tapi (jika keju tercebut) encer maka janganlah kamu mendekatinya" (HR Ahmad don Abu Daud)

Dua hadis di atas menunjukkan tata cara menghilangkan najis dari makanan, yaitu dengan dirinci (tafshil):jika makanan cair terkena naiis maka tidak bisa disucikan karena sudah bercampur, sedangkan jika makanan tidak cair (jamid) maka cukup dibuang makanan yang bersentuhan langsung dengan najis, sedangkan yang, tidak bersentuhan langsung dengan najis dapat dimanfaatkan.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلَتْ امْرَأَةٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا إِذَا أَصَابَ ثَوْبَهَا الدَّمُ مِنْ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنْ الْحَيْضَةِ فَلْتَقْرُصْهُ ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِمَاءٍ ثُمَّ لِتُصَلِّي فِيهِ
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisam bin 'Urwah dari Fatimah binti Al Mundzir dari Asma' binti Abu Bakar Ash Shiddiq berkata, "Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, katanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu bila seorang dari kami bajunya terkena darah haidh Apa yang harus dilakukannya?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu menjawab: "Jika  darah haidh mengenai pakaian seorang dari kalian, maka hendaklah ia bersihkan darah yang mengenainya, lalu hendaklah ia percikkan air padanya, kemudian hendaklah ia shalat dengannya."





Dari Abu Hurairah RA, Khaulah RA bertanya: wahai Rasululah,jika (bekas) darahnya tidak hilang? la SAW menjawab: "kamu cukup mencucinya dengan air, dan tidak masalah dengan bekasnya" (HR At-Tlrmidzi)


3.      Pendapat Para Ulama’
a.                          Pendapat lbnu Rusyd ulama mazhab Maliki, dalam kitabnya " Bidayah al-mujtahid waniyatul muqtashid ‘' sebagai berikut :

وللعلما ء في النجا سة تخا لط المطعو ما نت الحلا ل مذ هبا ن : أ حد هما : من يعتبر في التحريم المخا لطة فقد و إ ن لم يتغير للطعا م لون ولا را ءىحة ولا طعم من قبل النجا سة التي خا لطته و هو المشهور والذي عليه الجمهور. والثا ني : مذهب من يعتبر في ذلك التغير , وهو قول أهل الظا هر و رواية عن مالك
"Di kalangan ulama dalam mananggapi masalah najis yang tercampur dengan makanan halal terbagi dalam dua pendapat: pertarna, ulama yang menganggap haram karena terjadinya percampuran walaupun makanan tersebut tidak berubah warna, bau, dan rasa karena telah bercampur dengan najis. Pendapat ini adalah pendopat sebagian besar jumhur) ulama. Kedua, pendapat ulama yang memperhitungkan perubahannya, Pendapat ini adalah
pendapat mazhab zhahiri dan pendapat imam Malik”.
b.                         Pendapat Ibnu al-Khathib as-Syarbini dalam kitab "Mughni al-Muhtaj lla Ma'rifati Alfadhi al-Minhaj” sebagai berikut ;

(و يشتر ط ورودالماء) على المحللاإن كا ن قليلا في الا صح لنلا يتجس الما ء لو عكس لما علم مما سلف أ نه ينجس بمجرده وقوع النجا سة فيه

"dan disyaratkan (dalam mencuci barang terkena najis) mengucurkan air ke tempat yang terkena najis jika air tersebut sedikit (kurang dari dua kulah), agar air tersebut tidak malah menjadi mutanajjis. Jika sebaliknya (tidak dikucur tapi direndam/dicuci dalam air sedikit) maka menjadi najis karena terkena najis di dalamnya."
c.                          Pendapat zakaria al-Anshari dalam kitab “Tuhfatu at-tullab” adalah sebagai berikut :
 (وإزا لتها ) أي النجا سة (ولو من خف ) وا جبة (بغسل) في غير بغض ما يأتي  كبول صبي (بحيث  تزو ل  صفا تها ) من طعم ولو ن وريح (إلا ما عسر ) زواله (من لو ن أو ريح ) فلا تجب إزالته بل يطهر محله بخلا ف ما لوجتمعا لقوة دلا لتهما على بقا ء عين النجا سة . وما لو بقي الطعم لذا لك ولسهولة إ زا لته غا لبا

“Wajib hukumnya menghilangkan najis walaupun terhadap sepatu selop (khuff) dengan mencatnya hingga hilang rasa, warna dan baunya, kecuali jika salah satu warna atau baunya sulit dihilangkan, maka tidak wajib untuk
menghilangkannya. Ia tetap dianggap suci, Berbeda jika warna dan baunya sama-sama tetap tidak hilang (maka tetap dianggap terkena najis) karena tidak hilangnya keduanya secara bersamaan mengindikasikan masih adanya
najis. Begitu juga (masih dianggap najis) jika yang tidak bisa hilang adalah rasanya, karena umumnya menghilangkan rasa sangatlah mudah.”
d.                         Pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab “Al-minhajul Qawim” sebagai berikut :
(و ما تنجس بغير ذ لك )من سا ءىر ا لنجا سا ت السا بقة و غير ها (فإ ن كا نة ) نجا سة (عينية ) وهي التي  تدرك بإ حدى الحواس (وجبت إ زا لة عينه  و ) لا تحصل إلا بإ زالة  (  طعمه ولونه وريحه ) ويجب   نحو صا بو ن وذلك إن تو قفت الإ زالة عليه (ولا يضر بقا ء لو ن أو ريح عسر زوا له ) كلون الصبغ بأ ن صفت غسا لته ولم يبق إلا  أثر محض وكريح الخمر للمشقة ( ويضر بقا ؤ هما ) بمحل وا حد وإن عسر زوالهما (أو) بقا ء ( الطعم وحده ) لسهولة إزا لته وعسر ها نا در.....

“sesuatu yang terkena najis mutawassithah (najis sedang), jika najis 'aini (najis zatnya) yaitu najis yang bisa terdeteksi dengan panca indera, maka wajib menghilangkan zat (najis) nya, yaitu dengan menghilangkan rasa, warna dan baunya, Dan jika untuk menghilangkan ketiganya harus menggunakan sabun maka harus menggunakannya. Dan tidak masalah masih terdeteksinya salah satu dari warna atau baunya jika sulit untuk menghilangkannya, seperti warna, yang masih melekat setelah dicuci dan tidak berbekas kecuali bekasnya dan seperti bau khamr, karena alasan masyaqqah (sulit menghilangkannya}. Tapi jika jika dua-duanya dari bau dan werna najis masih berbekas di tempat yang telah dicuci maka tetap dianggap najis,walaupun sulit menghilangkan keduanya. Begittt juga masih
dianggap najis jika masih berbekas rasanya saja, karena sesungguhnya mudah menghilangkannya dan jarang yang kesulitan”.
e.                          Pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab “Tuhfatu Al-muhtaj Fi Syarhi al-minhaj” sebagai berikut:
ومر ما يعلمم منه أنه متى عسرت إزا لة النجا سة عن المحل نظر للغسلة فقد فإ ن لم ينقطع اللون أو الريح معالإ معا ن ويظهرر ضبطه بأن يحصل با الز يا دة عليه مشقة

“sebagaimana dijelaskan bahwa jika sulit menghilangkan (bekas) najisnya maka cukup dengan dicuci saja, walaupun masih terdeteksi salah satu dari warn atau baunya, dengan alasan adanya masyaqqah (kesulitan menghilangkannya)”
4.      Keputusan MUI
a.       Keputusan Fatwa MUI tanggal 23 Mei 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal, khususnya tentang hukum ragi yang berasal dari industri khamr, selengkapnya berbunyi: "Ragi yang dipisahkan dari proses pembuatan khamr setelah dicuci sehingga hilang rasa, bau dan warna khamrnya, hukumnya halal dan suci".
b.      Keterangan LP POM MUI dalam rapat Komisi Fatwa tanggal 12  januari 2011, yakni:
a)                  Ragi merupakan entitas tersendiri yang suci yang dijadikan salah satu bahan penolong pembuatan bir
b)                  Ragi adalah salah satu ienis mikroba yang tidak berbahaya dan hukum asal microba adalah suci apabila tidak membahayakan
c)                  Dalam proses pembuatan bir, ragi berinteraksi dengan bahan lainnya, kemudian dipisahkan setelah bahan tersebut berubah menjadi bir.
d)                 Ragi bisa merubah bahan baku menjadi bir tapi walaupun begitu ragi sendiri tidakberubah
c.  Pendapat peserta rapat Komisi Fatwa pada tanggal 28 Desember 2010 dan 12 januari 2011.













BAB III
PENUTUP
I.                   KESIMPULAN
Fatwa tentang cara pencucian extrak ragi (yeast extract) dari sisa pengolahan bir (brewer yeast) menurut MUI, dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1.      ekstrak ragi (yeast extract) ialah produk yang berupa isi sel ragr yang diproses dengan cara memecahkan dinding sel ragi sehingga isi sel ragi terekstrak keluar kemudian dinding selnya dipisahkan. isi sel ragi dimanfaatkan untuk berbagai produk pangan dan suplemen stelah melalui beberapa tahapan proses.
2.      ragi sisa pengolahan bir (brewer yeast) ialah ragi yang dipisahkan dari cairan bir dengan cara penyaringan dan isentrifugasi.
3.      ekstrak ragi (yeast extract) dari sisa pengolahan bir (brewer yeast) hukumnya rnutanajjis barang yang terkena najis yang meniadi suci setelah dilakukan pencucian secara syar'i(tathhir syar’an).pensucian secara syar'i sebagaimana dimaksud point satu adalah dengan salah satu cara sebagai berikut:
a. mengucurinya dengan air hingga hilang rasa, bau dan warna birnya.
b. mencucinya di dalam air yang banyak hingga hilang rasa, bau dan warna birnya.
      4. apabila telah dilakukan pencucian sebagaimana point nomor dua secara maksimal, akan tetapi salah satu dari bau atau warna birnya tetap ada karena sulit dihilangkan maka hukumnya suci dan halal dikonsumsi.








DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Jakarta, Erlangga, 2011

WEBSITE

http://lordbroken.wordpress.com/2011/10/01/proses-pembuatan-bir/ diakses tanggal 25 mei 2014 pukul  05.30



[4] MUI, Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975, (Jakarta, Erlangga:2011), hlm

0 komentar:

Posting Komentar