BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Konflik
merupakan suatu keniscayaan di tengah kehidupan masyarakat. Kehadirannya dapat
dipicu adanya perbedaan nilai, persepsi, kebiasaan, dan kepentingan di antara
berbagai kelompok masyarakat. Ketidaksepakatan atas perbedaan ini perlu
dikelola agar tidak hanya dampak negatif yang kuat muncul namun juga segi
positifnya, yaitu dengan cara menekan dampak destruktif dan berupaya
menumbuhkan peluang yang konstruktif. Sehingga, mampu menciptakan perubahan
sosial yang lebih berarti dalam masyarakat.
Bagi masyarakat
Muslim di Indonesia, hadirnya organisasi keagamaan bukan saja dinilai akan
mampu memperkuat pondasi aqidah dalam masyarakat yakni mampu memperkuat
keimanan kepada Tuhan namun juga sebagai tali pemersatu masyarakat baik Islam
maupun yang beragama lain. Ini salah satu alasan kemunculan Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah. Kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini
sedari awal, tepatnya pada generasi kedua, telah memiliki perbedaan sudut
pandang tentang hukum-hukum Islam. Diantara perbedaan yang manifest dalam corak
kehidupan bermasyarakat ialah pemahamannya terhadap cara penafsiran Al-Qur’an
dan Hadits. Ambil contoh saja misalnya, jika Muhammadiyah mengartikan bid’ah
sebagai suatu pengadaan ibadah yang tidak pernah ada di masa Rasulullah SAW,
maka NU lebih mengartikan bid’ah sebagai suatu penambahan ibadah yang berakibat
merusak fundamentalitas dalam amalan ibadah itu sendiri. Perbedaan yang
mendasar dari keduanya berdampak langsung terhadap masyarakat.
Persoalan
semakin memuncak ketika kedua organisasi dihadapkan pada penentuan tanggal 1
Syawal, yaitu penentuan Hari Raya Idul Fitri. Dalam hal ini semenjak tahun
1950an, pemerintah mengambil posisi sebagai penengah dengan mengadakan sidang
itsbat, yang bertujuan menyatukan tanggal hari raya untuk masyarakat Muslim di
Indonesia yang diikuti oleh organisasi-organisasi dan ormas-ormas Islam
se-Indonesia. NU dan Muhammadiyah mempunyai metode yang berbeda satu sama lain
dalam menentukan 1 Syawal. Disatu sisi, NU menggunakan metode rukyatu al-hilal
atau menganalisis tata letak bulan dan metode hisab atau perhitungan matematis
dalam penanggalan, sedangkan disisi lain, Muhammadiyah enggan menggunakan
metode rukyatu al-hilal dan hanya memilih menggunakan metode hisab untuk
menentukan satu Syawal. Seringkali pendapat Muhammadiyah yang demikian itu
tidak menjadi pertimbangan, karena pemerintah cenderung mengikuti pendapat dari
NU. Hal ini memuncak pada tahun 2012 ini, Muhammadiyah menolak mengikuti sidang
itsbat karena terlalu sering pendapatnya tidak didengar.
B.
Rumusan Masalah
Tulisan ini akan
mencoba menganalisis konflik penetapan 1 Syawal antara NU dan Muhammadiyah.
1.
Apakah hanya karena adanya perbedaan metode atau jangan-jangan ini
permasalahan kecil sebagai akibat pondasi aliran yang berbeda?
2.
Lalu dimana posisi pemerintah? Apakah telah memposisikan diri sebagai
mediator atau bahkan penyebab konflik karena tidak adanya peraturan perundangan
yang tegas dalam menentukan tanggal 1 Syawal?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penentuan 1 Syawal Melalui Sidang Itsbat
Bulan Ramadhan
dan Hari Raya Idul Fitri adalah momen paling ditunggu bagi umat Islam. Berbeda
dengan hari raya lainnya seperti Idul Adha, waktu awal dan berakhirnya bulan
Ramadhan perlu dihitung di tiap tahunnya melalui metode-metode yang berkembang
di berbagai kelompok organisasi Islam di seluruh dunia. Pada umumnya ada dua
sistem penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan yang sering dipakai, yaitu
metode hisab dan rukyat. Perbedaan sistem penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan
ini sering menjadi polemik di kalangan umat Islam Indonesia, terlebih dua
organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama,
sering kali berbeda pendapat tentang awal bulan Ramadhan dan hari raya Idul
Fitri.
Pemerintah
melihat perbedaan yang sering muncul dan menciptakan sebuah sistem untuk
mengakomodir perbedaan tersebut dalam sebuah event bernama Sidang Itsbat yang
mulai dilakukan tahun 1962 (http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/07/11/sidang-isbat-upaya-pemerintah-memberi-kepastian-di-tengah-keragaman/).
Dalam sidang ini hasil dari proses penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan baik
lewat metode hisab ataupun rukyat dikumpulkan dan didiskusikan untuk
menciptakan sebuah keputusan bersama yang bersifat nasional. Dari tahun 1962 hingga
2011, penentuan hari raya Idul Fitri secara nasional melalui sidang Itsbat
cenderung tidak menimbulkan hal-hal baru, beberapa kali mungkin terjadi
perbedaan secara nasional seperti tahun 1992.
Konflik antara
NU dan Muhammadiyah dalam kurun waktu ini sebetulnya tidak berkembang hingga
taraf destruksi, hal ini bisa dilihat pada saat setelah Idul Fitri keadaan
antara NU dan Muhammadiyah dalam topik ini cenderung mencair, bahkan saat
penentuan Idul Adha praktis hampir tidak pernah ada perbedaan, meskipun saat
mulai memasuki bulan Ramadhan, konflik ini mulai mencuat. “Status Quo” ini
kemudian “dipecah” saat Muhammadiyah memilih untuk tidak mengikuti Sidang
Itsbat pada penentuan hari raya Idul Fitri tahun 2012.
Muhammadiyah
menganggap bahwa sidang itsbat sudah melenceng dari tujuannya, sidang Itsbat
yang awalnya mengakomodasi perbedaan-perbedaan dalam sistem penentuan hari raya
Idul Fitri menjadi proses penghakiman terhadap kelompok minoritas pengguna
metode penentuan yang berbeda (Maklumat Muhammadiyah nomor 444 tahun 2011
tentang evaluasi sidang Itsbat). Ini yang menjadi puncak konflik. Benarkah ini
dikarenakan Muhammadiyah merasa pendapatnya tidak digubris? Apakah hanya
perbedaan metode? Lantas, apa yang menjadi akar permasalahannya? NU dan
Muhammadiyah bagaikan gunung es yang entah seberapa dalam es yang ada di bawah
permukaan laut. Apa yang ada di balik permukaan bisa jadi itulah akar
permasalahannya.
B.
NU dan Muhammadiyah: Perbedaan Menentukan 1 Syawal
Nahdlatul Ulama
atau yang kemudian lebih dikenal dengan NU merupakan suatu
organisasi yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama kenamaan
kelahiran Jombang, Jawa Timur. Pada tahun 1926 atas desakan sejumlah ulama
Indonesia yang menghawatirkan terjadinya gelombang wahabisme dalam skala global
dan penjajahan kolonial Belanda dalam skala nasional, KH. Hasyim Asy’ari
diminta untuk menginisisasi sebuah gerakan persatuan untuk mewadahi perjuangan
kaum muslim Indonesia baik untuk memerdekakan diri dari penjajahan maupun untuk
memproteksi dari paham-paham yang bertentangan dengan ajaran Islam yang lurus.
Kehawatiran NU
terhadap gerakan wahabi di dunia dapat diketahui dari jauh sebelum kelahiran
NU, tepatnya di tahun 1912, organisasi Islam bernama Muhammadiyah telah
didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta. Kelahirannya merupakan
sebuah upaya nyata dari kaum Muslim Indonesia untuk memproteksi diri dari
zanding yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dahulu pada masa
penjajahan, Belanda memiliki berbagai akses pelayanan publik yang strategis,
diantaranya ialah Rumah Sakit dan Sekolah. Untuk mendapatkan fasilitas
pelayanan publik ini, seorang pribumi harus mematuhi atau menuruti kemauan
pihak Belanda. Bahkan tidak jarang mereka dipaksa untuk berpindah keyakinan.
Keadaan semacam itu menggerakkan hati KH. Ahmad Dahlan dan murid-muridnya
melakukan kegiatan filantropi dibidang sosial dan keagamaan, sehingga pribumi
tidak lagi ketergantungan dengan pihak Belanda dan mereka bisa bebas
mempertahankan keyakinannya tanpa takut lagi terhadap sulitnya akses pelayanan publik.
Dalam
perjalanannya, NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi yang berasal dari satu
ajaran yang sama, sebab para pendirinya, yakni KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad
Dahlan sama-sama dididik langsung oleh KH. Sholeh Darat, Semarang dan KH. Ahmad
Khatib dari Minangkabau. Sebelumnya tidak banyak perbedaan antara kedua ormas
tersebut. Namun pada generasi kedua, NU dan Muhammadiyah mulai terjebak pada
perbedaan-perbedaan dalam menafsirkan agama Islam. Perbedaan-perbedaan itu
merambat hingga ke persoalan hukum. Diantara perbedaan itu misalnya, mengenai
tatacara pelaksanaan sholat Subuh, jika dari NU melihat secara teknis sholat
Subuh perlu memanjatkan do’a Qunut, maka Muhammadiyah sebaliknya, bahkan
menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Kendati
demikian, perbedaan semacam itu beberapa diantaranya masih bisa ditolerir,
sedangkan sisanya kerap menuai konflik yang cukup berarti. Isu mengenai
penetapan satu syawal misalnya, dalam lingkup nasional, NU dan Muhammadiyah
dengan masing-masing pengikutnya merasa satu-sama lain lebih benar dan lebih
layak untuk diikuti. Akibatnya, perdebatan di akar rumput pun tidak dapat
dihindari.
Sebelum lebih
jauh kita melihat perbedaan kedua ormas tersebut dalam menetapkan satu Syawal, agaknya
perlu terlebih dahulu kita melihat, awal mula penyebab perbedaan keduanya.
Perlu diketahui, pada tahun 1903 Ahmad Dahlan berangkat ke Mekkah untuk
menuntut ilmu, setelah sebelumnya (th 1888) ia ke Mekkah untuk keperluan Haji.
Dan pada perjalanan ke Mekkahnya yang kedua ini, ia berguru pada Syaikh Ahmad
Khatib dari Minangkabau, yang juga guru Hasyim Asy’ari. Selain belajar dari
Syaikh Ahmad Khatib, Ahmad Dahlan juga mempelajari karya-karya Muhammad Abduh
termasuk magnum-opusnya Tafsir al-Manar hal ini juga dilakukan Hasyim Asy’ari
ketika di Mekkah, karya Muhammad Abduh ini kemudian diduga menginspirasi Ahmad
Dahlan untuk melakukan pembaharuan dalam berdakwah (Ida 1996, h. 3). Sepulang
dari Mekkah, Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, organisasi ini mencoba
melakukan pembaharuan terhadap struktur dan kultur masyarakat yang dirasa masih
mengalami degradasi. Akibat dari upaya pembaharuan tersebut, Ahmad Dahlan
mendapat pertentangan dari berbagai elemen masyarakat yang merasa terusik dan
tidak senang dengan perubahan yang ditawarkan olehnya. Meski demikian, Ahmad
Dahlan terus mencoba jalur persuasif, sehingga perlahan-lahan masyarakat mulai
menerima Muhammadiyah. Namun yang perlu dicatat disana adalah, Ahmad Dahlan
masih kuat memegang mazhab Syafi’i, sehingga sama sekali tidak ada perbedaan
antara ajaran Ahmad Dahlan dengan Hasyim Asy’ari atau Muhammadiyah dan NU.
Sementara itu,
di Hijaz (sekarang bernama Arab Saudi) daerah sekitar Mekkah dan Jeddah, tempat
Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari pernah menuntut ilmu, terjadi pergolakan
serius. Ekses Perang Dunia I menyeret Hijaz dalam konspirasi tingkat tinggi.
Atas provokasi T.E. Lawrence dari Britania, Hijaz melakukan pemberontakan
terhadap rezim Ottoman, yang dipimpin oleh Syarif Hussein, seorang Gubernur yang
diangkat tahun 1908. sehingga pada tahun 1916 Hijaz memplokamirkan
kemerdekaannya sebagai sebuah negara. Ditahun-tahun itu pula (1908-1912), dalam
suasana perpolitikan yang carut-marut, tokoh Muhammadiyah seperti Kiyai Mas
Mansoer datang ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Kiyai Mahfudz dari Pacitan,
Jawa Tengah. Puncaknya ditahun 1912 pemerintah Hijaz mengintruksikan kepada
para warga asing untuk keluar dari Hijaz, guna menghindari dampak destruktif
yang mungkin ditimbulkan akibat dinamika perang yang terjadi. Dalam situasi
semacam itu, Kiyai Mas Mansoer yang kelak akan menjadi tokoh terpenting kedua
setelah Ahmad Dahlan di Muhammadiyah memutuskan untuk hijrah ke Mesir. Tidak
lama ia belajar di Mesir, yakni setelah pecahnya Perang Dunia I menurut
sejumlah catatan tahun 1913 Kiyai Mas Mansoer kembali pulang ke tanah air
melalui jalur Mekkah . Namun disini perlu digarisbawahi, ketika Kiyai Mas
Mansoer belajar di Mesir, tepatnya di Universitas al-Azhar, Kairo, Muhammad
Abduh sebagai ulama kaliber wahabi tengah gencar memasukan paham wahabi kedalam
pendidikan al-Azhar. Akibatnya dengan kejeniusan Abduh, paham wahabi berkembang
begitu pesat, bahkan disini Kiyai Mas Mansoer juga tidak lepas dari pengaruh
ajaran Abduh yang saat itu sebagai pengajar aktif di al-Azhar.
Setelah mendapat
pendidikan wahabi di Mesir, Kiyai Mas Mansoer kembali ke tanah air, bergabung
dengan sejumlah organisasi Islam seperti; Syarikat Islam (SI), Tasfwir al-Afkar
(Cakrawala Pemikiran), Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Tanah Air), hingga kemudian
bergabung dengan Muhammadiyah di tahun 1921. Dua tahun setelah bergabungnya Mas
Mansoer, Muhammadiyah kehilangan Ahmad Dahlan, ia wafat tahun 1923, sehingga
pimpinan Muhammadiyah diambil alih oleh KH. Ibrahim. Sejak itu mulai
digencarkan perubahan besar. Mas Mansoer sebagai pionir Muhammadiyah yang
paling urgen dalam salah satu sumber berpendapat bahwa, Muhammadiyah bukan
Dahlanisme, melainkan organisasi independen yang bergerak berdasarkan sistem
organisasi, pernyataan itu dikeluarkan menanggapi kritik yang dilontarkan warga
Muhammadiyah sendiri dalam keputusan Majelis Tarjih yang dianggap sudah banyak
berbeda dengan standar ajaran Ahmad Dahlan. Maka ditahun-tahun berikutnya,
Muhammadiyah banyak meninggalkan tradisi-tradisi lama yang diduga dilakukan oleh
Ahmad Dahlan, termasuk dalam hal ini metode penetapan satu Syawal. Seperti
dikutip dari timeline Muhammadiyah, bahwa organisasi ini mulai meninggalkan
metode aboge dan melihat hilal. Muhammadiyah mulai beralih untuk menggunakan
metode hisab saja. Hal ini dilakukan Muhammadiyah karena enam alasan.
Pertama,
semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari
dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar
menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti
sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk
menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan
bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Kedua,
jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat?
Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah
perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman
Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan
melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al
Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa
menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian.
Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”.
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika
ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka
berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab),
maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa
rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir,
ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni,
menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib
dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui
hisab. Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat
tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui
pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga
kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun
lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang
terstruktur dengan baik. Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan
Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal
bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada
visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada
muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat
merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah
lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat
melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya,
yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran
antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim
dingin melebihi 24 jam. Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa
diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin
menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam.
Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh
dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan
bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk
seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta
astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan
pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan. Keenam, rukyat
menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum
terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah
rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan
lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah.
Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat
melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari
Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah
demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan
membuat sistem kalender menjadi kacau balau .
Alasan
Muhammadiyah diatas merujuk pada pendapat Rasyid Ridha seperti yang tercantum
di alasan kedua, sedangkan Rasyid Ridha ialah seorang ulama wahabi penulis
majalah al-Manar, pendpat-pendapat Ridha memang banyak bertentangan dengan
beberapa ulama dunia, termasuk NU di Indonesia. Statemen Muhammadiyah ini
sekaligus mempertegas indikasi infiltrasi wahabi dalam tubuh Muhammadiyah.
Sampai disini kita dapat melihat sedikit akar perbedaan yang timbul antara NU
dan Muhammadiyah. Perbedaan itu bukan muncul dari cara pandang Hasyim Asy’ari
dan Ahmad Dahlan, melainkan lebih kepada antara paham ahlussunah dengan
wahabisme dalam skala global. Itu artinya, menyatukan pandangan antara NU
dengan Muhammadiyah sama sulitnya dengan menyatukan pandangan dua paham Islam
yang saling menghegemoni di dunia tersebut, termasuk dalam kasus penetapan satu
Syawal.
C.
Analisis Konflik Antara NU dan Muhammadiyah
Konflik antara
NU dan Muhammadiyah memang sebuah persoalan yang pelik namun sebenarnya konflik
tersebut merupakan suatu hal yang bisa dikelola. Dalam bagian analisa konflik
ini akan dibahas mengenai perspektif dalam memandang konflik, serta anlisa
sederhana mengenai konflik melalui model segitiga milik Galtung. Jika dilihat
dari ketiga persepektif yang ada dalam memandang sebuah konflik yaitu conflict
resolution, conflict transformation, serta conflict management maka hanya ada
satu perpektif yang paling memungkinkan untuk diambil sebagai langkah untuk
penyelesaian konflik, yaitu conflict management. Berikut alasan mengapa dua
perspektif konflik lainnya tidak bias atau lebih sulit untuk
diimpelementasikan. Konflik diantara keduanya sulit atau bahkan tidak mungkin
diselesaikan melalui pendekatan resolution conflict, karena jika ditelusuri
lebih lanjut konflik tersebut merupakan konflik ideology yang sangat sulit
untuk didamaikan. Pendekatan resolution conflict juga tidak dapat diterapkan
dalam konflik ini karena latar belakang sejarah dan budaya antara keduanya
sulit dicari titik temunya karena perbedaan yang memang telah mengakar dalam
setiap sisi. Jika ingin menyelesaikan dengan menggunakan pendekatan conflict
transformation pun, salah satu pihak semestinya ditransformasikan kedalam satu
aliran padahal jika hal tersebut terjadi, intensitas konflik dapat dipastikan
makin tinggi dikarenakan adanya perlawanan dari salah satu pihak yang
ditransformasikan. Oleh karena itu conflict management menjadi perspektif yang
lebih tepat dalam memandang masalah NU dengan Muhammadiyah ini, dikarenakan
konflik antara NU dan Muhammadiyah dianggap tidak dapat diselesaikan namun
hanya dapat dikelola agar dalam perkembangannya kerugian akibat bisa
diminimalisir dampak negative terhadap masyarakat.
Dalam sebuah
manajemen konflik, konflik dikelola dan dicari cara pemecahannya hingga dapat
dicapai hasil yang maksimal. Tujuan manajemen konflik adalah untuk mencapai
kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan
meminimalkan akibat konflik yang merugikan (Walton, R 1987:79). Hal tersebut
juga telah coba dilakukan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan sidang isbat
yang telah dilakukan sejak 1962. Namun dalam pengelolaan konflik tidak jarang
terjadi permasalahan hingga mengakibatkan gagalnya sebuah resolusi konflik.
Seperti saat Muhammadiyah enggan menghadiri sidang isbat pada tahun 2011
kemarin suasana menjadi cukup panas diantara umat Muslim akibat dari sikap
Muhammadiyah tersebut. Salah satu pemicunya adalah Muhammadiyah menganggap
bahwa ada proses penghakiman terhadap kaum minoritas dalam penentuan tanggal
tersebut, pemicu lainnya berasal dari sikap Thomas Djamaluddin yang dianggap
memojokkan mereka. Mengingat kegagalan dalam mengelola konflik dapat menghambat
pencapaian tujuan suatu organisasi, maka pemilihan terhadap teknik pengendalian
konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi (Rahayu, S 2007 h.15). Ketika
resolusi konflik memang tidak mampu menyelesaikan maka yang dapat dilakukan
adalah melakukan manajemen konflik, yaitu dengan mengelola konflik sedemikian
rupa untuk meredam konflik yang ada. Namun hingga saat ini belum ada langkah
pasti yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengelola konflik dalam menanggapi
keberatan Muhammadiyah.
Hal yang perlu
diperhatikan juga adalah bahwa tidak ada teknik pengendalian konflik yang dapat
digunakan dalam segala situasi, karena setiap pendekatan mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Oleh karena itu pemilihan teknik pemecahan masalah atau konflik
menjadi hal yang juga penting dalam pengelolaan konflik. Gibson (1996)
mengatakan, memilih manajemen konflik yang cocok tergantung pada factor-faktor
penyebabnya, dan penerapan manajemen konflik secara tepat dapat meningkatkan
kreatifitas, dan produktivitas bagi berbagai pihak yang mengalami konflik
(Rahayu, S 2007 h.17). Dalam masalah ini faktor penyebabnya adalah masalah
perbedaan cara penentuan tanggal, sejarah masing-masing organisasi dan akar
ideology yang berbeda dalam organisasi tersebut. Pemicunya adalah sikap salah
satu peserta sidang isbat 1432 H yaitu Thomas Djamaluddin yang dianggap tidak
patut dan pemerintah yang terkesan diam saja dalam mengendalikan sidang.
Selain itu,
dalam menganalisis konflik penetapan 1 Syawal NU dan Muhammadiyah, dapat
menggunakan pohon konflik untuk mengetahui lebih komprehensif perbedaan
keduanya. Terdapat tiga bagian penting dari pohon, yaitu akar, batang, dan
daun. Akar mengartikan sebagai faktor yang laten (dibawah permukaan) dari
sebuah konflik. Ini terkait dasar munculnya persoalan, yang sifatnya relatif
permanen. Batang sebagai faktor yang manifest yaitu yang nampak di permukaan.
Sedangkan, daun sebagai faktor yang dinamis.
Terkait dengan
NU dan Muhammadiyah mengenai penetapan 1 Syawal, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya akar permasalahannya adalah perbedaan dalam menafsirkan agama Islam
yang akhirnya merambat ke persoalan hukum. Kedua, mengenai faktor manifestasi
lebih disebabkan adanya perbedaan yang mendasar tentang metode penentuan 1
Syawal. Di sini terlihat pemerintah dalam keputusan sidang itsbat kurang mampu
mengakomodir kepentingan dari kedua organisasi terbesar ini. Seraya hanya bisa
membiarkan, dan sepakat untuk tidak sepakat. Ketiga, mengenai faktor dinamis.
Tentu saja permasalahan NU dan Muhammadiyah cenderung terlihat hanya pada saat
hari raya Idul Fitri, setelah itu ketegangan mulai kendor. Komunikasi antar
keduanya mulai renggang pada saat mendekati hari raya Idul Fitri. Mengapa itu
bisa terjadi? Bisa jadi ini karena sidang itsbat yang ditunggu oleh masyarakat
Islam se-Indonesia. Ini terkait seberapa banyak masyarakat Islam yang mengikuti
ajaran dari salah satunya. Ini akan menentukan dukungan atas
organisasi-organisasi Islam tersebut.
Jika dikaitkan
dengan konflik diantara NU dan Muhammadiyah tersebut maka pengendalian konflik
harus dikelola secara baik diantara kedua belah pihak melalui pihak yang
berwenang dan memiliki otoritas yaitu pemerintah. Pemerintah yang merangkul
umat Muslim yang beragam sudah seharusnya menjaga perdamaian diantara umat
muslim itu sendiri sehingga pemerintah diharapkan dapat berperan sebagai
mediator yang netral dalam mengambil sikap diantara kedua belah pihak.
1.
Model segitiga Konflik Galtung
Galtung
menawarkan model segitiga. Ia mengatakan bahwa konflik dapat dilihat sebagai
sebuah segitiga dengan kontradiksi (c), sikap (A), dan perilaku (B) pada
puncak-puncaknya (Liliweri, h. 314). Pada bagian ini penulis akan berusaha
mengidentifikasi konflik dalam analisa konflik menurut Galtung.
Pertama, disini
kontradiksi yang merujuk pada dasar situasi konflik, termasuk “ketidakcocokan
tujuan” yang ada atau dirasakan oleh pihak-pihak yang bertikai, yang disebabkan
oleh apa yang disebut ”ketidakcocokan antara nilai social dan struktur social”.
Dalam konflik asimetris, kontradiksi ditentukan oleh pihak-pihak yang bertikai,
hubungan mereka, dan benturan kepemtingan inheren diantara mereka ( liliweri,
hh. 314-315). Dalam hal ini ideology sudah tentu menjadi indicator utama dari
kontradiksi antara pihak yang yang berkonflik, sejarah dan tujuan organisasi
umat muslim baik NU dan Muhammadiyah memiliki cara dan pandangan yang berbeda.
Namun dalam hal lainnya Muhamadiyah memiliki tujuan yang berbeda dengan
pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama. Muhammadiyah dengan segala alasan
yang ada berusaha untuk melepaskan diri dari sidang isbat atau aturan
pemerintah dan ingin memilih jalan sendiri bagi penentuan tanggal 1 Syawal bagi
umatnya. Berbeda halnya dengan pemerintah dalam hal ini penyelenggaraan siding
isbat sendiri bermaksud untuk menampung segala perbedaan cara yang ada,
memusyawarahkannya kemudian menyepakatinya demi menghindari perpecahan umat.
Kedua, sikap
yang dimaksud termasuk persepsi pihak-pihak yang bertikai dan kesalahan
persepsi antara meraka dan dalam diri mereka sendiri. sikap ini bisa positif,
bisa negative. tetapi dalam konflik dengan kekerasan, pihak-pihak yang bertikai
cenderung mengembangkan stereotip yang merendahkan satu sama lain. sikap ini
sering kali dipengaruhi oleh emosi sperti, takut, marah, kepahitan dan
kebencian. Sikap tersebut termasuk elemen emotif (perasaan), kognitif
(keyakinan) dan konatif (kehendak). Para analis yang menekankan aspek subjektif
ini dikatakan mempunyai pandangan ekspresif terhadap sumber-sumber konflik.
Dalam hal ini perbedaan persepsi terjadi antara Muhammadiyah dan pihak peserta
sidang isbat, Thomas Djamaluddin. Djamaluddin dalam ini bermaksud untuk memberi
kritik terhadap cara penghitungan yang diakukan oleh Muhammadiyah namun akibat
penyampaian yang terlalu lugas di depan umum Muhammadiyah menjadi sakit hati dan
menganggap sikap Djamaluddin tidak etis dan tidak Islami. Pemicu inilah yang
mengakibatkan keengganan Muhammadiyah untuk hadir dalam siding isbat.
Ketiga, perilaku
adalah komponen ketiga. Perilaku termasuk kerja sama atau pemaksaan, gerak
tangan atau tubuh yng menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Perilaku
konflik dengan kekerasan dicirikan oleh ancaman, pemaksaan, dan serangan
merusak. Para analis menekankan aspek objektif seperti hubungan structural,
kepentingan material atau perilaku yang bertentangan, dikatakan mempunyai
sumber konflik (liliweri, h. 315). Sikap pemerintah yang dinyatakan dalam
Maklumat Muhammadiyah nomor 444 tahun 2011 tentang evaluasi sidang Istbat tidak
meng hentikan dan mengingatkan aksi provokatif Thomas Djamaluddin
dianggap oleh Muhammadiyah sebagai dukungan halus yang menunjukkan kubu
pemerintah bertentangan dengan Muhamadiyah. Hal tersebut merupakan faktor
pendukung lainnya mengapa Muhammadiyah tidak ingin lagi menghadiri siding
isbat.
Galtung
berpendapat bahwa tiga komponen harus muncul bersama-sama dalam sebuah konflik
total dan ini memang muncul bersamaan ketika konflik Muhamadiyah dan NU
terjadi. Sebuah struktur konflik tanpa sikap atau perilaku konfliktual meruapakan
sebuah konflik laten (atau konflik structural) namun dalam hal ini telah
termanifestasi dalam pernyataan Maklumat nomor 444 tahun 2011 tentang evaluasi
sidang Istbat . Galtung melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana
struktur, sikap, dan perilaku secara konstan berubah dan saling
mempengaruhi. Ketika konflik muncul, kepntingan pihak-pihak yang bertikai masuk
dalam konflik atau hubungan dimana mereka berada menjadi penindas. Kemudian,
pihak-pihak yang brtikai mengorganisasi diri sekitar struktur ini untuk
mengejar kepentingan mereka. mereka mengembangkan sikap yang membahayakan
dan perilaku konfliktual. Dengan begitu, formasi konflik mulai tumbuh dan
berkembang. Hal ini seringkali merumitkan tugas menyelesaikan konflik asal atau
konflik inti. Bagaimana pun juga, pada akhirnya penyelesaian konflik harus melibatkan
seperangkat perubahan dinamis, yang melibatkan penurunan perilaku konflik,
perubahan sikap, dan mentransformasikan hubungan atau kepentingan yang
berbenturan yang berada dalam initi struktur konflik (Liliweri, h. 316). Jadi
secara sederhana dapat dipahami bahwa segitiga konflik galtung merupakan
analisis hubungan sebab akibat atau interaksi yang memungkinkan terciptanya
konflik sosial. Ada tiga dimensi dalam segitiga konflik galtung, yaitu sikap,
perilaku dan kontradiksi. Begitu juga halnya dalam konflik Muhammadiyah dengan
NU ini, sikap Muhammadiyah disebabkan oleh beberapa hal seperti apa yang telah
dipaparkan diatas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penyebab konflik
antara NU dengan Muhammadiyah bukan karena perbedaan metode keduanya dalam
menentukan 1 Syawal. Namun, ada hal baru yang membuat diantara mereka timbul
konflik, yakni ketika datang dan berkembangnya wahabisme di kalangan tokoh
Muhammadiyah. Perbedaan paham yang mereka anut membuat mereka berbeda
seterusnya.
Melihat hal
tersebut, dapat dipastikan bahwa konflik antara NU dengan Muhammadiyah
merupakan konflik ideologi. konflik antara NU dan Muhammadiyah hanya dapat
dikelola dengan meredam ketegangan. Maka dari itu, pemerintah sebagai pengayom
masyarakat harus bisa lebih netral dan bijak dalam melihat permasalahan ini.
Selain itu, masyarakat Muhammadiyah maupun masyarakat NU harus bisa lebih
menghargai, menghormati, dan menjunjung tinggi toleransi satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ida, Laode 1996,
“Anatomi Konflik: NU, Elit, Islam dan Negara”, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta;
Liliweri, Alo,
2005, “Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Mayarakat
Multikultur”, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta;
Noer, Mohammad
& Firdaus Syam 2008, Peran Serta Masyarakat dan Negara Dalam
Menyelesaikan Konflik di Indonesia, Jurnal Poelitik, vol. 4, no. 2, hh.
421-442;
Pruit, Dean G
& Jeffry Z Rubin 2004, “Teori Konflik Sosial”, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta;
Rahayu, S 2007, Mengelola
Konflik dalam Organisasi, Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara.
0 komentar:
Posting Komentar