TRADISI RUWATAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia mendambakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan
jasmani maupun rohani di dalam kehidupannya. Salah satu cara yang dilakukan
oleh masyarakat Jawa untuk mencapai keinginan tersebut adalah mengadakan
upacara sepanjang lingkaran hidup. Upacara lingkaran hidup dilakukan sejak
manusia dalam kandungan hingga meninggal dunia. Koentjaraningrat (1984:349-377)
mengemukakan berbagai macam upacara yang dilakukan orang Jawa berkaitan dengan
lingkungan hidup. Upacara yang diperuntukkan bagi manusia yang belum lahir
adalah tingkepan atau mitoni. Setelah manusia dilahirkan, bentuk upacara yang
dilakukan: brokohan, sepasaran, puputan, selapanan, tedhak siten,
sunatan, perkawinan, dan ruwatan. Adapun upacara bagi orang yang
sudah meninggal dunia, antara lain: mitung dina, nyatus, pendhak sepisan,
pendhak pindo, dan nyewu.
Salah satu upacara lingkaran hidup yang sampai sekarang masih dilaksanakan
oleh masyarakat Jawa adalah Ruwatan. Upacara ini dilaksanakan sebagai sarana
untuk melepaskan diri dari bencana yang akan disandang selama hidupnya. Pada
tata upacara Ruwatan, terlihat jelas adanya situasi dan kondisi sacral. Ruwatan
merupakan salah satu upacara adat Jawa yang menarik untuk dikaji terkait dengan
konsep yang mendasari dilaksanakannya Ruwatan serta tata cara pelaksanaannya.
Tulisan ini akan mencoba mengungkap tentang konsep dasar upacara Ruwatan, siapa
saja yang harus diruwat, unsur apa saja yang harus ada dalam upacara ruwatan,
serta bagaimana tata cara ruwatan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana tata cara Ruwatan?
2.
Apa landasan hukumnya?
3.
Apa landasan teori yang dipakai dalam ruwatan?
C. Tujuan
Penulisan
1. Memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum
Islam
2. Untuk mengetahui makna ruwatan itu sendiri
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ruwat/Ruwatan dan Asal
Usulnya
Kata “ruwat” mempunyai arti terlepas
(bebas) dari nasib buruk yang akan menimpa.
Ruwatan atau meruwat berarti upaya manusia untuk membebaskan
seseorang yang menurut kepercayaan akan tertimpa nasib buruk, dengan cara
melaksanakan suatu upacara dan tata cara tertentu.
Menurut kepercayaan sebagian masyarakat (jawa: Gugon Tuhon)
bahwa sebagian orang yang mempunyai kriteria tertentu itu dalam hidupnya di
dunia ada yang akan tertimpa nasib buruk.
Dalam cerita pewayangan ada seorang tokoh yang bernama
"BETHORO GURU" atau "SANG YANG GURU", dia beristrikan dua
orang istri. Dari istri pademi dia menurunkan seorang anak laki-laki bernama
WISHNU. setelah dewasa Wishnu menjadi orang yang berbudi pekerti baik,
sementara dari istri selir dia juga menurunkan seorang anak laki-laki bernama
BETHORO KOLO. Setelah dewasa Bethoro Kolo menjadi orang jahat, konon kesurupan
setan. Dia sering mengganggu jalma manusia untuk dimakan. Maka sang ayah
memberi nasehat ''Jangan semua jalma kamu mangsa, akan tetapi pilihlah jalma
seperti dibawah ini:
1. Untang-Anting yakni anak tunggal laki-Iaki.
2. Unting-Unting yakni anak tunggal perempuan.
3. Kedono-Kedini yakni dua anak laki-Iaki dan perempuan.
4. Kembang Sepasang yakni dua anak perempuan.
5. Uger-Uger Lawang yakni dua anak laki-laki.
6. Pancuran Keapit Sendang yakni tiga anak, perempuan, laki-laki dan
perempuan.
7. Sendang Keapit Pancuran yakni tiga anak, laki-laki, prempuan dan
laki-laki.
8. Cukit-Dulit yakni tiga anak laki-Iaki.
9. Sarombo yakni empat anak laki-Iaki.
10. Pandowo yakni lima anak laki-laki.
11. Gotong Mayit yakni tiga anak perempuan.
12. Sarimpi yakni empat anak perempuan.
13. Ponca Gati yakni lima anak perempuan.
14. Kiblat Papat yakni empat anak laki-laki dan perempuan.
15. Pipilan yakni lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki.
16. Padangan yakni lima anak, satu perempuan em pat laki-laki.
17. Sepasar yakni Lima anak laki-laki dan perempuan.
18. Pendowo Ngedangno yakni tiga anak laki-laki dan satu
perempuan.
Dalam mitos
orang Jawa, cerita diatas secara turun temurun masih diyakini kebenarannya,
sehingga menurut Shohibur riwayah
agar Bethoro Kolo yang jahat itu tidak memangsa jalma seperti tersebut diatas,
dicarikan solusi yaitu harus diadakan "RUWATAN" untuk anak yang
bersangkutan.
Acara "Ruwatan" Dalam Tradisi Jawa
Ruwatan yang diyakini oleh kebanyakan
orang jawa sebagai solusi agar jalma/anak yang bersangkutan terhindar dari mara
bahaya, adalah suatu upacara yang acaranya sebagai berikut:
a. Mengadakan
pagelaran wayang
b. Sebagai
pemandu pagelaran ini, dipilih seorang "DALANG SEJATI"
c. Lakon
yang dipentaskan, lakon khusus "MURWO KOLO"
d. Menyajikan sesaji khusus untuk
memuja Bethoro Kolo
e. Pada
acara pamungkas ruwatan, ki Dalang Sejati membacakan mantra-mantra dengan
iringan gamelan, langgam dan gending tertentu. Konon mantra-mantra tersebut
untuk tolak balak (mengusir BETHORO KOLO yang jahat itu).
Acara Ruwatan yang Islami.
Pada saat para wali bertabligh di Jawa, tradisi ruwatan
tersebut terus berlaku di kalangan masyarakat. Oleh karena menurut hasil
seleksi para wali di dalam upacara dan acara ruwatan ala Jawa tersebut ada
unsur-unsur yang menyimpang dari syari’ah, dan ada juga unsur-unsur yang
merusak 'aqidah. Maka dengan bijak mbah wali mencari alternatif lain dengan
cara mewarnai budaya tersebut dengan amalan-amalan yang Islami.
Sewaktu ada salah satu warga masyarakat yang meminta kepada mbah
wali untuk diruwat, beliau tetap melayaninya, namun dengan cara baru, yaitu :
- Amalan
yang asalnya berbau Khurafat (Gugon Tuhon) diarahkan kepada perilaku yang bertendensi kepada syari’ah;
- Amalan
yang asalnya berbau syirik, diarahkan kepada Tauhid;
- Amalan
yang asalnya berbau bid’ah, diarahkan kepada Sunnah.
Dalam acara ruwatan yang Islami ini, mbah Wali berinisiatif
untuk melakukan amalan-amalan yang sekiranya sesuai dengan tuntunan syari’ah
dan berpegang pada aqidah yang benar. Amalan-amalan tersebut antara lain :
a. Membaca
surat Yasin dengan cara berjama'ah;
b. Membaca
kalimah Thayyibah dan shalawat Nabi;
c. Memanjatkan
do'a (memohon kepada Allah SWT) agar keluarga yang bersangkutan terhindar
dari mara bahaya, diberi keselamatan di dunia dan akhirat;
d. Diadakan sekedar selamatan,
shadaqahan, yang dihidangkan kepada para peserta upacara
ruwatan.
B. Hukum
Ruwatan
Mengenai hukum ruwatan dengan cara tradisi
Jawa seperti yang tersebut dalam keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi
kita kaum muslimin, bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena didalamnya
ada unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran agama Islam.
Nah, bagaimana hukum
ruwatan yang dilaksanakan dengan mambaca surat Yasin, Sholawat Nabi, Kalimah
Thoyyibah, bacaan do'a dan selamatan ala kadarnya?
a. membaca
surat Yasin dan sholawat Nabi dengan maksud agar tercapai apa yang dituju,
terlepas dari kesulitan dan terhindar dari bermacam-macam kejahatan, hal itu
termasuk amalan yang dibenarkan dalam agama kita. Sayyid Muhammad bin Alawi dalam
kitabnya "Idlohu Mafahimis Sunnah" menerangkan :
وَمَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ يس أَوْ غَيْرَهَا مِنَ الْقرآنِ للهِ تَعَالَى
طَالِبًا الْبَرَكَةَ فِيْ الْعُمْرِ وَالْبَرَكَةَ فِيْ الْمَالِ وَالْبَرَكَةَ فِيْ
الصِّحَّةِ فَإِنَّهُ لاَ حَرَجَ عَلَيْهِ وَقَدْ سَلَكَ سَبِيْلَ الْخَيْرِ، بِشَرْطِ
أِنْ لاَيَعْتَقِدَ مَشْرُوْعِيَّةَ ذَلِكَ بِخُصُوْصِهِ. فَلْيَقْرَأْ يس ثَلاَثًا
أَوْ ثَلاَثِيْنَ مَرَّةً أَوْ ثَلاَثَمِائَةِ مَرَّةٍ بَلْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كُلَّهُ
للهِ تَعَالَى خَالِصًا لَهُ مَعَ طَلَبِ قَضَاءِ حَوَائِجِهِ وَتَحْقِيْقِ مَطَالِبِهِ
وَتَفْرِيْجِ هَمِّهِ وَكَشْفِ كَرْبِهِ وَشِفَاءِ مَرَضِهِ، فَمَا الْحَرَجُ فِيْ
ذَلِكَ؟ وَاللهُ يُحِبُّ مِنَ الْعَبْدِ أَنْ يَسْأَلَهُ كُلَّ شَيْءٍ حَتىَّ مِلْحَ
الطَّعَامِ وَإِصْلاَحِ شِسْعِ نَعْلِهِ. وَكَوْنُهُ يُقَدِّمُ بَيْنَ يَدَيْ ذَلِكَ
سُوْرَةَ يس أَوِ الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا
هُوَ إِلاَّ مِنْ بَابِ التَّوَسُّلِ بِاْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَبِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ.
وَذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَى مَشْرُوْعِيَّتِهِ. إهـ إيضاح مفاهيم السنة ص: 11
Artinya :
" Barang siapa membaca surat Yasin atau surat lain dalam
Al-Qur'an karena Allah dengan niat memohon agar diberkahi umurnya, harta
bendanya dan kesehatannya, hal yang demikian itu tidak ada salahnya, dan orang
tersebut telah menempuh jalan kebajikan, dengan syarat jangan menganggap adanya
anjuran syari'at secara khusus untuk hal itu. Silahkan orang itu membaca surat
Yasin tiga kali, tiga puluh kali atau tiga ratus kali, bahkan bacalah AI-Qur'an
seluruhnya secara ikhlas karena Allah serta memohon agar terpenuhi hajatnya,
tercapai maksudnya, dihilangkan kesusahannya, dilapangkan kesempitannya,
disembuhkan penyakitnya dan terbayar hutangnya. Maka apa salahnya amalan
tersebut? Toh Allah menyukai orang yang memohon kepadaNya mengenai segala sesuatu
sampai dengan urusan garam untuk dimakan atau memperbaiki tali sandal. Adapun
orang tersebut sebelum berdo’a membaca surat Yasin atau membaca sholawat Nabi
hal itu hanyalah merupakan tawassul dengan amal shalih dan tawassul dengan
Al-Qur'an. Disyari'atkannya Tawassul ini disepakati oleh para ulama.
Syaikh Ahmad As-Showi dalam kitab tafsirnya juz III halaman
317 juga meriwayatkan sabda Nabi yang artinya:
إِنَّ فِيْ الْقُرْآنِ لَسُوْرَةً تَشْفَعُ لِقَارِئِهَا وَتَغْفِرُ
لِمُسْتَمِعِهَا، أَلاَ وَهِيَ سُوْرَةُ يس. تُدْعَى فِي التَّوْرَاةِ الْمُعِمَّةَ.
قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْمُعِمَّةُ؟ قَالَ تَعُمُّ صَاحِبَهَا بِخَيْرِ
الدُّنْيَا وَتَدْفَعُ عَنْهُ أَهْوَالَ اْلآخِرَةِ. وَتُدْعَى أَيْضًا الدَّافِعَةَ
وَالْقَاضِيَةَ. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ ذَلِكَ؟ قَالَ تَدْفَعُ صَاحِبَهَا
كُلَّ سُوْءٍ وَتَقْضِيْ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ ..... إِلَى أَنْ قَالَ: يس لِمَا قُرِئَتْ
لَهُ. وَحِكْمَةُ اخْتِيَارِ الصَّالِحِيْنَ فِي اسْتِعْمَالِهَا التَّكْرَارَ كَأَرْبَعٍ
أَوْ سَبْعٍ أَوْ أَحَدٍ وَأَرْبَعِيْنَ وَغَيْرِ ذَلِكَ شِدَّةُ الْحِجَابِ وَالْغَفْلَةِ
عَلَى الْقَلْبِ، فَبِالتَّكْرَارِ تَصْفُوْ مِرْأَتَهُ وَتَرِقُّ طَبِيْعَتَهُ. إهـ
تفسير صاوي جزء ثالث ص 317
Artinya:
''Sungguh dalam Al-Qur'an itu ada satu surat yang memberi
syafa'at kepada pembacanya dan memohonkan ampunan untuk pendengarnya, ingatlah
surat itu adalah surat Yasin. Dalam kitab Taurat surat ini disebut “AL
–MU’IMMAH”. Ditanyakan : apa itu Al-Mu’immah Ya Rasul ? Rasu!ullah menjawab :
artinya surat yang bisa meliputi secara keseluruhan kabajikan di dunia dan
tertolaknya kehebohan di akhirat bagi pembaca. Surat ini disebut juga
“AD-DAFI'AH” dan “Al-QODLIYAH”. Ditanyakan : bagaimana demikian itu Ya Rasul ?
Rasulullah menjawab : artinya surat yang melindungi dari segala keburukan dan
meyebabkan tercapainya segala hajat bagi pembacanya, .... sampai dengan
sabdanya : surat Yasin itu untuk apa saja yang diniatkan oleh pembacanya.
Adapun hikmahnya para ulamaus Sholihin memilih membacanya dengan
berulang-ulang, empat kali, tujuh kali atau empat puluh satu kali dan lain
sebagainya, hal itu karena adanya penghalang dan kelalaian pada hati kita, maka
dengan dibaca berulang-ulang itu kiranya bisa menjadi bersihlah cermin hati
kita dan menjadi lunaklah tabi'atnya.
b. Beristighatsah
dengan niat bertaqarrub dan berdo'a/ memohon kepada Allah mengenai segala
urusan, baik urusan yang kecil atau yang besar, adalah termasuk hal yang
diperintahkan oleh Allah dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam Tafsir Showi juz IV halaman 13 diterangkan :
وَقَالَ رَبُّكُمُ
ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ. الدُّعَاءُ فِيْ اْلأَصْلِ السُّؤَالُ وَالتَّضَرُّعُ
إِلَى اللهِ تَعَالَى فِيْ الْحَوَائِجِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَاْلأُخْرَوِيَّةِ الْجَلِيْلَةِ
وَالْحَقِيْرَةِ. وَمِنْهُ مَا وَرَدَ: لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا
حَتَّى فِيْ شِسْعِ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ. وَقَوْلُهُ أَسْتَجِبْ لَكُمْ أَيْ أُجِبْكُمْ
فِيْمَا طَلَبْتُمْ. إهـ تفسير صاوي جزء رابع ص 13
Artinya:
''Dan Tuhanmu berfirman "Berdo'alah kepadaKu niscaya
akan Aku perkenankan bagimu (Al-Mukmin : 60). Do'a menurut aslinya ,adalah
memohon dan merendahkan diri kepada Allah SWT dalam segala kebutuhan duniawi
dan ukhrowi, kebutuhan yang besar atau kecil. Ada anjuran untuk berdo'a dalam
riwayat hadits : Silahkan salah satu dari kamu sekalian memohon kepada Tuhannya
mengenai semua kebutuhannya sampai dengan tali sandalnya yang putus. Firman
Allah: "Astajib Lakum" artinya : Aku (Allah) akan memperkenankan kamu
mengenai apa yang kamu mohonkan kepadaKu.
c. Mengadakan
selamatan/menghidangkan hidangan kepada para peserta upacara ruwatan dengan
niat shadaqah. Hal ini juga rnengandung banyak fadlilah/keutamaan, antara lain
: menyebabkan orang yang bersedekah akan terhindar dari beraneka ragam balak,
mushibah dan mara bahaya. Sebagaimana hadits Nabi riwayat dari sahabat Anas,
bahwa Nabi SAW bersabda :
الصَّدَقَةُ
تَمْنَعُ سَبْعِيْنَ نَوْعًا مِنْ أَنْوَاعِ الْبَلاَءِ. رواه الخطيب عن أنس رضي الله
عنه. إهـ الجامع الصغير ص 190
Artinya:
“'Shodaqoh itu bisa menolak tujuh puluh macam balak
(mushibah)”. HR. Khotib
Dengan demikian hukum ruwatan dengan membaca surat Yasin,
shalawat Nabi dan lain sebagainya adalah boleh jika dimaksudkan untuk
rnendekatkan diri kepada Allah dan bersih dari hal-hal yang terlarang. Bisa
juga rnenjadi haram jika tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah
atau mengandung larangan agama, bahkan bisa jadi kufur, jika dimaksud untuk
menyembah selain Allah.
Kesimpulan hukum demikian ini, sebagaimana yang tersebut
dalam hasil keputusan bahtsul masa'il NU Jatim halaman 90 :
إِنْ قُصِدَ
بِتَصَدُّقِ ذَلِكَ الطَّعَامِ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ لِيَكْفِيَ اللهُ شَرَّ ذَلِكَ
الْجِنِّ لَمْ يَحْرُمْ، لأَنَّهُ لَمْ يَتَقَرَّبْ لِغَيْرِ اللهِ كَمَا لاَ يَخْفَى
لِلْمُصَنِّفِ. وَأَمَّا إِذَا قَصَدَ الْجِنَّ فَحَرَامٌ، بَلْ إِنْ قَصَدَ التَّعْظِيْمَ
وَالْعِبَادَةَ لِمَنْ ذُكِرَ، كَانَ ذَلِكَ كُفْرًا قِيَاسًا عَلَى نَصِّهَا فِي الذَّبْحِ.
Artinya:
''Apabila menshodaqohkan makanan tersebut dengan tujuan
mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah agar terhindar dari kejahatan jin, maka
tidak haram karena tidak ada taqarrub kepada selain Allah. Apabila ditujukan
pada jin, maka haram hukumnya. Bahkan apabila bertujuan mengagungkan dan
menyembah pada selain Allah, maka hal itu menjadikan kufur karena diqiyaskan
pada nashnya dalam masalah penyembelihan (dzabhi).
Istihsan
Sebagai Dasar Menetapkan Hukum
Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bisa menjadi dalil syara'. Istihsan
dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh qiyas
atau umum nas. Tegasnya menurut mereka, istihsan dapat dijadikan dalil (hujjat)
Al-Tafzani mengatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil
yang disepakati oleh para ulama, karena istihsan didasarkan kepada nas, atau
kepada ijmak atau kepada darurat, atau kepada qiyas khafi.
Untuk mendukung kehujjahan istihsan, Ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan
sebagian ulam Hanabilah, mengemukakan alasan Istihsan merupakan dalil yang kuat
dalam menetapkan hukum syara'. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a. Ayat-ayat yang mengacu kepada
mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah
SWT dalam surat al-Baqarah,2:185 dan surat az-Zumar (39): 18.
Ayat pertama, menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti pendapat
yang paling baik. Sedangkan ayat kedua memerintahkan untuk mengikuti yang
paling baik dari apa yang diturunkan Allah.
b. Sedangkan sunnah yang mereka jadikan
dalil adalah hadits Rasulullah dalam riwayat 'Abdullah ibn Mas'ud mengatakan:
" sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga di hadapan
Allah adalah baik." (H.R. Ahmad ibn Hanbal)
Hasil penelitian dari berbagai ayat dan Hadits terhadap berbagai
permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai
dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya memberikan kesulitan bagi umat manusia,
sedangkan syariat Islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan
manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum
memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh
berpaling kepada kaidah lain yang kan dapat memberikan hukum yang lebih sesuai
dengan kemaslahatan umat manusia.
Di dalam menghadapi masalah ruwatan dan pelaksanaannya, dapat kita terapkan
masalah itu mengingat maslahat dari padanya, dengan mempergunakan dasar
istihsan yang disandarkan dengan Al-Urf. Al-Urf atau yang lebih kita kenal dengan
adat kebiasaan, ialah sesuatu yang telah terkenal di seluruh masyarakat atau
sama dikenal oleh manusia dan telah menjadi suatu kebiasaan yang digemari oleh
mereka, serta berlaku didalam peri kehidupan mereka. Baik berupa ucapan maupun
perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat.
C. Teori yang
dipakai dalam Ruwatan
Pola pemikiran yang dimiliki masyarakat Jawa mengenai kosmis, magis, dan
klasifikatoris termasuk kedalam sistem religi, yang salah satunya terwujud
dalam tata upacara ruwatan. Berbicara tentang ruwatan tidak dapat dilepaskan
dai konteks kebudayaan karena ruwatan merupakan bagian dari tujuh unsur
kebudayaan yang disebut Cultural Universal yang terdiri dari (1) Bahasa,
(2) Sistem Pengetahuan, (3) Organisasi Sosial, (4) Sistem Peralatan Hidup dan
Teknologi, (5) Sistem mata pencahaian, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.
(Kluckhohn melalui Koentjaraningrat, 1990:203-204).
Menurut Koentjaraningrat sistem religi mengandung empat komponen pokok atau
utama yang harus ada dalam rangkaian upacara, yaitu (1) tempat pelaksanaan
upacara, (2) saat atau waktu pelaksanaan upacara, (3) benda-benda pusaka dan
perlengkapan alat-alat upacara, dan (4) orang-orang yang bertindak sebagai
laksana upacara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa selain empat komponen utama
tersebut dalam upacara adat terdapat juga kombinasi dari berbagai unsur,
seperti berdo'a, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari, menyanyi,
berprosesi, berseni, berpuasa, bertapa, dan bersemedi (Koentjaraningrat,
1985:240)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Bahwa tradisi ruwatan itu diyakini oleh
kebanyakan orang jawa sebagai solusi agar jalma/anak yang bersangkutan
terhindar dari mara bahaya.
0 komentar:
Posting Komentar