‘IDDAH
DAN RUJU’
Diajukan guna memenuhi
tugas mata kuliah Hukum Perkawinan Islam
Dosen Pengampu : Drs. Abdul
Halim, M.Hum
I.
‘IDDAH
A.
Pengertian dan Dasar Hukum ‘Iddah
‘Iddah berasal
dari kata al-‘adad, artinya bilangan
dan menghitung, yaitu hari yang dihitung dan dipergunakan bagi seorang
perempuan selama ia suci dari haid. dalam syara’,
‘iddah artinya waktu menunggu dan
dilarang kawin, setelah seorang perempuan ditinggal mati atau diceraikan
suaminya.[1]
Bilangan
‘iddah dimulai sejak adanya penyebab ‘iddah, yaitu thalaq atau meninggalnya suami. ‘Iddah
sudah dikenal sejak zaman jahiliyah, kemudian setelah Islam datang, ‘iddah ini dilanjutkan karena
bermanfaat. Ulama bersepakat bahwa ‘iddah
itu wajib, berdasarkan firman Allah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ...
Artinya:
"wanita-wanita yang ditolak hendaknya menahan diri
(menunggu tiga kali Quru')…"(Q.S. Al-Baqarah:228)
Kewajiban
‘iddah ini dapat juga dilihat berdasarkan ucapan Rasulullah kepada Fatimah
binti Qais:
Ber’iddahlah kamu di rumah Ibnu
Ummi Maktum.
‘Iddah memiliki
dua sebab, pertama: wafatnya suami baik ia telah berkumpul dengannya
atau belum berkumpul dengannya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al
qur’an:
Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan
istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat
bulan sepuluh hari.
(QS. Al-Baqarah: 234)
Dan juga
berdasarkan ucapan Rasulullah SAW : janganlah seorang perempuan berkabung
atas mayit lebih dari tiga hari kecuali kepada suami selama empat bulan sepuluh
hari, ia tidak memakai pakaian yang ditenun kecuali pakaian dari ashab[2],
tidak bercelak, tidak memakai harum-haruman kecuali jika telah suci sedikit pun
atau pada kuku-kuku.
Kemudian terjadinya
perpisahan antara suami istri dalam kehidupan, baik dengan sebab talak atau
yang lain seperti fasakh. Dengan syarat perpisahan setelah berhubungan. Hal ini
di dasarkan pada firman Allah SWT:
“Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang
wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu.” ( QS. At Thalaq:1)
Adapun jika
istri tidak bercampur maka tidak ada ‘iddah baginya. Allah SWT berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila menikahi perempuan-perempuan yang beriman,
kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali
tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”. (QS. Al Ahzab: 49)
Ibnu Al-Qayyim
telah menjelaskan hikmah disyariatkannya ‘iddah bahwa dalam syriat ‘iddah
terdapat beberapa hukum, diantaranya ilmu dalam melepaskan kekerabatan.
Sehingga tidak terkumpul sperma dari dua orang yang bersetubuh atau lebih
banyak dalam satu rahim, sehingga bercampurlah keturunan dan menjadi rusak.
Diantara hikmah disyri’atkannya ‘iddah adalah sebagai berikut:
1.
Keagungan akan pentingnya akad ini, menghilangkan kekuatannya, dan
menampakkan kemuliannya.
2.
Memberikan waktu untuk kembali bagi orang yang bercerai. Diharapkan
ia menyesal dan kembali sehingga ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk
kembali.
3.
Memenuhi hak suami, menampakkan pengaruh kehilangannya dalam
mencegah dan berhias. Oleh karena itu, disyariatkan berkabung padanya lebih
lama darai pada berkabung pada orang tua dan anak.
4.
Berhati-hati atas hak suami, kemaslahatan istri, hak anak, dan
melaksanakan hak Allah SWT yang mewajibkannya.[3]
Lain dari pada
itu hikmah ber’iddah ialah supaya rahim istri suci dan bersih dari bekas suami
yang pertama, tidak ada lagi kekhawatiran bahwa istri itu hamil dari suaminya
yang pertama. Dengan demikian suami yang kedua mengawini perempuan itu dengan
hati yang tidak ragu-ragu, sehinnga jika istrinya melahirkan ia yakin bahwa
anak tersebut adalah anaknya. Dengan demikian terjagalah keturunan anak yang
sah dalam masyarakat sebagai salah satu tujuan perkawinan.[4]
a. Macam-macam ‘iddah
Seorang
istri waktu bercerai dengan suaminya ada yang sudah dan ada yang belum pernah
bercampur dengan suaminya itu.[5]
Istri yang telah bercerai dengan suaminya
dan belum pernah bercampur dengan suaminya itu, tidak mempunyai masa ‘iddah,
berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا....
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya."(Q.S. Al-Ahzab:49).
‘Iddah
perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, apabila
ia tidak hamil, baik ia masih berdarah haid ataupun sudah putus haid,
berdasarkan firman Allah[6]:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا......
Artinya:
"Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(beriddah)empat bulan sepuluh hari."(Q.S. Al-Baqarah:234).
Bagi istri-istri yang bercerai dengan suaminya dan
sudah pernah terjadi percampuran antara keduanya ada beberapa kemungkinan
tentang masa iddahnya[7]:
1. ‘Iddah perempuan yang masih berdarah
haid, yaitu tiga kali haid.
Apabila seorang masih
berdarah haid diceraikan oleh suaminya, maka ia ber’iddah tiga kali haid[8],
menurut firman Allah :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي
أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِر
Artinya:
"wanita-wanita yang ditolak hendaknya menahan diri
(menunggu tiga kali Quru'). Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat".(Q.S. Al-Baqarah:228)
Menurut pendapat
yang lebih kuat, quru’ artinya haid, meskipun quru’ juga berarti suci, yaitu
masa suci diantara dua kali haid.
2. ‘Iddah perempuan yang telah berhenti
(putus) haid atau perempuan yang belum pernah haid karena masih kanak-kanak,
yaitu tiga bulan.
Perempuan
yang tidak berdarah haid ‘iddahnya tiga bulan. Demikian pula perempuan yang
masih anak-anak yang belum baligh atau perempuan yang tidak haid, baik yang
tidak pernah haid maupun yang sudah putus haid, berdasarkan firman Allah:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ
نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ
يَحِضْنَ
Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang putus asa
dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula
perempuan-perempuan yang tidak haid".(At-Thalak:4)
3. ‘Iddah perempuan yang sedang hamil,
yaitu sampai perempuan itu melahirkan anaknya.
Masa ‘iddahnya wanita
yang hamil ialah sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya, berdasarkan
firman Allah:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ
نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ
يَحِضْنَ
Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang putus asa
dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula
perempuan-perempuan yang tidak haid".(At-Thalak:4)
4. Wanita hamil dan suaminya meninggal
dunia
Bagi wanita yang
sedang hamil dan suaminya meninggal dunia, ada dua kemungkinan masa ‘iddahnya.
Kemungkinan I: Sebagai seorang
wanita yang hamill, maka masa ‘iddahnya ialah sampai ia melahirkan anaknya.
(Ath-Thalaq: 4)
Kemungkinan II: Sebagai seorang
wanita yang saminya meninggal dunia, maka masa ‘iddahnya ialah empat bulan
sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)
Menjawab pertanyaan diatas
kebanyakan ulama berpendapat bahwa lama masa ‘iddah wanita hamil dan kematian
suami ialah masa yang terpanjang dari masa yang terdapat dari kedua kemungkinan
di atas.
5. Istri ditalak, kemudian suami meniggal
Apabila
seorang suami telah mentalak istrinya kemudian suami tersebut meninggal dunia
dalam masa istrinya menjalani masa ‘iddah, maka istri wajib menjalankan masa
‘iddah wanita yang ditinggal suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari,
seandainya talak yang dijatuhkan suaminya adalah talak raj’i.
b.
Ketentuan Ketika ‘Iddah
Selama
waktu ‘iddah, berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.
Istri yang ditalak dengan talak raj’i, berhak mendapat nafkah,
pakaian dan tempat kediaman dari bekas suaminya, dan bekas suaminya berhak
rujuk kepadanya berdasarkan kesepakatan madzhab yang empat.
2.
Istri yang sedang hamil yang ditalak dengan talak ba’in, berhak
mendapat nafkah dengan segala macamnya, hingga lahir anaknya.
3.
Istri yang tidak hamil dan ditalak dengan talak ba’in, tidak berhak
mendapat nafkah, menurut Syafi’i, Maliki dan Hambali, dan berhak mendapat
nafkah menurut Hanafi.
4.
Istri yang dalam ‘iddah karena kematian suaminya, tidak berhak
mendapatkan nafkah, berdasarkan kesepakatan ulama.[9]
c.
Hikmah ‘Iddah
Hikmah-hikmah ‘iddah antara
lain :
1.
Agar tidak ada keragu-raguan tentang kesucian rahim bekas isteri,
sehingga sehingga tidak ada keragu-raguan tentang anak yang dikandung oleh
bekas isteri apabila ia telah kawin laki-laki lain
2.
Apabila perceraian itu adalah perceraian, yang bekas suami masih
berhak rujuk kepada bekas isterinya, maka masa iddah itu adalah masa berfikir
bagi bekas suami ; apakah ia akan kembali menggauli bekas isterinya atau mereka
tidak dapat bergaul kembali sebagi suami isteri.[10]
3.
Masa berkabung bagi isteri yang ditinggal mati suaminya digunakan
sedikit mengenang kembali kenangan lama dengan suaminya. Sangant tidak etis,
seandainya sang isteri bila sang suami melangsungkan perkawinan dengan laki
laki lain, sementara sang suami baru saja meninggalkannya. Oleh karena iddah
bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya merupakan masa berkabung
4.
Memperpanjang masa kembali bagi suami pertama untuk meruju’ mantan
isteri, dalam kasus talak raji’.
5.
Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calon suami yang akan
menikahinya, untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan si perempuan yang
baru berpisah dari mantan suaminya, karena kemungkinan
dia masih mempunyai persoalan dengan mantan suaminya, mungkin persoalan harta
dan lain sebagainya, biarkan mereka menyelesaikan masa iddah dahulu[11]
II.
RUJUK
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Rujuk
“Rujuk”
berarti kembali. Maksudnya ialah: hak yang diberikan oleh agama kepada bekas
suami untuk melanjutkan perkawinannya dengan bekas isterinya yang telah
ditalaknya pada pertengahan masa ‘iddahnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
agama.
Dasar hukum
dari rujuk sesuai dengan firman Allah s.w.t:
..وَبُعُولَتُهُنَّ
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا...
Artinya:
"Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki
islah."(Q.S.
Al-Baqarah: 228)
Karena rujuk merupakan
hak bekas suami,maka bekas isteri tidak dapat menghalangi maksud dari bekas
suaminya itu apabila ia berkehendak melaksanakan haknya. Hal ini adalah karena
rujuk bukanlah permulaan akad nikah yang baru, tetapi merupakan kelanjutan
daripada akad nikah yang kemudian terjadi perceraian. Karena itu pihak isteri
tidak berhak mendapat mahar yang baru diwaktu bekas suaminya merujukinya itu.[12]
B. Pembagian
Rujuk
Rujuk dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1.
Rujuk
untuk talak 1 dan 2 (talak raj’iy)
Dalam suatu hadist disebutkan : dari
Ibnu Umar r.a. waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia berkata, “Adapun engkau
yang telah menceraikan ( istri) baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya
Rasulullah SAW telah menyuruhku merujuk istriku kembali” (H.R. Muslim)
Karena besarnya hikmah yang
terkandung dalam ikatan perkawinan, maka bila seorang suami telah menceraikan
istrinya, ia telah diperintahkan oleh Allah SWT agar merujukinya kembali.
Firman Allah SWT dalam surat Q.S. Al-Baqarah : 231,
yang artinya:
“Apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka
dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf
(pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia
Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan
hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang
Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah
memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah
kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
(Q.S.
Al-Baqarah : 231)
2.
Rujuk
untuk talak 3 (talak ba’in)
Hukum rujuk pada talak ba’in sama
dengan pernikahan baru, yaitu tentang persyaratan adanya mahar, wali, dan
persetujuan. Hanya saja jumhur berpendapat bahwa utuk perkawinan ini tidak
dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.
Mengenai macamnya rujuk, hanya dapat
dilakukan dalam talak yang raj'i selama istri masih dalam masa iddah. Nabi
Muhammad SAW. Bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُمَا لَمَّاسَأَلَهُ
سَائِلٌ قَالَ: اَمَا اَنْتَ طَلَقْتَ اِمْرَاَتَكَ مَرَّةً اَوْمَرَّتَيْنِ
فَاِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ اَمَرَنِى اَنْ اُرَجِعُهَا (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu
Umar r.a waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia berkata,"Adapun engkau
yang telah mencerikan istri baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya
Rasulullah SAW. telah menyuruhku merujuk istriku kembali."(HR.Muslim)
Firman Allah SWT:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ...
Artinya:
"Apabila
kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah
mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf
pula."(Q.S.
Al-Baqarah:231)
C. Syarat dan Rukun Rujuk
Bahwasannya rujuk mempunyai
syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
a)
Saksi untuk rujuk
b)
Rujuk dengan kata-kata atau penggaulan istri
c)
Kedua belah pihak yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik
d)
Istri telah di campuri
e)
Istri baru dicerai dua kali
f)
Istri yang di cerai dalam masa iddah raj'i
Rukun rujuk antara lain:
a. Ada suami yang merujuk atau wakilnya
b.
Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampurinya
c.
Kedua belah pihak (suami dan istri) sama-sama suka
d.
Dengan pernyataan ijab qobul, seperti mengucapkan kata-kata rujuk
misalnya:"aku rujuk engkau pada hari ini". Atau: "telah ku rujuk
istriku yang bernama: … pada hari ini".dan sebagainya.[13]
D.
Konsekuensi Ruju’
Konsekuensi atau akibat dari rujuk
sebenarnya tidak begitu eksterm atau keras, justru rujuk berfunsi sebagai
penyelamat pernikahan dari rusaknya cinta dan hubungan pernikahannya yang tidak
membaik. Dengan adanya rujuk maka setiap orang yang akan melepaskan hubungan
pernikahannya akan sadar bahwa yang namanya thalak, berlanjut ke iddah, akan
membuat seseorang itu bosan mengikuti proses-prosesnya. Jika seorang suami istri
masih diberi kecintaan maka ia akan kembali lagi. [14]
Pelaksanaan ruju’ sebaiknya
dipersaksikan, hal tersebut digunakan untuk menghindari kemadhorotan dan
menghindari fitnah. Aturan tentang ruju’ ini merupakan indikasi bahwa islam
sebenarnya menghendaki perkawinan itu dapat berlangsung dalam waktu yang lama.
Oleh karena itu jika terjadi perceraian maka mantan suami dianjurkan untuk
melaksakan ruju’ sebelum kesempatan tersebut diambil orang lain setelah masa
‘iddah selesai, pihak istri berhak menerima dan menolak ruju’ dari mantan
suaminya itu. Di Indonesia terdapat adanya perpaduan hukum antara hukum
islam,hukum positif, dan ada hukum adat pula. Jadi kompilasi hukum islam (KHI)
mengatur persoalan ruju’ ini pada bab XVII pasal 163-166, sedangkan tata cara ruju’
diatur dalam pasal 167-169.[15]
KESIMPULAN
1.
‘Iddah berasal dari
kata al-‘adad, artinya bilangan dan
menghitung, yaitu hari yang dihitung dan dipergunakan bagi seorang perempuan
selama ia suci dari haid. dalam syara’,
‘iddah artinya waktu menunggu dan
dilarang kawin, setelah seorang perempuan ditinggal mati atau diceraikan
suaminya
2.
Waktu ‘iddah bagi seorang istri di hitung sebagai berikut:
1.
Bagi seorang istri yang masih berhaidh, tiga kali suci.
2.
Bagi seorang istri yang sudah tidak berhaidh, tiga bulan.
3.
Bagi seorang istri yang sedang hamil, sampai melahirkan.
4.
Bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya, bila ia tidak
hamil, empat bulan sepuluh hari.
3.
Selama waktu ‘iddah, berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
-
Istri yang ditalak dengan talak raj’i, berhak mendapat nafkah,
pakaian dan tempat kediaman dari bekas suaminya, dan bekas suaminya berhak
rujuk kepadanya berdasarkan kesepakatan madzhab yang empat.
-
Istri yang sedang hamil yang ditalak dengan talak ba’in, berhak mendapat
nafkah dengan segala macamnya, hingga lahir anaknya.
-
Istri yang tidak hamil dan ditalak dengan talak ba’in, tidak berhak
mendapat nafkah, menurut Syafi’i, Maliki dan Hambali, dan berhak mendapat
nafkah menurut Hanafi.
-
Istri yang dalam ‘iddah karena kematian suaminya, tidak berhak
mendapatkan nafkah, berdasarkan kesepakatan ulama.[16]
4.
“Rujuk” berarti kembali. Maksudnya ialah: hak yang diberikan
oleh agama kepada bekas suami untuk melanjutkan perkawinannya dengan bekas
isterinya yang telah ditalaknya pada pertengahan masa ‘iddahnya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan agama.
5. Rujuk
dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
-
Rujuk untuk talak 1 dan 2 (talak
raj’iy)
-
Rujuk untuk talak 3 (talak ba’in)
6. Adapun
Syarat dan rukun Rujuk.
DAFTAR
PUSTAKA
Supriatna, dkk
Drs. 2008. Fiqh munakahat II. yogyakarta : bidang akademik UIN sunan
kalijaga.
Mukhtar Kamal.
Drs. 1974.Asas-asas hukum islam tentang perkawinan. jakarta: Bulan
bintang.
Marwani
AI. 1975. Hukum Perkawinan Dalam
Islam. Yogyakarta: BPFE.
Al Hamdani diterjemah Agus Salim. 2002. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta:
Pustaka Amani.
Subkhi, Ali as. 2010. Fiqih Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.
Yunus,Mahmud. 1956. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta:
Al-hidayah.
[1] Al
Hamdani diterjemah Agus Salim, Risalah
Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 299.
[2] Ashab
adalah baju dari Yaman di dalamnya terdapat putih dan hitam.
[3] Ali
As Subkhi, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm.
351.
[4]
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: ………, 1956),
hlm.143.
[5]
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam
Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 231.
[6] Al
Hamdani, ibid, hlm. 303.
[7]
Kamal Mukhtar, ibid,.
[8]
Al-Hamdani, ibid, hlm. 301.
[9]Marwani
AI, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1975), hlm. 29
[10] Dr.
Kamal Muchtar, ibid., hlm 230.
[11]Drs.
Supriatna, Fiqh Munakahat II, cet I (Yogyakarta, UIN Suka , 2008), hlm
71.
[12]
Drs. Kamal Mukhtar, ibid., hlm. 238.
[14] Drs
Supriatna Dkk, ibid.,, hlm 71.
[16]Marwani
AI, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1975), hlm. 29.
0 komentar:
Posting Komentar