Kontrak Politik
dan Berbagai macam permasalahannya
A.
Teori-teori kontrak
Para mujtahid
aliran-aliran Islam secara keseluruhan selain kelompok Syi’ah bersepakat bahwa
jalan untuk mencapai kursi keimanan adalah melalui pilihan dan kemufakatan,
artinya bukan melalui wasiat atau penunjukan. Tidak ada jalan lain untuk
tercapainya kursi keimamahan kecuali dengan dua jalan tersebut. Keimamahan
menurut as-Sanhuri berkata “ Maksudnya, keimamahan merupakan sebuah kontrak
yang hakiki. Maksudnya, keimamahan ( dapat dianggap sah jika) merupakan kontrak
yang mencukupi syarat-syarat, dilihat dari sudut hukum.
Kontrak
keimamahan merupakan kontrak antara imam dan umat, ulama-ulama islam telah
mengetahui substansi teori Rosseau yang berbnyi bahwa seorang penguasa atau
kepala negara memperoleh keukuasaannya dari umat sebagimana fungsinya sebagai
ulama wakil mereka. Sehingga para ulama Islam telah mengetahui teori kedaulatan
yang dikemukakkan tadi , walaupun teori-teori mereka tetap mengandung nilai
tambah yang spesifik. Tidak hanya bukti sejarah yang mendukung teorinya,
sedangkan teori kontrak islam bersandarkan pada masa lalu yang bersejarah dan
benar-benar terjadi yaitu pengalaman umat islam pada periode keemasan
kekhalifahan islam.
B.
Muamalat dan Bai’at
Para umat islam
tekah memformulasikan beberapa kesepakatan yang ditimbulkan oleh keinginan
manusia yang bebas, dan dilaksanakan dalam interaksi antarvmanusia
dalambeberapa kasus tertentu dan menggunakan kesepakatan yamg telah disertujui
dalam bentuk transaksi atau kontrak. Inilah bagian yang memiliki presentasi
yang sangat besar dalam hukum islam yang disebut al- mu’amalat sebagai lawan
dari bagian yang disebut al-ibadat.
Prosedur yang
menjadi jalan terselesaikannya kontrak tersebut dinamakan bai’at dikiaskan dari
format awal dalam hal jual-beli. Hanya saja, kita perlu menggaris bawahi bahwa
kontrak keimamahan dalam sistem sosial dapat disebiut dengan kontrak pertama
atau kontrak terbesar,yang menjadi sentral semua bentuk kontrak yang lai, dan
meligimastikan terjadinya kontrak-kontrak yang lain. Lebih dari itu, kontrak
tersebut menjadi pilar yang menopang berjalanya sistem pemerintahan.
C.
Kehormata Kontrak dalam Islam
Karena
kehormatan dalam Islam,Allah SWT ttelah mewajibkan untuk menepati kontrak
sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits karena setiap kontrak
memiliki nilai yang sakral. Berdasaran hal itu, setiap faktor yang dapat mempengaruhi keabsahan
kontrak dan memiliki konsekuensi hukum, secara general maupun parsial.
Elemen-elemen
kontrak yang terpenting setelah semua yang telah tersebut diatas adalah syarat
kontrak karena keabsahan kontrak sangat bergantung pada adanya syarat-syarat
itu yaitu,
1.
Umat
adalah Sendi Asal kontrak Keimamahan
Ketika sebuah
kontrak terlaksana dengan ijan dan qabul, itu akan menentukan unsur terpenting
yang memungkinkan kita untuk menjelaskan karakteristik negara karena signifikansi yang dimiliki oleh
jawaban pertanyaan ini kita akan menengahkanya dengan disertai dalil-dalil yang
menguatkannya, seperti dalil-dalil dibawah ini,
a.
Para
ulama fukaha menegaskan bahwa keabsahan sebuah keimamahan hanya tercapai dengan
dua cara. Pertama, dengan menggunakan nash-petuunjuk langsung dari Allah dan
kedua dengan cara pemlilihan, yaitu pemilihan oleh umat.
b.
Para
ulama fuqaha mengkategorikan bahwa menegakan keimamahan adalah fardhu kifayah.
Karena itu, sebetulnya umat mempunyai kewajiban untuk mendirikan keimamahan
karena melaksanakannya dan memenuhi kewajibannya.
c.
Ketika
mendiskusikan definisi-definisi keimamahan selama umat masih menjadi pemilik
kepemimpiman umum, dan selama umat adalah pihak yang berhak untuk memecat seorang imam disebabkan oleh
kefasikannya.
d.
Inilah
naskah ungkapkan al-Baghdadi dalam bukunya yang berjudul Ushuludin yang
mengatakan,
“Mayoritas atau jumhur ulama dari kalangan kita (yang al-Baghdadi
memaksudkan adalah Ahlu Sunnah) dan Jumhur ulama Muktazilah, Khawarij, serta
kelompok an-Najjariyah berpendapat bahwa jalan untuk menetapkan keimamahan
adalah melalui ara pemilihan dari umat.
e.
Disamping
itu, menengahkan beberapa naskah perkataan imam Abul Hasan al-Mawardi dalam
bukunya Al-Ahkam as-Sulthaniyah. Dalam semua itu beliau tidak perlu
dipertanyakan lagi. Inilah sebagian dari penuturan al-Mawardi :
-
Ketika
baiat salah satu dari keduanya telah terjadi
lebih dahulu ( pada situasi ketika terjadi pertikaian antara dua pihak
atas keimamahan) dan susah menentukan siapakah yang lebih terdahulu dari kedua
orang yang bertikai maka permasalahan keduanya bergantung pada hasil
investigasi.
-
Kalau
salah satu dari keduanya mengaku bahwa temannya memang telah dibaiat terlebih
dahulu, maka keimamahan langasung terlepas darui yang mengakui, tetapi tidak
secara iotomatis menjadi hak yang diakui karena sebenarnya dia mengakui hak
kaum muslimin.
-
Imamah
termasuk hak milik umum, yang tergabung didalamnya hal Allah dan Hak Asasi
Manusia.
-
Seorang
Imam tidak berhak mencatat siapa yang telah ditunjuknya ( berkienaan dengan
putra mahkota ) selama keadaan yang disebut terakhir ini berubah walaupun dia
memiliki hak prerogratif dalamm mencatatb hal siapapun yang menjadi wakilnya
dalam suatu permasalahan.
Rasulullah SAW bersabda “Jika seorang panglima perang teerbunuh
hendaknya kaum muslimin memilih salah seorang laki-laki ( sebagai
p0enggantinya). “ Jika nabi SAW senfiri telah melakukannya dalam kepemimpinan
perang, t5entu saja hal seperti itu juga beraku dalam ke khalifahan
-
Jika
seorang imam telam melaksanakan apa yang telah kami sebutkan berkenan dengan
hal umat, berarti dia telah melaksanakan juga hal Allah berkenaan dengan hak
kewajiban umat islam itu sendiri
-
Perkara
yang melarang diadakanya kontrak keimamahan dan kontrak kesinambungannya adalah
faktor yang membuatnya tidak mampu menjalankan aktifitasnya... atau bangkit
dari keadaanya... dan jika hal itu terjadi kontrak keimamahan tidak dapatr
dilangsungkan dan diteruskan karena imam itu telah tidak mampu memenuhi
kewajibannya berkaitan dengan hak-hakkaum muslimin
-
Kondisi
darurat terjadi jika sang imam terjatuh menjadi tawanan dirtangan musuh. Imam
tidak dapat melepaskan diri dari tawanan itu, sehingga kontrak keimamahan tidak
dapat dilaksanakan karena dia tidak mampu mengawasi pemerintahan kaum muslimin
pada saaat itulah umat berhak memilih umat lain diantara orang-orang yang
mempunyai kapabilitas.
-
Dalam
hal0-hal yang membedakan seorang imam dari seorang menteri bawha seorang imam dapat menyerahkan kembali
mandat keimamahan kepada umat, sebaliknya seorang menteri tidak dapat melakukan
itu.
-
Jika
seorang panglima perang diangkat oleh khalifah,tidak secara otomatis dia
berhenti dari jabatannya dengan kematian khalifah itu.
2.
Sumber
Kekuasaan Tertinggi
Dari naskah
diatas tadi membuktikan bahwa kontrak keimamahan adalah umat dan membuktikan
bahwa keimamahan atau kekhalifahan merupakanmandat umat. Selain itu,
membuktikan juga bahwa keimamahan merupakan hak umat secara keseluruhan dan
memuat hak-hakmereka secara langsung. Pada hakikatnya tidak berubah dengan
perubahan sudut pandang keimamahan yang merupakan hak Allah yang bertanggung
jawab melakasanakan dan mengayomi hak-hak Allah.
Itulah teori
yang telah dicapai oleh fuqaha syariat Islam, dan yang telahmereka putuskan
dalam buku-buku mereka sejak beberapa abad yang lampau, yang sampai saat ini
belum ada tokoh demokrasi modern yang mengemukakkan teori yang lebih
berkualitas dari pada itu.
3.
Konsep
Iktifa atau Berpresentasi
Karakteristik
sebuah fardhu kifayah disebut sebagai kewajiban umum atausosial bahwa kewajiban
itu tidak mungin dilaksanakan oleh setiap individu dalam waktu yang bersamaan.
Demikian juga masalah keimamahan, masalah tersebut seperti kewajiban-kewajiban
kifayah atau umum, yaitu diwajibkan atas umat secara umum. Diantara
bentuk-bentuk aktivitas umum ini adalah kehakiman, jihad dan pengajaran, juga
termasuk dalam kewajiban kifayah ini adalah pemilihan seorang imam.pemilihan
tersebut yang notabene merupakan sebuah tanggung jawab yang besar dan
membuahkan hasil yang monumental, melainkan harus memperhatikan syarat-syarat
tertentu sehingga menjamin berlangsungnya pemilihan yang berhasil dan dapat
mewujudkan kemaslahatan umum. Karena itu, para pakar syariat islam berfikir untuk
menerapkan iktifaa’ ( mencakupkan pelaksanaannya dari sebagian umat) yang
identik dengan perwakilan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.
4.
Ahlul
Halli wal Aqli
Merupakan ide
dasar dari apa yang digambarkan oleh para ulama fiqh sebagai suatu institusi
khusus yang dinamakan ahlul halli wa’ aqli. Al-mawardi dan beberapa ulama
lainnya menyebutkan ahlul ikthiar ( orang-orang yang memiliki kualifikasi untuk
memilih). Mengenai ini, syarat styarat yang layak dipertimbangkan berkenaaan
dengan mereka ada tiga, yaitu ;
Yang pertama,
keadilan yang integral dengan syarat-syaratnya. Yang dimaksud dengan keadilan
adalah istiqamah, integritas (amanah), dan sifat wara’, atau dalam istilah
sekarang kita katakan ketakwaan dan ahlak mulia.
Kedua,
kapabilitas keilmuwan yang dengannya ahlul halla wal’ aqdi dapat mengetahui
orang yang menjadi imamdan sesuai dengan syarat-syarat yang menjadi bahan
pertimbangan.
Ketiga,
memiliki sikap dan kebijakansanaan (al-hikmah) yang akan mendorong memilih
siapa yang paling tepat untuk menjadi imam dan lebih dapat mewujudkan
kemashlahatan umum.
Imam an-Nawawi
sempat menyingggung juga tentang ahlul halli wal’ aqdi dalam bukunya al-Minhaj
bahwa mereka adalah para ulama, pemimpin-pemimpin, dan pemuka-pemuka rakyat,
yang mudah dikumpulkan. Yang dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan oleh
an-Nawawi adalah para pemimpin umat, atau individu-individu umat yang paling
menonojol ataupunorang yang mempunyai kepentingan umat.
5.
Dua
Intiusi yang Berbeda
Syarat-syarat
ini dan dari perkataan fuqaha dalam tema
tersebut bahwa institusi ( ahlul ijtihad ) dalam buku-buku ilmu fiqh walaupun
keduannya sama. Ijtihad agama memiliki syarat-syarat khusus yang telah
ditentukan, yaitu pencapaian tingkat tertinggi dalam keilmuwan. Untuk
pengertian intuisi yang pertama mungkin dapat kita namakan institusi
peruundang- undangan syariat.
6.
Masalah
Kuantitas
Satu kelompok
berpendapat bahwa keimamahan tidak dapat terlaksana kecuali dengan jumhur ahlu
halli wa aqdi yang mewakili seluruh negeri. Mahzab ahlus Sunnah atau mahzab
mayoritas berpendapat bahwa 0penentuan jumlah tertentu merupakan bentuk
kesewenang-wenangan, dan tidak ada dalill yang mengharuskan untuk berpegang
teguh pada angka tertentu tanpa yang lainnya, selama belum ada nash yang
menyebutkan adanya ijma ulama, dan selama ijab dalam akad merupakan bentuk
tahkim ( pelantikan sebagai pemimpin).
7.
Sanggahan
dan Jawaban
Sebagaian
kritikus menyanggah pendapat tentang jumlah yang hadir dalam pengangkatan imam,
dan juga pendapat- pendapat serupa yang membolehkan pengangkatan imam dengan
hanya dihadiri oleh jumlah yang minim sehingga pendapat mereka menghancurkan
secara mendasar dan pendapat itu tidak sesuai dengan semangat syariat. Sebagian
kelompok muktazilah dan para ulama fikih telah dalam kesalahan ketika mereka mengatakan bahwa pembataian
dipastikan keabsahanya dengan lima personal. Mereka menyebutkan bahwa mahzab
as’syari berpendapat bahwa pembataian dapat terlaksana dengan baiat satu orang
dari kelompok mereka jika dilakukan dihadapkan saksi-saksi. Inilah merupakan tentang
al-Mawardi, “sesungguhnya dia (al-mawardi) dengan cerdiknya telah berusaha
keras untuk menjadikan teori pemilihan sesuai dengan apayang dilakukan oleh
para khalifah pada waktu itu, yaitu bahwa khalifah pada waktu itulah yang menentutkan siapa yang akan menggantikannya.
F. Persatuan
Umat Islam
Argumen
fundamental yang dipakai oleh ulama syariat sebagai pendukung opini mereka dan
berpendapat mengenai larangan pluralitas secara mutlak atupun dalam berdasan
suatu negri adalah banyaknya ayat al-quran dan hadits nabi mengajak kaum
muminin kepada persatuan melarang mereka dari perpecahan dan perselisihan. Para
fuqaha mendapati bahwa persatuan keimaman secara umumsulit dicapai setelah
dipublikan oleh pengalaman-pengalaman oprasional mereka telah berfatwa bahwa
dibolehkan beragamnya keimamahan ketika kawasannya semakin luas dan jarak antar
daerah semakin jauh yang membuktikan kebenaran presfeksi ini adalah bukti-bukti
konkret sejarah bahwa pluralitas keimamahan bisa jadi pada sebagaian kondisi
dan masa lebih mendukung kemampuan umat untuk memeprbaiki kondisi mereka dan
lebih memudahkan pengaturan urusan-urusan mereka, juga dapat melipatgandakan
kekuatan umat. Sedangkan persatuan pemerintahan atau administrasi dengan
berbagai perbedaan karakter dan kebutuhan suatu daerah dan bangsa akan menjadi
kontra produktif, menimbulkan tidak adanya perhatian terhadap rakyat, kekacauan
dan eksploitasi.
Pluralitas
diperbolehkan berdasarkan apa yang dituntut kemaslhatan rakyat saja bukan
kemaslahatan individu atau beberapa keluarga agar hendaknya tercapai persatuan
dalam tujuan dan sasaran. Diantara tujuan-tujuan terpenting adalah agar umat
seluruhnya berdiri dari barisan musuh.
Dalam
perkembangan politik modern ini telah memudahkan manusia untuk memperoleh
gambaran beragam dari sistem politik. Maka yang menjadi kewajiban umat islam
adalah menjadikan komite dan instansi tersebut sebagai sarana untukmencapai
kemaslahatan.
G. Masalah-masalah Parsial
Masalah pertama, apakah dibolehkan mengangkat
seorang khalifah yang tidak lebih unggul? Padahal masih ada yang lebih baik.
·
menurut
Hasan Alsari imam harus dari seseorang yang unggul pada zamannya kalau ada satu
kaum yang mengangkat seseorang kaum yang tidak unggul menjadi imam, maka yang
mengangkatnya itu berasal dari kalngan raja bukan kalangan ulama-ulama.
·
Imam
an-nazhzham dan imam al-jahidz dari kalangan mu’tazilah berkata bahwa
keimamahan hanya berhak diduduki oleh yang paling unggul (al-Afdhal).
·
Mayoritas
ulama’ syafi’iyah membolehkan pengangkatan imam dari seseorang
yang tidak diunggulkan jika orang itu memenuhi syarat-syarat keimamahan.
Masalah
kedua, apakah wajib mengetahuidiri dan nama imam?
·
Syiah
à
mewajibkan mengetahui nama dan pribadi seorang imam.
·
Ahlussunnah
à
yang wajib bagi seluruh umat adalah mengetahui apakah kekhilafahan sudah
terlaksana kepada orang yang layak sifat-sifatnya.
Masalah
ketiga, ketika dua imam dibaiat pada dua negeri yang berdekatan, bagaimana
hukumnya?
·
Pendapat
pertama, bahwa orang yang menjadi imam adalah orang yang telah terlaksanan
baiatnya di dalam negeri tempat imam terdahulu meninggal, karena penduduk negeri itu lebih dikhususkan untuk mengangakat seorang
imam dan lebih berhak untuk mendirirka
kekhalifahan.
·
Pendapat
kedua, untuk keduanya diharuskan menolah jabatan kekhalifahan untuk
dirinya dan menyerahkanya kepada yang
berhak, demi menjagakeselamatan dan meminimalisir fitnah.
·
Al
-Mawardi à
jabatan keimamahan diserahkan kepada
yang terdahulu dari keduanya dalam baiat dan pengangkatan.
·
Imam
ghazali à jiak
mereka berdua berbeda dalam perkara-perakra prinsip, maka wajib mengunggulkan (tarjih)
berdasarkan prinsip mayoritas (Al-katsrah).
Jika
pilihan hanya terabatas untuk memilih satu daru dua orang (pilihan hanya
terabts pada mereka berdua) karena keduanya orang yang layak dan memenuhi
syarat, kemudian meraka berebut untuk menjadi imam. Bagaimana hukumnya?
·
Pendapat
pertama, keduanya dilarang menjadi imamdan dialihkan kepada orang lain karena
pertentangan tersebut merupakan awal bahaya bagi mereka.
·
Pertentangan
itu tidak merupakan awal bahaya yang akan mneghalanginya untuk menjadi
imam.argumentasinya bahwa tim permusyawaratansaling merebutkan dan
mempertentangkan keimamahan, namun tidak menjadi alasan untuk melarang salah
seorang dari mereka menjadi imam.
Masalah
kelima, ketika syarat-syarat keimamahan tidak terpenuhi kecuali oleh satu
orang, bagaimana pendapat para ulama? Konsekuensi hukum telah disepakati bahwa
kaimamahan secra otomatis jatuh kepada orang
yang telah memenuhi syarat keimamahan dan tidak dibolehkan untuk mengalihkanyaselain dia, namun apakah
kekuasaanya telah terkukuhkan tanpa melaui baiat dan pemilihan?
·
Fuqoha
irak à
kekuasaanya dapat dikukuhkan dan keimamahanya dapat terlaksana, walaupun
pembaiatanya belum dilaksanakan oleh tim khalifah.
·
Mayoritas
fuqoha dan ulama ilmu kalam àkeimamahan
tidak terlaksana kecuali dengan kerelaan dan pemilihan.
Masalah
keenam, apakah diperbolehkan mengangkat putra makota lebih dari satu orang, dua
orang atau lebih? Tanpa menentukan satu orang diantara mereka?
·
Diperbolehkan
dengan syarat bahwa jumlah calon putra mahkota harus terbatas.
·
Fuqoha
menyandarkarkan pada peristiwa sejarah yaitu pewarisan kekhakifahan umar kepada
tim musyawarah.
Masalah
ketujuh, jika seorang khalifah
mewariskan jabatan kekahalifahan keppada dua orang atau lebih, dan dia
memutuskan membuat hirarki kemahkotaaan pada mereka. Bagaimana hukumnya?
·
Diperbolehkan
dan kekhalifahan mereka berpndah secara berurutan sesuai dengan urutan yang
telah ditentukan.
·
Seperti
:
v Sulaiman bin abdul malik à umar bin abdul aziz à yazid bin abdul malik
v Harun Ar-Rasyid membuat urutan kepad anaknya :Al-Amin àAl-Makmun àal
Muktamin
·
Dasar
: Qiyas terhadap urutan kacang yang
dilakukan oleh Rasulallah dalam memimpin pasukan perang mut’ah, pertama beliau
menunjuk zaid bin haritsah jika terluka atau tewas diberikan kepada à Ja’far bin Abu Thalib à Abdullah bin Rawahah
jika terluka atau tewas boleh memili pimpinan yang mereka senangi.
D.
Jabatan Putra Mahkota
Ada dua cara untuk tercapainya
keimamahan:
·
Teks
penunjukan (dari agama) atau pemilihan.
·
Penunjukan
putra mahkota oleh imam kepada seorang tertentu atau kepada orang-orang yang
memiliki kriteria tertentu (krabat sendiri atau bukan)
Menurut Al-Mawardi berkata , ‘’ mengenai terlaksananya keimamahan
dengan penunjukan yang dilakukan oleh Kholifah/raja adalah hal yan telah
tercapai ijma’/kesepakatan untuk pembolehannya, dan telah disepakati
keabsahannya, yaitu dengan dua perkara yag telah dilakukan oleh kaum muslimin
dan mereka tidak saling berselisih.
·
Bahwa
Abu Bakar r.a telah menurunkan kehkalifahan kepada Umar r.a dan kaum muslimin
mengakui keimamahan Umar dengan penunjukan yang di lakukan Abu Bakar r.a
·
Bahwa
Umar r.a telah mewariskan keimamahan kepada tim permusyawarahan (ahli syura).
Para ahli syura tidak menolak untuk masuk ke dalam tim ini. Hal itu karena
meyakini akan sahnya penunjukan itu.
1. Kriteria Putra Mahkota
Dalam pembaiatan seorang
yang akan menjadi imam harus memenuhi kriteria keiamamahan, yaitu :
·
Imam
harus dapat di percaya (amin)
·
Mempunyai
kredibilitas (tsiqoh)
·
Wara’
·
Seorang
yang ikhlas kepada Allah
·
Bias
memberi nasihat bagi kaum muslimin.
Pendapat Al-Mawardi,” ketika seorang imam berkeinginan untuk
menunjuk seorang pengganti, dia harus mengerahkan kemampuan pikirannya untuk
memilih orang yang paling berhak dalam kedudukan keimamahan dan paling mampu
memenuhi syarat-syaratnya”.
Para fuqoha’ berpendapat bahwa barang siapa yang ditunjuk sebagai
[utra mahkota kekhalifahan maka harus sudah mengetahui syarat-syarat
keimamahan. Apabila syarat syarat itu tidak terpenuhi maka penunjukan itu
menjadi tidak sah (batal)dengan sendirinya.
2. Keimamahan Tidak Diwariskan
Ø Bagaimana hukum keimamahan yang diwariskan ?
Para mayoritas
umalam sepakat bahwa keimamahan itu tidak boleh diwariskan.
Abdul Qahir Al-Baghdadi berkata,” semua yang menyepakati keimamahan
Abu Bakar pasti akan berkata juga bahwa keimamahan ini tidak diwariskan.
Maksudnya setiap orang yang berpendapat bahwa keiamamahan didapat melalui
proses pemilihan.
Ibnu Hazm berkata,” tidak ada perbedaan pendapat diantara para
pemeluk agama islamatas tidak bolehnya pewarisan dalam kehkalifahan ini”.
Demikian, system pewarisan pemerintahan (monarki) ama sekali tidak memiliki
legitimasi dalam islam.
3. Kerelaan Umat terhadap Pengganti
Dalam pemilihan kekhalifahan, selain harus terpenuhinya
syarat-syarat kekhalifahan, maka dengan melihat realita dalam sejarah
kekhalifahan pada masa Umar r.a dan Utsman r.a tidak dapat di pungkiri bahwa
telah terlaksana dengan kerelaan Umat dan telah tercapai kesepakatan atas
keduanya, tanpa ada seorang pun yang keluar dari barisan.
Masalah pembaiatan Umar dan Utsman menjadi bahan perdebatan pada periode
sang muhaqqiq Ibnu Taimiyah. Setelah beberapa lama mendiskusikan maslah
tersebut beliau berkata,”Demikian juga Umar tidak ditunjuk oleh Abu Bakar,
sesungguhnya Umar baru menjadi imam (khalifah) ketika masyarakat membaiatnya
dan mentaaatinya. Jika ditakdirkan masyarakat tidak melaksanakan wasia Abu
Bakar dan tidak mau membaiat Umar, niscaya Umar tidak akan menjadi imam
(khalifah)”.
Hal itu menunjukan bahwa kesepakatan umat merupakan prinsip-prinsip
dasar dan kerelaan umat merupakan legitimasi kontrak keimamahan.
E. Antara
Pluralitas dan Persatuan
Prinsip yang telah disepakati adalah umat dilarang memiliki seorang
imam lebih dari satu orang dalam satu daerah atau satu wilayah. Baiat tidak
akan terlaksana untuk dua orang atau lebih karena hal itu menimbulkan
pertentangan, perpecahan, dan perselisihan.
Para ulama’ meliputi imam Al-Baghdadi, Imam Al-Mawardi Imam
Al-Haramain dan ibnu Hazm, mereka berpendapat bahwa mengangkat dua orang
pemimpin dalam satu daerah dan dalam satu waktu maka itu tidak di perbolehkan.
Kecuali Muhammad bin Karam As-Sajastani dan Abu Ash-shabah
As-Samarqandi, serta para pengikutnya mereka memperbolehkan adanya dua orang
imam dalam satu waktu. Mereka berdua berargumentasi dengan ucapan kaum Anshar,
atau orang yang berkata dari kelompok mereka pada hari Saqifah,” Dan kami
seorang Amir dan begitu juga dari kelompok kalian. Mereka juga berargumen pada
kasus yang terjadi antara Ali r.a dan
Husain melawan Mu’awiyah.
Al-Mawardi mendefinisikan sebagai berikut.” Ketika seorang amir
dapat berkuasa di astu negeri dengan
kekerasan tempat dia telah dinobatkan oleh seorang khalifah untuk menjadi
amirnya, maka amir tersebut telah memonopoli semua kebijakan dalam berpolitik
dan dalam mengatur negeri tersebut. Dalam pelaksanaan hokum-hukum agama, khalifah
harus melalui izin amir itu. Kosndisi seperti ini, walaupun keluar dari
kebiasaan pengangkatan mutlak dalam syarat dan hokum-hukumnya, didalamnya masih
ada jaminan bahwa undang-undang masih tetap terjaga, begitu juga hokum-hukum
agama yang tidak boleh ditinggalkan sehingga menjadi kacau atau menjadi rusak
dan cacat. Tidak dapat di pungkiri bahwa kondisi seperti ini merupakan contoh
dari pluralitas.
0 komentar:
Posting Komentar