Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Sabtu, 31 Mei 2014

TEORI-TEORI DALAM SOSIOLOGI HUKUM ISLAM


TEORI-TEORI DALAM SOSIOLOGI HUKUM ISLAM


BAB I
PENGARUH SANKSI DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT BAGI PELAKU HUKUM :
PENERAPAN TEORI BEHAVIORISME

A.     Teori Behaviorisme
Dalam ilmu sosiologi, teori behaviorisme adalah berkarakter psikologi. Teori ini mengajarkan bahwa manusia tidak di pengaruhi oleh bawaan lahirnya (kecerdasan, emosional, ketahanan tubuh, penyakit bawaan, genetik). Tetapi faktor yang lebih penting untuk mengetahui sikap tindakan manusia dan yang memengaruhi serta yang membentuk tingkah laku manusia ialah kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagai respon atas lingkungannya. Respon ini dapat diidentifikasi dan dapat diukur untuk mengetahui seberapa besar respon yang di berikan akibat stimulus yang berasal dari internal ataupun eksternal.
Kaum behaviorisme adalah para pendukung teori Tabula rasa, yaitu sebuah teori yang menyakini bahwa manusia lahir tidak membawa apa-apa (seperti kertas putih), dimana sikap dan watak amnusia itu berbeda-beda karna pengaruh dari lingkungannya semenjak dia menjalani proses kehidupan.
Paham behaviorisme awal mula lahir pada awal abad ke-20, yang muncul sebagai reaksi dan oposisi terhadap paham yang sudah lebih dahulu ada dan sangat dominan saat itu, yaitu paham introspeksionisme. Paham introspeksionisme ini adalah merupakan suatu studi tentang kesadaran manusia (consciousness) melalui eksaminasi diri (self examination) yang menurut kaum behaviorisme, kesadaran manusia ini tidak dapat di ukur.
Disamping psikologi behaviorisme yang mempelajari sikap dan tingkah laku tersebut, ada juga psikologi kognitivisme yang mempelajari aktivitas berpikir dan penalaran dari seseorang. Di lain pihak ada juga apa yang disebut dengan behaviorisme sosial yang merupakan posisi teoritis dalam ilmu sosiologi yang menganggap faktor individu dan interaksinya dengan individu yang lain, sebagai dasar dari analisis sosiologi (george A. Theodorson. Et al., 1969: 28). Sehingga, kedalam ruanglingkup behaviorisme sosial dalam ilmu sosiologi ini di masukkan pula paham interaksionisme simbolis, dan teori aksi sosial.
Disamping itu, sebenarnya bukan ilmu sosiologi dan ilmu psikologi saja yang berkepentingan dengan analisis behaviorisme manusia, tetapi banyak disiplin ilmu lain, seperti antropologi budaya, filsafat, ilmu hukum bahkan beberapa aspek dari ilmu ekonomi dan ilmu politik.kesemua displin ilmu yang ikut berkepentingan dan membahas tentang behaviorisme manusia ini sering di kelompokkan kedalam “ilmu behavioral” (behavioral science).
Kesadaran tentang pentingnya peranan teori behaviorisme dalam ilmu sosial bahkan juga dalam ilmu psikologi itu sendiri baru muncul setelah munculnya berbagai pendapat dari Skinner, misalnya dalam bukunya tahun 1971, dan Albert Bandura di tahun 1969, meskipun sebenarnya teori behaviorisme ini awal mulanya telah diirumuskan oleh J.B. Watson.

a.       Konsep responden dan operan
Untuk mengukur tingkat kecendrungan dari manusia untuk melakukan sesuatu, dapat di gunakan konsep “responden” dan “operan”. Ada perbedaan antara konsep responden, sebagaimana yang di lakukan oleh Pavlov dan Watson, dengan konsep operan sebagaimana yang di lakukan oleh Skinner (Anthony Giddens, et al., 2008: 86).
Dengan konsep responden seseorang akan bereaksi secara otomatis (refleks) jika di berikan stimulus tertentu terhadap orang atau subjek tersebut. Misalnya mata akan secara refleks berkedip jika ada benda asing yang mendekatinya.
Adapun dengan konsep operan, maka pemberian stimulus tidak serta-merta orang atau hewan tersebut melakukan hal-hal yang sudah di desain sebelumnya. Sebab, bagi hewan yang memiliki intelegensi tinggi dan manusia, banyak faktor yang mempengaruhi putusan untuk melakukan suatu tindakan. Misalnya faktor-faktor sebagai berikut :
1.      Adanya dorongan lapar, dahaga, seks, kesenangan, dan sebagainya.
2.      Kekuatan dorongan berbeda-beda antara satu manusias/ hewan dengan manusia/hewan yang lain.
3.      Banyaknya stimulus yang berbeda-beda antara satu manusia/hewan dengan manusia/hewan yang lainnya.
4.      Bisa jadi terhadap seseorang yang terhadapnya, sebelumnya telah di praktikkan beberapa kebiasaan yang berbeda yang juga menjadi mkebiasaannya.
b.      Kaidah-kaidah dalam teori behaviorisme
Ada lima kaidah utama yang berhubungan dengan teori behaviorisme ini, yaitu:
1.      Kaidah mengenai akibat (the law of the effect), yaitu jika suatu tindakan atau perbuatan di ikuti dengan pemberian hadiah, maka pelaku perbuatan itu cenderung untuk mengulangi perbuatannya, bahkan cenderung untuk menyempurnakan.
2.      Kaidah mengenai penyesuaian, yaitu jika dibuat kondisi tertentu yang mirip dengan kondisi yang dimana pelaku perbuatan (manusia/hewan) mendapatkan pengahargaan, maka manusia/ hewan itu cenderung mengulang kembali perbuatannya jika di berikan atau berada pada saat kondisi yang serupa dengan itu.
3.      Kaidah mengenai akibat relatif, yaitu jika manusia/hewan atau pelaku perbuatan di beriakan pilihan beberapa keadaan yang menguntungkan baginya, dan itu dilakukan secara berulang kali, maka akhirnya akan memilih keadaan yang paling menguntungkan terlebih dahulu, kemudian baru yang kurang menguntungkan, setelah menjalani masa penyesuaian terlebih dahulu, yakni masa pengenalan mana yang paling menguntungkan dan yang kurang menguntungkan.
4.      Kaidah menahan kepuasan, yaitu bahwa terhadap suatu tindakan yang memuaskan, kepuasannya semakin lama semakin berkurang.
5.      Kaidah rasa agresi-frustasi, yaitu adanya sikap amarah yang bersifat emosional dan memicu prilaku agresif, yakni ketika kepada seseorang di berikan hukuman terhadap tindakannya, atau tidak di berikan penghargaan, atau di berikan penghargaan tapi tidak cukup.
Memang menjadi sebuah bahan diskusi yang tidak habis-habisnya, tentang apakah benar manusia itu di lahirkan seperti kertas putih (tabula rasa) sebagaimana yang di pahami oleh para penganut behaviorisme, dimana penentuan wataknya tergantung pada kebiasaan, pembelajaran, dan lingkungannya selama dia masih hidupn, ataukah yang dominan seseorang dalam hidupnya dalam berfikir dan bertindak adalah karna  faktor genetika.
Teori behaviorisme dalam ilmu sosiologi telah memiliki paling tidak  ada dua teori turunan, yaitu teori metodologi individualistis dan teori kaidah pencakupan. Teori metodologi individualistis mengajarkan bahwa meskipun individu-individu itu hidup berkelompok dalam masyarakat, tetapi bagaimana dia dan persepsinya dalam masyyarakat tetap berasal dari individu ini, meskipun pengaruh lingkungan atau pengalaman tetap ada.
Menurut teori behaviourisme ini, meskipun masing-masing individu hidup dalam sebuah kelompok masyarakat, tetapi sifat individualnya tetap muncul, karena mereka adalah tetap manusia, terlepas bagaimana bawaan lahir, tetapi yang paling utama adalah pengalaman hidup mereka.
Selanjutnya, menurut teori pencakupan, dalam masyarakat terdapat berbagai variabel, dimana variabel-variabel itu di hubungkan oleh berbagai proposisi secara deduktif.pendeduksian dalam hal ini bukan hanya menggabung-gabungkan sejumlah fariabel yang ada, tetapi harus mampu juga mengungkapkan hakikat dari hubungan tersebut.
Seperti telah di sebutkan bahwa adanya kesamaan pandangan dalam bentuk kesadaran yang menghasilkan sikap dan kesadaran yang universal dalam suatu kelompoknya (seperti kesadaran bahwa manusia tidak boleh mencuri), tidak berarti bahwa manusia telah melepass sifat individunya.
Kita tahu bahwa potret suatu masyarakat adalah merupakan refleksi potret dari masing-m,asing individun itu juga, maka proposisi behaviornya yang umum tetap sama, dan berlaku bagi semua anggota kelompok. Proposisi behavior ini kemudian berkembang menjadi sebuah kebenaran yang universal sifatnya. Misalnya proposisi bahwa karena adanya reward yang positif dalam berbagai bentuk, akan menyebabkan orang cenderung melakukan hal yanmg mengahasilkan reward ini. Atau adanya kesadran atau proposisi bersama bahwa jika ada anggota kelompok yang melakukan kejahatan harus di hukum, terlepas apapun bentuk hukumannya.
B.     Penerapan teori psikologi dalam hukum
Penerapan teori-teori psikologi dalam hukum memang sangat penting, bahkan memang ilmu psikologi berguna hampir di seluruh bidang ilmu hukum. Misalnya, banyak kasus pela nggaran hukum yang ketika pelakunya hendak di adili, ternyata ada banyak faktor mengapa kemudian sampai perbuatan itu di lakukannya, hal ini bisa seperti yang di bahas dalam teori behaviorisme itu, ilmu psikologi disini juga memainkan perannya. Atau ketika kita hendak mengetahui mengapa suatu hukum atau kebijakan itu di terapkan, disini kita pun bisa menggunakan teori behaviorisme dalam melihat medan dimana hukum itu di konstruksikan dan juga keadaan para pembuat hukum itu.
Selanjutnya manfaat lain dari teori-teori psikologi terhadap ilmu hukum ialah untuk menelaah kepribadian dan kejiwaan dari seorang pelaku kriminal, atau yang di duga pelaku kriminal, atau pihak yang menduduki posisi-posisi yang rentan dengan tanggung jawab yang besar, seperti analisis personaliti terhadap pilot, hakim, jaksa, dan polisi. Berbagai metode di perkenalkan ilmu psikologi untuk melakukan analisis kepribadian dan kejiwaan seseorang. Misalnya dengan menggunakan metode-metode sebagai yang di kemukakan oleh psikolog terkenal, Bapak Sarlito Wirawan, yaitu :
1.      Metode eksperimental,
2.      Metode pengamatan alamiah,
3.      Metode catatan biografi,
4.      Metode wawancara,
5.      Metode pemeriksaan psikologis.
Penganalisaan perilaku menyimpang karena persoalan-persoalan yang menyangkut dengan psikologis sangat penting bagi hukum, untuk mengetahui bagaimana terapi yang tepat baginya, dan sejauh mana yang bersangkuttan tidak lagi mengulang kejahatan atau perbuatan trouble maker-nya. Sehingga dapat pula di ketahui berapa lama hukuman harus dijalankannya, dan seberapa jauh efek jera dari hukum berpengaruh baginya. Sayangnya memang, di Indonesia bahkan secara universal, analisis-analisis yang bersifat psikologis seperti ini kurang di hayati oleh para penegak hukum sehingga menyebabkan banyaknya timbul hukuman yang tidak layak, banyak residivis, bahkan gejala rumah penjara sebagai tempat les dan pendidikan untuk melakukan kejahatan yang lebih besar lagi.
Namun demikian, yang harus di akui pula bahwa efek psikologis individu dari pelaku kejahatan bukan satu-satunya faktor yang harus di perhatikan dalam hubungan dengan hukuman pidana tersebut. Masih ada faktor lainnya yang tidak kalah pentingnya, yaitu:
1.      Efek jera bagi pelaku kejahatan,
2.      Efek jera bagi masyarakat,
3.      Efek pembalasan, dan
4.      Efek pendidikan.
Selain dalam hubungan dengan penjatuhan hukuman bagi pelaku kejahatan, analisis psikologi terhadap hukum juga di perlukan untuk mengukur atau mengetahui:
1.      Perasaan hukum masing-masing individu dalam masyarakat,
2.      Kesadaran hukum dari masyarakat secara keseluruhan atau dari kelompok masyarakat tertentu,
3.      Tingkat kepatuhan hukum dari masyarakat,
4.      Tingkat kepatuhan hukum dari pelaksana/ppenegak hukum,
5.      Model pembelajaran hukum dan penyuluhan hukum yang ampuh bagi masyarakat tertentu,
6.      Tingkkat pengetahuan hukum dari masyarakat.
Jadi memang penganalisisan hukum dari sudut pandang psikologis sangat penting artinya, misalnya dalam pengkajian hukuman yang sesuai dengan pelaku kejahatan, khususnya jika dilihat dari sektor individu pelaku kejahatan ini. Bagaimnapun juga, pertimbangan pada faktor psikologis individu merupakan salah satu faktor penting yang harus di pertimbangkan ketika suatu hukuman di jatuhkan oleh hakim, dituntut oleh jaksa, atau ketika di rumuskan ancaman pidana oleh para pembuat undang-undang di bidang hukum pidana. Hukuman penjara yang harus di jatuhkan pada pembunuh yang psikopat, misalnya lebih tinggi berhubung sulitnya di sembuhkan penyakit jiwanya tersebut untuk menghindari dia menjadi residivis kelak. Dan aspek pendidikan (bahkan aspek pengobatan jiwa) selama dalam rumah penjara harus lebih di intensifkan untuk orang-orang berkelainan jiwa seperti ini.



0 komentar:

Posting Komentar