Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Minggu, 04 Mei 2014

makalah TALAQ


MAKALAH TALAQ
PENDAHULUAN
Syari’at islam menetapkan bahwa akad pernikahan antara suami istri untuk selama hayat dikandung badan, sekali nikah untuk selama hidup, agar didalam ikatan pernikahan suami istri bisa hidup bersama menjalin kasih sayang untuk mewujudkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup serta memelihara dan mendidik anak-anak sebagai generasi yang handal.
Tujuan yang mulia dalam melestarikan dan menjaga kesinambungan hidup rumah tangga, ternyata bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Banyak kita jumpai bahwa tujuan mulia perkawinan tidak dapat diwujudkan secara baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain: faktor psikologis, biologis, ekonomis, pandangan hidup, perbedaan kecenderungan, dan lain sebagainya. Agama islam tidak menutup mata terhadap hal-hal tersebut. Agama islam membuka jalan keluar dari krisis atau kesulitan rumah tangga yang tidak dapat diatasi lagi. Jalan keluar tersebut dimungkinkan yaitu dengan jalan perceraian. Jalan keluar ini tidak boleh ditempuh kecuali dalam keadaan terpaksa atau darurat.
Rumusan Masalah:
1.      Apa saja bentuk-bentuk putusnya suatu perkawinan atas dasar kehendak suami?
2.      Apa saja bentuk-bentuk putusnya suatu perkawinan atas dasar kehendak istri?
Tujuan:
1.      Mengetahui bentuk-bentuk putusnya suatu perkawinan atas dasar kehendak sang suami.
2.      Mengetahui bentuk-bentuk putusnya suatu perkawinan atas dasar kehendak sang istri.


PEMBAHASAN
A.   Berakhirnya perkawinan atas kehendak suami
Berakhirnya pernikahan atas kehendak atau inisiatif dari suami, menurut hukum islam dapat melalui tiga cara, yaitu talaq, ila’, dan dzihar.
1)      Talak
1.      Pengertian Talak
Secara etimologi kata talak bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan.[1] Hukum islam menentukan bahwa hak thalaq adalah suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Suami sebagai pemegang kendali talak sebagai imbangan atas kewajiban suami menyelenggarakan nafkah. Hal-hal lain yang memberikan wewenang kepada suami menjatuhkan talak kepada istrinya :
a.       Akad nikah dipegang oleh suami. Suami yang menerima ijab dari pihak istri pada waktu melaksanakan akad nikah.
b.      Suami wajib membayar nafakah istrinya dalam masa perkawinannya dan dalam masa istri menjalankan masa ‘iddah, apabila ia mentalaknya.
c.       Suami wajib membayar mahar kepada istrinya pada waktu akad nikah, dan dianjurkan membayar uang mut’ah ( pemberian sukarela dari suami kepada istrinya ) setelah suami mentalak istrinya.[2]
d.      Perintah-perintah mentalak dalam Al-Qur’an dan Hadist banyak ditujukan kepada suami, seperti dalam surat At-Thalaq ayat 1 dan 2 dan Al-Baqarah ayat 231.
e.       Laki-laki lebih tabah dalam menghadapi sesuatu yang kurang menyenangkan dibandingkan perempuan.
Suami boleh menjatuhkan talak satu kali kepada istrinya, akan tetapi talak itu sangat dibenci oleh Allah SWT, terutama jika tidak ada sebab musababnya. Laki-laki yang sah menjatuhkan talak adalah suami yang baligh lagi berakal dan tidak ada paksaan.
2.      Dasar Hukum Talak
·         Q.S At-Thalaq Ayat 1:
َا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْراً -١
            “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”
·         Q.S At-Thalaq Ayat 2:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً -٢-
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”
·         Q.S Al-Baqarah Ayat 231, yang artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma´ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma´ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

3.      Hukum Talak
a.       Wajib, yaitu apabila terjadi syiqaq ( pertengkaran ) antara kedua suami istri, kemudian diutus dua orang hakam ( pendamai ), tetapi kedua hakam itu gagal dalam usahanya dan tidak ada jalan lain selain bercerai, maka ketika itu wajib menjatuhkan talak.
b.      Makruh/haram, yaitu menjatuhkan talak dengan tidak ada sebab musababnya.
c.       Mubah ( boleh ), yaitu ketika ada suatu kebutuhan, seperti kurang baik pergaulan dengan istrinya.
d.      Sunat, yaitu jika istri tidak menjaga kehormatannya dan telah diberi nasehat tetapi tidak diacuhkannya.
e.       Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, tetapi boleh dicampuri.[3]
4.      Rukun dan Syarat Talak[4]
Rukun talak merupakan unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur yang dimaksud. Masing-masing rukun tersebut harus memenuhi persyaratan. Syarat talak ada yang berkenaan dengan suami, yang berkenaan dengan istri, dan syighat talak. Suatu talak yang tidak lengkap rukun dan syaratnya, maka talaknya tidak sah.
Rukun dan Syarat Talak adalah sebagai berikut :
·         Suami. Suami adalah orang yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya. Selain suami tidak ada yang berhak menjatuhkan talak. Suami baru dapat menjatuhkan talak kepada istrinya apabila telah melakukan akad nikah yang sah.
  Ada syarat yang harus dipenuhi oleh suami agar talak yang dijatuhkannya sah, yaitu berakal, baligh, dan atas kemauan/kehendak sendiri.
·         Istri. Untuk sahnya talak, istri harus dalam kekuasaan suami, yaitu istri tersebut belum pernah ditalak atau sudah ditalak tetapi masih dalam masa iddah.
·         Syighat atau lafadz talak. Yaitu lafadz yang menunjukkan putusnya ikatan perkawinan, baik lafadz sharih maupun kinayah. Ada 2 (dua) syarat syighat talak, yaitu :
o   Lafadz tersebut menunjukkan talak, baik sharih maupun kinayah. Oleh karena itu tidak sah talak dengan perbuatan.
o   Lafadz tersebut dimaksudkan sebagai ucapan talak bukan karena keliru.

5.      Macam-macam Talak
a.       Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak atau keadaan istri waktu talak itu diucapkan, talak dibedakan menjadi:
·         Talak sunni, merupakan talak yang pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Kriteria dari talak ini antara lain: istri sudah pernah dikumpuli, istri segera melakuan iddah setelah ditalak, istri yang ditalak dalam keadaan suci baik di awal suci atau diakhir suci, dalam masa ssuci pada waktu suami menjatuhkan talak istri tidak dicampuri.
·         Talak Bid’iy, merupakan talak yang dijatuhkan tidak menurut tuntunan agama. Yang termasuk dalam talak bid’iy : talak yang dijatuhkan pada waktu istri sedang menjalani haid atau sedang nifas, dan talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci tetapi telah dikumpuli lebih dahulu.[5]
Talak bid’iy dilarang kerana memudaratkan istri yaitu memperpanjang masa iddah.
·           Talak la sunni wala bid’i
Talak yang termasuk dalam kategori ini adalah talak yang bukan sunni dan bukan pula bid’i, yaitu : talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah dikumpuli, talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau istri yang telah lepas dari masa haid ( monopause ), dan talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang hamil.[6]
b.      Ditinjau dari segi lafadz atau kata-kata yang digunakan untuk menjatuhkan talak [7]:
·         Talak sharih, merupakan talak yang apabila seorang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan mempergunakan kata-kata At-Thalaq atau Al-Firaq, atau As-Sara. Ketiga kata tersebut terdapat dalam Al-Qur’an atau hadits yang maksudnya jelas untuk menceraikan istri. Dengan menggunakan lafadz tersebut, seseorang yang mentalak istrinya maka jatuhlah talak tersebut walaupun tanpa niat.
·         Talak kinayah atau kiasan, merupakan talak yang dilakukan seseorang dengan menggunakan kata-kata selain dari kata-kata lafadz sharih. Suami mentalak istrinya dengan menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar. Seseorang yang menggunakan lafadz kinayah baru jatuh talaknya jika dia niatkan bahwa perbuatannya itu adalah ucapan talak.
c.           Ditinjau dari kemungkinan suami merujuk kembali istrinya atau tidak, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu[8] :
·         Talak raj’iy, merupakan talak yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istri yang ditalaknya tanpa harus melalui akad nikah yang baru, selama istri masih dalam masa iddah. Talak raj’iy tidak menghilangkan ikatan perkawinan sama sekali dan yang termasuk dalam talak ini adalah talak satu atau talak dua.
·         Talak ba’in, merupakan talak yang tidak diberikan hak kepada suami untuk rujuk kepada istrinya. Apabila suami ingin kembali kepada mantan istrinya, maka harus dilakukan dengan akad nikah yang baru yang memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Talak ba’in ini menghilangkan tali ikatan sumai istri. Talak ini terbagi dalam :
§  Ba’in sughra, yaitu talak yang tidak memberikan hak rujuk kepada suami, tetapi suami bisa menikah kembali kepada istrinya dengan tidak disyaratkan bahwa istri harus menikah dahulu dengan laki-laki lain. Yang termasuk talak ini adalah talak satu dan talak dua.
§  Ba’in kubra, yaitu talak yang apabila suami ingin kembali kepada mantan istrinya, selain harus dilakukan dengan akad nikah yang baru, disyaratkan pula bahwa terlebih dahulu istri harus sudah menikah dengan orang alin dan telah diceraikan. Yang termasuk talak ba’in kubra ini adalah talak yang ketiga kalinya.
d.      Ditinjau dari cara menyampaikan talak[9] :
·         Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan lisan di hadapan istrinya, dan si istri mendengarkan langsung ucapan suaminya tersebut.
·         Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis, kemudian disampaikan kepada istrinya, dan istrinya membaca serta memahami maksud dan isinya.
·         Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan dalama bentuk isyarat oleh suami yang tuna wicara. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa talak dengan isyarat bagi orang tuna wicara adalah sah apabila dia buta huruf. Akan tetapi jika dia dapat menulis, maka dia harus melaksanakan talaknya dalam bentuk tulisan, karena hal ini lebih jelas dibandingkan dengan isyarat.
·         Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada istrinya melalui perantaraan orang lain sebagai utusan darinya untuk menyampaikan maksud dia mentalak istrinya tersebut.

2)      ILA’
1.      Pengertian Ila’
Dalam hukum islam, ila’ adalah “ Sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu, baik secara mutlak tau dibatasi dengan ucapan selama-lamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih ”.[10] Ketentuan mengenai Illa’ tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 226-227, yang artinya:“ Orang-orang yang meng’illa istrinya, diberi kesempatan selama empat bulan, apabila dalam masa empat bulan itu suami kembali bergaul dengan istrinya, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, tetapi apabila suami bermaksud menjatuhkan thalaq, maka Allah Maha mendengar dan mengetahui ”.
2.      Syarat-syarat Ila’
Seperti thalaq, illa’ ada yang sah dan ada yang tidak sah/batal. Ila’ yang sah adalah ila’ yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Syarat-syarat yang berhubungan dengan suami istri.
b.      Ila’ hendaklah berupa sumpah.
c.       Isi ila’ hendaklah bahwa suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya. Sumpah yang tidak mengandung pengertian tersebut tidak dihukum sebagai ila’.
d.      Waktu menunggu.
Yang dimaksudkan disini adalah waktu yang ditentukan oleh suami di dalam ila’nya yang dalam waktu tersebut ia tidak akan mencampuri istrinya.[11]

3)      DZIHAR
1.      Pengertian dzihar
Dzihar berasal dari kata zhahr yang berarti “ punggung ”. Maksudnya ialah perkataan suami kepada istrinya : “ Untukku engkau seperti punggung ibu ku ” ( anti ‘alaiyya ka zhahri ummi ). Apabila suami telah mengucapkan perkataan tersebut, maka istrinya itu haram dacampurinya sebagaimana ia haram mencampuri ibunya.[12] Para ulama sepakat tentang haramnya dzihar, dan tidak boleh melakukan perbuatan tersebut, sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Mujadilah ayat 2, yang artinya: “ Orang laki-laki di kalangan kamu sekalian yang mendzihar istri-istrinya itu sebenarnya mereka ( istri-istri ) itu bukanlah ibu-ibunya. Sesungguhnya ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhya mereka sudah berkata keji dan dusta. Dan sesungguhnya Allah itu Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun ”.
2.      Syarat-syarat dzihar
Suatu dzihar dianggap sah apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a) Yang berhubungan dengan suami istri           
     Para ahli fiqh sepakat bahwa suami yang mendzihar istrinya itu hendaklah suami yang baligh, berakal dan telah terikat dengan akad nikah yang sah.
b) Yang berhubungan dengan shighat dzihar
     Para ahli fiqh sepakat apabila seorang suami mengatakan kepada istrinya : “ Untukku engkau seperti punggung ibuku ”, maka perkataan tersebut termasuk shighat dzihar. Demikian juga bahwa tidak dihukumi dzihar apabila suami menyamakan istrinya dengan ibunya dengan tujuan penghormatan kepada istrinya atau untuk menyatakan rasa terima kasihnya kepada istrinya yang telah dapat berfungsi sebagaimana fungsi ibunya dan sebagainya.[13]

3.      Akibat Hukum dari Dzihar
ü  Haram menyetubuhi istrinya sebelum suaminya membayar kafarat dzihar.
Sebelum suami mengumpuli kembali istrinya, ia diwajibkan membayar kafarat dzihar berupa :
1) Memerdekakan seorang budak sahaya yang beriman.
2) Jika suami tidak bisa melakukannya, maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut, tanpa diselingi berbuka dalam satu hari pun.
3) Jika suami tidak mampu melakukannya lagi, maka ia harus ( wajib ) memberi makan secukupnya kepada 60 orang miskin.[14]
ü  Jika suami berpendapat bahwa memperbaiki kembali hubungannya dengan istri tidak memungkinkan dan menurut pertimbangannya bahwa bercerai adalah jalan yang terbaik, maka hendaklah suami menjatuhkan thalaq kepada istrinya, agar tidak menyiksa istri lebih lama lagi.
ü  Apabila suami tidak mencabut kembali dziharnya dan tidak juga menceraikan istrinya, maka setelah berlalu masa empat bulan atau 120 hari sejak diucapkannya dzihar, hakim menceraikan antara keduanya dan perceraian antara keduanya sebagai perceraian ba’in.
            Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seperti halnya ila’, bahwa dzihar tidak secara langsung berakibat cerai antara keduanya melainkan baru merupakan prolog dari perceraian. Apabila sudah berlalu samapi empat bulan setelah suami mengucapkan dzihar, tidak mau kembali lagi kepada istrinya dan mencabut sumpahnya, maka dzihar berakibat perceraian.

B.   Berakhirnya Perkawinan atas kehendak Istri
1)      KHULU’
A.    Pengertian Khulu’
Berakhirnya perkawinan atas kehendak istri antara lain melalui lembaga khulu’. Menurut epistimologi kata khulu’ berasal dari kata خلع – يخلع - خلعا   yang artinya melepas, mencopot, atau menanggalkan. Khulu’ disebut juga al-fida’ yaitu tebusan, karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya.[15] Menurut Hanafiyah, khulu’ adalah menghilangkan pemilikan nikah (yang dihubungankan dengan penerimaan istri) dan dengan menggunakan lafadz khulu’ atau lafazd-lafadz semakna dengan khulu’. Sedangkan menurut Malikiyah, khulu’ adalah thalaq dengan ‘iwadl, baik itu datangnya dari pihak istri (wali atau wakilnya) atau dengan menggunakan lafadz khulu’. Menurut Syafi’iyah, khulu’ adalah furqah (perpisahan) yang terjadi di antara suami istri dengan iwald (pengganti) baik dengan lafadz thalaq ataupun khulu’. Dan menurut Hambali, khulu’ adalah perpisahan yang dilakukan suami pada istri dengan iwald yang diambil dari istri (atau selainnya) dengan lafadz tertentu.[16] Dari beberapa pengertian diatas, pemakalah dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan khulu’ yaitu menghilangkan atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan istri membayar iwadl (ganti rugi) kepada pemilik akad nkah itu (suami) dengan menggunakan perkataan cerai atau khulu’.
B.     Dasar Hukum Khulu’
Dasar hukum diperbolehkannya melakukan khulu’ adalah sebagai berikut[17]:
a.       QS. Al-Baqarah Ayat 229
Yang artinya: “tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, jika kamu khawatir bahwa keduanya suami istri tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberkan istri untuk menebus dirinya.”
b.      Hadist Nabi SAW
“Dari Ibn Abbas ra. Sesungguhnya istri Tsabit Ibn Qais datang kepada Rasulullah saw. maka ia berkata: wahai Rasulullah, tentang Tsabit Ibn Qais saya tidak mencelanya tentang budi pekertinya, tentang agamanya, namun saya membenci kekufurannya dalam islam. Jawab Rasulullah: bersediakah engkau mengembalikan kebun Tsabit kepadanya? Jamilah menjawab: ya bersedia, maka Rasulullah bersabda: terimalah kebun itu dan talaklah istrimu satu talak.” (HR. Bukhari)
C.       Rukun dan Syarat Khulu’
Rukun-rukun khulu’ antara lain sebagai berikut:
·         Al-Qabil adalah penerima khulu’, yaitu pihak istri
·         Al-Mujib adalah orang yang menyatakan ijab khulu’, yaitu pihak suami
·         Al-Iwadl adalah sesuatu yang dibayarkan untuk khulu’
·         Al-Mu’awwad adalah sesuatu yang diganti dengan iwadl, dalam hal ini adalah budlu’nya sang istri (hak yang mengambil kesenangan/kemanfaatan pada istri)
·         Al-sighat adalah lafadz yang digunakan untuk khulu’[18]
Adapun rukun-rukun khulu’ menurut Hanafiyah ada dua macam, yaitu ijab dari pihak istri dan qabul dari pihak suami.[19]
Syarat-syarat Khulu’ antara lain: 
·         Seorang istri boleh meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu’, jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan dia merasa takut tidak akan menegakkan hukum Allah
·         Khulu’ itu hendaknya dilakukan tanpa dibarengi dengan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh suami, jika pihak suami melakukan penganiayaan, maka ia tidak boleh mengambil sesuatupun dari istrinya.
·         Khulu’ itu berasal dari pihak istri bukan dari pihak suami[20]

D.    Iwadl
Selama iwadl belum diberikan oleh pihak istri kepada pihak suami, maka selama itu pula tergantung perceraian. Setelah iwadl diserahkan barulah terjadi perceraian. Mengeni jumlah iwadl  sebagian ulama perpendapat, bahwa suami tidak boleh menerima iwadl melebihi dari mahar yang diberikannya. Sedangkan jumhur fuqaha berpendapat bahwa uang khulu’ itu boleh lebih dari mahar atau melebihi dari apa yang diberikan suami kepada istrinya. Dan menurut fuqaha Syafi’iyah, iwadl dari istri itu boleh lebih besar dari mahar yang diterimanya, boleh berupa barang atau manfaat (termasuk jasa), boleh tunai atau boleh dihutang.[21]
E.     Akibat Khulu’
Akibat khulu’ sama dengan akibat talak ba-in shughra. Suami tidak mempunyai hak untuk merujuki bekas istrinya. Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa masa ‘iddah dari bekas istri yang dikhulu’ ialah satu kali haid.[22] Namun jumhur ulama berpendapat bahwa iddahnya istri yang dikhulu’ ialah tiga kali quru’ kalau mereka masih haid. Dan menurut Ibnu Taimiah, dalam talaq biasa iddah itu tiga kali quru’ adalah untuk memperpanjang masa rujuk, agar suami bisa berpikir panjang untuk dapat merujuk istrinya dalam masa iddah. Sedangkan dalam khulu’ rujuk itu tidak ada, maka iddahnya hanya satu kali haid, dimaksudkan hanya untuk membersihkan kandungan saja.[23]


PENUTUP
Berakhirnya perkawinan atas kehendak atau inisiatif dari suami menurut hukum islam dapat melalui tiga cara, yaitu: (1) Talak: yaitu melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami istri. (2) Ila: yaitu Sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu, baik secara mutlak tau dibatasi dengan ucapan selama-lamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih. (3) Dzihar: yaitu ucapan kasar yang dikatakan suami kepada istrinya dengan meyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami, dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan istri bagi suami.
Hukum islam menentukan hak talak kepada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi.
Sedangkan berakhirnya perkawinan atas kehendak atau inisiatif dari sang istri antara lain yaitu dengan cara khulu’. Dari beberapa pendapat para ulama seperti yang dijelaskan diatas, kami dapat menyimpulkan bahwa khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada suami untuk dirinya dan perceraian disetujui oleh suami.
Hikmah atau sisi baik dari talak dan khulu’ antara lain:
ü  Sarana untuk memilih pasangan hidup lebih baik dan harmonis
ü  Bentuk pengakuan islam akan realitas kehidupan dan kondisi kejiwaan yang mungkin berubah dan berganti.
ü  Salah satu obat sakit hati mental dan menghindari suami yang tidak menjalankan kewajiban dengan baik.
ü  Member kebebasan untuk memilih sejauh yang dibolehkan oleh agama, serta menghindarkan diri dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh suami atau istri.




DAFTAR PUSTAKA
·       Supriatna, dkk. 2008. Fiqih Munakahat II. Yogyakarta: Bidang akademik UIN Sunan Kalijaga.
·       Nuroniyah, wardah, dkk. 2011. Hukum perkawinan islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras.
·       Yunus, Mahmud. 1395H. Hukum perkawinan dalam islam. Jakarta: PT. Hidakarya agung.
·       Nur, djamaan. 1993. Fiqih Munakahat. Semarang: Dina Utama.
·       Mukhtar, kamal. Asas-asas hukum islam tentang perkawinan. Yogyakarta: Bulan Bintang.


[1] Supriatna,Fatma Amilia, Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II, Cet. Ke-1, Yogyakarta:Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008, hlm. 19.
[2] Wasman, Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Cet. Ke-1, Yogyakarta:Teras, 2011, hlm. 87.
[3] Mahmud Yunus,Hukum Perkawinan Dalam Islam, Cet. Ke-5, Jakarta:PT. Hidakarya Agung, 1395 H, hlm. 113.
[4] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 141-143
[5] Supriatna, Fatma amalia, Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 31.
[6] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 137.
[7] Ibid., hlm. 138.
[8] Supriatna, Fatma amalia, Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 32-33
[9] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 140-141.
[10] Supriatna,Fatma Amilia, Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II, Cet. Ke-1, Yogyakarta:Bidang Akademik, 2008, hlm. 34.
[11] Kamal Mukhtar,Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Yogyakarta:Bulan Bintang, hlm. 194.
[12] Ibid., hlm. 198.
[13] Ibid., hlm. 200.
[14] Supriatna,Fatma Amilia, Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II, Cet. Ke-1, Yogyakarta:Bidang Akademik, 2008, hlm. 45.
[15] Supriatna, Fatma amalia, Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 47.
[16] Wasman, Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 103.
[17] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 152-153.
[18] Wasman, Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 105.
[19] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-islam wa Adillatuhu, hlm. 7018-7022
[20] Wasman, Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 105-106.
[21] Supriatna, Fatma amalia, Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 54.
[22] Kamal Mukhtar, asas-asas hukum islam tentang perkawinan, Bulan bintang, 1987, hlm. 187-188.
[23] Supriatna, Fatma amalia, Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 58.

0 komentar:

Posting Komentar