HUKUM WARIS ADAT
1.
Pendahuluan
Hukum
waris adat adalah Hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasa dan pemiliknya dari pewaris
kepada waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah Hukum penerusan serta
mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya.
Masyarakat Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang
berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang
berbeda-beda. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini nampak pengaruhnya dalam
sistem kewarisan Hukum adat. Di dalam Hukum adat tidak mengenal cara-cara
pembagian dengan penghitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan, mengingat
wujud benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan.
Selanjutnya, hukum kewarisan juga merupakan bagian dari
hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal
ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang
merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu
peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang
sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagiamana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut
diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan sebagai himpunan
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban seseorang yang
meninggal dunia oleh ahli waris atau bahan hukum lainnya. Untuk itu, disini
akan dijelaskan secara ringkas terkait dengan hukum kewarisan adat.
2.
Rumusan Masalah
Untuk membatasi
pembahasan dalam makalah ini, supaya lebih fokus kepada tema maka akan dibatasi
sebagai berikut:
a. Apa pengertian hukum waris adat
b. Bagaimana corak dari hukum waris adat
c. Bagaimana proses penerusan harta dalam hukum
waris adat
d. Apa sistem yang ada dalam hukum waris adat
3.
Tujuan Penulisan
Adapuntujuan
dalam penulisan makalah ini yaitu:
a. Untuk mengetahui pengertian hukum waris adat
b. Untuk mengetahui corak dari hukum adat
c. Untuk menggambarkan proses penerusan harta
dalam hukum waris adat
d. Untuk mengetahui sistem yang ada dalam hukum
waris adat
4.
Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis
ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan,
pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh
pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum ini sesungguhnya adalah hukum
penerusan serta mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada
keturunannya.[1]
Di dalam Hukum adat sendiri tidak mengenal cara-cara pembagian dengan
penghitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan
kebutuhan waris yang bersangkutan.[2]
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang
tidak berwujud dari angkatan manusia kepada turunannya.[3] Soerojo
Wignjodipoero, mengatakan : Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang
menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun immaterial yang manakah
dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya.[4]
Jadi, Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara
penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud
dari generasi ke generasi. Dengan demikian, hukum waris itu mengandung tiga
unsur, yaitu: adanya harta peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris yang
meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan
meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.[5]
Jadi sebenarnya hukum
waris adat tidak semata-mata hanya mengatur tentang warisan dalam hubungannya
dengan ahli waris tetapi lebih luas dari itu. Hilman Hadikusuma mengemukakan
hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris, dan waris
serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya
dari pewaris kepada waris.[6]
Dalam hal ini terlihat adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan
harta, baik material maupun non material dari suatu generasi kepada
keturunannya. Selain itu pandangan hukum adat pada kenyataannya sudah dapat
terjadi pengalihan harta kekayaan kepada waris sebelum pewaris wafat dalam
bentuk penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya
oleh pewaris kepada waris.
5.
Corak Hukum Waris Adat
Secara teoritis hukum waris adat di Indonesia
sesungguhnya dikenal banyak ragam sistem kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan
tetapi secara umum yang dikenal sangat menonjol dalam peraturan hukum adat ada
tiga corak yaitu: prinsip patrilineal, matrilineal, dan bilateral atau
parental.[7]
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a.
Patrilineal
Sistem ini pada dasarnya adalah sistem
keturunan yang menarik garis ketururan dimana kedudukan seorang pria lebih
menonjol dan hanya menghubungkan dirinya kepada ayah atas ayahnya dan seterusya
atau keturunan nenek moyang laki-laki didalam pewarisan.
b.
Matrilineal
Dalam corak ini keluarga menarik garis
keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai
seorang perempuan sebagai moyangnya. Akibat hukum yang timbul adalah semua
keluarga adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu, serta
mewarisi dari keluarga ibu. Suami atau bapak tidak masuk dalam keluarga ibu
atau tidak masuk dalam keluarga istri. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
kekeluargaan yang ditarik dari pihak ibu ini, kedudukan wanita lebih menonjol
daripada pria di dalam pewarisan. Contoh dari masyarakat hukum adat ini antara
lain: masyarakat Minangkabau. Dalam susunan ini kedudukan anak wanita sebagai
ahli waris sehingga segala sesuatunya dikuasai oleh kelompok keibuan. Namun
bukan semata-mata para ahli waris wanita yang menguasai dan mengatur harta
peninggalan, melainkan didampingi juga oleh saudara-saudara ibu yang pria.
c.
Parental
Corak ini pada dasarnya adalah sistem yang menarik garis
keturunan dimana seseorang itu menghubungkan dirinya baik ke garis ayah maupun
ke garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan. Semacam ini pada hakekatnya tidak
ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah di dalam pewarisan
6.
Sistem Pewarisan
Sistem pewarisan yang ada
dalam masyarakat Indonesia menurut Djaren Saragih yaitu:
(1)
Sistem pewarisan di mana
harta peninggalan dapat dibagi- bagikan,
(2)
Sistem pewarisan di mana
harta peninggalan tidak dapat dibagi-bagikan.[8]
Sistem yang pertama pada umumnya terdapat
pada masyarakat yang bilateral seperti di Pulau Jawa, sedangkan sistem yang
kedua terdapat pada masyarakat unilateral. Sistem kedua dapat dibedakan lagi
dalam bentuk sistem pewarisan kolektif dan sistem pewarisan mayorat. Dilihat dari orang yang
mendapat warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu
sistem kewarisan mayorat, sistem kewarisan individual, sistem kewarisan
kolektif. Menurut pendapat Soerojo Wignjodipoero
dijumpai tiga sistem pewarisan dalam hukum adat di Indonesia, yaitu:
“(1) Sistem kewarisan individual, cirinya
harta peninggalan dapat dibagi-bagi di antara para ahli waris seperti dalam
masyarakat bilateral di Jawa, (2) Sistem kewarisan kolektif, cirinya harta
peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan
semacam bidang hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak
boleh dibagi-bagikan pemilikannya di antara para ahli waris dimaksud dan hanya
boleh dibagikan pemakainya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai
saja) seperti dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau, (3) Sistem kewarisan
mayorat, cirinya harta peninggalan diwarisi keseluruhannya atau sebagian anak
saja, seperti halnya di Bali di mana terdapat hak mayorat anak laki-laki yang
tertua dan di Tanah Semendo Sumatera Selatan dimana terdapat hak mayorat anak
perempuan yang tertua.[9]
Adapun sistem kewarisan adat yaitu:
1. Sistem Kewarisan Mayorat
Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem dimana para ahli waris dalam
penguasaan atas harta yang dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai
pemimpin atau kepala keluarga dan menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai
kepala keluarga. Dalam sistem ini, harta peninggalan
secara keseluruhan tidak dibagi-bagi, tetapi jatuh ke tangan anak yang tertua.
Mayorat ini ada dua macam yaitu:
a)
Mayorat laki- laki, yaitu laki-laki tertua yang menjadi
ahli waris tunggal dari si pewaris.
b)
Mayorat perempuan, yaitu anak perempuan tertua yang
menjadi ahli waris tunggal dari si pewaris.[10]
Dalam sistem kewarisan mayorat ini digambarkan bahwa yang mewarisi adalah
satu anak saja yaitu anak tertua yang berarti hak pakai, hak mengelola dan
memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban
mengurus dan memelihara adik-adiknya baik laki-laki maupun perempuan sampai
mereka dapat berdiri sendiri.
Sistem pewarisan mayorat sebenarnya merupakan sistem
pewarisan kolektif, hanya saja penerusan hak diberikan kepada anak tertua
sebagai pemimpin keluarga, menggantikan ayah dan ibunya. Ia hanya berkedudukan
sebagai pemegang mandat, dan bukan pemilik harta secara perseorangan. Kebaikan sistem
ini terletak pada kepemimpinan anak tertua, bila ia penuh tanggung jawab maka
keutuhan dan kerukunan keluarga dapat dipertahankan, sedangkan kelemahannya
bila terjadi sebaliknya.[11]
2. Sistem Kewarisan Individual
Sistem kewarisan individual, yaitu sistem
pewarisan dimana para ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai
dan memiliki harta warisan secara perorangan.[12]
Sistem kewarisan individual pada umumnya banyak terdapat
pada masyarakat hukum adat yang bergaris keturunan atau kekeluargaan secara parental,
hal ini akibat dari tiap-tiap keluarga yang telah hidup berdiri sendiri dan
bertanggung jawab kepada keluarganya yang utama. sebagaimana di kalangan
masyarakat adat Jawa atau juga di kalangan masyarakat adat lainnya seperti
masyarakat Batak yang berlaku adat manjae (Jawa, rnancar, mentas);
atau juga di kalangan masyarakat adat yang kuat dipengaruhi hukum Islam,
seperti di kalangan masyarakat adat Lampung beradat peminggir, di pantai-pantai
Selatan Lampung.[13]
Keluarga yang dimaksud di sini adalah terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.
Fungsi warisan di sini untuk pondasi dari keluarga dan untuk melangsungkan
hidup serta berkembangnya keluarga tersebut.
Adapun kebaikan sistem pewaris individual, waris dapat
bebas menguasai dan memiliki harta warisan tanpa dapat dipengaruhi anggota
keluarga yang lain. Kelemahannya, pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali
kekerabatan serta timbulnya hasrat ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan
mementingkan diri sendiri.[14]
3. Sistem Kewarisan Kolektif
Sistem pewarisan kolektif, yaitu sistem kewarisan dimana para ahli waris
dapat mewarisi secara bersama-sama terhadap harta peninggalan yang tidak dapat
dibagi-bagi pemiliknya kepada masing- masing ahli waris.[15] Dalam sistem ini, harta peninggalan dilihat sebagai
keseluruhan dan tidak terbagi-bagi dimiliki bersama-sama oleh para ahli waris,
seperti pada masyarakat Minangkabau dan Ambon.[16]
Harta peninggalan itu
diwarisi secara bersama-sama para ahli waris, misalnya harta pusaka tidak
dilmiliki atau dibagi-bagikan hanya dapat dipakai atau hak pakai. Sistem ini dipengaruhi oleh cara berpikir yang
banyak dijumpai dalam masyarakat adat yang disebut cara berpikir yang komunal
atau kebersamaan.
Selanjutnya, kebaikan sistem
pewarisan kolektif tampak apabila fungsi harta kekayaan digunakan untuk
kelangsungan hidup keluarga besar itu pada masa sekarang dan masa seterusnya
masih tetap berperan, tolong menolong antara yang satu dan yang lain di bawah
pimpinan kepala kerabat yang penuh tanggung jawab masih tetap dapat dipelihara,
dibina dan dikembangkan. Kelemahan sistem tersebut dapat menimbulkan cara
berpikir yang terlalu sempit kurang terbuka bagi orang luar, sulit mencari
kerabat yang kepemimpinannya bisa diandalkan, di samping rasa setia kawan dan
rasa setia kerabat semakin bertambah luntur.[17]
7.
Unsur-unsur Warisan
Jika dilihat dari harta
warisan, Dalam hal ini Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa untuk mengetahui
apakah harta dapat terbagi atau memang tidak terbagi, harta warisan itu perlu
dikelompokkan yaitu:[18]
a.
Harta Asal
Yaitu semua kekayaan yang dikuasai dan
dimiliki pewaris, baik berupa harta peninggalan ataupun harta bawaan yang
dibawa masuk ke dalam perkawinan. Harta peninggalan dapat dibedakan lagi dengan
harta peninggalan yang tidak terbagi, peninggalan yang belum terbagi dan
peninggalan yang terbagi. Harta peninggalan ini pada daerah tertentu seperti di
Minangkabau di kenal pula dengan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi
adalah harta warisan yang diperoleh ahli waris dari lebih dua generasi di atas
pewaris, sedangkan harta pusaka rendah semua harta warisan yang diperoleh dari
satu atau dua angkatan kerabat di atas pewaris. Harta bawaan dapat dibedakan
antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri. Dilihat dari sudut
perkawinan, baik harta peninggalan maupun harta bawaan kesemuanya merupakan
harta asal. Sebaliknya, dilihat dari sudut pewarisan, keduanya merupakan harta
peninggalan. Harta bawaan suami maupun harta bawaan istri akan kembali kepada
pemilik asalnya yaitu yang membawanya bila terjadi perceraian.
b.
Harta Pencaharian
Yaitu harta yang didapat suami isteri secara
bersama selama dalam ikatan perkawinan. Tidak perlu dipermasalahkan apakah
isteri ikut aktif bekerja atau tidak. Walaupun yang bekerja hanya suami,
sedangkan isteri hanya tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan anak, namun
tetap menjadi hasil usaha suami isteri.
c.
Harta Pemberian
Yaitu harta pemberian yang merupakan harta
warisan yang bukan karena jerih payah seseorang bekerja untuk mendapatkannya.
Pemberian dapat dilakukan seseorang atau sekelompok orang atau seseorang atau
kepada suami-isteri. Untuk harta pemberian ini, bila terjadi perceraian maka
dapat dibawa kembali oleh masing-masing, sebagaimana peruntukan yang dimaksud
pemberinya.
d.
Ahli waris
Yang menjadi ahli waris terpenting adalah anak kandung,
sehingga anak kandung dapat menutup ahli waris lainnya. Di dalam hukum adat
juga dikenal istilah :
1.
Anak angkat
Dalam hal status anak angkat, setiap daerah
mempunyai perbedaan. Putusan Raad Justitie tanggal 24 Mei 1940 mengatakan anak angkat berhak
atas barang-barang gono gini orang tua angkatnya. Sedangkan barang-barang
pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya, (Putusan M.A.
tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 37 K/SIP/1959).[19]
2.
Anak tiri
Terhadap bapak dan ibu kandungnya anak
tersebut merupakan ahli waris, namun anak tersebut tidak menjadi ahli waris
orang tua tirinya. Kadang-kadang begitu eratnya hubungan antara anggota rumah tangga, sehingga
anak tiri mendapat hak hibah dari bapak tirinya, bahkan anak tiri berhak atas
penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak tirinya demikian sebaliknya.
3.
Anak luar nikah
Anak diluar nikah hanya dapat menjadi ahli waris ibunya.
4.
Kedudukan janda
Didalam hukum adat kedudukan janda didalam masyarakat di
Indonesia adalah tidak sama sesuai dengan sifat dan system kekelurgaan. Sifat
kekelurgaan Matrilineal : harta warisan suaminya yang meninggal dunia kembali
kekeluarga suaminya atau saudara kandungnya.
5.
Kedudukan duda
Di Daerah Minangkabau dengan sifat kekeluargaan
matrilineal suami pada hakekatnya tidak masuk keluarga isteri, sehingga duda
tidak berhak atas warisan isteri.
8.
Proses Penerusan Harta Waris Adat
Proses pewarisan yang
berlaku menurut hukum adat di dalam masyarakat Indonesia hanya ada dua bentuk.
Pertama, proses pewarisan yang dilakukan semasa pewaris masih hidup. Kedua,
proses pewarisan yang dilakukan setelah pewaris wafat. Apabila proses pewarisan dilakukan semasa
pewaris masih hidup maka dapat dilakukan dengan cara penerusan, pengalihan,
berpesan, berwasiat, dan beramanat. Sebaliknya, apabila dilaksanakan setelah
pewaris wafat, berlaku cara penguasa yang dilakukan oleh anak tertentu, anggota
keluarga atau kepada kerabat, sedangkan dalam pembagian dapat berlaku pembagian
ditangguhkan, pembagian dilakukan berimbang, berbanding atau menurut hukum
agama.
Mengenai hibah pada masyarakat parental adalah bagian dari
proses pewarisan yang dilakukan sebelum orang tua atau pewaris meninggal. Selanjutnya, hibah pada masyarakat matrilineal pada dasarnya tidak
dikenal. Dan hibah pada masyarakat patrilineal mempunyai arti pemberian
(sebagian kecil) harta kepada anak perempuan yang bukan bagian dari ahli waris.
Hibah ada dua macam, pertama, hibah biasa yaitu hibah yang diberikan pada waktu
pewaris masih hidup, kedua, hibah wasiat yaitu hibah yang dilaksanakan ketika
pewaris telah meninggal dunia.
Sedangkan terkait harta warisan setelah
pewaris wafat karena alasan - alasan tertentu ada yang dibagi-bagikan dan ada
yang pembagiannya ditangguhkan. Adapun alasan-alasan penangguhan itu antara lain :[20]
a. Terbatasnya harta pusaka;
b. Tertentu jenis macamnya;
c. Para waris belum dewasa;
d. Belum adanya waris pengganti;
e. Diantara waris belum hadir;
f. Belum diketahui hutang piutang
pewaris;
Pembagian harta waris dapat dilakukan dapat
mengikuti hukum adat dan mengikuti hukum waris Islam. Hilman Hadikusuma
menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia menerapkan pembagian
berimbang yaitu di antara semua waris mendapat bagian yang sama, seperti
dilakukan oleh masyarakat Jawa, dan banyak pula yang menerapkan hukum waris
Islam di mana setiap waris telah mendapatkan jumlah bagian yang telah
ditentukan.
9.
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan dari makalah ini yaitu:
a. Hukum waris adat adalah hukum yang memuat
garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris.
b. Adapun corak hukum adat yaitu : corak
trilineal, matrilineal dan parental.
c. Adapun proses pewarisan adat yaitu
ada yang dilakukan semasa pewaris masih hidup. Dan, proses pewarisan yang
dilakukan setelah pewaris wafat.
d. Sistem pewarisan adat yakni sistem
individual biasanya dianut pada sistem kekerabatan bilateral. Sistem kolektif
dan mayorat biasanya pada sistem kekerabatan matrilineal dan patrilineal.
Daftar Pustaka
Hadikusuma, Hilman,
Pengantar Hukum Adat, Bandung: Maju Mundur, 1992.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat,
Bandung: PT. Cipta Aditya Bakti, 1993.
Hadikusuma, Hilman, Hukum
Kekerabatan Adat, Jakarta: Fajar Agung , 1997.
Saragih, Djaren, Hukum Adat
Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1980.
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat ,
Jakarta: Universitas, 1966.
Sudiyat, Iman, Hukum Adat
Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty,1981.
Surwansyah, Absyar, “Suatu kajian tentang hukum waris adat Masyarakat bangko
jambi”, tesis Universitas Diponegoro Semarang, 2005.
Wignyodipoero, Soerojo, Pengantar dan
Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: CV. Haji Mas Agung
[2] Eman Supaman, Hukum Waris Indonesia, dalam Perspektif Islam, Adat, dan
BW, hlm. 42
[3] Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta:
Universitas, 1966), hlm. 37.
[4] Soerojo Wignyodipoero, Pengantar
dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: CV. Haji Mas Agung) hlm. 161.
[5] Hilman Hadikusuma. Pengantar Hukum Adat (Bandung:
Maju Mundur, 1992), hlm. 211.
[6] Hilman Adikusuma, Hukum
Waris Adat, (Bandung: PT. Cipta Aditya Bakti, 1993) hlm. 7.
[7] Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat…..,hlm. 39.
[8] Djaren Saragih, Hukum
Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1980), hlm. 163.
[9] Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan
Asas-asas Hukum Adat,…..,hlm. 165.
[10] Ibid., hlm. 166.
[11] Absyar Surwansyah, “Suatu kajian
tentang hukum waris adat Masyarakat bangko jambi”, tesis Universitas
Diponegoro Semarang (2005), hlm. 25
[12] Ibid.
[13] Hilman Hadikusuma, Hukum
Kekerabatan Adat (Jakarta: Fajar Agung , 1997) hlm. 24.
[14] Absyar Surwansyah,
“Suatu kajian tentang hukum waris adat…., hlm. 25.
[15] Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas
Hukum Adat,…..,hlm. 166
[16] Djaren Saragih, Hukum Adat Indonesia,….,hlm.
164.
[17] Absyar Surwansyah, “Suatu kajian
tentang hukum waris adat….,hlm.25.
[18] Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat
(Jakarta: Fajar Agung , 1997) hlm. 37.
[20] Iman Sudiyat, Hukum Adat
Sketsa Asas,(Yogyakarta: Liberty,1981)
hlm. 152.
terima kasih ilmu nya
BalasHapus