Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh
Tampilkan postingan dengan label majelis tarjih Muhammadiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label majelis tarjih Muhammadiyah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Juni 2014

menunda-nunda warisan


MENUNDA-NUNDA PEMBAGIAN WARISAN DAN ZAKAT HARTA WARISAN
Pertanyaan Dari:
Seseorang yang tidak ingin disebut namanya di Pekalongan

Tanya:
Saya mempunyai suatu kasus yang berkaitan dengan saudara saya, sebut saja A. Saudara saya tersebut (A) kawin dengan B yang masing-masing sudah mempunyai satu anak. Dari perka­winan A dengan B dikaruniai 7 (tujuh) orang anak, 5 (lima) laki-laki dan 2 (dua) perempuan. B meninggal dunia, sewaktu hidupnya dia berwasiat kepada A agar kesembilan anak tersebut diberi bagian hak waris dari harta peninggalan guna kayanya, yaitu berupa sebidang tanah pekarangan seluas 1230 meter persegi yang di atasnya ada sebuah rumah. Apabila tanah tersebut dibagi-bagikan kurang mengun­tungkan karena masing-masing berkeinginan menjual dengan nilai penjualan yang berbeda-beda, lebih-lebih yang mendapat muka jalan raya akan sangat jauh selisih nilai jualnya, walhasil tidak adil. Dua di antara enam anak yang sudah berkeluanga telah memiliki rumah tempat tinggal dan telah mendapatkan bagian waris secara gabungan, maksud saya warisan tersebut didapat dari harta guna kaya A dan B dan harta warisan A dan orang tua A sendiri. Tanah pekarangan yang merupakan harta warisan tersebut sudah pernah ditawar Rp. 70.000.000 karena A beserta anak-­anaknya sepakat untuk dijual, tetapi belum ada kecocokan. Namun sekarang A bermaksud menempatinya sampai batas yang tidak ditentukan. Padahal anak-anak yang sudah berumah tangga tetapi belum memiliki rumah tempat tinggal sangat mengharapkan dari hasil penjualan tanah waris tersebut. Pertanyaan saya adalah:
1.      Apakah dibenarkan membagi harta waris secara gabungan berdasarkan hukum Islam? Jika dibenarkan, bagaimana pelaksana­annya yang adil?
2.      Menurut etika Islam apakah dibenarkan menunda-nunda pembagian warisan?
3.      Harta yang akan dibagi-bagikan apakah harus dikeluarkan zakatnya dahulu atau tidak? Kalau harus dikeluarkan berapa pro­senkah zakatnya?

Jawab:
Kami menangkap bahwa yang saudara tanyakan dengan pem­bagian secara gabungan itu adalah membagi harta waris yang berujud harta guna kaya A dan B beserta harta A yang merupakan warisan dari orang tuanya A.
Saudara penanya, ada dua hal yang perlu dipahami dalam memecahkan persoalan yang saudara ajukan, yaitu pertama me­ngenai tirkah atau harta peninggalan dan kedua mengenai ahli waris dan bagiannya.
Persoalan yang pertama, menurut hukum Islam yang dimaksud dengan harta peninggalan atau harta warisan seseorang dalam hal ini B yaitu segala yang dimiliki B ketika hidupnya baik itu berujud harta bawaan, harta yang diperoleh secara warisan, hibah, harta yang diperoleh atas usaha B sendiri maupun harta hasil usaha dengan isterinya (A) yang saudara sebut sebagai harta guna kaya. Akan tetapi karena harta guna kaya ini bukan kepunyaan B seluruhnya, melainkan ada haknya A, maka sebelum dibagi waris harus dipisahkan dahulu atau diambil dahulu yang meru­pakan haknya A. Dengan demikian harta guna kaya yang meru­pakan haknya A dan hartanya A yang berasal dari warisan orang tuanya A, tidak termasuk harta warisan B dan tidak bisa diwarisi karena A masih hidup, kecuali apabila A mau menghibahkannya. Konkritnya harus dipisahkan dahulu mana harta miliknya B dan mana harta miliknya A. Yang bisa dibagi waris hanyalah harta miliknya B saja setelah terlebih dahulu dikeluarkan untuk mem­bayar hutang-hutangnya B (kalau ada) baik hutang kepada sesama maupun hutang kepada Allah.
Selanjutnya yang merupakan ahli waris dari B ialah: Pertama, anak-anaknya B baik itu anak bawaannya maupun dari hasil perkawinannya dengan A yang tujuh orang. Kedua, isterinya B yaitu A. Adapun anak bawaannya A bukan ahli waris dari B karena statusnya bukan anak kandung, tetapi anak tiri. Anak bawaannya A hanya berhak mendapat warisan dari harta pening­galannya A. Sekalipun B mengatakan bahwa kesembilan anak-­anaknya supaya diberi bagian dari harta guna kayanya, maka untuk anak bawaannya A tidak dikatakan sebagai bagian warisan melainkan sebagai hak dari wasiat yang bisa dilaksanakan mak­simal 1/3 harta peninggalannya B. Mengenai besar bagian masing-­masing ahli waris, bagi isteri 1/8 bagian, karena B mempunyai keturunan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat an-Nisa’ ayat 12:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم ۚ مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ
]النساء[12(04):

Artinya: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.”
Setelah diambil bagian isteri sebesar 1/8 bagian, sisanya adalah untuk anak-anaknya. Karena anak-anaknya ini terdiri dari laki-­laki dan perempuan, maka bagian satu orang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan (dua berbanding satu). Hal ini sebagaimana ditentukan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 11:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
] النساء[11 (04):


Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.”
Dalam kasus ini karena harta warisannya berupa tanah dan rumah, maka untuk tanah bisa dibagi-bagi sesuai bagiannya masing-masing, sudah barang tentu untuk adilnya pembagian tersebut harus melihat dari segi harga, artinya apabila yang di pinggir jalan mendapat 100 meter, untuk yang tidak dipinggir jalan imbangannya mungkin 125 meter atau 150 meter. Sedangkan harta peninggalan yang berujud rumah sebaiknya tidak dibagi langsung dengan cana memecah-mecah rumah menjadi beberapa bagian, karena nilai ekonomisnya menjadi berkurang, tetapi sebaiknya dijual saja dan hasil penjualannya yang kemudian dibagi-bagi. Siapa yang membelinya? Sbaiknya dari ahli waris itu sendiri dengan harga yang disepakati bersama. Bisa juga tanah maupun rumah seluruhnya dijual dengan harga yang disepakati bersama, kemudian hasil penjualannya dibagi di antara para ahli waris sesuai dengan besar bagiannya masing-masing.
Mengenai penundaan pembagian harta warisan, apabila segala sesuatu yang berkaitan dengan harta warisan sudah dapat diselesaikan, sebaiknya harta warisan segera dibagi, sebab apabila tidak segera dibagi akan muncul persoalan-persoalan yang merupakan sumber sengketa. Umpamanya saja, selama harta warisan belum dibagi apakah semua ahli waris bisa memperoleh haknya? Jangan sampai yang memanfaatkan harta waisan itu hanya sebagian ahli waris saja, sedang yang lain tidak. Oleh karena pembagian harta warisan menurut hukum waris Islam bersifat individual, maka apabila ada ahli waris yang menuntut harta warisan itu dibagi, hendaknya harus segera dibagi. Namun demikian apabila ahli waris menghendaki untuk tidak dibagi, melainkan tetap dimiliki secara bersama-sama hal inipun di­perbolehkan, yang penting tidak boleh terjadi adanya perampasan atau penyerobotan hak ahli waris oleh ahli waris lainnya. Termasuk penyerobotan atau perampasan hak ahli waris ialah rumah yang merupakan harta peninggalannya pewaris hanya dimanfaatkan oleh satu orang atau beberapa orang ahli waris saja, sedang yang lain tidak bisa memanfaatkannya yang sebenarnya dia sangat membutuhkan sekali.
Mengenai apakah harta warisan itu harus dizakati lebih dahulu sebelum dibagi-bagi, karena dalam kasus ini harta warisannya berupa tanah dan rumah, sedangkan dalam hukum Islam tidak ada ketentuan mengenai zakat tanah, maka harta warisan tersebut sebelum dibagi-bagi tidak perlu dizakati lebih dahulu. Namun demikian kepada para ahli waris dianjurkan untuk bersadaqah tatkala membagi waris kepada karib kerabat yang tidak memperoleh bagian warisan, kepada anak yatim atau kepada fakir miskin pada umumnya. Yaitu untuk supaya mereka ikut merasakan kebahagian yang sedang dirasakan para ahli waris yaitu kenikmatan yang berupa harta warisan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 8:

وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُم مِّنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
[8: (04)النساء]


Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”

Senin, 09 Juni 2014

fatwa zakat sawah

Pembayaran Zakat atas Sewa Tanah
Penanya: Ibnu Muhsa, Banguntapan, Bantul
Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Saya sekarang bertempat tinggal di Yogyakarta, saya mendapat warisan dari orang tua yang telah meninggal di kampung halaman berupa sebidang tanah sawah dengan luas kurang lebih 1000 m2,  kemudian sawah tersebut saya sewakan Rp. 2.000.000,-/tahun. Bagaimana tentang pembayaran zakatnya? Apakah dari hasil uang sewa sekaligus dengan harga tanah  atau dikonfersi dengan harga padi yang dihasilkan?
NB: Harga sawah saat ini sekitar 45 jt sedangkan hasil panen per musim 8 kwintal padi
Jawaban:
 Waalaikumussalam wa rahmatullahi wa barokatuh
Terimakasih atas pertanyaan yang saudara ajukan kepada kami. Semoga jawaban yang kami berikan dapat menjawab pertanyaan saudara.
Berkaitan dengan zakat tanah yang disewa, menurut jumhur ulama dikategorikan ke dalam zakat tanaman (pertanian). Adapun ketentuannya akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Nisab zakat pertanian
Untuk nisab dari zakat pertanian dijelaskan oleh sabda Nabi berikut ini:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ 

Dari Abu Sa'id al-Khudri dari Nabi saw beliau bersabda: "Tidak wajib dizakati bahan makanan pokok yang kurang dari lima wasaq (lima wasaq sama dengan enam puluh sha') …" (H.R. Muslim no 1625)
Berdasarkan hadis di atas diketahui bahwa ketentuan nisab zakat pertanian adalah 5 wasaq. Untuk ukuran 5 wasaq terdapat beberapa versi apabila dikonversikan ke dalam satuan kwintal.
a.    Yusuf Qardhawi berpendapat bahwasanya ukuran 5 wasaq sepadan dengan 653 kg/ 6,53 kwintal. Rinciannya adalah sebagai berikut:
1 wasaq = 300 sha’
1 sha’ dalam ratl Mesir = 4,8 ratl gandum = 2176 gr = 2,176 kg
Maka, 1 nisab = 300 x 4,8 ratl gandum = 1440 ratl gandum
Bila dihitung dengan kilogram, maka sama dengan 300 x 2,176 kg gandum = 652,8 atau ± 653 kg.
(Keterangan di atas bisa di lihat dalam buku Hukum Zakat karya Yusuf Qardhawi hlm. 351)
b.   Menurut hitungan dalam KBBI ukuran 5 wasaq sepadan dengan 562,5 kg = 5,625 kwintal. Rinciannya adalah sebagai berikut:
1      wasaq = 180 kati
1      kati = 6 ¼ ons = 6 ¼ x 100 gram = 625 gram
1 wasaq = 180 kati x 625 gram = 112.500 gram = 112,5 kg
5 wasaq = 5 x 112,5 kg = 562,5 kg = 5,625 kwintal
c.    Menurut ijma’ ulama 1 wasaq = 60 sha’. Di Indonesia ukuran 1 sha’ = ± 2,5 kg, sehingga ukuran 1 nisab adalah 5 wasaq x 60 sha’ x 2,5 kg = ± 750 kg = 7,5 kwintal.
2. Besar zakat yang dibayarkan
Untuk besarnya zakat pertanian yang harus dibayarkan apabila telah mencapai nisab adalah sebesar 10 % atau 5 % (tergantung sistem irigasi yang digunakan). Ketentuan ini berdasarkan pada hadis Nabi saw berikut ini:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِيمَا سَقَتْ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Maram telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Wahb berkata, telah mengabarkan kepada saya Yunus bin Zaid dari Az Zuhriy dari Salim bin 'Abdullah dari bapaknya radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Pada tanaman yang diairi dengan air hujan, mata air, atau air tanah maka zakatnya sepersepuluh, adapun yang diairi dengan menggunakan tenaga maka zakatnya seperduapuluh". (HR. Bukhari no. 1388)
3. Waktu pembayaran zakat pertanian
Waktu pembayaran zakat pertanian adalah pada saat panen, berdasarkan firman Allah:
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung (yang menjalar) dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin)… (QS. Al-An’am: 141)
Dalam hal ini, hasil sewa dari harta warisan saudara sebesar 2 juta per tahun. Jika harga dikonversikan ke dalam satuan ukuran padi, maka ketentuannya adalah sebagai berikut:
Misalkan harga 1 kg gabah = Rp. 4000
Konversi atas uang sewa adalah Rp 2.000.000 : Rp 4.000 = 500 kg = 5 kwintal
Menurut ketentuan nisab yang telah dipaparkan sebelumnya, maka harta saudara selaku yang menyewakan tanah belum mencapai nisab, sehingga saudara belum dikenakan kewajiban untuk membayar zakat. Hanya saja jika saudara ingin mengeluarkan harta, dapat berupa shadaqah atau infak yang tidak ada ketentuan nisab dan waktu pembayarannya. Sedangkan bagi penyewa dikenakan kewajiban zakat atas hasil tanah sebesar 5% atau 10% (tergantung sistem irigasi yang digunakan) setelah dikurangi hutang, sewa dan ongkos lain.
Wa Allahu a’lam bi ash-shawwab
Konseptor:
1.   Lu’lu’ Wijdatun Ni’mah
2.   Saidah Fiddaroini
3.   Siti Nafisatul Masruroh
4.   Wisnawati


Badal Thawaf dan Melempar Jumrah

Badal Thawaf dan Melempar Jumrah

Penanya : Ahmad Sumiyono, Banyumas, Jawa Tengah
Pertanyaan:
Dalam rangkaian ibadah haji, di antara yang harus dilakukan adalah thawaf dan melempar jumrah. Dalam pelaksanaan thawaf tidak boleh diwakilkan, sekalipun yang bersangkutan sakit harus ditunaikan misalnya dengan menggunakan kursi roda. Tetapi dalam lempar jamrah, jika yang berhaji sakit, sehingga tidak dapat melaksanakan, dapat diwakilkan bukan saja oleh anak atau saudarannya, tetapi boleh juga oleh jamaah haji yang lain. Mohon penjelasan tentang perbedaan kebolehan dan tidak bolehnya perwakilan dalam dua hal tersebut dilengkapi dengan dalil-dalilnya.
Jawaban:
Terima kasih atas kepercayaan saudara kepada kami untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, kami akan menjelaskan tentang rukun dan wajib haji.
Dalam haji, terdapat serangkaian ibadah yang termasuk rukun haji dan wajib haji. Adapun yang membedakan antara rukun haji dengan wajib haji adalah, rukun haji adalah sesuatu yang harus dikerjakan dalam rangkaian ibadah haji, apabila tidak dikerjakan, apapun alasannya, haji tidak sah. Sedangkan wajib haji adalah sesuatu yang harus dikerjakan dalam rangkaian ibadah haji, tetapi jika tidak dikerjakan, hajinya tetap sah asalkan membayar dam. Rangkaian ibadah haji yang termasuk rukun haji adalah Ihram, Wuquf di Arafah, Thawaf ifadhah, Sa’i dan Tahalul, sedangkan yang termasuk wajib haji adalah Ihram dari miqat, wuquf sampai terbenam matahari, bermalam di muzdalifah, melempar jamarat, mabit di mina dan thawaf wada’.
Thawaf ifadhah termasuk rukun haji, oleh karena itu thawaf ifadhah tidak boleh ditinggalkan, termasuk dibadalkan atau diwakilkan. Berdasarkan hadis berikut,
حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ يَذْكُرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِلْحَائِضِ أَنْ تَصْدُرَ قَبْلَ أَنْ تَطُوفَ إِذَا كَانَتْ قَدْ طَافَتْ فِي الْإِفَاضَةِ
“Telah menceritakan kepada kami Rauh telah menceritakan kepada kami Zakariya telah menceritakan kepada kami Amru bin Dinar bahwa Ibnu Abbas pernah menyebutkan bahwa Nabi saw memberi keringanan kepada wanita haidl untuk pulang sebelum thawaf, bila sebelumnya telah thawaf ifadlah.” (H.R Ahmad)
Hadis di atas menunjukkan bahwa Nabi saw mewajibkan thawaf ifadhah bagi siapa saja termasuk wanita yang sedang haid. Thawaf ifadhah juga harus dikerjakan termasuk bagi orang yang sedang sakit. Karena thawaf tersebut termasuk rukun haji, maka thawaf ifadhah tidak boleh ditinggalkan, begitu juga tidak boleh untuk dibadalkan oleh orang lain.
Berkenaan dengan thawaf wada’ dan melempar jumrah, maka boleh bagi seseorang yang sakit untuk meninggalkannya atau mewakilkannya kepada orang lain. Orang yang tidak dapat melaksanakan sendiri melempar jumrah (karena sakit, tua, hamil, lemah dan lain-lain) dapat mewakilkan kepada orang lain. Berdasarkan hadis Jabir:
حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَلَبَّيْنَا عَنْ الصِّبْيَانِ وَرَمَيْنَا عَنْهُمْ [أخرجه ابن ماجه]
 “(Jabir berkata) Kami menunaikan haji bersama Rasulullah saw dan bersama wanita-wanita dan anak-anak. Kami membaca Talbiah mewakili anak-anak dan melempar jumrah mewakili mereka.” (HR. Ibnu Majah)

Jika meninggalkan thawaf wada’ atau melempar jumrah, maka orang tersebut harus membayar dam.
حَدَّثَنَا أَبُو عَمَّارٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ فَلْيَكُنْ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ إِلَّا الْحُيَّضَ وَرَخَّصَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ
Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ammar, telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus dari 'Ubaidullah bin 'Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar berkata; "Barangsiapa yang berhaji ke Baitullah, maka hendaknya terakhir kali yang dia lakukan ialah di Baitullah, kecuali para wanita yang haidh. Rasulullah saw pun memberi keringanan bagi mereka." Abu 'Isa berkata; "Hadits Ibnu Umar merupakan hadits hasan shahih dan diamalkan oleh para ulama." (H.R Tirmidzi)

Konseptor:
1.   Anggraeni Putri Rahayu
2.   Eka Parida Apriliasari
3.   Hanina Maria Ulfah
4.   Laily Shofyanida
5.   Mutia Afifati

--- dalam lafadz shibyan ... -> namunpertanyaannya adalah  semua goongan --- lafadz shibyan disini adala lafadza Amm—dan dikatakan  bagwa disini adalah yang perlu ditambahkan adalah saudara atua bukan ...


zakat dagang fatwa Majelis tarjih MUhammadiyah

Zakat Perdagangan
Penanya: Misriyah binti Ali Hadi, Magetan,  Jawa Timur
Pertanyaan:
Assalāmu’alaikum wr. wb.
Untuk zakat perdagangan yang harus dibayarkan apakah dihitung dari seluruh modal termasuk harga tanah, bagunan (toko), barang dagangan, dan hasilnya pertahun, atau cukup dengan hasil dari keuntungan per tahun itu? Bagaimana kalau zakat yang dibayar dihitung dari jumlah modal dan keuntungan lebih besar daripada keuntungan dalam satu tahun? Mohon penjelasan.
Jawaban :
Wa’alaikumussalām wr. wb.
        Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Untuk menjawab pertanyaan saudara, maka terlebih dahulu kami akan menjelaskan mengenai pengertian perdagangan.
Perdagangan merupakan salah satu bentuk usaha yang diperbolehkan oleh syariat Islam. Adapun kekayaan dagang adalah segala sesuatu yang diperjualbelikan dengan maksud untuk mencari keuntungan. Islam mewajibkan umatnya untuk mengeluarkan zakat dari kekayaan yang diinvestasikan dan diperoleh dari perdagangan. Adapun dasar kewajiban zakat perdagangan adalah Q.S. al-Baqarah ayat 267 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلَّا أَن تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ [٢:٢٦٧]
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu, dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya, dan ketahuilah, bahwa Allah maha kaya lagi maha terpuji.” (QS. Al-Baqarah: 268).
        Di dalam Kitab Tafsir al-Maraghi dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan lafal مَا كَسَبْتُمْ adalah harta yang diusahakan, yaitu berupa uang, harta perdagangan, hewan ternak, dan segala sesuatu yang dikeluarkan dari bumi berupa biji-bijian, buah-buahan dan selainnya. Dari tafsir ayat tersebut, dapat dipahami bahwa harta perdagangan merupakan salah satu harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Di dalam Kitab Taisīr Al-Alam syarah kitab Umdah Al-Ahkam pada Kitab Al-Zakat , disebutkan bahwa salah satu makna zakat secara bahasa yaitu berkembang dan mensucikan, keduanya bermakna tambahan dan penyucian. Dalam syariat Islam, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya secara khusus yaitu binatang ternak, pajak tanah, uang dan harta perdagangan. Di dalam Kitab al-Bahr ar-Rāiq Syarah Kanzu ad-Daqāiq disebutkan bahwa salah satu syarat zakat adalah al-Namā’. Secara istilah, al-Namā’ (berkembang) terbagi menjadi dua yaitu bertambah secara konkrit dan bertambah secara tidak konkrit. Bertambah secara konkrit adalah bertambah akibat pembiakan dan sejenisnya, sedangkan bertambah secara tidak konkrit adalah kekayaan itu berpotensi berkembang, baik berada ditangannya maupun ditangan orang lain atas namanya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa harta perdagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah terbatas pada harta perdagangan yang diperjualbelikan saja (berkembang), sehingga selain harta perdagangan yang tidak diperjualbelikan tidak dikenakan zakat. Harta perdagangan yang tidak dikeluarkan zakatnya itu seperti harga tanah, toko, etalase, timbangan, rak, komputer/alat hitung lainnya dan segala bentuk peralatan yang diperlukan untuk berdagang. Peralatan tersebut tidaklah dihitung harganya dan tidak pula dikeluarkan zakatnya, karena bendanya tetap dan hampir sama sifatnya untuk keperluan pribadi yang tidak berkembang.
        Kekayaan perdagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah sebesar 2,5%, dengan syarat masanya sudah sampai setahun dan nilainya sudah mencapai satu nisab pada akhir tahun itu. Adapun kekayaan perdagangan yang dikeluarkan zakatnya dihitung dari modal dan keuntungan, bukan dari keuntungan saja. Modal dagang yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah modal yang diperjualbelikan. Modal dagang adakalanya berupa uang dan adakalanya berupa barang yang dihargai dengan uang. Modal yang wajib dikeluarkan zakatnya, syaratnya yaitu sudah berlalu masanya setahun, berkembang, mencapai satu nisab, bebas dari hutang, dan lebih dari kebutuhan pokok. Adapun ukuran satu nisab pada masa sekarang sama dengan harga 85 gram emas.
Mengenai pertanyaan saudara tentang besar zakat yang dibayar lebih besar daripada keuntungan dalam satu tahun, tampaknya tidak akan terjadi jika saudara menghitungnya tidak menyertakan aset-aset/modal yang tidak diperjualbelikan.
Wallahu a’lam bi as-ṣawāb…
Konseptor :
1.   Azmi Rizqil Ula
2.   Kriswanti
3.   Selamet Melasari

4.   Siti Annisa