PERKAWINAN
AGAMA KRISTEN
MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas
dalam mata kuliah Hukum Perdata
Disusun
oleh:
DINA AULIA
NIM: 11360003/
PMH-A
Dosen:
Sri Wahyuni, S.Ag., M.Ag.M.Hum
PERBANDINGAN
MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna sebagai makhluk multi
dimensional yang berimplikasi akan kebutuhan kehidupan, baik
bio-psiko-sosio-religius. Kebutuhan tersebut pada dasarnya imun bagi salah satu
aktivitas hidup yang penting bagi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu
Perkawinan. Perkawinan adalah sebuah kesepakatan yang disepakati oleh kedua
belah pihak yaitu antara seorang pria dan wanita untuk sama – sama mengikat
diri hingga bersama memenuhi kebutuhan – kebutuhan tertentu, baik lahir maupun
batin. Perkawinan tidak hanya menjadi ikatan antara seorang pria dan wanita,
namun keluarga kedua belah pihak pun turut andil. Perkawinan merupakan suatu
anjuran dalam setiap agama. Ketika dikatakan “memenuhi kebutuhan batin”,
terdapat peranan yang penting antara hubungan perkawinan dengan agama
(kerohanian). Dalam pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 ditetapkan bahwa
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Sangatlah jelas bahwa urgenitas agama berada pada
tingkatan tertinggi, hingga kecil kemungkinan untuk kawin dengan melanggar
“hukum agamanya sendiri”. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara Kristen (Protestan) dan Katolik terutama
mengenai masalah ketuhanan dan kitab suci.
Mereka sama – sama berpedoman pada Al-Kitab (Perjanjian baru), yang terdiri
dari empat bagian, yaitu Gospels (himpunan Injil), Acts of Apostles (kisah para
Rasul), Epistles (himpunan surat) dan Apocalypse (wahyu). Sebuah perkawinan kristen adalah perkawinan antara seorang
suami dengan seorang istri, yang untuk seumur hidup mereka, saling mengikatkan
diri dalam ikatan kasih-setia. Perkawinan kristen punya tiga (trilogi) asas pokok. Tiga
asas tersebut adalah: (a) asas monogami; (b) asas kesetiaan (fidelitas); dan
(c) asas seumur hidup (indisolubilitas).
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis mengemukakan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep perkawinan dalam agama Kristen ?
2. Apa saja hukum yang terkait dengan perkawinan
agama Kristen ?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan konsep yang terbentuk tentang perkawinan menurut
perspektif agama Kristen (Protestan)
2. Untuk melihat perbandingan konsep perkawinan antara agama
Kristen dengan hukum yang terkait
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Perkawinan
Nama lain dari agama Kristen ialah Protestan. Di
dalam agama Kristen, terdapat banyak aliran teologi. Dari aliran tersebut
menimbulkan suatu otoritas tersendiri bagi setiap gereja, sehingga berdampak
pada sulitnya mencari dan menemukan hukum perkawinan (khususnya) yang dapat
diberlakukan bagi setiap gereja Kristen (Protestan). Dalam agama Kristen, istilah
perkawinan disebut juga pernikahan atau nikah. Mereka memandang bahwa nikah itu
suatu ketetapan Allah. Hal ini berdasarkan pada kesaksian Alkitab pada Kejadian
2 ayat 24 dan Matius 19 ayat 3. Menurut Dr.
J.L.Ch.Abineno (1989:1), nikah mempunyai aspek kembar. Pada satu pihak ia
adalah suatu hubungan (antara suami dan istri yang diatur dan disahkan oleh
hukum). Pada pihak lain ia adalah suatu hubungan yang didasarkan atas penetapan
atau peraturan Allah.[1]
Hal ini sesuai dengan firman Tuhan dalam Kejadian 2 ayat 18, yaitu “Tidak baik,
kalau manusia itu sendiri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang
sepadan dengan dia”.[2]
Ayat tersebut memberikan jawaban berupa alasan Tuhan dalam menetapkan pernikahan,
yaitu :
1. Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja
2. Manusia memerlukan seorang penolong yang
sepadan dengan dia
Menurut agama ini, Tuhan menghendaki
pernikahan sebagai suatu persekutuan hidup. Persekutuan dalam kasih Tuhan,
dalam menghayati berkat pernikahan dan dalam menunjukan perhatian pada
pekerjaan masing-masing. Dalam Perjanjian Baru (Matius 19: 5 dan 6) terdapat
ajaran Tuhan Yesus tentang perkawinan, yaitu :
ayat 5: Sebab
itu laki – laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya
menjadi satu daging.
ayat 6: Demikianlah
mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Dari sini dapat dilihat bahwa dalam ajaran agama ini
sangat menekankan akan kekekalan perkawinan, dan hanya mautlah yang memisahkan
mereka. Namun, tidak dapat dipungkiri adanya kuasa dosa yang menyebabkan
terjadinya perceraian di hadapan hukum. Menurut Dr. Fridolin Ukur (1987: 1),
bahwa walaupun Gereja Protestan menganggap perceraian itu sebagai kesalahan,
namun mengakui kenyataan tersebut dan tidak menutup kemungkinan bagi awal
perkawinan baru.[3]
Menurut buku Decree for the Armenians,
tujuan pernikahan ada 3 rangkap, yaitu : [4]
1. Melahirkan anak – anak dan mendidik mereka
dalam penyembahan kepada Tuhan
2. Kesetian suami dan istri, satu sama lain
3. Karakter pernikahan tidak dapat dibatalkan,
yaitu karena ini mencirikan persatuan yang tidak dapat diceraikan antara
Kristus dan gereja
Secara umum, suatu kehidupan dengan tujuan kebahagiaan
merupakan tujuan dari pernikahan Kristiani yang Allah ciptakan dengan maksud
manusia dipersiapkan untuk benar – benar menjadi manusia yang seutuhnya.
B.
Tata cara Perkawinan
Dalam UU Perkawinan pasal 10 dan 11 tentang
Peraturan Pelaksanaan No. 9 tahun 1975 ayat(2), yang pokoknya bahwa Tata Cara
Perkawinan dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya
itu. Begitu banyak pasangan Kristen membuka diri terhadap saran-saran tentang
prosedur pernikahan mereka, sehingga menjadikan suatu angan akan pernikahan
adalah tindakan ibadah Kristen yang paling indah. Pernikahan merupakan bentuk
cinta kasih yang sedang matang. Pernikahan pada dasarnya terdiri dari kontrak
(contract) umum yang disepakati secara bebas dan bersama-sama di hadapan para
saksi.[5]
1.
Pra Pernikahan
Pada sesi awal ini, konseling merupakan proses
awal yang harus dilewati oleh setiap calon pasangan. Jadwal mereka akan diatur
untuk dapat face to face dengan pendeta yang sifatnya pribadi. Hal ini
dilakukan agar calon pasangan telah mantab untuk mengikat janji suci di hadapan
Tuhan. Dalam sesi ini, pendeta harus melakukan 3 hal, yaitu :[6]
·
Berbicara tentang Tuhan
·
Memberitahukan tentang cara membangun sebuah keluarga
Kristen yang akan Allah berkati selamanya.
·
Memberitahukan untuk menemui seorang dokter sebelum
menikah. Hal ini berbicara tentang keintiman mereka sebagai sepasang suami –
istri yang bertanggung jawab.
·
Memberitahukan untuk tidak seharusnya seorang pasangan
memiliki anak dengan segera setelah menikah.
Tentang persiapan, menjadi perhatian khusus bahwa semua
yang berhubungan dengan pernikahan harus ditekankan dan mengekspresikan nuansa
Kristen.
·
Setelah lilin menyala dan orang tua wanita duduk, pendeta
yang diikuti pengantin pria dan orang yang terbaik memasuki ruangan menuju
tengah kapel dengan iringan mars pernikahan. Selanjutnya, pengiring pengantin,
pembawa cincin dan mereka yang terlibat mengambil tempatnya masing – masing.
·
Pengantin wanita masuk didampingi seseorang (khususnya
ayah) yang akan menyerahankan dirinya kepada pengantin pria.
·
Pendeta menyampaikan kotbah sebagai pembukaan.
·
Sang ayah menyerahkan putrinya kepada pengantin pria
setelah menjawab atas pertanyaan dari pendeta. Lalu ayah duduk di samping
istrinya.
·
Pendeta dan pasangan pengantin melakukan pertanyaan dan
pernyataan atas kesediaan dan janji yang kudus dalam ikatan pernikahan. Hingga
acara tukar cincin diikuti pernyataan setiap calon pengantin untuk menerima
pasangannya.
·
Pendeta berdoa, sebuah doa yang telah ditempatkan Allah
di dalam hatinya.
Ketika upacara pernikahan berlangsung, hasil dari
persiapan pernikahan harus terasa. Jemaat harus merasakan bahwa mereka telah
menjadi bagian Gereja, khususnya pasangan pengantin dan keluarga.
C.
Hukum yang Mengatur
Dalam pasal 2
UU Perkawinan, diatur tentang sahnya suatu perkawinan, yaitu :
·
Ayat (1) : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut Hukum Agama/Kepercayaannya”
·
Ayat (2)
: “Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang
berlaku”
Dari sini timbul pertanyaan, apakah harus
terpenuhi kedua ayat tersebut untuk memenuhi sahnya perkawinan ? Dalam
Ordonansi Perkawinan Indonesia – Kristen tentang Pemberitahuan dan Pengukuhan
Perkawinan pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa “Semua orang yang akan kawin
harus memberitahukan niatnya itu kepada Pegawai Catatan Sipil atau kepada
Penuntun Agama dalam wilayah salah satu pihak yang akan kawin bertempat tinggal”.[8]
Dapat ditarik sedikit kesimpulan bahwa setiap perkawinan harus dicatat terlebih
dahulu di Catatn Sipil, kemudian diproses sesuai agama/kepercayaan
masing-masing. Perbuatan pencatatan itu semata – mata bersifat administratif. Perkawinan
Gerejani sangat penting bagi umatnya, tetapi tidak mempunyai akibat hukum dalam
perkawinan, dan dalam Undang - undang ditentukan bahwa perkawinan Gerejani
hanya boleh dilaksanakan sesudah perkawinan dihadapkan pegawai Catatan Sipil
(Pasal 81 KUH Perdata).[9]
Menjadi catatan penting, bahwa yang dilaksanakan gereja bukanlah menyatakan sah
atau tidaknya suatu perkawinan, namun “meneguhkan dan memberkati” suatu
perkawinan yang sudah disahkan oleh negara dihadapan hukum (dilangsungkan di
Kantor Catatan Sipil). Dalam SK Mendagri No. 97 tahun 1978[10],
bahwa pemerintah mengangkat pemuka agama (pendeta/pastor) untuk bertindak atas
nama pemerintah, dengan sebutan Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan.
D.
Problematika Perkawinan
Tidak ada yang sempurna dalam kehidupan ini,
begitupun dalam perkawinan. Seideal apapun perkawinan tersebut, pasti ada saja
lika – likunya. Berikut beberapa problematika dalam perkawinan dalam pandangan
agama Kristen, yaitu :
1.
Perceraian
Perceraian merupakan salah satu persoalan utama yang
dihadapi rumah tangga saat ini. Berbagai faktor dapat memicu timbulnya kata
perceraian ini, seperti perselingkuhan, KDRT, desersi, dan sebagainya.
Perceraian pasti menimbulkan dampak yang besar, baik secara fisik maupun batin.
Dalam ajaran Kristen, perceraian / perpisahan tetap atau selamanya tidak
diperbolehkan. Gereja setia pada ajarannya bahwa pernikahan hanya sekali antara
seorang lelaki dan perempuan, dan apa yang telah dijodohkan Allah tidak boleh
diceraikan. Hal ini mengacu pada Alkitab, Markus 10:9, “Karena itu, apa yang
telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.[11]
Selanjutnya, jika melihat Alkitab, Matius 19:9, “Tetapi Aku berkata kepadamu :
‘Barang siapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan
perempuan lain, ia berbuat zinah’”, maka dapat ditarik pemahaman bahwa satu-satunya alasan
perceraian adalah perzinahan. Sekedar informasi bahwa dalam agama Kristen, pengajuan perceraian
sangatlah tidak mudah. Mereka harus mengajukan permohonan perceraian dengan
persyaratan tertentu, bukan hukum agama, tapi semacam KUHP. Sekali pun tidak
mengizinkan perceraian, namun kebanyakan gereja Kristen (Protestan) mengizinkan
perceraian dan perkawinan ulang. Perceraian dibolehkan hanya dalam kasus
khusus, misalnya imoralitas seksual atau ditinggalkan pasangan yang tak
beriman.
2.
Poligami
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan).[12] Dalam ajaran Kristen
ditegaskan bahwa praktek poligami itu dilarang. Hal ini mengacu pada
Alkitab, Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan satu pria
(Adam) dan satu wanita (Hawa) untuk melahirkan keturunan. Namun, Alkitab juga
tidak menafikkan bahwa telah adanya praktek poligami yang dilakukan tokoh
Kristiani. Adanya poligami dicatat dimulai dari anak Kain, Lamech. Kain adalah
anak Adam yang berdosa membunuh Habel saudaranya.[13] Dari sinilah penyimpangan
(praktek) poligami terjadi sejalan dengan penolakan manusia akan titah Tuhan.
Dan pada zaman sekarang, banyak gereja yang memberikan kelonggaran poligami
berdasarkan kitab – kitab kuno agama Yahudi.
3.
Perkawinan Beda Agama
Seperti yang diketahui bahwa setiap
agama menghendaki adanya pernikahan seiman (seagama), tidak terkecuali agama
Kristen. Untuk agama Kristen tidak adanya larangan bagi jemaatnya untuk nikah
dengan orang yang berbeda agama. Dalam problem ini kebanyakan berputar pada
perkawinan antar agama Kristen (Protestan) dengan agama Khatolik. Dalam hal
terjadi perkawinan antar agama, maka menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur (1987 : 2)[14] ialah :
·
Mereka dianjurkan untuk menikah secara
sipil dimana kedua belah pihak tetap menganut agama masing – masing
·
Kepada mereka diadakan penggembalaan
khusus
·
Pada umumnya gereja tidak memberkati
perkawinan mereka
·
Ada gereja – gereja tertentu yang
memberkati perkawinan campur beda agama ini, setelah pihak yang bukan Protestan
membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan
·
Ada pula gereja tertentu yang bukan
hanya tidak memberkati, malah anggota gereja yang kawin dengan orang yang tidak
seagama itu dikeluarkan dari gereja.
E. Perbandingan
Persoalan pernikahan, tidak ada
perbedaan yang jauh antara Hukum agama Islam dengan Hukum agama Kristen. Mereka
sama – sama meyakini akan ketetapan jodoh / pasangan hidup yang telah disiapkan
buat umatnya di dunia. Namun, terhadap hal – hal tertentu, adanya sedikit
perbedaan penafsiran antara ajaran Islam dan ajaran Kristen. Misalnya
tujuan pernikahan, Islam berotoritas pada naluriah hidup guna melangsungkan
kehidupan (keturunan), mewujudkan ketentraman hidup dan menumbuhkan serta
memupuk rasa kasih sayang, sedangkan Kristen berotoritas pada kebahagiaan dan
kekekalan akan suatu pernikahan. Selanjutnya, terhadap problem perceraian,
Islam menganggap bahwa hal tersebut halal untuk dilakukan, meskipun pada
dasarnya Allah sangat membeci perceraian, karena Islam membimbing umatnya untuk
tidak saling terpecah-belah, namun pada ajaran Kristen, bahwa perceraian
(dengan tegas) selamanya tidak diperbolehkan. Pada problem perkawinan beda
agama, Islam berprinsip tidak diperkenankannya adanya perkawinan beda agama,
karena hal ini telah dipertegas di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah : 221,
namun adanya pengecualian bagi laki-laki muslim dengan wanita non muslim.
Namun, pada agama Kristen, tidak adanya larangan untuk penganutnya, namun ada
sebagian gereja tertentu di kalangan Kristen (Protestan) yang menurut tata
gereja yang masih berlaku. Dan masih banyak lagi yang tidak dapat dijangkau
dalam makalah ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
agama Kristen, nikah itu suatu ketetapan Allah. Suatu persekutuan hidup dalam
kasih Tuhan, dalam menghayati berkat pernikahan dan dalam menunjukan perhatian
pada pekerjaan masing-masing. Tujuannya ialah kebahagiaan
dan kekekalan akan suatu pernikahan. Dalam UU Perkawinan pasal 10 dan 11
tentang Peraturan Pelaksanaan No. 9 tahun 1975 ayat(2), yang pokoknya bahwa
Tata Cara Perkawinan dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Yang dilaksanakan gereja bukanlah menyatakan sah atau
tidaknya suatu perkawinan, namun “meneguhkan dan memberkati” suatu perkawinan
yang sudah disahkan oleh negara dihadapan hukum. Alkitab, Markus 10:9, “Karena
itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.
B.
Saran dan Kritik
Dalam penulisan makalah ini tentulah
memiliki banyak kekurangan, baik dari segi penulisan, ilmu yang saya tuangkan,
maupun hal lainnya. Saya sangat menyadari bahwa pengetahuan yang saya peroleh
sangat jauh dari kecukupan. Oleh karena itu, dengan rasa kerendahan hati dan
kerdilnya ilmu yang saya miliki, saya memohon saran dan kritik yang dapat
membangun penulisan selanjutnya baik dari dosen pengampu maupun teman – teman
sekalian. Saran dan kritik dapat Anda kirimkan ke email saya di : auliauya_dolphin@yahoo.co.id
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab. 2001. Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia
Eoh, O.S. 1996.Perkawinan antar Agama dalam
Teori dan Praktek. Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada
Komariah. 2010. Hukum Perdata. Malang :
UMM Press
Murtadho, Ali. 2009. Konseling Perkawinan :
Perspektif Agama – Agama. Semarang : Walisongo Press
Sairin, Weinata dan J.M. Pattiasina. 1994. Pelaksanaan
Undang – undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen. Jakarta : Gunung Mulia
Saleh, K. Wantjik. 1982. Hukum Perkawinan
Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia
White, James F. 2002. Pengantar Ibadah
Kristen. Jakarta : Gunung Mulia
[6] Ali Murtadho, Konseling
Perkawinan Perspektif Agama – Agama, cet. ke-1 (Semarang : Walisongo Press,
2009), hlm. 126.
[8] K. Wantjik Saleh, Hukum
Perkawinan Indonesia, cet. ke-7 (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 215.
[10] Weinata Sairin dan J.M.
Pattiasina, Pelaksanaan Undang – undang Perkawinan Dalam Perspektif Kristen,
cet. ke-1 (Jakarta : Gunung Mulia, 1994), hlm. 17.
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Poligami
[13]http://www.kadnet.info/web/index.php?option=com_content&view=article&id=1958:pandangan-alkitab-mengenai-poligami&catid=98:theology&Itemid=99
[14] O.S, Eoh, Perkawinan
Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet. ke-1 (Jakarta : PT. RajaGrafindo,
1996), hlm. 122 – 123.
0 komentar:
Posting Komentar