KEDUDUKAN FATWA-FATWA MUI DALAM PERSEFEKTIF ISLAM
PAPER
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR
ISI.............................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A.
Latar
Belakang
Masalah...............................................................................................1
B.
Identifikasi
Masalah......................................................................................................1
C.
Maksud Dan
Tujuan.....................................................................................................1
D.
Kerangka
Pemikiran.....................................................................................................2
E.
Metode............................................................................................................................2
F.
Sistematika.....................................................................................................................2
BAB II FATWA DAN MAJELIS ULAMA
INDONESIA………………………….……..3
BAB III MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN
LINTASAN SEJARAH……….……10
BAB IV METODE JIHAD MAJELIS ULAMA
INDONESIA………………………….23
BAB V
PENUTUP..................................................................................................................27
A.
Kesimpulan…………………………………………………………………………..27
B.
Saran………………………………………………………………………………....29
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sebagai sebuah organisasi tingkat nasional, tentunya Majelis
Ulama Indonesia memiliki standar operasional prosedur (SOP), terutama dalam
merespons berbagai permasalahan, baik berupa pertanyaan melalui surat, ataupun
melalui media lain. Standar operasional prosedur ini dalam bahasa yang
dikemukakan oleh MUI sebagai pedoman rumah tangga. Dalam hal fatwa, MUI
memiliki Mekanisme kerja Komisi Fatwa MUI yang telah ditetapkan pada tahun 1997
dengan Nomor U-634/MUI/X/1997. Pedoman ini merupakan penyempurnaan dari pedoman
penetapan fatwa yang diputuskan pada tahun 1986. Karena menganggap bahwa
pedoman penetapan fatwa yang ada dianggap kurang memadai, maka Komisi Fatwa MUI
melakukan penyempurnaan terhadap metode fatwa yang lama dan mengeluarkan Surat
Keputusan tentang Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama tanggal 12
April 2001.
B.Identifikasi
Masalah
Masalah
yang akan saya bahas dalam paper ini adalah :
1.
Fatwa dan Majelis Ulama Indonesia
2.
Majelis Ulama Indonesia dan Lintasan
Sejarah
3.
Metode Jihad Majelis Ulama Indonesia
C.Maksud dan Tujuan
Maksud
dan tujuan dari pembuatan makalah ini :
1.
Untuk mengetahui Fatwa dan Majelis
Ulama Indonesia
2.
Untuk mengetahui Majelis Ulama
Indonesia dan Lintasan Sejarah
3.
Untuk mengetahui Metode Jihad
Majelis Ulama Indonesia
1
D.Kerangka Pemikiran
Metode penetapan fatwa yang dilakukan oleh Komisi Fatwa
menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan nas qat'i, qauli, dan manhaji. Pendekatan nas qat'i dilakukan bila suatu masalah
telah jelas diungkap oleh teks al-Quran atau hadis, yakni dengan berpegang pada
teks tersebut. Pendekatan qauli dilakukan bila jawaban masalah sudah diungkap
oleh pendapat yang terdapat dalam kitab-kitab yang mu'tabar.
E.Metodologi
1.
Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data dilakukan secara studi, mempelajari dokumen dengan penelitian kepustakaan.
Bahan penelitian di dapat dari tulisan, artikel yang berkaitan dengan topic
ini.
2.
Analisis
Data
Data
dianalisis secara deskritif, yaitu dengan menganalisis seluruh informasi,
pendapat dan konsep. Analisis ini bersifat yuridis informatife.
F.Sistematika
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Identifikasi Masalah
C.
Maksud dan Tujuan
D.
Kerangka Pemikiran
E.
Metodologi
F.
Sistematika
BAB
II FATWA DAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
BAB
III MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN LINTASAN SEJARAH
BAB
IV METODE JIHAD MAJELIS ULAMA INDONESIA
BAB
V PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB II
FATWA DAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
A. Pengertian Fatwa
Secara
bahasa, Fatwa berasal dari bahasa Arab الفتوى. Tidak ditemukan adanya terjemahan dalam bahasa Indonesia dari
kata ini sehingga tetap digunakan sesuai dengan kata asalnya. Kata ini memiliki
akar kata yang sama dengan kata الفَتَى (pemuda, anak muda, yang muda dan
kuat), seakan-akan ingin menyatakan bahwa kata ini berarti menguatkan sesuatu
dengan menghilangkan hal yang sulit dipahami dan menjadikannya jelas. Dalam
berbagai bentuk derivasinya, kata yang sering digunakan adalah أفتَى – يُفْتِي (berfatwa), استفتى - يستفتي (meminta fatwa), dan المُفْتِي (pemberi
fatwa, mufti). Di dalam al-Quran, kata ini digunakan beberapa kali, antara
lain: kata "يفتيكم" dan
"يستفتونك"
masing-masing digunakan dua kali; kata "لاتستفتِ" dan "تستفتِيان"
masing-masing digunakan satu kali; dalam bentuk perintah, "أفتنا" satu kali;
"أفتوني" dua
kali; dan "فاستفتهم" dua kali. Beberapa pernyataan di
atas dipahami memiliki makna meminta penjelasan terhadap sesuatu yang belum
atau tidak dijelaskan.
Dalam terminologi usul fiqh, kata
fatwa diberi definisi oleh sebagian kalangan ulama usul fiqh sebagai
"penjelasan hukum suatu masalah yang merupakan jawaban atas suatu
pertanyaan". Definisi ini merupakan pemahaman dari apa yang didefinisikan
oleh Ibn Hamdan al-Hanbali saat mengemukakan makna kata "mufti".
Beliau menyatakan bahwa mufti adalah orang yang memberitahukan hukum Allah swt
karena pengetahuannya tentang dalil-dalil hukum tersebut.
Menurut al-Syaukani, seorang mufti adalah seorang mujtahid.
Ini berarti bahwa tidak sembarang orang dapat menjadi mufti dan memberikan
fatwa. Oleh karena itu, seorang mufti harus memiliki persyaratan ijtihad. Hanya
saja, Abu Zahrah mengemukakan perbedaan yang cukup signifikan antara ijtihad
dan al-ifta` (memberi fatwa).
Menurutnya, yang kedua bersifat lebih khusus dari yang pertama, ijtihad. Kalau
ijtihad merupakan upaya maksimal seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum,
baik dalam hal yang sudah terjadi ataupun belum, maka al-ifta` dilakukan hanya bila
permasalahan muncul dan seorang faqih berupaya mencari dan menemukan hukum
masalah itu. Ini berarti bahwa hal yang kedua merupakan upaya mencari solusi
atas permasalahan yang terjadi yang belum ditunjukkan penyelesaiannya dalam
khazanah yang sudah ada.
Majlis Majma' al-Fiqh al-Islami al-Dauli dalam muktamar
ke-17 di Aman, Yordania 24 – 28 Juni 2006 menjelaskan bahwa fatwa adalah
penjelasan tentang hukum syara' saat ditanyakan, atau terkadang penjelasan
tentang hukum yang tidak ditanyakan tetapi untuk menjelaskan suatu masalah agar
tidak terjadi salah persepsi dan perlakuan terhadap hal itu.
Dalam Islam, fatwa memiliki posisi penting dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan. Al-Quran menunjukkan bahwa saat ada
permintaan fatwa, Allah swt memberikan fatwa itu melalu wahyu yang turun.
Rasulullah saw juga banyak menyelesaikan berbagai permasalahan yang
dipertanyakan. Pertanyaan para sahabat berkaitan dengan kehidupan mereka dalam
keluarga, dalam bermasyarakat, jihad, peradilan, dan berbagai masalah lainnya,
baik menyangkut kepentingan umum maupun dalam hal-hal yang bersifat pribadi,
yang dipertanyakan kepada beliau dapat diselesaikan oleh
beliau melalui fatwa-fatwa yang demikian banyak.
Bagi
al-Syā¯ibī, Seorang mufti memiliki peran sebagai pengganti Nabi saw yang
menjelaskan tentang Allah dan hukum-hukum terkait dengan perbuatan mukallaf,
seperti nabi. Hal ini dikuatkan dengan beberapa hal, di antaranya: bahwa ulama
adalah pewaris nabi; bahwa seorang mufti adalah wakil nabi dalam menyampaikan
hukum, sebagaimana disebutkan bahwa Nabi memerintahkan untuk menyampaikan apa
yang didengar dari Beliau meskipun hanya satu ayat; dan bahwa seorang mufti
dapat berfungsi sebagai pembuat hukum. Sebab, apa yang disampaikannya bisa
berupa apa yang sudah dikemukakan sebelumnya, baik oleh al-Quran maupun hadis.
Dalam hal ini ia berfungsi sebagai seorang penyampai hukum; maupun menyimpulkan
hukum sendiri berdasarkan al-Quran dan hadis, yang dalam hal ini ia berfungsi
sebagai pembuat hukum yang belum diungkap.
Oleh
karena fungsi seorang mufti yang begitu penting, maka sangat wajar bila para
ulama masa lalu memberikan persyaratan yang cukup ketat untuk menjadi seorang
mufti. Al-Kha¯īb al-Baghdādi dalam bukunya al-Faqīh
wa al-Mutafaqqih, mengutip pernyataan
al-Syāfi'ī, menyatakan bahwa orang yang diperbolehkan berfatwa hanyalah orang
yang memiliki pengetahuan memadai tentang al-Quran dengan berbagai pengetahuan
terkait, hadis, bahasa Arab, dan mengetahui berbagai pendapat dan perbedaan para
ulama.
Bagi Imam
Ahmad ibn Hanbal, sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim, seorang mufti harus
memiliki lima sifat: pertama, memiliki niat; kedua, memiliki pengetahuan,
kesabaran, wibawa, dan ketenangan; ketiga, kuat dalam apa yang ia kuasai dan
kuat
dalam pengetahuannya; keempat, memiliki kecukupan, sehingga
tidak berharap uluran tangan orang lain; dan kelima, mengetahui manusia.
Ibn
al-¢alāh (wafat 643 H) memberikan persyaratan dasar seorang mufti
kemudian dilanjutkan dengan memberikan kategori. Menurutnya, persyaratan dasar
seorang mufti adalah : seorang mukallaf, muslim, siqah (dapat dipercaya), tidak
memiliki cela yang dapat menjatuhkan kepribadiannya, seorang ahli fiqh,
memiliki cara berpikir yang baik, dan peka terhadap situasi setempat. Secara khusus,
Ibn al-¢alāh menambahkan persyaratan setelah mengelompokkan mufti
menjadi dua, yakni: mufti mustaqill
dan mufti ghair mustaqill. Mufti mustaqill,
di samping memenuhi persyaratan di atas, ia juga harus menguasai berbagai dalil
hukum, dari al-Quran, al-hadis, al-ijma', dan al-qiyas secara terperinci yang
telah diungkap oleh berbagai kitab fiqh. Dengan kata lain, mufti tingkat ini
adalah mufti yang memiliki metode istinbat hukum sendiri.
Dalam hal
mufti ghair mustaqill, Ibn al-¢alāh
merincinya ke dalam empat situasi yang mungkin terjadi pada kondisi seorang
mufti, yakni:
1. bila
seorang mufti memiliki kapabilitas yang hampir memadai dengan mufti mustaqill. Ia tidak dianggap sebagai
mufti mustaqill karena ia mengikuti
metode imam mazhabnya. Dalam hal ini, ia menguasai metode yang telah dirumuskan
oleh imam mazhabnya dengan baik, tetapi ia tidak terikat dengan metode dan fiqh
imamnya dalam melakukan istinbat hukum dan berfatwa;
2. bila
seorang mufti menguasai salah satu mazhab saja. Dalam hal ini ia hanya
diperbolehkan berfatwa hanya dengan menggunakan usul fiqh mazhabnya saja,
meskipun dalam kesimpulannya dapat saja berbeda dengan fiqh mazhabnya;
3. bila
seorang mufti tidak memiliki kapabilitas sebagai seorang imam dari suatu mazhab
tertentu, tetapi ia mengetahui fiqh mazhab tersebut dan mengetahui dalil-dalil
yang digunakan dalam penyimpulan hukumnya. Kelompok ulama ini banyak terdapat
pada masa ke-empat hijriyah dan seterusnya.
4. bila
seorang mufti mengetahui dengan baik fiqh mazhabnya, akan tetapi mendapati
kesulitan dalam memahami istidlāl-nya dan mencocokkan qiyasnya. Ia hanya mengetahui dan
mengutip pendapat dari apa yang telah dikemukakan imam mazhabnya.
Berkaitan
dengan pengelompokan di atas, tampak sekali bahwa Ibnu al-¢alāh
mengelompokkannya sesuai dengan situasi
dan kondisi masa beliau hidup, yakni abad ke-enam dan tujuh hijriyah.
Al-Syā¯ibī, tampaknya memiliki
konsep yang baik terkait dengan mufti dan perilakunya sehingga fatwanya layak
untuk diikuti. Menurutnya, fatwa dinyatakan tidak sah bila ia difatwakan oleh
orang yang tidak menjalankan perintah agama; demikian pula bila fatwa yang
dikeluarkan oleh mufti tidak sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Hal ini
disebabkan ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan mufti dimaksud.
Berkaitan
dengan persyaratan berfatwa di zaman modern, Majma' al-Fiqh al-Islāmi al-Dauli
menyatakan dalam fatwanya bahwa seorang mufti adalah seseorang yang memiliki
pengetahuan tentang hukum syara', permasalahan dan kasus-kasus. Ia adalah orang
yang diberikan anugerah oleh Allah swt berupa kemampuan untuk melakukan
istinbat hukum dari dalil-dalilnya untuk menyelesaikan berbagai hal dan
permasalahan
yang terjadi pada zaman modern. Oleh
karena itu, fatwa ini memberikan persyaratan bagi orang yang bisa dijadikan
sebagai mufti. Persyaratan itu antara lain:
1. menguasai
al-Quran dan al-hadis disertai dengan berbagai keilmuan yang terkait dengan
keduanya;
2. menguasai
ijma', khilaf, berbagai mazhab, dan pendapat dalam hal fiqh;
3. menguasai
usul fiqh, prinsip-prinsip dasar, kaidah fiqh, dan maqasid syariah, lengkap
dengan berbagai ilmu alat yang dapat membantu istinbat hukum, seperti ilmu
nahwu, sharaf, balaghah, linguistik, mantiq dan sebagainya;
4. mengetahui
tentang kondisi manusia, kulturnya, perkembangan, kemajuan, pembaruan, dan
berbagai tradisi yang berkembang yang tidak bertentangan dengan nas;
5. memiliki
kemampuan beristinbat hukum dari teks aslinya;
6. menggunakan referensi dari para ahli di bidangnya
masing-masing untuk mendapatkan pemahaman yang benar terkait dengan masalah,
seperti dalam bidang kedokteran, ekonomi, dan sebagainya.
Dari
berbagai permasalahan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa fatwa
adalah hal penting dalam menyampaikan pesan-pesan wahyu kepada umat manusia,
terutama terkait dengan masalah hukum yang dikehendaki oleh wahyu. Oleh
karenanya, tidak sembarang orang dapat mengeluarkan fatwa dan berbicara tentang
hukum tanpa memiliki kapabilitas dan
mengetahui metode yang harus dilakukan untuk sampai kepada hukum itu.
Di samping hal-hal di atas, fatwa ini juga menegaskan bahwa
pada masa modern saat ini dimungkinkan untuk melakukan fatwa secara
bersama-sama. Menurutnya, situasi masyarakat modern dengan berbagai
permasalahan yang demikian kompleks tidak memungkinkan seseorang untuk
menguasai segala hal dan permasalahan yang terjadi. Oleh karenanya, fatwa dapat
dilakukan oleh sebuah lembaga yang terdiri atas berbagai unsur yang saling
melengkapi satu sama lain. Lembaga semacam inilah yang tampaknya sesuai dengan
posisi Majelis Ulama Indonesia yang dimungkinkan mengeluarkan fatwa.
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam,
fatwa ini juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum; akan
tetapi, ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi
seorang muslim untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil
yang jelas dan benar.
BAB III
Majelis Ulama Indonesia dalam Lintasan Sejarah
Ulama adalah pewaris para nabi. Hadis ini disebutkan oleh
al-Suyū¯i sebagai hadis da’if, namun banyak dipegangi oleh masyarakat di Indonesia.
Buktinya, di Indonesia, ulama memiliki posisi yang demikian dihormati dan
disegani. Bukan hanya itu, ulama juga memiliki peran yang signifikan di bidang
sosial, bahkan politik.
Pada masa Orde Baru, fungsi Majelis Ulama Indonesia
tergambar jelas dalam amanat yang disampaikan Presiden Soeharto saat acara
pembukaan muktamar ulama dalam rangka pembentukan MUI Pusat terdapat petunjuk
tentang fungsi MUI di dalam masyarakat. Salah satunya adalah bahwa tugas MUI
adalah memberi nasehat. Oleh karenanya, MUI tidak perlu melakukan program
praktis seperti menyelenggarakan madrasah, mendirikan masjid, rumah sakit, dan
semacamnya; karena kegiatan praktis semacam itu telah diupayakan oleh
organisasi-organisasi Islam lainnya. Demikian juga dalam hal politik praktis,
karena kegiatan ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh partai-partai politik.
Dalam
Pedoman Pokok Majelis Ulama Indonesia ditegaskan bahwa fungsi Majelis Ulama
adalah sebagai berikut :
1. Memberi
fatwa dan Nasihat mengenai masalah sosial keagamaan kepada Pemerintah dan Umat
Islam sebagai amar ma’ruf nahi munkar;
2. memperkuat
ukhuwwah Islamiyah dan melaksanakan kerukunan antar umat beragama;
3. mewakili
umat Islam dalam dialog antarumat beragama;
4. penghubung
antara ulama dan pemerintah serta penterjemah antara pemerintah dan umat;
Dalam apa
yang diungkap di atas, jelas menyebutkan fungsi MUI dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang intinya adalah memberi nasihat, fatwa, dan
saran kepada pemerintah; mempererat hubungan sesama, dan menjadi mediator
antara pemerintah dan masyarakat dengan tidak masuk ke dalam hal-hal praktis
baik dalam dunia politik maupun sosial.
Pada masa-masa awal berdirinya MUI, kegiatan-kegiatan yang
dilakukan ditujukan agar bisa diterima dalam masyarakat dan memelihara hubungan
baik dengan pemerintah, juga organisasi Islam lainnya. Kunjungan ke beberapa
kantor-kantor pusat organisasi Islam dilakukan, terkadang juga beberapa
pimpinan pusat organisasi tertentu diundang ke kantor MUI. Berbagai pertemuan
diadakan, seminar tentang berbagai hal yang dihadiri oleh para ulama, dan
kegiatan lainnya yang melibatkan banyak ulama dalam tingkat nasional. Hal ini
dilakukan demi terjalinnya silaturahmi dan hubungan baik antara pusat dan
daerah.
Kadang-kadang,
MUI juga bertindak sebagai wakil organisasi-organisasi Islam. Dalam hal
terakhir ini, hubungan MUI dengan organisasi Islam yang lain sangat pelik.
Sebab, organisasi Islam sering kali mempunyai sikap tidak menentu, terutama
bila keberadaan MUI mengancam eksistensi mereka dalam masyarakat. Salah satu
contohnya adalah dalam perdebatan masalah rancangan undang-undang pendidikan
nasional yang
diajukan pada tahun 1988. menurut MUI, rancangan itu adalah
sebuah kemunduran, sebab tidak sedikitpun membicarakan pelajaran agama di
sekolah, sementara pelajaran itu sudah mulai eksis dan diakui keberadaannya di
sekolah setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan sejak zaman
kemerdekaan sampai akhirnya masuk ke dalam intrakurikuler. Ini adalah contoh
hubungan baik MUI dengan organisasi Islam lainnya. Tetapi ini tidak
menggambarkan semua pola hubungannya dengan organisasi Islam. Memang benar
bahwa pendirian MUI didukung oleh organisasi Islam lainnya, tetapi mereka tidak
menghendaki MUI tumbuh secara cepat, mereka lebih suka dengan kondisi seperti
semula sebelum MUI ada. Inilah kondisi obyektif hubungan MUI dengan
organisasi-organisasi Islam lainnya.
Lain lagi
dengan pola hubungan antara MUI dan Pemerintah. Pemerintah senantiasa
memberikan penghargaan yang tinggi untuk MUI dan selalu memberi dukungan keuangan,
sementara di pihak MUI tekanan yang cukup berat dirasakan, karena harus selalu
memberikan pembenaran terhadap politik pemerintah dari sisi agama. Hal ini
dapat dilihat dari kasus berikut:
1. Dalam hal hubungan dengan pemerintah, MUI begitu dekat
dengan Menteri Agama, bahkan sering diundang untuk mengikuti kunjungan resmi ke
daerah-daerah. Hal ini tentunya disambut baik oleh pimpinan MUI dan merupakan
kesempatan untuk ketemu dengan rekan-rekan ulama di daerah-daerah. Di samping
itu, kedekatan dengan pimpinan ABRI juga dijalin dengan baik, bahkan hubungan
ini berhasil membentuk sebuah komite yang dinamai komunikasi sosial (komsos)
sebagai sarana untuk menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan agama dan
stabilitas nasional. Istilah “komando jihad” yang dijulukkan kepada para
pembajak DC 9 milik Garuda
Indonesia, umpamanya, MUI minta agar dihapus dan tidak lagi
digunakan. Hubungan dengan departemen lainpun dibangun oleh MUI seperti
departemen Dalam Negeri, Penerangan, Kesehatan, dan BKKBN. Bahkan ada sebagian
pengurus MUI yang diangkat menjadi anggota BSF (Badan Sensor Film), Dewan
Siaran Nasional, dan Tim Pencegah Penyalahgunaan Narkotika.
2. Begitu mesra hubungan antara MUI dan Pemerintah Masa orde
baru. Kemesraan yang terjadi, tentunya, menimbulkan efek yang dirasa kurang
baik bagi MUI sendiri. Sebab, kemesraan itu kemudian menjadikan sisi lain dari
tugas dan fungsi MUI menjadi tumpul, terutama dalam kaitan memberi pertimbangan
kebijakan politik dari sisi agama. Buktinya, penggunaan alat kontrasepsi IUD
(Intra Urine Devices) yang pernah difatwakan sekelompok ulama pada tahun 1971
sebagai suatu yang haram dilakukan karena proses pemasangannya melanggar aurat
wanita. Larangan tersebut dicabut dalam sebuah konferensi ulama di Jakarta pada
tahun 1983. Hal ini tidak lepas dari desakan pemerintah melalui Departemen
Agama dan BKKBN agar para ulama membenarkan kebijakan pemerintah, karena fatwa
yang pertama akan menimbulkan kegagalan program pemerintah dalam hal keluarga
berencana.
3. Desakan
lebih berat yang dirasakan oleh MUI adalah dalam hal kehadiran seorang muslim
dalam upacara perayaan Natal agama Kristen. Pada tahun 1981, MUI telah
memfatwakan keharaman kehadiran seorang muslim dalam upacara tersebut. Pada
awalnya tidak ada pro kontra tentang fatwa itu, karena fatwa diterbitkan hanya
pada majalah bulanan MUI yang kalangan pembacanya terbatas. Tetapi, ketika
surat kabar dan majalah yang beredar pada kalangan yang lebih luas, baru muncul
pro kontra dan menimbulkan banyak masalah dan perbedaan pendapat. Selang
beberapa bulan
kemudian, Pemerintah merasa perlu mengambil sikap karena
akibat dari silang pendapat tentang fatwa itu, sehingga pemerintah mengeluarkan
pengumuman yang menjelaskan bahwa meski tidak dianjurkan, tetapi kehadiran
dalam upacara itu tidak dilarang oleh agama Islam, asal tidak dalam bagian ritual
ibadah dalam upacara Natal tersebut. Tampaknya, pemerintah bermaksud memelihara
kerukunan beragama di antara para penganutnya di negeri ini. Akan tetapi, sikap
bertentangan ini menimbulkan kondisi hubungan yang memanas, ditambah lagi
dengan permintaan pemerintah agar MUI mau mencabut fatwa tentang hal itu.
Begitu kerasnya tekanan itu, sehingga pada akhirnya ketua umum MUI menulis
surat pengunduran diri yang dibacanya sendiri di dalam rapat tertutup MUI.
Bukan
hanya sampai disitu, hubungan MUI – Pemerintah kembali memanas pada tahun 1985
berkaitan dengan masalah undian Porkas. Pada tahun itu, pemerintah memberikan
izin kepada sebuah yayasan untuk menyelenggarakan undian dengan tujuan
menghimpun dana untuk membantu penyelenggaraan olahraga profesional, terutama
sepak bola. Dalam perjalanannya, terjadi penyelewengan pelaksanaan proses
undian ini. Konsumen yang bermimpi mendapatkan hadiah besar dari undian ini
ternyata bukan orang kaya yang kelebihan uang, tetapi justru kaum miskin yang
untuk makan hari ini saja harus mencari hari ini juga. Sehingga, uang yang
didapat seharusnya dibawa pulang untuk keluarga, tetapi dibelikan kupon porkas
untuk mimpi yang tak pernah terjadi. Lebih jauh, karena penjualan kupon itu
dekat sekolah dan masjid, maka yang terjadi adalah pembelian kupon dilakukan
oleh anak sekolah dan jamaah yang hendak dan/atau pulang dari masjid. Secara
umum, seluruh jajaran masyarakat menyatakan bahwa undian porkas adalah sesuatu
yang tidak disukai, mereka berharap agar MUI segera mengeluarkan fatwa yang
menyatakan bahwa undian semacam porkas itu adalah
termasuk dalam perjudian dan dilarang agama. Kebanyakan
organisasi Islam seperti BKSPP (Badan Kerja sama Pondok Pesantren), DDII (Dewan
Dakwah Islam Indonesia), bahkan MUI tingkat daerah Jakarta, Jawa Barat, dan
Yogyakarta, memiliki sikap yang sama, undian porkas adalah judi dan harus
dilarang. Begitu gencarnya permintaan fatwa tentang porkas ini, tetapi fatwa
itu tak kunjung dikeluarkan. Malah sebaliknya, Ketua Komisi Fatwa MUI, Ibrohim
Hosen mengeluarkan pernyataan bahwa undian Porkas bukan perjudian, dengan
alasan antara pembeli kupon dan penyelenggaranya tidak berada dalam satu majlis
dalam satu waktu. Meskipun pernyataannya itu disertai pernyataan bahwa
pendapatnya itu adalah pendapat pribadi, tetapi kedudukannya sebagai ketua
komisi fatwa menyebabkan masyarakat menganggapnya sebagai pendapat dan fatwa
MUI. Dalam kaitan ini, tampaknya MUI telah gagal memberikan pertimbangan atas
kebijakan dan program pemerintah dari sisi agama.
Menjelang berakhirnya masa orde baru, pergeseran pada tubuh
MUI mulai terjadi di sana-sini. Kalau sebelumnya motto yang selalu didengungkan
adalah kerja sama alim ulama-umaro, tampaknya tergeser dengan slogan : wadah
musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim. Meskipun masih
menggunakan Pancasila sebagai asas organisasi ini, tujuan yang disebut dalam
Pedoman Dasar hasil MUNAS V tahun 1995 adalah mengamalkan ajaran Islam untuk
ikut serta mewujudkan masyarakat yang berakhlakul karimah, aman, damai, adil
dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhoi Allah SWT dalam negara Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Dalam
upaya mencapai tujuannya, MUI melaksanakan beberapa usaha sebagaimana
disebutkan dalam pedoman Dasar MUI hasil Munas V Juli 1995 di Jakarta Bab II
pasal 4, antara lain :
1. Memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama
dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT.
2. Memberikan
nasehat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
Pemerintah dan masyarakat.
3. Meningkatkan
kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antarumat beragama
dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Menjadi
penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) dan penterjemah timbal balik
antara pemerintah dan umat guna mensukseskan pembangunan nasional.
5. Meningkatkan
hubungan serta kerja sama antar organisasi, lembaga Islam, dan cendekiawan
muslim.
6. Mewakili
umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama.
7. Usaha
lainnya yang sesuai dengan tujuan organisasi.
Dari
pembahasan di atas, sangat tampak bahwa MUI sejak awal pembentukannya di masa
orde baru sampai menjelang berakhirnya memiliki keterikatan yang erat dengan
Pemerintah, meskipun terkadang terjadi ketegangan-ketegangan, terutama bila
terjadi konflik kepentingan antara Pemerintah dan MUI, seperti dalam kasus
tentang fatwa pengharaman merayakan natal bersama bagi umat Islam.
Ketika
memasuki era reformasi, perubahanpun terjadi di sana sini. Hal ini sangat
tampak dari hasil MUNAS VI Juli 2000. Di dalam Wawasannya yang dirumuskan dalam
MUNAS tersebut, MUI mengutip beberapa ayat dan hadis yang menjelaskan
pentingnya
peran ulama dalam masyarakat. Selain
itu, beberapa hal yang berkaitan dengan peranan ulama sebagai pewaris nabi,
bekerja sama dengan berbagai unsur yang ada dalam masyarakat saling bahu
membahu dalam membangun masyarakat yang maju dan memiliki akhlaq mulia,
sekaligus mengantisipasi berbagai perkembangan yang terjadi, baik dalam negeri
maupun dalam tingkat internasional, sehingga terwujud masyarakat Indonesia yang
baru, yakni masyarakat madani (khair
al-ummah) yang menekankan nilai-nilai persamaan ( al-musāwāh), keadilan (al-‘adālah),
dan demokrasi (syūrā).
Untuk
mewujudkan itu semua, MUI kemudian mencanangkan lima perannya dalam masyarakat,
yaitu :
1. sebagai
pewaris tugas-tugas para nabi;
2. sebagai
pemberi fatwa;
3. sebagai
pembimbing dan pelayan umat;
4. sebagai
gerakan islāh wa al-tajdīd; dan
Hal lain
yang sangat mendasar yang mengalami perubahan setelah memasuki era reformasi
terlihat jelas pada Bab II pasal 2 yang berkaitan dengan asas. Dalam pasal ini,
MUI secara tegas menyatakan bahwa organisasi ini berasaskan Islam, berubah dari
pedoman sebelumnya yang mencantumkan Pancasila sebagai asasnya. Hal lain yang
mengalami perkembangan adalah pola hubungan antara pusat dan daerah yang pada
mulanya hanya bersifat membina, membimbing, dan koordinasi (pasal 5 Pedoman
Dasar
hasil Munas V Tahun 1995) berubah
menjadi hubungan organisasi yang bersifat koordinatif, aspiratif, dan
struktural administratif. Di samping itu, dicantumkan pula pola hubungan dengan
organisasi Islam lainnya yang bersifat konsultatif dan kemitraan (pasal 8
Pedoman Dasar hasil Munas VI tahun 2000).
Dengan berpedoman pada hadis Rasulullah saw yang menyatakan
bahwa pemimpin sebuah umat sesungguhnya adalah pelayan mereka dan orang yang
menyiapkan minum suatu umat adalah orang yang terakhir minum, Majelis Ulama
Indonesia mencoba memberikan nuansa baru menghadapi era barunya.
Memang,
bagian awal hadis ini (سيد القوم خادمهم) bukanlah
hadis shahih, bahkan dinyatakan sebagai hadis yang sangat da’if. Namun, bagian
keduanya (ساقي
القوم آخرهم شربا) banyak yang menyebutkan sebagai hadis sahih. Meskipun
demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa bila hadis itu dalam hal perbuatan
baik, maka tidak ada salahnya untuk digunakan sebagai motivator. Oleh karena
itu, hadis ini digunakan sebagai dasar untuk merubah paradigma lama yang
menganggap MUI sebagai menara gading dan sebagai corong pemerintah menjadi khādimul ummah (pelayan masyarakat). Memahami hadis di atas,
tampaknya saat ini sangat diperlukan sikap patriot dan kepeloporan yang
menunjukkan integritas pengabdian ulama, zuama, dan cendekiawan muslim dalam
upaya meraih cita-cita secara terus menerus dan berkesinambungan. Hal ini
adalah sebuah keniscayaan, sebab sejak awal perjuangan mendirikan negeri ini,
peran ulama tidak pernah surut. Bahkan jauh sebelum masa penjajahan. Telah
tercatat dalam sejarah bahwa kebanyakan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa,
seperti Demak, Cirebon, dan Banten yang berdiri pada abad ke-enam belas
diprakarsai oleh para ulama melalui semacam persaudaraan sufi.
Semangat paradigma baru yang dihembuskan dalam Munas VII MUI
yang diadakan di Jakarta tanggal 19 – 22 Jumadil Akhir 1426 H bertepatan dengan
tanggal 26 – 29 Juli 2005 tercermin dalam langkah-langkah aplikasi dalam amar
ma’ruf nahy munkar sebagai realisasi dari dakwah kongkrit bi al-lisān wa al-hāl yakni sebagai khādimul ummah (pelayan masyarakat) dalam beragama, berbangsa, dan
bernegara. Pernyataan-pernyataan di atas tercermin jelas dalam Pedoman Dasar
dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia yang telah disahkan pada
Musyawarah Nasional VII MUI di Jakarta.
Dalam
muqaddimah Pedoman Dasar MUI dinyatakan bahwa memiliki tiga peran utama, yakni
: sebagai pewaris para nabi (wara£atul
anbiyā`), pelayan umat (khādimul
ummah), dan penerus misi yang diemban Rasulullah Muhammad saw. Sementara,
umat Islam Indonesia begitu majemuk dan beragam dalam cara berfikir dalam
masalah keagamaan. Hal ini dianggap sebagai rahmah dan wasilah untuk
terbentuknya kehidupan yang dilandasi rasa persaudaraan, saling menolong, dan
toleransi. Sebagai pewaris nabi, ulama menempatkan diri menjadi pemimpin
kolektif dalam upaya menuju masyarakat terbaik dengan upaya menegakkan
kebenaran dan keadilan secara bersama dengan menekankan nilai-nilai persamaan,
keadilan, dan syuro. Untuk itu, ulama akan menjadi pemimpin umat yang akan
mengarahkan dan mengawal umat Islam dalam menanamkan aqidah Islamiyah,
membimbing umat dalam menjalankan ibadah, dan menuntun umat dalam mengembangkan
akhlaq terpuji agar dapat mencapai cita-cita, terwujudnya masyarakat terbaik (khairu ummah).
Menurut
pedoman dasar ini, Majelis Ulama Indonesia memiliki fungsi sebagai wadah para
ulama, zuama, dan cendekiawan muslim dalam mengayomi umat dan
mengembangkan hidup yang islami;
sebagai wadah silaturahmi para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim untuk
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwwah Islamiyah;
sebagai wakil umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama; dan
sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah. Tujuan yang ingin
dicapai oleh MUI sebagaimana tergambar dalam paparan di atas adalah mewujudkan khairu ummah dan baldatun ¯ayyibatun wa rabbun ghafūr (negara yang aman, damai,
adil, makmur, dan mendapat rida Allah swt).
Dalam
upaya mencapai tujuan itu, MUI melakukan berbagai usaha dengan memberikan
bimbingan untuk mewujudkan kehidupan beragama yang kondusif, menyelenggarakan
dakwah secara terpola, memberikan fatwa, merumuskan pola kehidupan keberagamaan
yang majemuk, menjadi penghubung antara ulama dan umaro, dan yang terpenting
meningkatkan hubungan kerja sama antarorganisasi, lembaga Islam, dan
cendekiawan muslim yang tentunya disertai dengan program-program bersama demi
kepentingan umat.
Dalam pola
hubungan kerja dengan instansi lain, independensi MUI sangat tampak jelas dan
dikemukakan secara eksplisit pada pasal 10 Pedoman Dasar ini. MUI membuka
peluang kerja sama dengan siapapun dalam menunjang pencapaian tujuan MUI, baik
dengan instansi pemerintah, maupun dengan pihak lain yang memiliki visi dan
misi yang sama, dengan landasan kerjasama dalam kebajikan dan taqwa. Dalam hal
organisasi politik, MUI menyatakan bahwa ia tidak berafiliasi ke partai politik
manapun. Demikian juga dalam hal pendanaan, terungkap dalam pasal 12 bahwa MUI
menerima bantuan darimanapun yang halal dan tidak mengikat, di samping memiliki
usaha-usaha yang halal pula.
Dalam hal
pembentukan pengurus, Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia menyebutkan
bahwa pembentukan pengurus MUI pusat ditentukan oleh MUNAS, dan di daerah oleh
MUSDA. Pemilihan pengurus MUI dapat dilaksanakan secara langsung atau dipilih
oleh formatur. Pada MUNAS VII telah ditetapkan formatur yang bertugas menyusun
Pengurus Majelis Ulama Indonesia untuk masa bakti 2005 – 2010 melalui Surat
Keputusan MUNAS VII MUI Nomor : Kep-07/MUNAS-VII/MUI/VII/2005, dengan komposisi
sebagai berikut:
1. Prof. DR.
KH. Tolchah Hasan (Ketua Dewan Penasehat MUI)
2. DR. KH.
MA. Sahal Mahfudz (Ketua Umum MUI)
3. Prof. DR.
HM. Din Syamsuddin (Sekretaris Umum MUI)
4. Prof. DR.
Nasrun Harun (MUI Sumbar)
5. Drs. KH.
A. Hafizh Usman (MUI Pusat)
6. Drs. H.
Abdul Kadir Makarim (MUI NTT)
7. KH.
Mujtaba Ismail, MA (MUI Kaltim)
8. KH. Drs.
Fauzie Nurani (MUI Sulut)
9. KH. A.
Cholil Ridwan (DDII)
10. DR. H.
Fuad Ansyari (ICMI)
11. DR.H.
Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. (Muhammadiyah)
12. Drs. H.
Amrullah Ahmad, MA (Syarikat Islam)
13. KH.
Abdullah Syukri Zarkasyi, MA (Pesantren Gontor)
BAB IV
Metode Ijtihad Majelis Ulama Indonesia
Metode Ijtihad Majelis Ulama Indonesia tergambar jelas dalam
Pedoman Penetapan Fatwanya yang diputuskan pada tanggal 2 Oktober 1997 di
Jakarta. Dalam fatwa nomor U-596/MUI/X/1997, MUI mencabut pedoman tata cara
penetapan fatwa yang telah diputuskan pada 18 januari 1986 dan menetapkan
pedoman penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang baru.
Berbagai pertimbangan melatarbelakangi perubahan pedoman
itu, di antaranya:
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
keberhasilan pembangunan di berbagai bidang menyebabkan banyak perilaku dan
persoalan baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya menjadi kenyataan;
2. Berkembangnya kesadaran beragama di kalangan umat Islam
menyebabkan banyak munculnya pertanyaan dalam berbagai bidang yang mereka
dapati dan mereka tidak mengetahui apa pandangan Islam terhadap hal-hal yang
menurut mereka baru dan tidak mereka dapati dari peninggalan para pendahulu
mereka;
3. Boleh jadi, permasalahan yang dipertanyakan itu sudah ada
jawabannya di dalam berbagai peninggalan masa lalu, mulai dari al-Quran sampai
pendapat para ulama dalam berbagai kitabnya;
4. Bila tidak, maka jawaban itu harus diupayakan dengan segala
kemampuan yang dimiliki, terutama oleh para ulama yang memiliki kapasitas
pengetahuan yang memadai dalam bidangnya;
5. Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama,
zu’ama, dan cendekiawan muslim sudah seharusnya menjadi pengayom seluruh muslim
Indonesia.
Oleh
karenanya, lembaga ini adalah lembaga yang paling memiliki kompetensi untuk
memberikan solusi bagi berbagai permasalahan sosial keagamaan yang dihadapi
oleh masyarakat. Di samping itu juga, lembaga ini telah mendapat kepercayaan
penuh masyarakat dan pemerintah;
6. Pedoman tata cara penetapan fatwa
yang telah ditetapkan pada tanggal 7 Jumadil Awwal 1406 H/18 Januari 1986 M
dianggap sudah tidak memadai lagi, oleh karenanya perlu diperbaharui.
Beberapa hal di atas melatarbelakangi terbitnya pedoman
penetapan fatwa ini. Pedoman Penetapan Fatwa ini berisi sembilan pasal. Pasal 1
berisi ketentuan umum yang menjelaskan beberapa peristilahan yang perlu
didefinisikan secara khusus, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman akibat
dari definisi yang berbeda.
Pasal 2 berisi dasar-dasar umum penetapan fatwa yang
menggambarkan prosedur dasar dari penetapan fatwa. Dalam pasal ini dinyatakan
bahwa setiap putusan harus mempunyai dasar dari Kitabullah dan sunnah rasul
yang mu’tabarah, dan tidak
bertentangan dengan maslahat umat. Bila tidak ditemukan, maka diupayakan
jawabannya melalui ijtihad, dengan catatan : tidak bertentangan dengan ijma’,
qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil
hukum yang lain, seperti istihsān,
maslahah mursalah, dan sadd al-zarī’ah. Sebelum fatwa diputuskan,
pendapat mazhab-mazhab terdahulu dengan dalil-dalil hukumnya juga perlu
ditinjau dan diperhatikan, di samping pendapat para ahli.
Pasal 3, 4, dan 5 berisi prosedur penetapan fatwa. Pasal 3
merupakan gambaran dari sikap MUI ketika menghadapi suatu masalah. Dalam hal
ini, ketika MUI mendapat sebuah masalah, maka masalah itu akan dikaji oleh
anggota komisi atau tim khusus paling lambat seminggu sebelum disidangkan. Bila
masalah itu sudah dijelaskan oleh al-
Quran dan
al-sunnah, maka tidak dianggap perlu adanya fatwa; tetapi, bila terjadi
perbedaan pendapat, maka perlu ada fatwa tarjīh
dari antara pendapat-pendapat itu dengan menggunakan kaidah-kaidah perbandingan
yang terdapat dalam fiqh muqaran.
Pasal 4 merupakan kelanjutan dari pasal sebelumnya, bila setelah kajian
mendalam dan komprehensif serta mempertimbangkan berbagai pendapat yang
berkembang dalam sidang, fatwa siap ditetapkan. Pasal 5 merupakan gambaran
tentang bagaimana dan apa saja yang harus dituangkan dalam sebuah surat
keputusan fatwa. Menurut pasal ini, fatwa harus ditandatangani oleh Dewan
Pimpinan, harus dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, fatwa disertai
uraian dan analisis secara ringkas, juga sumber pengambilannya. Tindak lanjut, solusi,
dan rekomendasi juga dituangkan dalam keputusan fatwa bila mana perlu.
Pasal 6 mengatur masalah sidang
komisi dan tata cara penyelenggaraannya. Menurut pasal ini, sidang komisi harus
dihadiri oleh anggota yang jumlahnya dianggap memadai oleh ketua komisi. Sidang
komisi diadakan jika permintaan atau pertanyaan dari masyarakat, pemerintah,
LSM, atau MUI sendiri yang oleh MUI dianggap perlu pembahasan dan difatwakan.
Pasal 7 menjelaskan kewenangan dan hierarki MUI Pusat dan
daerah. MUI Pusat berwenang mengeluarkan fatwa tentang masalah keagamaan yang
bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional, sedangkan
MUI daerah hanya membahas dan mengeluarkan fatwa tentang masalah keagamaan yang
ada di daerahnya. Sebelum mengeluarkan fatwa, MUI daerah harus terlebih dahulu
berkonsultasi dengan MUI Pusat. Penentuan klasifikasi masalah dilakukan oleh
tim khusus.
Pasal 8 dan 9 adalah pasal penutup. Pasal 8 mengatur masalah
kedudukan fatwa MUI Pusat dan daerah. Keduanya memiliki derajat yang sama dan
tidak saling
membatalkan.
Bila mana terjadi perbedaan, maka kedua dewan pimpinan segera mengadakan
pertemuan untuk mencari penyelesaian yang paling baik. Sedangkan pasal 9
mengatur kemungkinan adanya aturan tambahan dalam hal yang belum diatur dalam pedoman
ini. Di samping itu, juga mengatur masa berlaku pedoman ini.
Dari apa yang dipaparkan di atas, MUI tidak secara tegas
menyatakan tentang metode ijthad ta¯bīqī-nya.
MUI hanya menyebutkan bahwa metode ijtihad yang dilakukan ketika MUI
mendapatkan sebuah masalah, maka akan mencarinya dalam ayat al-Quran,
al-sunnah, dan seterusnya sebagaimana telah dijelaskan di atas.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dijelaskan bahwa fatwa MUI Pusat dan Daerah memiliki
kedudukan yang sama dan tidak saling membatalkan, bila mengikuti pedoman dan
prosedur yang telah ditetapkan. Bila terjadi perbedaan dalam masalah yang sama,
maka perlu diadakan pertemuan antara kedua dewan pimpinan untuk mencari
penyelesaian yang baik. Hal-hal yang belum diatur akan ditetapkan kemudian oleh
Dewan Pimpinan.
2. Mencermati perubahan mekanisme penetapan fatwa, sangat
tampak perbedaan dan perubahan sejak awal berdiri sampai penyempurnaan terakhir
pada tahun 2001. Mekanisme penetapan fatwa yang pertama dibentuk dalam surat
keputusan adalah mekanisme yang diterbitkan pada tahun 1986, disempurnakan pada
tahun 1997, dan terakhir disempurnakan tahun 2001. Pada tahun 2001, pedoman dan
mekanisme penetapan fatwa tampak semakin sistematis dan lengkap.
Langkah-langkah ijtihad sudah disesuaikan dengan metode ijtihad yang mu’tabar
dan dipakai oleh para ulama salaf salih, juga oleh para ulama kontemporer.
Penyajian keputusan penetapan fatwa pun dibentuk formatnya secara sistematis
sehingga memudahkan orang untuk membaca dan memahami makna yang hendak dicapai
oleh fatwa itu. Hal ini tentunya tidak lepas dari upaya maksimal para ulama
untuk melakukan yang terbaik untuk umat Islam, terutama umat Islam Indonesia.
27
3. Rapat komisi fatwa harus dihadiri oleh anggota komisi yang
jumlahnya dianggap memadai oleh pimpinan rapat. Bila dianggap perlu, rapat
komisi fatwa dapat menghadirkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah
yang akan dibahas. Rapat komisi fatwa diadakan apabila ada permintaan atau
pertanyaan dari masyarakat yang oleh Dewan Pimpinan dianggap perlu dibahas dan
diberikan fatwanya, atau ada permintaan dan pertanyaan dari pemerintah, lembaga
sosial, atau MUI sendiri, atau ada temuan dan perkembangan baru berkaitan
dengan masalah keagamaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Pemimpin rapat
adalah ketua komisi atau wakilnya dengan persetujuan ketua komisi, didampingi
oleh sekretaris atau wakil sekretaris komisi. Bila ketua dan wakil berhalangan
hadir, maka pemimpin rapat adalah anggota komisi yang disetujui. Segala usulan
dan pendapat yang dikemukakan dalam rapat dicatat oleh sekretaris atau wakil
sekretaris komisi, sebagai risalah rapat dan dijadikan bahan keputusan fatwa.
Setelah pembahasan secara komprehensif, rapat menetapkan keputusan. Keputusan
rapat komisi sesegera mungkin dilaporkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk
dipermaklumkan kepada masyarakat dan pihak-pihak yang bersangkutan.
B. Saran
1. Mengenai kewenangan menetapkan fatwa, MUI pusat memiliki
kewenangan untuk menetapkan fatwa dalam hal keagamaan secara umum, terutama
masalah fiqh dan aqidah, yang menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional
atau masalah keagamaan yang muncul di suatu daerah yang berpotensi menyebar ke
daerah lain. Hal yang sudah difatwakan oleh MUI Pusat, MUI Daerah tidak perlu
lagi menetapkan fatwa baru tentang hal yang sama, tetapi hanya berhak untuk
melaksanakannya saja. Bila fatwa tersebut tidak dapat dilaksanakan, maka MUI
Daerah bisa menetapkan fatwa baru yang berbeda setelah berkonsultasi dengan MUI
Pusat. Bila belum ada keputusan fatwa, MUI Daerah bisa menetapkan fatwa
sendiri. Dalam hal-hal yang sensitif, MUI Daerah sebaiknya berkonsultasi lebih
dulu dengan MUI Pusat sebelum menetapkan fatwa.
2. penetapan fatwa didasarkan pada al-Quran, sunnah, ijma’, dan
qiyas. Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif dan antisipatif. Penetapan
fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan “komisi
fatwa”.
3. metode penetapan fatwa. Langkah pertama yang dilakukan
adalah meninjau terlebih dahulu pendapat para imam mazhab tentang masalah yang
akan difatwakan berikut dalil-dalilnya. Bila masalah itu sudah jelas hukumnya,
maka hal itu harus disampaikan sebagaimana adanya. Bila terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama, maka penetapan fatwa dilakukan berdasarkan pada
hasil usaha penemuan titik temu antara pendapat-pendapat itu melalui metode al-jam’u wa al-taufīq. Bila tidak
dimungkinkan menggunakan metode di atas, maka penetapan fatwa dilakukan
berdasarkan pada hasil tarjīh
melalui metode muqāranah mazāhib
dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqh.
DAFTAR
PUSTAKA
iii