PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Aksiologi
berasal dari kata Axios artinya nilai dan logos studi, dalam terminologi modern
disebut sebagai teori nilai . Posisi tradisional keilmuan pada aksiologis
adalah bahwa ilmu pengetahan harus bersifat bebas dari nilai. Menurut Jujun
Suriasumarti adalah ilmu sebuah pengantar popular bahwa aksiologi diartikan
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di
peroleh.
Posisi yang
sesuai dengan epistemologis objektivis, tidak mengambil posisi yang ekstrim dan
menerima bahwa beberapa unsur subjektivis, dalam bentuk nilai, memengaruhi
proses penelitian. Pertanyaan yang masih diperdebatkan adalah bukan mengenai
apakah nilai masih mempengaruhi teori dan penelitian, melainkan bagaimana nilai
mempengaruhi keduannya
B.
Rumusan Masalah
Makalah
ini meberikan pemahaman tentang
a.
Pengertian Aksiologis
b.
Aspek Aksiologis
c.
Isu Aksiologis
C.
Tujuan
Tujuan dibuatnya
maklalah ini untuk melengkapi tugas yang diberikan oleh dosen Filsafat Ilmu dan
secara tidak langsung makalah ini memberikan atau menambah wawasan, pengetahuan
mengenai aspek dan isu-isu aksiologis.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata Axios artinya nilai dan
logos studi, dalam terminologi modern disebut sebagai teori nilai[1].
Posisi tradisional keilmuan pada aksiologis adalah bahwa ilmu pengetahan harus
bersifat bebas dari nilai. Menurut Jujun Suriasumarti adalah ilmu sebuah
pengantar popular bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh[2].
Posisi yang sesuai dengan epistemologis objektivis, tidak
mengambil posisi yang ekstrim dan menerima bahwa beberapa unsur subjektivis,
dalam bentuk nilai, memengaruhi proses penelitian. Pertanyaan yang masih
diperdebatkan adalah bukan mengenai apakah nilai masih mempengaruhi teori dan
penelitian, melainkan bagaimana nilai mempengaruhi keduannya.
Ada tiga posisi dalam debat :
a. Menghindari
nilai yang mempengarui verifikasi.
Bahwa
proses penelitian terdiri atas banyak tahapan dan bahwa nilai seharusnya mempengaruhi
beberapa dari tahapan ini.
Contohnya
tahapan pemilihan teori dan pertimbanganmengenai paradigma harus dipengaruhi
oleh nilai-nilai penelitian. Para ilmuan memilih untuk memandang sebuah masalah
penelitian melalui kacamata yang mereka percayai dapat secara akurat
menggambarkan dunia. Oleh karenanya para peneliti banyak memilih kerangka
teoritis yang konsisten dengan ontologi pilihan bebas, sementara yang lain
memilih lerangaka yang lebih kaku dan deterministik.
b. Mengenali
bagaimana nilai mempengaruhi keseluruhan proses penelitian
Berpendapat
bahwa tidak mungkin untuk mengenimilasi nilai dari setiap bagian teori dan
penelitian. Bahkan beberapa nilai sangat berparti dalam budaya penelitian
sehingga penelitian tidak sadar bahwa mereka memegang nilai tersebut.
c. Mendukung
bahwa nilai seharusnya berkaitan erat dengan penelitian
Bahwa bukan
nilai saja yang tidak dapat dipahami, melainkan merupakan aspek yang diinginkan dari proses penelitian[3].
B. Aspek
Aksiologis
Aspek aksiologis dari filsafat membahas tentang
masalah nilai atau moral yang berlaku di kehidupan manusia. Dari aksiologi,
secara garis besar muncullah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas
hidup manusia, yaitu etika dan estetika[4].
a. Etika
Etika
adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalahmasalah moral. Kajian etika
lebih fokus pada perilkau, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan
salah satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan
menarik sejak masa sokrates dan para kaum shopis.disitu dipersoalkan mengenai
masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagainya. Etika sendiri dalam buku
etika dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suzeno diartikan sebagai pemikiran
kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral ini sebagaimana telah dijelaskan diatas adalah norma adat, wejangan dan
adatistiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri etika tidak menghasilkan
suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang
kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu
mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Di
dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggungjawab, baik tanggung jawab
terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang
pencipta. Dalam perkembangan sejarah etika ada 4 teori etika sebagai sistem
filsafat moral yaitu hedonism, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi.
Hedoisme adalah
pandangan moral yang
menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme
menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari
amnesia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya
utilitarisme yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan
para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah illahi atau melindungi
apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi adalah pemikiran
tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa
disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia
apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
b. Estetika
Estetika
merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan.
Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat
unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan
hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan
semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai
kepribadian.
Sebenarnya
keindahan bukanlah merupakan suatu kulaitas objek, melainkan sesuatu yang
senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bangun pagi, matahari
memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasakn
kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi
itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat.
Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek
itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal
sebenarnya tetap merupakan perasaan[5]
C.
Isu aksiologis
Problem
aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan dengan masalah
nilai sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu
dalam kesempatan kali ini pemakalah sedikit akan membahas beberapa hal saja
yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan masalah nilai. Tema-tema
yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai itu subjektif atau
objektif.
Perdebatan tentang
hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu menarik perhatian. Ada
yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di
mana pun tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua
orang. Ambil misal mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan
perbuatan tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan
sepakat bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai
objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi objektivitas nilai.
Sementara jika
kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu
tentu saja bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara
tentang penilaian yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya
penilaian setiap orang berbeda-beda tergantung selera, tempat, waktu, dan juga
latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan, yang memengaruhi orang
tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat orang mati)
merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu
dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu diangap
tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama suka
hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu
jelas hina, jelek, dan salah. Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang
dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut
tidak lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat
bahwa nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa yang menilai, waktu dan
tempatnya.
Berbicara
tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah dan benar.
Apa yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan
sebaliknya. Apa yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu
bagus setiap orang tidak mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok
bermoral, tapi itu tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika
membantu orang dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.
Jadi, persoalan
nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena
ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya
sendiri mempunyai nilai. Sesuatu itu baru mempunyai nilai setelah diberikan
penilaian oleh seorang subjek kepada objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun
manusia tidak ada, atau tidak ada manusia yang melihatnya. “Bunga-bunga itu
tetap ada, sekalipun tidak ada mata manusia yang memandangnya. Tetapi nilai itu
tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia tidak melihatnya. Bunga-bunga
itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang mengaguminya. Karena,
nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia sebagai subjek dan
barang sebagai objek[6].”
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Jujun
S.Suriasumantri mengartika aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.. Sedangkan Aksiologi menurut Bramel,
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: pertama, moral conduct, kedua, esthetik
expression dan ketiga, socio-politikal life.
Berkaitan dengan aksiologi, Drs. Prasetya mengatakan
bahwa Aksiologi adalah study tentang nilai, sedangkan nilai itu sendiri adalah
sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan, adapun nilai yang
dimaksud, yaitu: nilai jasmani, dan nilai rohani.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat kuat.
Ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya
“tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada.
Tapi sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika
dimanfaatkan secara benar dan tepat, tentunya tetap mengindahkan aspek moral.
B.
Saran
Makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu
saya sendiri sebagai penulis makalah ini meminta saran agar dapat menjadi garis
bagi saya untuk lebih lagi dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
ABC Pancasila: refleksi komprehensif hal
ihwal Pancasila, Filsafat UGM, 2007. Hal. 24.
Agus Bustanuddin, Pengembangan
ilmu-ilmu sosial: studi banding antara pandangan ilmiah dan ajaran islam, Gema Insasi Press, Jakarta hal. 20.
Turner, Pengantar
Teori Komunikasi 1, Salemba Humainika, 2008, hal. 53
WEBSITE
MAKALAH
Makalah Afid Burhanuddin di Jakarta.
[1]
Dilihat di buku ABC Pancasila: refleksi komprehensif hal ihwal Pancasila, Badan
Penerbitan Filsafat UGM, 2007. Hal. 24.
[2]Dilihat
pada Pengembangan ilmu-ilmu sosial: studi banding antara
pandangan ilmiah dan ajaran islam, oleh Bustanuddin Agus, terbitan Gema Insasi
Press, Jakarta hal. 20.
[3]Dilihat
di buku Pengantar Teori Komunikasi 1, oleh Turner, penerbit Salemba Humainika,
2008, hal. 53.
[4]Diakses
di http://mas-kayunk.blogspot.sg/2014/02/pengertian-aspek-dan-isu-isu-aksiologi.html
pada 10 mei 2014,
[5] Mengutip dari makalah Afid
Burhanuddin di Jakarta.
[6] Lihat di http://mas-kayunk.blogspot.com/2014/02/pengertian-aspek-dan-isu-isu-aksiologi.html pada tanggal 1 juni 2014.
0 komentar:
Posting Komentar