MAKALAH TALAQ
PENDAHULUAN
Syari’at islam menetapkan bahwa
akad pernikahan antara suami istri untuk selama hayat dikandung badan, sekali
nikah untuk selama hidup, agar didalam ikatan pernikahan suami istri bisa hidup
bersama menjalin kasih sayang untuk mewujudkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup serta
memelihara dan mendidik anak-anak sebagai generasi yang handal.
Tujuan yang mulia dalam
melestarikan dan menjaga kesinambungan hidup rumah tangga, ternyata bukanlah
suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Banyak kita jumpai bahwa tujuan
mulia perkawinan tidak dapat diwujudkan secara baik. Faktor-faktor yang
mempengaruhi antara lain: faktor psikologis, biologis, ekonomis, pandangan
hidup, perbedaan kecenderungan, dan lain sebagainya. Agama islam tidak menutup
mata terhadap hal-hal tersebut. Agama islam membuka jalan keluar dari krisis
atau kesulitan rumah tangga yang tidak dapat diatasi lagi. Jalan keluar
tersebut dimungkinkan yaitu dengan jalan perceraian. Jalan keluar ini tidak
boleh ditempuh kecuali dalam keadaan terpaksa atau darurat.
Rumusan
Masalah:
1.
Apa saja bentuk-bentuk putusnya suatu perkawinan atas dasar kehendak
suami?
2.
Apa saja bentuk-bentuk putusnya suatu perkawinan atas dasar kehendak
istri?
Tujuan:
1.
Mengetahui bentuk-bentuk putusnya suatu perkawinan
atas dasar kehendak sang suami.
2.
Mengetahui bentuk-bentuk putusnya suatu perkawinan
atas dasar kehendak sang istri.
PEMBAHASAN
A.
Berakhirnya perkawinan atas kehendak suami
Berakhirnya pernikahan atas kehendak atau inisiatif dari
suami, menurut hukum islam dapat melalui tiga cara, yaitu talaq, ila’, dan
dzihar.
1) Talak
1. Pengertian Talak
Secara etimologi kata talak bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurai tali
pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat
perkawinan.[1] Hukum islam
menentukan bahwa hak thalaq adalah suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki
pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu
daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Suami sebagai
pemegang kendali talak sebagai imbangan atas kewajiban suami menyelenggarakan
nafkah. Hal-hal lain yang memberikan wewenang
kepada suami menjatuhkan talak kepada istrinya :
a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suami
yang menerima ijab dari pihak istri pada waktu melaksanakan akad nikah.
b. Suami wajib membayar nafakah istrinya
dalam masa perkawinannya dan dalam masa istri menjalankan masa ‘iddah, apabila
ia mentalaknya.
c. Suami wajib membayar mahar kepada
istrinya pada waktu akad nikah, dan dianjurkan membayar uang mut’ah ( pemberian
sukarela dari suami kepada istrinya ) setelah suami mentalak istrinya.[2]
d. Perintah-perintah mentalak dalam
Al-Qur’an dan Hadist banyak ditujukan kepada suami, seperti dalam surat
At-Thalaq ayat 1 dan 2 dan Al-Baqarah ayat 231.
e. Laki-laki lebih tabah dalam menghadapi
sesuatu yang kurang menyenangkan dibandingkan perempuan.
Suami boleh menjatuhkan talak satu kali kepada istrinya,
akan tetapi talak itu sangat dibenci oleh Allah SWT, terutama jika tidak ada
sebab musababnya. Laki-laki yang sah menjatuhkan
talak adalah suami yang baligh lagi berakal dan tidak ada paksaan.
2. Dasar Hukum Talak
·
Q.S At-Thalaq
Ayat 1:
َا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن
بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْراً -١
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan
isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”
·
Q.S At-Thalaq
Ayat 2:
فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ
لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً -٢-
“Apabila mereka telah mendekati akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar.”
·
Q.S Al-Baqarah
Ayat 231, yang artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu
mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma´ruf,
atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma´ruf (pula). Janganlah kamu rujuki
mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan,
dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu
dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta
ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
3. Hukum Talak
a. Wajib, yaitu apabila terjadi syiqaq (
pertengkaran ) antara kedua suami istri, kemudian diutus dua orang hakam (
pendamai ), tetapi kedua hakam itu gagal dalam usahanya dan tidak ada jalan
lain selain bercerai, maka ketika itu wajib menjatuhkan talak.
b. Makruh/haram, yaitu menjatuhkan talak
dengan tidak ada sebab musababnya.
c. Mubah ( boleh ), yaitu ketika ada suatu
kebutuhan, seperti kurang baik pergaulan dengan istrinya.
d. Sunat, yaitu jika istri tidak menjaga
kehormatannya dan telah diberi nasehat tetapi tidak diacuhkannya.
e. Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika
istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, tetapi boleh dicampuri.[3]
Rukun talak merupakan unsur pokok yang harus ada
dalam talak dan terwujudnya talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur
yang dimaksud. Masing-masing rukun tersebut harus memenuhi persyaratan. Syarat
talak ada yang berkenaan dengan suami, yang berkenaan dengan istri, dan syighat
talak. Suatu talak yang tidak lengkap rukun dan syaratnya, maka talaknya tidak
sah.
Rukun
dan Syarat Talak adalah sebagai berikut :
·
Suami. Suami
adalah orang yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya. Selain
suami tidak ada yang berhak menjatuhkan talak. Suami baru dapat menjatuhkan
talak kepada istrinya apabila telah melakukan akad nikah yang sah.
Ada syarat yang harus dipenuhi oleh suami
agar talak yang dijatuhkannya sah, yaitu berakal, baligh, dan atas
kemauan/kehendak sendiri.
·
Istri. Untuk
sahnya talak, istri harus dalam kekuasaan suami, yaitu istri tersebut belum
pernah ditalak atau sudah ditalak tetapi masih dalam masa iddah.
·
Syighat atau
lafadz talak. Yaitu lafadz yang menunjukkan putusnya ikatan perkawinan, baik
lafadz sharih maupun kinayah. Ada 2 (dua) syarat syighat talak, yaitu :
o Lafadz tersebut menunjukkan talak, baik
sharih maupun kinayah. Oleh karena itu tidak sah talak dengan perbuatan.
o Lafadz tersebut dimaksudkan sebagai ucapan
talak bukan karena keliru.
5. Macam-macam Talak
a. Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya
talak atau keadaan istri waktu talak itu diucapkan, talak dibedakan menjadi:
·
Talak sunni,
merupakan talak yang pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan
sunnah. Kriteria dari talak ini antara lain: istri sudah pernah dikumpuli,
istri segera melakuan iddah setelah ditalak, istri yang ditalak dalam keadaan
suci baik di awal suci atau diakhir suci, dalam masa ssuci pada waktu suami menjatuhkan
talak istri tidak dicampuri.
·
Talak Bid’iy,
merupakan talak yang dijatuhkan tidak menurut tuntunan agama. Yang termasuk
dalam talak bid’iy : talak yang dijatuhkan pada waktu istri sedang menjalani
haid atau sedang nifas, dan talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam
keadaan suci tetapi telah dikumpuli lebih dahulu.[5]
Talak bid’iy dilarang
kerana memudaratkan istri yaitu memperpanjang masa iddah.
·
Talak la sunni
wala bid’i
Talak
yang termasuk dalam kategori ini adalah talak yang bukan sunni dan bukan pula
bid’i, yaitu : talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah dikumpuli,
talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau istri yang
telah lepas dari masa haid ( monopause ), dan talak yang dijatuhkan kepada
istri yang sedang hamil.[6]
b.
Ditinjau dari
segi lafadz atau kata-kata yang digunakan untuk menjatuhkan talak [7]:
·
Talak sharih,
merupakan talak yang apabila seorang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan
mempergunakan kata-kata At-Thalaq
atau Al-Firaq, atau As-Sara. Ketiga kata tersebut terdapat
dalam Al-Qur’an atau hadits yang maksudnya jelas untuk menceraikan istri.
Dengan menggunakan lafadz tersebut, seseorang yang mentalak istrinya maka
jatuhlah talak tersebut walaupun tanpa niat.
·
Talak kinayah
atau kiasan, merupakan talak yang dilakukan seseorang dengan menggunakan
kata-kata selain dari kata-kata lafadz sharih. Suami mentalak istrinya dengan
menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar. Seseorang yang menggunakan
lafadz kinayah baru jatuh talaknya jika dia niatkan bahwa perbuatannya itu
adalah ucapan talak.
c.
Ditinjau dari
kemungkinan suami merujuk kembali
istrinya atau tidak, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu[8]
:
·
Talak raj’iy,
merupakan talak yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istri yang
ditalaknya tanpa harus melalui akad nikah yang baru, selama istri masih dalam
masa iddah. Talak raj’iy tidak menghilangkan ikatan perkawinan sama sekali dan
yang termasuk dalam talak ini adalah talak satu atau talak dua.
·
Talak ba’in,
merupakan talak yang tidak diberikan hak kepada suami untuk rujuk kepada
istrinya. Apabila suami ingin kembali kepada mantan istrinya, maka harus
dilakukan dengan akad nikah yang baru yang memenuhi unsur-unsur dan
syarat-syaratnya. Talak ba’in ini menghilangkan tali ikatan sumai istri. Talak
ini terbagi dalam :
§ Ba’in sughra, yaitu talak yang tidak
memberikan hak rujuk kepada suami, tetapi suami bisa menikah kembali kepada
istrinya dengan tidak disyaratkan bahwa istri harus menikah dahulu dengan
laki-laki lain. Yang termasuk talak ini adalah talak satu dan talak dua.
§ Ba’in kubra, yaitu talak yang apabila
suami ingin kembali kepada mantan istrinya, selain harus dilakukan dengan akad
nikah yang baru, disyaratkan pula bahwa terlebih dahulu istri harus sudah
menikah dengan orang alin dan telah diceraikan. Yang termasuk talak ba’in kubra
ini adalah talak yang ketiga kalinya.
d. Ditinjau dari cara menyampaikan talak[9]
:
·
Talak dengan
ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan lisan di hadapan
istrinya, dan si istri mendengarkan langsung ucapan suaminya tersebut.
·
Talak dengan
tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis, kemudian
disampaikan kepada istrinya, dan istrinya membaca serta memahami maksud dan
isinya.
·
Talak dengan
isyarat, yaitu talak yang dilakukan dalama bentuk isyarat oleh suami yang tuna
wicara. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa talak dengan isyarat bagi orang tuna
wicara adalah sah apabila dia buta huruf. Akan tetapi jika dia dapat menulis,
maka dia harus melaksanakan talaknya dalam bentuk tulisan, karena hal ini lebih
jelas dibandingkan dengan isyarat.
·
Talak dengan
utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada istrinya melalui
perantaraan orang lain sebagai utusan darinya untuk menyampaikan maksud dia
mentalak istrinya tersebut.
2) ILA’
1. Pengertian Ila’
Dalam hukum islam, ila’ adalah “ Sumpah suami dengan
menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak
mendekati istrinya itu, baik secara mutlak tau dibatasi dengan ucapan
selama-lamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih ”.[10] Ketentuan mengenai
Illa’ tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 226-227, yang artinya:“ Orang-orang yang meng’illa istrinya,
diberi kesempatan selama empat bulan, apabila dalam masa empat bulan itu suami
kembali bergaul dengan istrinya, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang, tetapi apabila suami bermaksud menjatuhkan thalaq, maka Allah
Maha mendengar dan mengetahui ”.
2. Syarat-syarat Ila’
Seperti thalaq, illa’ ada yang sah dan ada yang
tidak sah/batal. Ila’ yang sah adalah ila’ yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Syarat-syarat yang berhubungan dengan
suami istri.
b. Ila’ hendaklah berupa sumpah.
c. Isi ila’ hendaklah bahwa suami
bersumpah tidak akan mencampuri istrinya. Sumpah yang tidak mengandung
pengertian tersebut tidak dihukum sebagai ila’.
d. Waktu menunggu.
Yang dimaksudkan
disini adalah waktu yang ditentukan oleh suami di dalam ila’nya yang dalam
waktu tersebut ia tidak akan mencampuri istrinya.[11]
3) DZIHAR
1. Pengertian dzihar
Dzihar berasal dari kata zhahr yang berarti “
punggung ”. Maksudnya ialah perkataan suami kepada istrinya : “ Untukku engkau
seperti punggung ibu ku ” ( anti ‘alaiyya ka zhahri ummi ). Apabila suami telah
mengucapkan perkataan tersebut, maka istrinya itu haram dacampurinya
sebagaimana ia haram mencampuri ibunya.[12]
Para ulama sepakat tentang haramnya dzihar, dan tidak boleh melakukan perbuatan
tersebut, sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Mujadilah ayat 2, yang
artinya: “
Orang laki-laki di kalangan kamu sekalian yang mendzihar istri-istrinya itu
sebenarnya mereka ( istri-istri ) itu bukanlah ibu-ibunya. Sesungguhnya ibu-ibu
mereka hanyalah perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhya mereka sudah
berkata keji dan dusta. Dan sesungguhnya Allah itu Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun ”.
2. Syarat-syarat dzihar
Suatu dzihar dianggap
sah apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a)
Yang berhubungan dengan suami istri
Para ahli fiqh sepakat bahwa suami yang
mendzihar istrinya itu hendaklah suami yang baligh, berakal dan telah terikat
dengan akad nikah yang sah.
b)
Yang berhubungan dengan shighat dzihar
Para ahli fiqh sepakat apabila seorang
suami mengatakan kepada istrinya : “ Untukku engkau seperti punggung ibuku ”,
maka perkataan tersebut termasuk shighat dzihar. Demikian juga bahwa tidak
dihukumi dzihar apabila suami menyamakan istrinya dengan ibunya dengan tujuan
penghormatan kepada istrinya atau untuk menyatakan rasa terima kasihnya kepada
istrinya yang telah dapat berfungsi sebagaimana fungsi ibunya dan sebagainya.[13]
3. Akibat Hukum dari Dzihar
ü Haram menyetubuhi istrinya sebelum
suaminya membayar kafarat dzihar.
Sebelum
suami mengumpuli kembali istrinya, ia diwajibkan membayar kafarat dzihar berupa
:
1)
Memerdekakan seorang budak sahaya yang beriman.
2)
Jika suami tidak bisa melakukannya, maka ia harus berpuasa dua bulan
berturut-turut, tanpa diselingi berbuka dalam satu hari pun.
3)
Jika suami tidak mampu melakukannya lagi, maka ia harus ( wajib ) memberi makan
secukupnya kepada 60 orang miskin.[14]
ü Jika suami berpendapat bahwa
memperbaiki kembali hubungannya dengan istri tidak memungkinkan dan menurut
pertimbangannya bahwa bercerai adalah jalan yang terbaik, maka hendaklah suami
menjatuhkan thalaq kepada istrinya, agar tidak menyiksa istri lebih lama lagi.
ü Apabila suami tidak mencabut kembali
dziharnya dan tidak juga menceraikan istrinya, maka setelah berlalu masa empat
bulan atau 120 hari sejak diucapkannya dzihar, hakim menceraikan antara
keduanya dan perceraian antara keduanya sebagai perceraian ba’in.
Dari
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seperti halnya ila’, bahwa dzihar tidak
secara langsung berakibat cerai antara keduanya melainkan baru merupakan prolog
dari perceraian. Apabila sudah berlalu samapi empat bulan setelah suami
mengucapkan dzihar, tidak mau kembali lagi kepada istrinya dan mencabut
sumpahnya, maka dzihar berakibat perceraian.
B.
Berakhirnya Perkawinan atas kehendak Istri
1) KHULU’
A. Pengertian Khulu’
Berakhirnya perkawinan atas kehendak istri antara lain
melalui lembaga khulu’. Menurut epistimologi kata khulu’ berasal dari kata خلع – يخلع - خلعا
yang artinya melepas, mencopot, atau
menanggalkan. Khulu’ disebut juga al-fida’ yaitu tebusan, karena istri menebus
dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya.[15]
Menurut Hanafiyah, khulu’ adalah menghilangkan pemilikan nikah (yang
dihubungankan dengan penerimaan istri) dan dengan menggunakan lafadz khulu’
atau lafazd-lafadz semakna dengan khulu’. Sedangkan menurut Malikiyah, khulu’
adalah thalaq dengan ‘iwadl, baik itu datangnya dari pihak istri (wali atau wakilnya)
atau dengan menggunakan lafadz khulu’. Menurut Syafi’iyah, khulu’ adalah furqah
(perpisahan) yang terjadi di antara suami istri dengan iwald (pengganti) baik
dengan lafadz thalaq ataupun khulu’. Dan menurut Hambali, khulu’ adalah
perpisahan yang dilakukan suami pada istri dengan iwald yang diambil dari istri
(atau selainnya) dengan lafadz tertentu.[16]
Dari beberapa pengertian diatas, pemakalah dapat mengambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan khulu’ yaitu menghilangkan atau membuka buhul akad nikah dengan
kesediaan istri membayar iwadl (ganti rugi) kepada pemilik akad nkah itu
(suami) dengan menggunakan perkataan cerai atau khulu’.
B. Dasar Hukum Khulu’
Dasar hukum diperbolehkannya melakukan khulu’ adalah
sebagai berikut[17]:
a. QS. Al-Baqarah Ayat 229
Yang
artinya: “tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu
berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, jika kamu khawatir bahwa keduanya suami istri
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberkan istri untuk menebus dirinya.”
b. Hadist Nabi SAW
“Dari Ibn Abbas ra. Sesungguhnya istri Tsabit Ibn Qais
datang kepada Rasulullah saw. maka ia berkata: wahai Rasulullah, tentang Tsabit
Ibn Qais saya tidak mencelanya tentang budi pekertinya, tentang agamanya, namun
saya membenci kekufurannya dalam islam. Jawab Rasulullah: bersediakah engkau
mengembalikan kebun Tsabit kepadanya? Jamilah menjawab: ya bersedia, maka
Rasulullah bersabda: terimalah kebun itu dan talaklah istrimu satu talak.” (HR.
Bukhari)
C. Rukun dan Syarat Khulu’
Rukun-rukun khulu’ antara lain sebagai berikut:
·
Al-Qabil adalah
penerima khulu’, yaitu pihak istri
·
Al-Mujib adalah
orang yang menyatakan ijab khulu’, yaitu pihak suami
·
Al-Iwadl adalah
sesuatu yang dibayarkan untuk khulu’
·
Al-Mu’awwad
adalah sesuatu yang diganti dengan iwadl, dalam hal ini adalah budlu’nya sang
istri (hak yang mengambil kesenangan/kemanfaatan pada istri)
·
Al-sighat
adalah lafadz yang digunakan untuk khulu’[18]
Adapun rukun-rukun khulu’ menurut Hanafiyah ada dua
macam, yaitu ijab dari pihak istri dan qabul dari pihak suami.[19]
Syarat-syarat Khulu’ antara lain:
·
Seorang istri
boleh meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu’, jika tampak adanya bahaya
yang mengancam dan dia merasa takut tidak akan menegakkan hukum Allah
·
Khulu’ itu
hendaknya dilakukan tanpa dibarengi dengan tindakan penganiayaan yang dilakukan
oleh suami, jika pihak suami melakukan penganiayaan, maka ia tidak boleh
mengambil sesuatupun dari istrinya.
·
Khulu’ itu
berasal dari pihak istri bukan dari pihak suami[20]
D. Iwadl
Selama iwadl belum diberikan oleh pihak istri kepada
pihak suami, maka selama itu pula tergantung perceraian. Setelah iwadl
diserahkan barulah terjadi perceraian. Mengeni jumlah iwadl sebagian ulama perpendapat, bahwa suami tidak
boleh menerima iwadl melebihi dari mahar yang diberikannya. Sedangkan jumhur
fuqaha berpendapat bahwa uang khulu’ itu boleh lebih dari mahar atau melebihi
dari apa yang diberikan suami kepada istrinya. Dan menurut fuqaha Syafi’iyah,
iwadl dari istri itu boleh lebih besar dari mahar yang diterimanya, boleh
berupa barang atau manfaat (termasuk jasa), boleh tunai atau boleh dihutang.[21]
E. Akibat Khulu’
Akibat khulu’ sama dengan akibat talak ba-in
shughra. Suami tidak mempunyai hak untuk merujuki bekas istrinya. Sebagian ahli
fiqih berpendapat bahwa masa ‘iddah dari bekas istri yang dikhulu’ ialah satu
kali haid.[22]
Namun jumhur ulama berpendapat bahwa iddahnya istri yang dikhulu’ ialah tiga
kali quru’ kalau mereka masih haid. Dan menurut Ibnu Taimiah, dalam talaq biasa
iddah itu tiga kali quru’ adalah untuk memperpanjang masa rujuk, agar suami
bisa berpikir panjang untuk dapat merujuk istrinya dalam masa iddah. Sedangkan
dalam khulu’ rujuk itu tidak ada, maka iddahnya hanya satu kali haid,
dimaksudkan hanya untuk membersihkan kandungan saja.[23]
PENUTUP
Berakhirnya perkawinan atas kehendak atau inisiatif
dari suami menurut hukum islam dapat melalui tiga cara, yaitu: (1) Talak: yaitu
melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami istri. (2) Ila:
yaitu Sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang tertuju
kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu, baik secara mutlak tau
dibatasi dengan ucapan selama-lamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih.
(3) Dzihar: yaitu ucapan kasar yang dikatakan suami kepada istrinya dengan
meyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami, dengan ucapan itu
dimaksudkan untuk mengharamkan istri bagi suami.
Hukum islam menentukan hak talak kepada suami dengan
alasan bahwa seorang laki-laki pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam
mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar
emosi.
Sedangkan berakhirnya perkawinan atas kehendak atau
inisiatif dari sang istri antara lain yaitu dengan cara khulu’. Dari beberapa
pendapat para ulama seperti yang dijelaskan diatas, kami dapat menyimpulkan
bahwa khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan
memberikan tebusan atau iwadl kepada suami untuk dirinya dan perceraian
disetujui oleh suami.
Hikmah atau sisi baik dari talak dan khulu’ antara
lain:
ü Sarana
untuk memilih pasangan hidup lebih baik dan harmonis
ü Bentuk pengakuan
islam akan realitas kehidupan dan kondisi kejiwaan yang mungkin berubah dan
berganti.
ü Salah satu
obat sakit hati mental dan menghindari suami yang tidak menjalankan kewajiban
dengan baik.
ü Member
kebebasan untuk memilih sejauh yang dibolehkan oleh agama, serta menghindarkan
diri dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh suami atau istri.
DAFTAR PUSTAKA
· Supriatna, dkk.
2008. Fiqih Munakahat II. Yogyakarta:
Bidang akademik UIN Sunan Kalijaga.
· Nuroniyah, wardah,
dkk. 2011. Hukum perkawinan islam di
Indonesia. Yogyakarta: Teras.
· Yunus, Mahmud.
1395H. Hukum perkawinan dalam islam.
Jakarta: PT. Hidakarya agung.
· Nur, djamaan.
1993. Fiqih Munakahat. Semarang: Dina
Utama.
·
Mukhtar, kamal. Asas-asas
hukum islam tentang perkawinan. Yogyakarta: Bulan Bintang.
[1]
Supriatna,Fatma Amilia, Yasin Baidi, Fiqh
Munakahat II, Cet. Ke-1, Yogyakarta:Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008, hlm. 19.
[2]
Wasman, Wardah Nuroniyah, Hukum
Perkawinan Islam Di Indonesia, Cet. Ke-1, Yogyakarta:Teras, 2011, hlm. 87.
[3]
Mahmud Yunus,Hukum Perkawinan Dalam Islam,
Cet. Ke-5, Jakarta:PT. Hidakarya Agung, 1395 H, hlm. 113.
[4]
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat
(Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 141-143
[5]
Supriatna, Fatma amalia, Yasin Baidi, Fiqh
Munakahat II (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm.
31.
[6]
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat
(Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 137.
[7]
Ibid., hlm. 138.
[8]
Supriatna, Fatma amalia, Yasin Baidi, Fiqh
Munakahat II (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm.
32-33
[9]
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat
(Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 140-141.
[10]
Supriatna,Fatma Amilia, Yasin Baidi, Fiqh
Munakahat II, Cet. Ke-1, Yogyakarta:Bidang Akademik, 2008, hlm. 34.
[11]
Kamal Mukhtar,Asas-asas Hukum Islam
tentang Perkawinan, Yogyakarta:Bulan Bintang, hlm. 194.
[12]
Ibid., hlm. 198.
[13]
Ibid., hlm. 200.
[14]
Supriatna,Fatma Amilia, Yasin Baidi, Fiqh
Munakahat II, Cet. Ke-1, Yogyakarta:Bidang Akademik, 2008, hlm. 45.
[15]
Supriatna, Fatma amalia, Yasin Baidi, Fiqh
Munakahat II (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm.
47.
[16]
Wasman, Wardah Nuroniyah, Hukum
Perkawinan Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 103.
[17]
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat
(Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 152-153.
[18]
Wasman, Wardah Nuroniyah, Hukum
Perkawinan Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 105.
[19]
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-islam wa
Adillatuhu, hlm. 7018-7022
[20]
Wasman, Wardah Nuroniyah, Hukum
Perkawinan Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 105-106.
[21]
Supriatna, Fatma amalia, Yasin Baidi, Fiqh
Munakahat II (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm.
54.
[22]
Kamal Mukhtar, asas-asas hukum islam
tentang perkawinan, Bulan bintang, 1987, hlm. 187-188.
[23]
Supriatna, Fatma amalia, Yasin Baidi, Fiqh
Munakahat II (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm.
58.
0 komentar:
Posting Komentar