Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Kamis, 09 April 2015

ruwat

TRADISI RUWATAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia mendambakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan jasmani maupun rohani di dalam kehidupannya. Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mencapai keinginan tersebut adalah mengadakan upacara sepanjang lingkaran hidup. Upacara lingkaran hidup dilakukan sejak manusia dalam kandungan hingga meninggal dunia. Koentjaraningrat (1984:349-377) mengemukakan berbagai macam upacara yang dilakukan orang Jawa berkaitan dengan lingkungan hidup. Upacara yang diperuntukkan bagi manusia yang belum lahir adalah tingkepan atau mitoni. Setelah manusia dilahirkan, bentuk upacara yang dilakukan: brokohan, sepasaran, puputan, selapanan, tedhak siten, sunatan, perkawinan, dan ruwatan. Adapun upacara bagi orang yang sudah meninggal dunia, antara lain: mitung dina, nyatus, pendhak sepisan, pendhak pindo, dan nyewu.
Salah satu upacara lingkaran hidup yang sampai sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat Jawa adalah Ruwatan. Upacara ini dilaksanakan sebagai sarana untuk melepaskan diri dari bencana yang akan disandang selama hidupnya. Pada tata upacara Ruwatan, terlihat jelas adanya situasi dan kondisi sacral. Ruwatan merupakan salah satu upacara adat Jawa yang menarik untuk dikaji terkait dengan konsep yang mendasari dilaksanakannya Ruwatan serta tata cara pelaksanaannya. Tulisan ini akan mencoba mengungkap tentang konsep dasar upacara Ruwatan, siapa saja yang harus diruwat, unsur apa saja yang harus ada dalam upacara ruwatan, serta bagaimana tata cara ruwatan.

B. Rumusan Masalah
1.        Bagaimana tata cara Ruwatan?
2.        Apa landasan hukumnya?
3.        Apa landasan teori yang dipakai dalam ruwatan?
C. Tujuan Penulisan
1. Memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum Islam
2. Untuk mengetahui makna ruwatan itu sendiri

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ruwat/Ruwatan dan Asal Usulnya
Kata “ruwat” mempunyai arti terlepas (bebas) dari nasib buruk yang akan menimpa.
Ruwatan atau meruwat berarti upaya manusia untuk membebaskan seseorang yang menurut kepercayaan akan tertimpa nasib buruk, dengan cara melaksanakan suatu upacara dan tata cara tertentu.
Menurut kepercayaan sebagian masyarakat (jawa: Gugon Tuhon) bahwa sebagian orang yang mempunyai kriteria tertentu itu dalam hidupnya di dunia ada yang akan tertimpa nasib buruk.

Dalam cerita pewayangan ada seorang tokoh yang bernama "BETHORO GURU" atau "SANG YANG GURU", dia beristrikan dua orang istri. Dari istri pademi dia menurunkan seorang anak laki-laki bernama WISHNU. setelah dewasa Wishnu menjadi orang yang berbudi pekerti baik, sementara dari istri selir dia juga menurunkan seorang anak laki-laki bernama BETHORO KOLO. Setelah dewasa Bethoro Kolo menjadi orang jahat, konon kesurupan setan. Dia sering mengganggu jalma manusia untuk dimakan. Maka sang ayah memberi nasehat ''Jangan semua jalma kamu mangsa, akan tetapi pilihlah jalma seperti dibawah ini:
1.         Untang-Anting yakni anak tunggal laki-Iaki.
2.         Unting-Unting yakni anak tunggal perempuan.
3.         Kedono-Kedini yakni dua anak laki-Iaki dan perempuan.
4.         Kembang Sepasang yakni dua anak perempuan.
5.         Uger-Uger Lawang yakni dua anak laki-laki.
6.         Pancuran Keapit Sendang yakni tiga anak, perempuan, laki-laki dan perempuan.
7.         Sendang Keapit Pancuran yakni tiga anak, laki-laki, prempuan dan laki-laki.
8.         Cukit-Dulit yakni tiga anak laki-Iaki.
9.         Sarombo yakni empat anak laki-Iaki.
10.       Pandowo yakni lima anak laki-laki.
11.       Gotong Mayit yakni tiga anak perempuan.
12.       Sarimpi yakni empat anak perempuan.
13.       Ponca Gati yakni lima anak perempuan.
14.       Kiblat Papat yakni empat anak laki-laki dan perempuan.
15.       Pipilan yakni lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki.
16.       Padangan yakni lima anak, satu perempuan em pat laki-laki.
17.       Sepasar yakni Lima anak laki-laki dan perempuan.
18.       Pendowo Ngedangno yakni tiga anak laki-laki dan satu perempuan.
Dalam mitos orang Jawa, cerita diatas secara turun temurun masih diyakini kebenarannya, sehingga menurut Shohibur riwayah agar Bethoro Kolo yang jahat itu tidak memangsa jalma seperti tersebut diatas, dicarikan solusi yaitu harus diadakan "RUWATAN" untuk anak yang bersangkutan.
Acara "Ruwatan" Dalam Tradisi Jawa
Ruwatan yang diyakini oleh kebanyakan orang jawa sebagai solusi agar jalma/anak yang bersangkutan terhindar dari mara bahaya, adalah suatu upacara yang acaranya sebagai berikut:
a.         Mengadakan pagelaran wayang
b.         Sebagai pemandu pagelaran ini, dipilih seorang "DALANG SEJATI"
c.         Lakon yang dipentaskan, lakon khusus "MURWO KOLO"
d.         Menyajikan sesaji khusus untuk memuja Bethoro Kolo
e.         Pada acara pamungkas ruwatan, ki Dalang Sejati membacakan mantra-mantra dengan iringan gamelan, langgam dan gending tertentu. Konon mantra-mantra tersebut untuk tolak balak (mengusir BETHORO KOLO yang jahat itu).
Acara Ruwatan yang Islami.
Pada saat para wali bertabligh di Jawa, tradisi ruwatan tersebut terus berlaku di kalangan masyarakat. Oleh karena menurut hasil seleksi para wali di dalam upacara dan acara ruwatan ala Jawa tersebut ada unsur-unsur yang menyimpang dari syari’ah, dan ada juga unsur-unsur yang merusak 'aqidah. Maka dengan bijak mbah wali mencari alternatif lain dengan cara mewarnai budaya tersebut dengan amalan-amalan yang Islami.
Sewaktu ada salah satu warga masyarakat yang meminta kepada mbah wali untuk diruwat, beliau tetap melayaninya, namun dengan cara baru, yaitu :
- Amalan yang asalnya berbau Khurafat (Gugon Tuhon) diarahkan kepada perilaku yang bertendensi kepada syari’ah;
- Amalan yang asalnya berbau syirik, diarahkan kepada Tauhid;
- Amalan yang asalnya berbau bid’ah, diarahkan kepada Sunnah.
Dalam acara ruwatan yang Islami ini, mbah Wali berinisiatif untuk melakukan amalan-amalan yang sekiranya sesuai dengan tuntunan syari’ah dan berpegang pada aqidah yang benar. Amalan-amalan tersebut antara lain :
a.         Membaca surat Yasin dengan cara berjama'ah;
b.         Membaca kalimah Thayyibah dan shalawat Nabi;
c.         Memanjatkan do'a (memohon kepada Allah SWT) agar keluarga yang bersangkutan           terhindar dari mara bahaya, diberi keselamatan di dunia dan akhirat;
d.         Diadakan sekedar selamatan, shadaqahan, yang dihidangkan kepada para peserta   upacara ruwatan.

B. Hukum Ruwatan
Mengenai hukum ruwatan dengan cara tradisi Jawa seperti yang tersebut dalam keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi kita kaum muslimin, bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena didalamnya ada unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran agama Islam.
Nah, bagaimana hukum ruwatan yang dilaksanakan dengan mambaca surat Yasin, Sholawat Nabi, Kalimah Thoyyibah, bacaan do'a dan selamatan ala kadarnya?
a. membaca surat Yasin dan sholawat Nabi dengan maksud agar tercapai apa yang dituju, terlepas dari kesulitan dan terhindar dari bermacam-macam kejahatan, hal itu termasuk amalan yang dibenarkan dalam agama kita. Sayyid Muhammad bin Alawi dalam kitabnya "Idlohu Mafahimis Sunnah" menerangkan :
وَمَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ يس أَوْ غَيْرَهَا مِنَ الْقرآنِ للهِ تَعَالَى طَالِبًا الْبَرَكَةَ فِيْ الْعُمْرِ وَالْبَرَكَةَ فِيْ الْمَالِ وَالْبَرَكَةَ فِيْ الصِّحَّةِ فَإِنَّهُ لاَ حَرَجَ عَلَيْهِ وَقَدْ سَلَكَ سَبِيْلَ الْخَيْرِ، بِشَرْطِ أِنْ لاَيَعْتَقِدَ مَشْرُوْعِيَّةَ ذَلِكَ بِخُصُوْصِهِ. فَلْيَقْرَأْ يس ثَلاَثًا أَوْ ثَلاَثِيْنَ مَرَّةً أَوْ ثَلاَثَمِائَةِ مَرَّةٍ بَلْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كُلَّهُ للهِ تَعَالَى خَالِصًا لَهُ مَعَ طَلَبِ قَضَاءِ حَوَائِجِهِ وَتَحْقِيْقِ مَطَالِبِهِ وَتَفْرِيْجِ هَمِّهِ وَكَشْفِ كَرْبِهِ وَشِفَاءِ مَرَضِهِ، فَمَا الْحَرَجُ فِيْ ذَلِكَ؟ وَاللهُ يُحِبُّ مِنَ الْعَبْدِ أَنْ يَسْأَلَهُ كُلَّ شَيْءٍ حَتىَّ مِلْحَ الطَّعَامِ وَإِصْلاَحِ شِسْعِ نَعْلِهِ. وَكَوْنُهُ يُقَدِّمُ بَيْنَ يَدَيْ ذَلِكَ سُوْرَةَ يس أَوِ الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هُوَ إِلاَّ مِنْ بَابِ التَّوَسُّلِ بِاْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَبِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ. وَذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَى مَشْرُوْعِيَّتِهِ. إهـ إيضاح مفاهيم السنة ص: 11
Artinya :
" Barang siapa membaca surat Yasin atau surat lain dalam Al-Qur'an karena Allah dengan niat memohon agar diberkahi umurnya, harta bendanya dan kesehatannya, hal yang demikian itu tidak ada salahnya, dan orang tersebut telah menempuh jalan kebajikan, dengan syarat jangan menganggap adanya anjuran syari'at secara khusus untuk hal itu. Silahkan orang itu membaca surat Yasin tiga kali, tiga puluh kali atau tiga ratus kali, bahkan bacalah AI-Qur'an seluruhnya secara ikhlas karena Allah serta memohon agar terpenuhi hajatnya, tercapai maksudnya, dihilangkan kesusahannya, dilapangkan kesempitannya, disembuhkan penyakitnya dan terbayar hutangnya. Maka apa salahnya amalan tersebut? Toh Allah menyukai orang yang memohon kepadaNya mengenai segala sesuatu sampai dengan urusan garam untuk dimakan atau memperbaiki tali sandal. Adapun orang tersebut sebelum berdo’a membaca surat Yasin atau membaca sholawat Nabi hal itu hanyalah merupakan tawassul dengan amal shalih dan tawassul dengan Al-Qur'an. Disyari'atkannya Tawassul ini disepakati oleh para ulama.
Syaikh Ahmad As-Showi dalam kitab tafsirnya juz III halaman 317 juga meriwayatkan sabda Nabi yang artinya:
إِنَّ فِيْ الْقُرْآنِ لَسُوْرَةً تَشْفَعُ لِقَارِئِهَا وَتَغْفِرُ لِمُسْتَمِعِهَا، أَلاَ وَهِيَ سُوْرَةُ يس. تُدْعَى فِي التَّوْرَاةِ الْمُعِمَّةَ. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْمُعِمَّةُ؟ قَالَ تَعُمُّ صَاحِبَهَا بِخَيْرِ الدُّنْيَا وَتَدْفَعُ عَنْهُ أَهْوَالَ اْلآخِرَةِ. وَتُدْعَى أَيْضًا الدَّافِعَةَ وَالْقَاضِيَةَ. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ ذَلِكَ؟ قَالَ تَدْفَعُ صَاحِبَهَا كُلَّ سُوْءٍ وَتَقْضِيْ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ ..... إِلَى أَنْ قَالَ: يس لِمَا قُرِئَتْ لَهُ. وَحِكْمَةُ اخْتِيَارِ الصَّالِحِيْنَ فِي اسْتِعْمَالِهَا التَّكْرَارَ كَأَرْبَعٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ أَحَدٍ وَأَرْبَعِيْنَ وَغَيْرِ ذَلِكَ شِدَّةُ الْحِجَابِ وَالْغَفْلَةِ عَلَى الْقَلْبِ، فَبِالتَّكْرَارِ تَصْفُوْ مِرْأَتَهُ وَتَرِقُّ طَبِيْعَتَهُ. إهـ تفسير صاوي جزء ثالث ص 317
Artinya:
''Sungguh dalam Al-Qur'an itu ada satu surat yang memberi syafa'at kepada pembacanya dan memohonkan ampunan untuk pendengarnya, ingatlah surat itu adalah surat Yasin. Dalam kitab Taurat surat ini disebut “AL –MU’IMMAH”. Ditanyakan : apa itu Al-Mu’immah Ya Rasul ? Rasu!ullah menjawab : artinya surat yang bisa meliputi secara keseluruhan kabajikan di dunia dan tertolaknya kehebohan di akhirat bagi pembaca. Surat ini disebut juga “AD-DAFI'AH” dan “Al-QODLIYAH”. Ditanyakan : bagaimana demikian itu Ya Rasul ? Rasulullah menjawab : artinya surat yang melindungi dari segala keburukan dan meyebabkan tercapainya segala hajat bagi pembacanya, .... sampai dengan sabdanya : surat Yasin itu untuk apa saja yang diniatkan oleh pembacanya. Adapun hikmahnya para ulamaus Sholihin memilih membacanya dengan berulang-ulang, empat kali, tujuh kali atau empat puluh satu kali dan lain sebagainya, hal itu karena adanya penghalang dan kelalaian pada hati kita, maka dengan dibaca berulang-ulang itu kiranya bisa menjadi bersihlah cermin hati kita dan menjadi lunaklah tabi'atnya.
b.         Beristighatsah dengan niat bertaqarrub dan berdo'a/ memohon kepada Allah mengenai segala urusan, baik urusan yang kecil atau yang besar, adalah termasuk hal yang diperintahkan oleh Allah dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam Tafsir Showi juz IV halaman 13 diterangkan :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ. الدُّعَاءُ فِيْ اْلأَصْلِ السُّؤَالُ وَالتَّضَرُّعُ إِلَى اللهِ تَعَالَى فِيْ الْحَوَائِجِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَاْلأُخْرَوِيَّةِ الْجَلِيْلَةِ وَالْحَقِيْرَةِ. وَمِنْهُ مَا وَرَدَ: لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى فِيْ شِسْعِ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ. وَقَوْلُهُ أَسْتَجِبْ لَكُمْ أَيْ أُجِبْكُمْ فِيْمَا طَلَبْتُمْ. إهـ تفسير صاوي جزء رابع ص 13
Artinya:
''Dan Tuhanmu berfirman "Berdo'alah kepadaKu niscaya akan Aku perkenankan bagimu (Al-Mukmin : 60). Do'a menurut aslinya ,adalah memohon dan merendahkan diri kepada Allah SWT dalam segala kebutuhan duniawi dan ukhrowi, kebutuhan yang besar atau kecil. Ada anjuran untuk berdo'a dalam riwayat hadits : Silahkan salah satu dari kamu sekalian memohon kepada Tuhannya mengenai semua kebutuhannya sampai dengan tali sandalnya yang putus. Firman Allah: "Astajib Lakum" artinya : Aku (Allah) akan memperkenankan kamu mengenai apa yang kamu mohonkan kepadaKu.
c.         Mengadakan selamatan/menghidangkan hidangan kepada para peserta upacara ruwatan dengan niat shadaqah. Hal ini juga rnengandung banyak fadlilah/keutamaan, antara lain : menyebabkan orang yang bersedekah akan terhindar dari beraneka ragam balak, mushibah dan mara bahaya. Sebagaimana hadits Nabi riwayat dari sahabat Anas, bahwa Nabi SAW bersabda :
الصَّدَقَةُ تَمْنَعُ سَبْعِيْنَ نَوْعًا مِنْ أَنْوَاعِ الْبَلاَءِ. رواه الخطيب عن أنس رضي الله عنه. إهـ الجامع الصغير ص 190
Artinya:
“'Shodaqoh itu bisa menolak tujuh puluh macam balak (mushibah)”. HR. Khotib
Dengan demikian hukum ruwatan dengan membaca surat Yasin, shalawat Nabi dan lain sebagainya adalah boleh jika dimaksudkan untuk rnendekatkan diri kepada Allah dan bersih dari hal-hal yang terlarang. Bisa juga rnenjadi haram jika tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau mengandung larangan agama, bahkan bisa jadi kufur, jika dimaksud untuk menyembah selain Allah.
Kesimpulan hukum demikian ini, sebagaimana yang tersebut dalam hasil keputusan bahtsul masa'il NU Jatim halaman 90 :
إِنْ قُصِدَ بِتَصَدُّقِ ذَلِكَ الطَّعَامِ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ لِيَكْفِيَ اللهُ شَرَّ ذَلِكَ الْجِنِّ لَمْ يَحْرُمْ، لأَنَّهُ لَمْ يَتَقَرَّبْ لِغَيْرِ اللهِ كَمَا لاَ يَخْفَى لِلْمُصَنِّفِ. وَأَمَّا إِذَا قَصَدَ الْجِنَّ فَحَرَامٌ، بَلْ إِنْ قَصَدَ التَّعْظِيْمَ وَالْعِبَادَةَ لِمَنْ ذُكِرَ، كَانَ ذَلِكَ كُفْرًا قِيَاسًا عَلَى نَصِّهَا فِي الذَّبْحِ.
Artinya:
''Apabila menshodaqohkan makanan tersebut dengan tujuan mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah agar terhindar dari kejahatan jin, maka tidak haram karena tidak ada taqarrub kepada selain Allah. Apabila ditujukan pada jin, maka haram hukumnya. Bahkan apabila bertujuan mengagungkan dan menyembah pada selain Allah, maka hal itu menjadikan kufur karena diqiyaskan pada nashnya dalam masalah penyembelihan (dzabhi).
Istihsan Sebagai Dasar Menetapkan Hukum
Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bisa menjadi dalil syara'. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh qiyas atau umum nas. Tegasnya menurut mereka, istihsan dapat dijadikan dalil (hujjat)
Al-Tafzani mengatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil yang disepakati oleh para ulama, karena istihsan didasarkan kepada nas, atau kepada ijmak atau kepada darurat, atau kepada qiyas khafi.
Untuk mendukung kehujjahan istihsan, Ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan sebagian ulam Hanabilah, mengemukakan alasan Istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara'. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a.         Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah,2:185 dan surat az-Zumar (39): 18.
Ayat pertama, menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti pendapat yang paling baik. Sedangkan ayat kedua memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah.
b.         Sedangkan sunnah yang mereka jadikan dalil adalah hadits Rasulullah dalam riwayat 'Abdullah ibn Mas'ud mengatakan: " sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik." (H.R. Ahmad ibn Hanbal)
Hasil penelitian dari berbagai ayat dan Hadits terhadap berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya memberikan kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syariat Islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang kan dapat memberikan hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Di dalam menghadapi masalah ruwatan dan pelaksanaannya, dapat kita terapkan masalah itu mengingat maslahat dari padanya, dengan mempergunakan dasar istihsan yang disandarkan dengan Al-Urf. Al-Urf atau yang lebih kita kenal dengan adat kebiasaan, ialah sesuatu yang telah terkenal di seluruh masyarakat atau sama dikenal oleh manusia dan telah menjadi suatu kebiasaan yang digemari oleh mereka, serta berlaku didalam peri kehidupan mereka. Baik berupa ucapan maupun perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat.

C. Teori yang dipakai dalam Ruwatan
Pola pemikiran yang dimiliki masyarakat Jawa mengenai kosmis, magis, dan klasifikatoris termasuk kedalam sistem religi, yang salah satunya terwujud dalam tata upacara ruwatan. Berbicara tentang ruwatan tidak dapat dilepaskan dai konteks kebudayaan karena ruwatan merupakan bagian dari tujuh unsur kebudayaan yang disebut Cultural Universal yang terdiri dari (1) Bahasa, (2) Sistem Pengetahuan, (3) Organisasi Sosial, (4) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, (5) Sistem mata pencahaian, (6) sistem religi, dan (7) kesenian. (Kluckhohn melalui Koentjaraningrat, 1990:203-204).
Menurut Koentjaraningrat sistem religi mengandung empat komponen pokok atau utama yang harus ada dalam rangkaian upacara, yaitu (1) tempat pelaksanaan upacara, (2) saat atau waktu pelaksanaan upacara, (3) benda-benda pusaka dan perlengkapan alat-alat upacara, dan (4) orang-orang yang bertindak sebagai laksana upacara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa selain empat komponen utama tersebut dalam upacara adat terdapat juga kombinasi dari berbagai unsur, seperti berdo'a, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari, menyanyi, berprosesi, berseni, berpuasa, bertapa, dan bersemedi (Koentjaraningrat, 1985:240)


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1.        Bahwa tradisi ruwatan itu diyakini oleh kebanyakan orang jawa sebagai solusi agar jalma/anak yang bersangkutan terhindar dari mara bahaya.


0 komentar:

Posting Komentar