TEORI-TEORI DALAM SOSIOLOGI HUKUM ISLAM
BAB I
PENGARUH SANKSI DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT BAGI PELAKU HUKUM :
PENERAPAN TEORI BEHAVIORISME
PENERAPAN TEORI BEHAVIORISME
A.
Teori Behaviorisme
Dalam ilmu sosiologi, teori behaviorisme adalah berkarakter
psikologi. Teori ini mengajarkan bahwa manusia tidak di pengaruhi oleh bawaan
lahirnya (kecerdasan, emosional, ketahanan tubuh, penyakit bawaan, genetik).
Tetapi faktor yang lebih penting untuk mengetahui sikap tindakan manusia dan
yang memengaruhi serta yang membentuk tingkah laku manusia ialah kebiasaan yang
dilakukan terus menerus sebagai respon atas lingkungannya. Respon ini dapat
diidentifikasi dan dapat diukur untuk mengetahui seberapa besar respon yang di
berikan akibat stimulus yang berasal dari internal ataupun eksternal.
Kaum behaviorisme adalah para pendukung teori Tabula rasa, yaitu
sebuah teori yang menyakini bahwa manusia lahir tidak membawa apa-apa (seperti
kertas putih), dimana sikap dan watak amnusia itu berbeda-beda karna pengaruh
dari lingkungannya semenjak dia menjalani proses kehidupan.
Paham behaviorisme awal mula lahir pada awal abad ke-20, yang
muncul sebagai reaksi dan oposisi terhadap paham yang sudah lebih dahulu ada
dan sangat dominan saat itu, yaitu paham introspeksionisme. Paham introspeksionisme
ini adalah merupakan suatu studi tentang kesadaran manusia (consciousness)
melalui eksaminasi diri (self examination) yang menurut kaum
behaviorisme, kesadaran manusia ini tidak dapat di ukur.
Disamping psikologi behaviorisme yang mempelajari sikap dan tingkah
laku tersebut, ada juga psikologi kognitivisme yang mempelajari aktivitas
berpikir dan penalaran dari seseorang. Di lain pihak ada juga apa yang disebut
dengan behaviorisme sosial yang merupakan posisi teoritis dalam ilmu sosiologi
yang menganggap faktor individu dan interaksinya dengan individu yang lain,
sebagai dasar dari analisis sosiologi (george A. Theodorson. Et al.,
1969: 28). Sehingga, kedalam ruanglingkup behaviorisme sosial dalam ilmu
sosiologi ini di masukkan pula paham interaksionisme simbolis, dan teori aksi
sosial.
Disamping itu, sebenarnya bukan ilmu sosiologi dan ilmu psikologi
saja yang berkepentingan dengan analisis behaviorisme manusia, tetapi banyak
disiplin ilmu lain, seperti antropologi budaya, filsafat, ilmu hukum bahkan beberapa
aspek dari ilmu ekonomi dan ilmu politik.kesemua displin ilmu yang ikut
berkepentingan dan membahas tentang behaviorisme manusia ini sering di
kelompokkan kedalam “ilmu behavioral” (behavioral science).
Kesadaran tentang pentingnya peranan teori behaviorisme dalam ilmu
sosial bahkan juga dalam ilmu psikologi itu sendiri baru muncul setelah
munculnya berbagai pendapat dari Skinner, misalnya dalam bukunya tahun 1971,
dan Albert Bandura di tahun 1969, meskipun sebenarnya teori behaviorisme ini
awal mulanya telah diirumuskan oleh J.B. Watson.
a.
Konsep
responden dan operan
Untuk mengukur tingkat kecendrungan dari manusia untuk melakukan
sesuatu, dapat di gunakan konsep “responden” dan “operan”. Ada perbedaan antara
konsep responden, sebagaimana yang di lakukan oleh Pavlov dan Watson, dengan
konsep operan sebagaimana yang di lakukan oleh Skinner (Anthony Giddens, et
al., 2008: 86).
Dengan konsep responden seseorang akan bereaksi secara otomatis
(refleks) jika di berikan stimulus tertentu terhadap orang atau subjek
tersebut. Misalnya mata akan secara refleks berkedip jika ada benda asing yang
mendekatinya.
Adapun dengan konsep operan, maka pemberian stimulus tidak
serta-merta orang atau hewan tersebut melakukan hal-hal yang sudah di desain
sebelumnya. Sebab, bagi hewan yang memiliki intelegensi tinggi dan manusia,
banyak faktor yang mempengaruhi putusan untuk melakukan suatu tindakan.
Misalnya faktor-faktor sebagai berikut :
1.
Adanya
dorongan lapar, dahaga, seks, kesenangan, dan sebagainya.
2.
Kekuatan
dorongan berbeda-beda antara satu manusias/ hewan dengan manusia/hewan yang
lain.
3.
Banyaknya
stimulus yang berbeda-beda antara satu manusia/hewan dengan manusia/hewan yang
lainnya.
4.
Bisa
jadi terhadap seseorang yang terhadapnya, sebelumnya telah di praktikkan
beberapa kebiasaan yang berbeda yang juga menjadi mkebiasaannya.
b.
Kaidah-kaidah
dalam teori behaviorisme
Ada lima kaidah utama yang berhubungan dengan teori behaviorisme
ini, yaitu:
1.
Kaidah
mengenai akibat (the law of the effect), yaitu jika suatu tindakan atau
perbuatan di ikuti dengan pemberian hadiah, maka pelaku perbuatan itu cenderung
untuk mengulangi perbuatannya, bahkan cenderung untuk menyempurnakan.
2.
Kaidah
mengenai penyesuaian, yaitu jika dibuat kondisi tertentu yang mirip dengan
kondisi yang dimana pelaku perbuatan (manusia/hewan) mendapatkan pengahargaan,
maka manusia/ hewan itu cenderung mengulang kembali perbuatannya jika di
berikan atau berada pada saat kondisi yang serupa dengan itu.
3.
Kaidah
mengenai akibat relatif, yaitu jika manusia/hewan atau pelaku perbuatan di
beriakan pilihan beberapa keadaan yang menguntungkan baginya, dan itu dilakukan
secara berulang kali, maka akhirnya akan memilih keadaan yang paling
menguntungkan terlebih dahulu, kemudian baru yang kurang menguntungkan, setelah
menjalani masa penyesuaian terlebih dahulu, yakni masa pengenalan mana yang
paling menguntungkan dan yang kurang menguntungkan.
4.
Kaidah
menahan kepuasan, yaitu bahwa terhadap suatu tindakan yang memuaskan,
kepuasannya semakin lama semakin berkurang.
5.
Kaidah
rasa agresi-frustasi, yaitu adanya sikap amarah yang bersifat emosional dan
memicu prilaku agresif, yakni ketika kepada seseorang di berikan hukuman
terhadap tindakannya, atau tidak di berikan penghargaan, atau di berikan penghargaan
tapi tidak cukup.
Memang menjadi sebuah bahan diskusi yang tidak habis-habisnya,
tentang apakah benar manusia itu di lahirkan seperti kertas putih (tabula rasa)
sebagaimana yang di pahami oleh para penganut behaviorisme, dimana penentuan
wataknya tergantung pada kebiasaan, pembelajaran, dan lingkungannya selama dia
masih hidupn, ataukah yang dominan seseorang dalam hidupnya dalam berfikir dan
bertindak adalah karna faktor genetika.
Teori behaviorisme dalam ilmu sosiologi telah memiliki paling tidak
ada dua teori turunan, yaitu teori
metodologi individualistis dan teori kaidah pencakupan. Teori metodologi
individualistis mengajarkan bahwa meskipun individu-individu itu hidup
berkelompok dalam masyarakat, tetapi bagaimana dia dan persepsinya dalam
masyyarakat tetap berasal dari individu ini, meskipun pengaruh lingkungan atau
pengalaman tetap ada.
Menurut teori behaviourisme ini, meskipun masing-masing individu
hidup dalam sebuah kelompok masyarakat, tetapi sifat individualnya tetap
muncul, karena mereka adalah tetap manusia, terlepas bagaimana bawaan lahir,
tetapi yang paling utama adalah pengalaman hidup mereka.
Selanjutnya, menurut teori pencakupan, dalam masyarakat terdapat
berbagai variabel, dimana variabel-variabel itu di hubungkan oleh berbagai
proposisi secara deduktif.pendeduksian dalam hal ini bukan hanya
menggabung-gabungkan sejumlah fariabel yang ada, tetapi harus mampu juga
mengungkapkan hakikat dari hubungan tersebut.
Seperti telah di sebutkan bahwa adanya kesamaan pandangan dalam
bentuk kesadaran yang menghasilkan sikap dan kesadaran yang universal dalam
suatu kelompoknya (seperti kesadaran bahwa manusia tidak boleh mencuri), tidak
berarti bahwa manusia telah melepass sifat individunya.
Kita tahu bahwa potret suatu masyarakat adalah merupakan refleksi
potret dari masing-m,asing individun itu juga, maka proposisi behaviornya yang
umum tetap sama, dan berlaku bagi semua anggota kelompok. Proposisi behavior
ini kemudian berkembang menjadi sebuah kebenaran yang universal sifatnya.
Misalnya proposisi bahwa karena adanya reward yang positif dalam
berbagai bentuk, akan menyebabkan orang cenderung melakukan hal yanmg
mengahasilkan reward ini. Atau adanya kesadran atau proposisi bersama bahwa
jika ada anggota kelompok yang melakukan kejahatan harus di hukum, terlepas
apapun bentuk hukumannya.
B.
Penerapan
teori psikologi dalam hukum
Penerapan teori-teori psikologi dalam hukum memang sangat penting,
bahkan memang ilmu psikologi berguna hampir di seluruh bidang ilmu hukum. Misalnya,
banyak kasus pela nggaran hukum yang ketika pelakunya hendak di adili, ternyata
ada banyak faktor mengapa kemudian sampai perbuatan itu di lakukannya, hal ini
bisa seperti yang di bahas dalam teori behaviorisme itu, ilmu psikologi disini
juga memainkan perannya. Atau ketika kita hendak mengetahui mengapa suatu hukum
atau kebijakan itu di terapkan, disini kita pun bisa menggunakan teori
behaviorisme dalam melihat medan dimana hukum itu di konstruksikan dan juga
keadaan para pembuat hukum itu.
Selanjutnya manfaat lain dari teori-teori psikologi terhadap ilmu
hukum ialah untuk menelaah kepribadian dan kejiwaan dari seorang pelaku
kriminal, atau yang di duga pelaku kriminal, atau pihak yang menduduki
posisi-posisi yang rentan dengan tanggung jawab yang besar, seperti analisis personaliti
terhadap pilot, hakim, jaksa, dan polisi. Berbagai metode di perkenalkan ilmu
psikologi untuk melakukan analisis kepribadian dan kejiwaan seseorang. Misalnya
dengan menggunakan metode-metode sebagai yang di kemukakan oleh psikolog
terkenal, Bapak Sarlito Wirawan, yaitu :
1.
Metode
eksperimental,
2.
Metode
pengamatan alamiah,
3.
Metode
catatan biografi,
4.
Metode
wawancara,
5.
Metode
pemeriksaan psikologis.
Penganalisaan perilaku menyimpang karena persoalan-persoalan yang
menyangkut dengan psikologis sangat penting bagi hukum, untuk mengetahui
bagaimana terapi yang tepat baginya, dan sejauh mana yang bersangkuttan tidak
lagi mengulang kejahatan atau perbuatan trouble maker-nya. Sehingga
dapat pula di ketahui berapa lama hukuman harus dijalankannya, dan seberapa jauh
efek jera dari hukum berpengaruh baginya. Sayangnya memang, di Indonesia bahkan
secara universal, analisis-analisis yang bersifat psikologis seperti ini kurang
di hayati oleh para penegak hukum sehingga menyebabkan banyaknya timbul hukuman
yang tidak layak, banyak residivis, bahkan gejala rumah penjara sebagai tempat
les dan pendidikan untuk melakukan kejahatan yang lebih besar lagi.
Namun demikian, yang harus di akui pula bahwa efek psikologis
individu dari pelaku kejahatan bukan satu-satunya faktor yang harus di
perhatikan dalam hubungan dengan hukuman pidana tersebut. Masih ada faktor
lainnya yang tidak kalah pentingnya, yaitu:
1.
Efek
jera bagi pelaku kejahatan,
2.
Efek
jera bagi masyarakat,
3.
Efek
pembalasan, dan
4.
Efek
pendidikan.
Selain dalam hubungan dengan penjatuhan hukuman bagi pelaku
kejahatan, analisis psikologi terhadap hukum juga di perlukan untuk mengukur
atau mengetahui:
1.
Perasaan
hukum masing-masing individu dalam masyarakat,
2.
Kesadaran
hukum dari masyarakat secara keseluruhan atau dari kelompok masyarakat
tertentu,
3.
Tingkat
kepatuhan hukum dari masyarakat,
4.
Tingkat
kepatuhan hukum dari pelaksana/ppenegak hukum,
5.
Model
pembelajaran hukum dan penyuluhan hukum yang ampuh bagi masyarakat tertentu,
6.
Tingkkat
pengetahuan hukum dari masyarakat.
Jadi memang penganalisisan hukum dari sudut pandang psikologis
sangat penting artinya, misalnya dalam pengkajian hukuman yang sesuai dengan
pelaku kejahatan, khususnya jika dilihat dari sektor individu pelaku kejahatan
ini. Bagaimnapun juga, pertimbangan pada faktor psikologis individu merupakan
salah satu faktor penting yang harus di pertimbangkan ketika suatu hukuman di
jatuhkan oleh hakim, dituntut oleh jaksa, atau ketika di rumuskan ancaman
pidana oleh para pembuat undang-undang di bidang hukum pidana. Hukuman penjara
yang harus di jatuhkan pada pembunuh yang psikopat, misalnya lebih tinggi
berhubung sulitnya di sembuhkan penyakit jiwanya tersebut untuk menghindari dia
menjadi residivis kelak. Dan aspek pendidikan (bahkan aspek pengobatan jiwa) selama
dalam rumah penjara harus lebih di intensifkan untuk orang-orang berkelainan
jiwa seperti ini.
0 komentar:
Posting Komentar