Badal Thawaf dan Melempar Jumrah
Penanya : Ahmad Sumiyono, Banyumas, Jawa Tengah
Pertanyaan:
Dalam rangkaian ibadah haji, di antara yang harus
dilakukan adalah thawaf dan melempar jumrah. Dalam pelaksanaan thawaf tidak
boleh diwakilkan, sekalipun yang bersangkutan sakit harus ditunaikan misalnya
dengan menggunakan kursi roda. Tetapi dalam lempar jamrah, jika yang berhaji
sakit, sehingga tidak dapat melaksanakan, dapat diwakilkan bukan saja oleh anak
atau saudarannya, tetapi boleh juga oleh jamaah haji yang lain. Mohon
penjelasan tentang perbedaan kebolehan dan tidak bolehnya perwakilan dalam dua
hal tersebut dilengkapi dengan dalil-dalilnya.
Jawaban:
Terima
kasih atas kepercayaan saudara kepada kami untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, kami akan menjelaskan tentang rukun
dan wajib haji.
Dalam haji, terdapat serangkaian ibadah yang termasuk
rukun haji dan wajib haji. Adapun yang
membedakan antara rukun haji dengan wajib haji adalah,
rukun haji adalah sesuatu yang harus dikerjakan dalam rangkaian ibadah haji,
apabila tidak dikerjakan, apapun
alasannya, haji tidak sah. Sedangkan wajib haji adalah sesuatu yang harus
dikerjakan dalam rangkaian ibadah haji, tetapi jika tidak dikerjakan, hajinya
tetap sah asalkan membayar dam. Rangkaian ibadah haji yang termasuk rukun haji
adalah Ihram, Wuquf di Arafah, Thawaf ifadhah, Sa’i dan Tahalul, sedangkan yang
termasuk wajib haji adalah Ihram dari miqat, wuquf sampai terbenam matahari,
bermalam di muzdalifah, melempar jamarat, mabit di mina dan thawaf wada’.
Thawaf
ifadhah termasuk rukun haji, oleh karena itu thawaf ifadhah tidak boleh
ditinggalkan, termasuk dibadalkan atau diwakilkan. Berdasarkan hadis berikut,
حَدَّثَنَا
رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ أَنَّ ابْنَ
عَبَّاسٍ
كَانَ يَذْكُرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِلْحَائِضِ أَنْ تَصْدُرَ قَبْلَ أَنْ تَطُوفَ إِذَا كَانَتْ
قَدْ طَافَتْ فِي الْإِفَاضَةِ
“Telah
menceritakan kepada kami Rauh telah menceritakan kepada kami Zakariya telah
menceritakan kepada kami Amru bin Dinar bahwa Ibnu Abbas pernah menyebutkan
bahwa Nabi saw memberi keringanan kepada wanita haidl untuk pulang sebelum
thawaf, bila sebelumnya telah thawaf ifadlah.”
(H.R Ahmad)
Hadis
di atas menunjukkan bahwa Nabi saw mewajibkan thawaf ifadhah bagi siapa saja
termasuk wanita yang sedang haid. Thawaf ifadhah juga harus dikerjakan
termasuk bagi orang yang sedang sakit. Karena thawaf tersebut termasuk rukun
haji, maka thawaf ifadhah tidak boleh ditinggalkan, begitu juga tidak boleh
untuk dibadalkan oleh orang lain.
Berkenaan
dengan thawaf wada’ dan melempar
jumrah, maka boleh bagi seseorang yang sakit untuk meninggalkannya atau
mewakilkannya kepada orang lain. Orang yang tidak dapat melaksanakan sendiri
melempar jumrah (karena sakit, tua, hamil, lemah dan lain-lain) dapat
mewakilkan kepada orang lain. Berdasarkan hadis Jabir:
حَجَجْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا النِّسَاءُ
وَالصِّبْيَانُ فَلَبَّيْنَا عَنْ الصِّبْيَانِ وَرَمَيْنَا عَنْهُمْ [أخرجه
ابن ماجه]
“(Jabir berkata) Kami
menunaikan haji bersama Rasulullah saw dan bersama wanita-wanita dan anak-anak.
Kami membaca Talbiah mewakili anak-anak dan melempar jumrah mewakili mereka.” (HR. Ibnu Majah)
Jika meninggalkan thawaf wada’ atau melempar jumrah,
maka orang tersebut harus membayar dam.
حَدَّثَنَا
أَبُو عَمَّارٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ فَلْيَكُنْ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ
إِلَّا الْحُيَّضَ وَرَخَّصَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو
عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا
عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ
“Telah menceritakan kepada kami Abu
'Ammar, telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus dari 'Ubaidullah bin 'Umar
dari Nafi' dari Ibnu Umar berkata; "Barangsiapa yang berhaji ke Baitullah,
maka hendaknya terakhir kali yang dia lakukan ialah di Baitullah, kecuali para
wanita yang haidh. Rasulullah saw pun memberi keringanan bagi mereka." Abu
'Isa berkata; "Hadits Ibnu Umar merupakan hadits hasan shahih dan
diamalkan oleh para ulama." (H.R Tirmidzi)
Konseptor:
1. Anggraeni Putri Rahayu
2. Eka Parida Apriliasari
3. Hanina Maria Ulfah
4. Laily Shofyanida
5. Mutia Afifati
---
dalam lafadz shibyan ... -> namunpertanyaannya adalah semua goongan --- lafadz shibyan disini adala
lafadza Amm—dan dikatakan bagwa disini
adalah yang perlu ditambahkan adalah saudara atua bukan ...
0 komentar:
Posting Komentar