FATWA MUI TENTANG CARA PENSUCIAN EKSTRAK RAGI (YEAST EXTRACT) DARI
SISA PENGOLAHAH BIR (BREWERYEAST)
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masalah
Bir secara harafiah berarti segala
minuman berolkohol yang diproduksi melalui proses fermentasi bahan berpati
seperti biji malt, cereal dan diberi aroma flavor hops, tetapi tanpa proses
melalui proses penyulingan setelah fermentasi. Proses pembuatan Bir disebut
Brewing. Karena bahan yang digunakan untuk membuat Bir berbeda antara satu
tempat dengan tempat lainnya, maka karakteristik Bir seperti rasa dan warna
sangat berbeda baik jenis maupun klasifikasinya.[1] bir yang
termasuk kategori minuman khamr yang haram hukumnya,[2] akan
tetapi hasil limbah produksi bir berupa ekstrak
ragi (yeast extract) dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk, misalnya media
mikroba bahan penyusun flavor/seasoning suplemen karena
banyak mengandung mineral, vitamin dan protein.
MUI Sebagai sebuah organisasi keagamaan tingkat
nasional, tentunya Majelis Ulama Indonesia memiliki standar operasional
prosedur (SOP), terutama dalam merespons berbagai permasalahan, baik berupa
pertanyaan melalui surat, ataupun melalui media lain. Standar operasional
prosedur ini dalam bahasa yang dikemukakan oleh MUI sebagai pedoman rumah
tangga. Dalam hal fatwa, MUI memiliki Mekanisme kerja Komisi Fatwa MUI yang
telah ditetapkan pada tahun 1997 dengan Nomor U-634/MUI/X/1997. Pedoman ini
merupakan penyempurnaan dari pedoman penetapan fatwa yang diputuskan pada tahun
1986. Karena menganggap bahwa pedoman penetapan fatwa yang ada dianggap kurang
memadai, maka Komisi Fatwa MUI melakukan penyempurnaan terhadap metode fatwa
yang lama dan mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pedoman dan Prosedur
Penetapan Fatwa Majelis Ulama tanggal 12 April 2001.
Majelis
Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan
cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama, Sehingga MUI tak lepas dalam memandang fenomena yang terjadi di masyarakat indonesia
sebagai hasil dari pengejawentahan terhadap pembacaan situasi dan kondisi yang
mempengaruhi pola dari paradigma yang ia bangun sehingga menghasilkan produk
hukum yang khas.
Pada tahun 2003 MUI menetapkan bahwa ekstrak ragi (yeast
extract) dari sisa pengolahan bir (brewer yeast) bisa dimanfaatkan
setelah dicuci hingga hilang warna, bau dan rasa birnya, akan tetapi belum ada
penjelasan mengenai tata cara pensuciannya, atas dasar hal tersebut, muncul
pertanyaan mengenai tata cara pencucian tersebut.oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI
memandang perlu menetapkan fatwa tentang Cara Pencucian Ekstrak Ragi (yeast
Extract) Dari Sisa Pengolahan Bir (Brewer Yeast), sebagai pedoman.
II.
Rumusan Masalah
Bagaimana cara pensucian ekstrak ragi (yeast
extract) dari sisa pengolahah bir (brewer yeast)
menurut MUI?
III.
Tujuan Penulisan
Untuk menjelaskan cara pensucian ekstrak ragi (yeast
extract) dari sisa pengoiahah bir (brewer yeast)
menurut MUI?
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian
Ragi bir
adalah Sebuah makanan nutrisi diproduksi sebagai produk sampingan dari industri
pembuatan bir. Setelah fermentasi bir 5-10, ragi tidak lagi dianggap dapat
diterima untuk membuat bir. Ragi ini kemudian dikeringkan dan diproses untuk
membuat enzim yang tidak aktif. Ragi bir dimakan untuk tinggi B-vitamin dan
kandungan protein sebagai suplemen nutrisi. Namun, ragi tidak akan digunakan
untuk membuat roti.[3]
Menurut MUI, ekstrak ragi (yeast
extract) ialah produk yang berupa isi sel ragr yang diproses dengan cara
memecahkan dinding sel ragi sehingga isi sel ragi terekstrak keluar kemudian
dinding selnya dipisahkan. isi sel ragi dimanfaatkan untuk berbagai produk
pangan dan suplemen stelah melalui beberapa tahapan proses.[4]
II.
Dasar
Hukum
1.
Al-Quran
Surat Al-A’raf 157
@Ïtäur.... ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ...
...dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk ...
Maksudnya: dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada
lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya:
mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada
pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat,
memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain
yang kena najis.
Ayat
di atas menunjukkan halalnya segala sesuatu yang baik(at-hayyibat) dan mengharamkan segala sesuatu yang buruk {al-khabaits).
Salah satu penyebab sesuatu dianggap
buruk (khabits) adalah jika terkena najis (Mutanajjis).
2. Hadis-hadis Nabi SAW, Antara lain :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ ابْنِ
شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَن ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مَيْمُونَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ فَأْرَةٍ سَقَطَتْ فِي سَمْنٍ فَقَالَ
أَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوهُ وَكُلُوا سَمْنَكُمْ
Telah menceritakan kepada kami
Isma'il telah menceritakan kepadaku Malik dari Ibnu Syihab Az Zuhri dari Ubaidullah
bin 'Abdullah dari Ibnu 'Abbas dari Maimunah, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam pernah ditanya tentang bangkai tikus yang jatuh ke dalam lemak
(minyak samin). Maka Beliau menjawab: "Buanglah bangkai tikus itu ada apa
yang ada di sekitarnya, lalu makanlah lemak kalian."
Dari
Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: "apabila tikus jatuh di dalam
keju, (maka lihatlah): jika (keju tersebut) padat maka buanglah (keju yang
tertimpa tikus) dqn sekitarnya (lalu makanlah yang lainnya), tapi (jika keju
tercebut) encer maka janganlah kamu mendekatinya" (HR Ahmad don Abu Daud)
Dua
hadis di atas menunjukkan tata cara menghilangkan najis dari makanan, yaitu
dengan dirinci (tafshil):jika makanan cair terkena naiis maka tidak bisa
disucikan karena sudah bercampur, sedangkan jika makanan tidak cair (jamid)
maka cukup dibuang makanan yang bersentuhan langsung dengan najis, sedangkan
yang, tidak bersentuhan langsung dengan najis dapat dimanfaatkan.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ
أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلَتْ امْرَأَةٌ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ
إِحْدَانَا إِذَا أَصَابَ ثَوْبَهَا الدَّمُ مِنْ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ
إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنْ الْحَيْضَةِ فَلْتَقْرُصْهُ ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِمَاءٍ
ثُمَّ لِتُصَلِّي فِيهِ
Telah menceritakan kepada kami
'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisam bin
'Urwah dari Fatimah binti Al Mundzir dari Asma' binti Abu Bakar Ash Shiddiq
berkata, "Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, katanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu bila
seorang dari kami bajunya terkena darah haidh Apa yang harus
dilakukannya?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu menjawab:
"Jika darah haidh mengenai pakaian
seorang dari kalian, maka hendaklah ia bersihkan darah yang mengenainya, lalu
hendaklah ia percikkan air padanya, kemudian hendaklah ia shalat
dengannya."
Dari
Abu Hurairah RA, Khaulah RA bertanya: wahai Rasululah,jika (bekas) darahnya
tidak hilang? la SAW menjawab: "kamu cukup mencucinya dengan air, dan
tidak masalah dengan bekasnya" (HR At-Tlrmidzi)
3.
Pendapat
Para Ulama’
a.
Pendapat lbnu
Rusyd ulama mazhab Maliki, dalam kitabnya " Bidayah al-mujtahid
waniyatul muqtashid ‘' sebagai berikut :
وللعلما ء في
النجا سة تخا لط المطعو ما نت الحلا ل مذ هبا ن : أ حد هما : من يعتبر في التحريم
المخا لطة فقد و إ ن لم يتغير للطعا م لون ولا را ءىحة ولا طعم من قبل النجا سة
التي خا لطته و هو المشهور والذي عليه الجمهور. والثا ني : مذهب من يعتبر في ذلك
التغير , وهو قول أهل الظا هر و رواية عن مالك
"Di kalangan ulama dalam mananggapi masalah
najis yang tercampur dengan makanan halal terbagi dalam dua pendapat: pertarna,
ulama yang menganggap haram karena terjadinya percampuran walaupun makanan
tersebut tidak berubah warna, bau, dan rasa karena telah bercampur dengan
najis. Pendapat ini adalah pendopat sebagian besar jumhur) ulama. Kedua,
pendapat ulama yang memperhitungkan perubahannya, Pendapat ini adalah
pendapat
mazhab zhahiri dan pendapat imam Malik”.
b.
Pendapat Ibnu
al-Khathib as-Syarbini dalam kitab "Mughni al-Muhtaj lla Ma'rifati
Alfadhi al-Minhaj” sebagai berikut ;
(و يشتر ط ورودالماء)
على المحللاإن كا ن قليلا في الا صح لنلا يتجس الما ء لو عكس لما علم مما سلف أ نه
ينجس بمجرده وقوع النجا سة فيه
"dan
disyaratkan (dalam mencuci barang terkena najis) mengucurkan air ke tempat yang
terkena najis jika air tersebut sedikit (kurang dari dua kulah), agar air
tersebut tidak malah menjadi mutanajjis. Jika sebaliknya (tidak dikucur tapi
direndam/dicuci dalam air sedikit) maka menjadi najis karena terkena najis di
dalamnya."
c.
Pendapat zakaria
al-Anshari dalam kitab “Tuhfatu at-tullab” adalah sebagai berikut :
(وإزا لتها ) أي النجا سة (ولو من خف ) وا جبة
(بغسل) في غير بغض ما يأتي كبول صبي
(بحيث تزو ل صفا تها ) من طعم ولو ن وريح (إلا ما عسر )
زواله (من لو ن أو ريح ) فلا تجب إزالته بل يطهر محله بخلا ف ما لوجتمعا لقوة دلا
لتهما على بقا ء عين النجا سة . وما لو بقي الطعم لذا لك ولسهولة إ زا لته غا لبا
“Wajib hukumnya menghilangkan
najis walaupun terhadap sepatu selop (khuff) dengan mencatnya hingga
hilang rasa, warna dan baunya, kecuali jika salah satu warna atau baunya sulit
dihilangkan, maka tidak wajib untuk
menghilangkannya.
Ia tetap dianggap suci, Berbeda jika warna dan baunya sama-sama tetap tidak
hilang (maka tetap dianggap terkena najis) karena tidak hilangnya keduanya
secara bersamaan mengindikasikan masih adanya
najis.
Begitu juga (masih dianggap najis) jika yang tidak bisa hilang adalah rasanya,
karena umumnya menghilangkan rasa sangatlah mudah.”
d.
Pendapat Ibnu
Hajar Al-Haitami dalam kitab “Al-minhajul Qawim” sebagai berikut :
(و ما تنجس بغير ذ لك )من سا ءىر ا لنجا سا ت السا بقة و غير ها
(فإ ن كا نة ) نجا سة (عينية ) وهي التي
تدرك بإ حدى الحواس (وجبت إ زا لة عينه
و ) لا تحصل إلا بإ زالة ( طعمه ولونه وريحه ) ويجب نحو صا بو ن وذلك إن تو قفت الإ زالة عليه
(ولا يضر بقا ء لو ن أو ريح عسر زوا له ) كلون الصبغ بأ ن صفت غسا لته ولم يبق
إلا أثر محض وكريح الخمر للمشقة ( ويضر
بقا ؤ هما ) بمحل وا حد وإن عسر زوالهما (أو) بقا ء ( الطعم وحده ) لسهولة إزا لته
وعسر ها نا در.....
“sesuatu yang terkena
najis mutawassithah (najis sedang), jika najis 'aini (najis zatnya) yaitu
najis yang bisa terdeteksi dengan panca indera, maka wajib menghilangkan zat (najis)
nya, yaitu dengan menghilangkan rasa, warna dan baunya, Dan jika untuk menghilangkan
ketiganya harus menggunakan sabun maka harus menggunakannya. Dan tidak masalah
masih terdeteksinya salah satu dari warna atau baunya jika sulit untuk menghilangkannya,
seperti warna, yang masih melekat setelah dicuci dan tidak berbekas kecuali bekasnya
dan seperti bau khamr, karena alasan masyaqqah (sulit menghilangkannya}.
Tapi jika jika dua-duanya dari bau dan werna najis masih berbekas di tempat
yang telah dicuci maka tetap dianggap najis,walaupun sulit menghilangkan
keduanya. Begittt juga masih
dianggap
najis jika masih berbekas rasanya saja, karena sesungguhnya mudah
menghilangkannya dan jarang yang kesulitan”.
e.
Pendapat Ibnu
Hajar Al-Haitami dalam kitab “Tuhfatu Al-muhtaj Fi Syarhi al-minhaj”
sebagai berikut:
ومر
ما يعلمم منه أنه متى عسرت إزا لة النجا سة عن المحل نظر للغسلة فقد فإ ن لم ينقطع
اللون أو الريح معالإ معا ن ويظهرر ضبطه بأن يحصل با الز يا دة عليه مشقة
“sebagaimana
dijelaskan bahwa jika sulit menghilangkan (bekas) najisnya maka cukup dengan dicuci
saja, walaupun masih terdeteksi salah satu dari warn atau
baunya, dengan alasan adanya masyaqqah (kesulitan menghilangkannya)”
4. Keputusan MUI
a. Keputusan
Fatwa MUI tanggal 23 Mei 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal, khususnya
tentang hukum ragi yang berasal dari industri khamr, selengkapnya berbunyi:
"Ragi yang dipisahkan dari proses pembuatan khamr setelah dicuci sehingga
hilang rasa, bau dan warna khamrnya, hukumnya halal dan suci".
b. Keterangan
LP POM MUI dalam rapat Komisi Fatwa tanggal 12
januari 2011, yakni:
a)
Ragi merupakan
entitas tersendiri yang suci yang dijadikan salah satu bahan penolong pembuatan
bir
b)
Ragi adalah
salah satu ienis mikroba yang tidak berbahaya dan hukum asal microba adalah
suci apabila tidak membahayakan
c)
Dalam proses
pembuatan bir, ragi berinteraksi dengan bahan lainnya, kemudian dipisahkan
setelah bahan tersebut berubah menjadi bir.
d)
Ragi bisa
merubah bahan baku menjadi bir tapi walaupun begitu ragi sendiri tidakberubah
c. Pendapat
peserta rapat Komisi Fatwa pada tanggal 28
Desember
2010 dan 12 januari 2011.
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Fatwa tentang cara pencucian extrak ragi (yeast extract)
dari sisa pengolahan
bir (brewer yeast) menurut MUI, dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. ekstrak
ragi (yeast extract) ialah produk yang berupa isi sel ragr yang diproses
dengan cara memecahkan dinding sel ragi sehingga isi sel ragi terekstrak keluar
kemudian dinding selnya dipisahkan. isi sel ragi dimanfaatkan untuk berbagai produk
pangan dan suplemen stelah melalui beberapa tahapan proses.
2. ragi
sisa pengolahan bir (brewer yeast) ialah ragi yang dipisahkan dari cairan
bir dengan cara penyaringan dan isentrifugasi.
3. ekstrak
ragi (yeast extract) dari sisa pengolahan bir (brewer yeast)
hukumnya rnutanajjis barang yang terkena najis yang meniadi suci setelah
dilakukan pencucian secara syar'i(tathhir syar’an).pensucian secara
syar'i sebagaimana dimaksud point satu adalah dengan salah satu cara sebagai
berikut:
a.
mengucurinya dengan air hingga hilang rasa, bau dan warna birnya.
b.
mencucinya di dalam air yang banyak hingga hilang rasa, bau dan warna birnya.
4. apabila telah dilakukan pencucian
sebagaimana point nomor dua secara maksimal, akan tetapi salah satu dari bau
atau warna birnya tetap ada karena sulit dihilangkan maka hukumnya suci dan
halal dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Majelis
Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak
1975, Jakarta, Erlangga, 2011
WEBSITE
http://lordbroken.wordpress.com/2011/10/01/proses-pembuatan-bir/ diakses tanggal 25 mei 2014 pukul 05.30
http://fruktosa.wordpress.com/2012/02/01/ekstrak-ragi-dari-limbah-pengolahan-bir/ diakses tanggal 25 mei 2014 pukul 05.39
http://id.termwiki.com/ID:brewer%E2%80%99s_yeast diakses 26 mei pukul 5.50
[1]
http://lordbroken.wordpress.com/2011/10/01/proses-pembuatan-bir/ diakses tanggal 25 mei 2014 pukul 05.30
[2]
http://fruktosa.wordpress.com/2012/02/01/ekstrak-ragi-dari-limbah-pengolahan-bir/ diakses
tanggal 25 mei 2014 pukl 05.39
[4] MUI, Himpunan
Fatwa MUI Sejak Tahun 1975, (Jakarta, Erlangga:2011), hlm
0 komentar:
Posting Komentar