Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Sabtu, 31 Mei 2014

Pandangan Nash ( AL-Quran dan Al-Hadist) terhadap perempuan


PENDAHULUAN
Perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan, bahkan kekerasan terhadap perempuan merupakan kontruk sosial yang dan budaya yang sangat panjang. Namun karena kontruk sosial itu telah menjadi “kebiasaan” dalam waktu yang lama, maka ia menjadi sebuah ideologi yang mengakar dalam kesadaran individu masing-masing. Perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah dan bersifat kodrati. Tak dipungkiri juga bahwa salah satu penyebab yang melanggengkan kontuk-sosial perbedaan (ketidak adilan) gender adalah pemahaman agama.
Islam sebagai agama yang datang untuk mendobrak kontruk sosial serta budaya patriarkhi sejatinya telah menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama-sejajar. Tradisi Arab yang waktu itu secara umum menempatkan perempuan hampir sama-bahkan dapat dikatakan sama dengan hamba sahaya dan harta benda, yaitu perempuan-perempuan diperbudak, diperjual belikan, dan seorang anak dapat mewarisi isteri ayahnya yang tak lain adalah ibu-ibu mereka.
Tak hanya itu, tradisi dan budaya Arab juga sangat keji tatkala seorang isteri melahirkan bayi perempuan, maka serta merta anak itu langsung dikubur hidup-hidup, karena bagi mereka mempunyai anak perempuan itu adalah sebuah aib dan melambangkan simbol kelemahan. Lalu setelah itu, datanglah Nabi Muhammad saw. Sebagai suri tauladan yang baik membawa semangat universalisme “kesetaraan” serta mendobrak budaya patriarkhi ditengah-tengah bangsa Arab.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: “Barangsiapa mengerjakan amal-amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia beriman, maka mereka itu masuk surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (Q.S. an-Nisa: 124), “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Q.S. al-Muddatsir: 38).[1] Semangat Islam yang seperti itu kemudian diinterpretasi dan dipahami oleh orang-orang Arab yang mempunyai budaya dan ideologi patriarkhi, sehingga hasil penafsiran cenderung bias gender dengan memposisikan wanita lebih rendah daripada laki-laki. Hasil penafsiran-penafsiran yang bias gender tersebut menghantarkan salah satu produk pada pemahaman teks nash Al-Qur’an dan Hadits yang misoginis,[2] salah satunya adalah pemaknaan hadits Nabi bahwa seorang perempuan muslimah tidak diperkenankan berpuasa sunnah tanpa izin suaminya.
Pemahaman seperti itu patut dipersoalkan karena bertentangan dengan prinsip universalisme dan kesetaraan yang sudah dikemukakan dimuka.
Rumusan Masalah:
1.      Bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap perempuan dan segala aspek kehidupan sosialnya?
2.      Apakah benar pemahaman makna hadits tentang keharusan izin seorang perempuan dalam melakukan ibadah puasa sunnah?
Tujuan Masalah:
1.      Untuk mengetahui sejauh mana Al-Qur’an dalam memandang seorang perempuan dan segala aktivitas kehidupan sosial yang dilakukannya.
2.      Untuk mengetahui dan mencari makna hadits yang adil dalam hak perempuan terkait keharusan izin seorang perempuan dalam melakukan ibadah puasa sunnah.









PEMBAHASAN
A.    Kedudukan Perempuan dalam Al-Qur’an
Secara historis, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat disepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat matriakal, yang jumlahnya tidak seberapa perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Disinilah muncul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki dan karena itu dianggap tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, dengan bertindak sebagai ayah, saudara laki-laki, ataupun suami. Disini perempuan sangat dibatasi, yaitu hanya berada dirumah, dapur, dia dianggap tidak mampu mengambil keputusan diluar wilayahnya. Dalam hal ini terutama memusatkan perhatian kepada status yang diberikan Al-Qur’an kepada perempuan dan bagaimana para fuqaha memandangnya dalam kondisi yang berbeda-beda. Pertanyaannya adalah apakah status yang diberikan Al-Qur’an kepada perempuan? Apakah status yang setara ataukah yang lebih rendah? Para ulama fuqaha menyatakan secara tegas bahwa perempuan diberikan status yang lebih rendah; sebagian ulama kontemporer atau modernis cenderung menyakini bahwa Al-Qur’an memberikan status yang setara antara laki-laki dan perempuan.[3]
Para fuqaha cenderung memberikan status lebih unggul laki-laki dengan perempuan, hal ini dapat dipengaruhi beberapa faktor, karena seperti kitab-kitab suci lainnya, interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an sangat tergantung kepada sudut pandang penafsirnya. Pada puncaknya posisi apriori seseoranglah yang menentukan makna dari sebuah kitab suci bagi pembaca atau penafsirnya. Ayat yang sama dipahami secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda tergantung kesukaan dan kecenderungan mereka.
Maulana Qari Muhammad Tyeb, pimpinan Darul Ulum, Doeban, menerima adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dia mengatakan, sebenarnya perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki; dan dalam hal yang tertentu mereka bahkan memiliki hak lebih. Selanjutnya ia berbicara tentang Aisyah adalah isteri Nabi. Nabi mengatakan bahwa separoh dari pengetahuan wahyu harus diperoleh dari semua sahabat-sahabatku dan separoh lainnya dari Aisyah.[4]
Al-Qur’an juga mengatakan, “ Kami telah memuliakan anak-anak Adam....[5] dalam ayat ini seorang mufassir, Maulana Usmani berpendapat bahwa kalimat “bani adam” mencakup laki-laki dan perempuan, dan karena itu menurut ayat ini kedua-duanya harus atau sama-sama dimuliakan tanpa ada pembedaan jenis kelamin. Dalam ayat lain juga al-Qur’an menggunakan kalimat metafora libas (pakaian) bagi laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an mengatakan: “Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.[6] Hal ini jelas mengisyaratkan bahwa sebagaimana pakaian, keduanya saling membutuhkan dan yang satu tidak dapat sempurna tanpa kehadiran yang lain. Tidak mungkin ada ketidaksetaraan dimana ada fungsi saling melengkapi.
Dalam ayat lain, Al-Qur’an menjelaskan tentang konsep kesetaraan, “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari jenis yang satu”,[7] dan darinyalah Allah mengatakan bahwa semua laki-laki dan perempuan diciptakan dari satu nafs (makhluk hidup) dan karena itu tak ada yang lebih unggul dari yang lain. Pada ayat lain, sebagaimana ditunjukan Muhammad Asad, seorang penafsir Al-Qur’an kontemporer terkemuka, dalam catatan kaki ayat ini diungkapkan: “Dia menciptakan darinya pasangannya”, “dia menciptakan pasangannya (yakni, pasangan jenis kelamin) dari jenis sendiri (min jins siha).[8]
Dalam beberapa ayat juga, memang Al-Qur’an memberikan kelebihan tertentu bagi laki-laki atas perempuan, Al-Qur’an menjelaskan bahwa hal ini bukan karena kelemahan inheren yang ada pada diri perempuan tetapi karena konteks sosialnya. Al-Qur’an mengatakan : “Laki-laki adalah pemberi nafkah perempuan, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain”,[9] ayat ini jelas bahwa fadhilat yang diberikan Allah kepada satu atas yang lain atau kepada laki-laki atas perempuan bukanlah keunggulan jenis kelamin. Itu adalah fungsi sosial yang waktu itu diemban keduanya, karena laki-laki mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan. Tentu saja, sekarang kaum feminis berpendirian bahwa pekerjaan domestik perempuan juga diperhitungkan sebagai pekerjaan produktif  secara ekonomi dan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai kewajiban domestik mereka.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi, bahwa ada dorongan kearah kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur’an. Ada beberapa alasan untuk ini, pertama, sebagaimana yang ditunjukan diatas, al-Qur’an memberikan tempat yang terhormat bagi seluruh manusia yang mencakup laki-laki dan perempuan. Kedua, sebagai masalah norma, Al-Qur’an membela prinsip-prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan, perbedaan biologis, menurut al-Qur’an tidak berarti ketidaksetaraan dalam status jenis kelamin. Fungsi-fungsi biologis harus dibedakan dari fungsi-fungsi sosial.
B.     Hadits-hadits Keharusan Izin Seorang Isteri Kepada Suami Terkait Masalah Puasa Sunnah
1.      Kitab Shahih al-Bukhari
حدثنا محمد بن مقاتل أخبرنا معمر عن همام بن منبه عن أبي هريرة رضي الله عنه عن الني صلى الله عليه وسلم : لا تصوم المرأة وبعلها شاهد إلا بإ ذ ن زوجها
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Muqatil, memberitakan kepada kami Ma’mar dari Hammam bin Munabah dari Abu Hurairah, dari Nabi saw bersabda :” Seorang perempuan tak boleh berpuasa tatkala suaminya ada dirumah kecuali dengan izinnya.”
2.      Kitab Shahih Muslim
حدثنا محمد بن رافع حدثنا عبدالرزاق حدثنا معمر عن همام بن منبه قال: هذا ما حدثنا أبو هريرت عن محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكر أحاديث منها: وقال رسول الله صلعم لا تصوم المرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه
“ Menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi’, kami diberi riwayat oleh Ma’mar dari Hammam ibn Munabah, Hammam berkata: Inilah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi Muhammad saw. Lalu ia menyebutkan beberapa hadits diantaranya: Seorang perempuan tidak boleh berpuasa tatkala suaminya ada dirumah kecuali dengan izinnya.
3.      Kitab Sunan At- Tirmidzi.
حدثنا قتيبة ونصربن علي قال أخبرنا سفيان بن عيينة عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم: لاتصوم المرأة وزوجها شاهد يوما من غير رمضان الا بإذنه
            “Telah meriwayatkan kepada kami Qutaibah dan Nasr bin Ali keduanya berkata: “ Telah meriwayatkan kepada kami Sufyan Ibn Uyainah dari Abu Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Seorang perempuan tidak boleh berpuasa satu hari pun diluar Ramadhan ketika suaminya ada dirumah kecuali dengan izinnya.”
4.      Kitab Sunan Ibn Majjah.
حدثنا هشام بن عمار حدثنا سفيان بن عيينة ن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم : لاتصوم المرأة وزوجها شاهد يوما من غير رمضان الا بإذنه
“Telah meriwayatkan kepada kami Hisyam Ibn Ammar, telah meriwayatkan kepada kami Sufyan Ibn Uyainah dari Abu Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Seorang perempuan tidak boleh berpuasa satu hari pun diluar Ramadhan ketika suaminya ada dirumah kecuali dengan izinnya.”
5.      Kitab Sunan Ad- Darimi.
أخبرنا يزيد بن هارون حدثنا شريك عن الأعمش أبي صالح عن أبي سعد  الخدري عن النبي صلعم أنه قال لإمرأة : لاتصومي إلا بإذنه
“Telah meriwayatkan kepada kami Yazid bin Harun telah meriwayatkan kepada kami Syuraik dari al-A’masyi dari Abi Shalih dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi saw. Bahwa Nabi bersabda kepada seorang perempuan; “Jangan engkau berpuasa (sunah) tanpa izinnya.”
6.      Kitab Musnad Imam Ahmad ibn Hambal.[10]
حدثنا عبدالله حدثني أبي حدثنا محمد بن عبدالله عمار حدثنا سفيان بن عيينة عن أبي الزناد عن موسى عن أبي عثمان عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم : لاتصوم المرأة إذا كا ن زوجها شاهدا إلا بإذنه
“Telah meriwayatkan kepada kami ‘Abdullah, telah meriwayatkan kepada saya, ayah saya, telah meriwayatkan kepada kami Muhammad ibn Abdillah, meriwayatkan kepada kami Sufyan dari Abu Zinad, dari Musa bin Abi Usman dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi saw. “Seorang perempuan tidak boleh berpuasa apabila suaminya ada dirumah kecuali dengan izinnya.”
C.    Kritik Sanad
Dalam penelitian hadits, kritik sanad sangat diperlukan untuk memberikan klarifikasi keshahihan hadits,disamping untuk memastikan perlu tidaknya dilakukan kritik matan. Sebab dalam disiplin ilmu hadits, jika suatu hadits itu dha’if maka kritik matan tidak diperlukan lagi, namun jika haditsnya itu sanadnya shahih, maka langkah berikutnya adalah melakukan kritik matan.
Dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib karya al-Imam al-Hafizh Syaikh al-Islam Syihabbudin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, menginformasikan tentang masing-masing kualitas perawi hadits pada sanad yang termuat di kitab Sahih Bukhari dan Shahih Muslim sebagai berikut:
a)      Muhammad ibn Muqatil (226 H)
Ia memiliki nama lengkap Muhammad Ibn Muqatil al-Marwazi dan bergelar Abu Hasan al-Kisaa-i, Muhammad berguru hadis kepada beberapa guru, diantaranya, Abdullah ibn Mubarak, Mubarak Ibn Sa’id as-Sawri dan Khalaf bin Khalifah. Beliau sendiri menjadi guru para tokoh hadits diantaranya seperti; Imam Bukhari, Ahmad Ibn Hambal, Abu Zur’ah, Ibrahim al-Junaid, dll. Oleh Ibn Hatim beliau dinilai saduq, orang yang sangat jujur,sedangkan oleh Ibn Hibban dikelompokan kepada orang orang siqah, yang terpercaya.
b)      Abdullah Ibn Mubarak (Wafat 181 H)
Beliau beranama lengkap Abdullah ibn Mubarak Wadih al-Hanzali at-Tamimi. Ia berguru hadits kepada lebih dari tujuh puluh orang ulama hadits dan karenanya digelari sebagai orang yang haus ilmu. Pada masanya, menurut Ibn Hajar al-Asqalani, tidak dijumpai orang yang lebih mulia dari dirinya sehingga ia diberi gelar al- Imam al-Muttafaq ‘alaih. Menurut Ibn Hambal, Abdullah ibn Mubarak adalah orang yang siqah, seorang panutan yang tak terbantahkan, dan hadits-hadits yang diriwayatkannya dapat dijadikan hujjah.
c)      Muhammad ibn Rafi’ (wafat 45 H)
Ia mempunyai nama lengkap Muhammad Ibn Rafi’ ibn Abi Zaid, beliau berguru hadits kepada ibnu Uyainah, Abu Dawud al-Harbi dan Abu Dawud at-Tayalisi dan lain-lain.
Beliau sendiri menjadi rujukan utama para ulama hadits, seperti Abu Dawud, Ibn Majjah, Abu Zu’rah, Abu Hatim, Ibn Khuzaimah, dan Al-Bukhari. Menurut Muhammad ibn Abdil Wahab, Muhammad ibn Rafi’ adalah orang yang wara’, Imam Bukhari menilainya sebagai hamba Allah terpilih (Khiyar Ibadillah), sedangkan an-Nasa-i dan Ibn Hibban sebagai siqah al-ma’mun.
d)     Abdurrazaq (wafat 211 H)
Beliau mempunyai nama lengkap Abdurrazak Ibn Hammam Ibn Nafi al- Humairi. Selain berguru hadits kepada Wahhab ibn Munabah ia juga menuntut ilmu kepada pamannya yang bernama Ma’mar juga Ubaidillah Ibn Umar dan Abdullah ibn Umar al- Umari. Ia sempat diisukan masuk kedalam kelompok syi’ah karena kecintaannya terhadap Ali Ibn Thalib, tetapi oleh Ibn Hibban ia dikelompokan kepada golongan orang-orang yang siqah.
e)      Ma’mar (wafat 152 H.)
Nama lengkapnya ada;ah Ma’mar ibn Rasyid al-Azadi al- Kadani, ia berguru diantara gurunya adalah Qatadah, az-Zuhri, Abdullah ibn Tawus, Yahya ibn Ali, Hammam ibn Munabah, dan Hisyam ibn Urwah. Imam As-Syafi’i memberikan pujian terhadapnya, sedangkan Ibn Abi Khaisamah mengatakan bahwa riwayat dari Ma’mar lebih kuat dari Uyainah.
f)       Hammam Ibn Munabah (wafat 132 H.)
Nama lengkap yang disandangnya adalah Hammam ibn Kamil ibn Syaikh al-Yamani Abu Uqbah as-San’ani. Ia meriwayatkan hadits dari para Sahabat seperti Mu’awiyah, Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abu Hurairah. Semua ulama, khususnya dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim ia adalah orang yang siqah terpercaya, karena tidak ada seorang ulama-pun yang menilainya cacat atau jarh. Jadi semua hadits yang ada disini secara kualitatif adalah shahih.[11]
D.    Kritik Matan
Secara harfiah hadits-hadits yang telah disebutkan memberikan pengertian bahwa seorang isteri yang mau melakukan puasa sunnah tatkala suaminya ada dirumah, diharuskan izin kepada suaminya. Berdasarkan pendekatan tekstual atau dalam bahasa ushul fiqhnya metode thariqah lafzhiyah lughowiyah maka semua ulama klasik memberikan pemahaman terhadap hadis ini selama seorang suami berada dirumah maka haram hukumnnya kalau seorang isteri melakukan ibadah puasa sunnah. Jika hal itu dilakukan, maka ia akan mendapatkan dosa bukan mendapatkan pahala. Pendapat seperti ini masih dipegang teguh oleh umat muslim pada umumnya.
Karena ibadah puasa sunnah seorang isteri ini nantinya akan membuat suami marah, ketika seorang suami ingin melakukan hubungan seksual, sementara isterinya sedang dalam keadaan berpuasa sunnah. Maka isteri wajib membatalkan puasa tersebut, untuk memenuhi hajat suami itu, seperti yang dikatakan oleh An-Nawawi, bahwa seorang isteri harus siap dalam situasi apapun untuk memberikan pelayanan kepada suaminya.[12]
E.     Asbab al-Wurud Hadits
Sebagaimana ayat al-Qur’an, maka turunnya hadis (asbab al-wurud) tak lepas dari berbagai aspek, seperti kondisi sosial, budaya, ataupun memberikan jawaban kepada para sahabat-sahabatnya, karena pada masa itu Nabi adalah panutan, yang memberikan jawaban permasalahan ketika ada sahabatnya yang bertannya.
Dalam hadits ini, ada asbab al-wurud terkait masalah nafakah. Berbagai versi hadis diatas menunjukan adanya hak dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga. Suami wajib memberikan nafkah yang ma’ruf kepada isterinya, hadits tentang hal tersebut redaksinya bermacam-macam. Namun intinya tetap sama yakni pergaulan yang baik antara suami dan isteri dalam rumah tangga.
F.     Membaca Makna Hadis Secara Komprehensif Mencari Makna Alternatif
Dalam kebudayaan khazanah Islam, kegiatan interpretasi nash-nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi lebih dikenal dengan istilah fiqh. Pemahaman terhadap ketaatan seorang isteri dalam kasus izin isteri ketika melakukan ibadah puasa adalah produk fiqh. Melihat produk fiqh di dalam umat Islam seringkali memperlihatkan dominasi laki-laki dan karenanya lebih menguntungkan laki-laki. Seorang Liberal kontemporer dari Maroko, Mohammed Arkoun dan Muhammad Shahrour, pemikir Liberal Syuriah, mengatakan; bahwa tidak mungkin mengobati penyakit kronis kekerasan atas nama agama, kekerasan terhadap perempuan (bias gender), kecuali dengan cara merekonstruksi secara komperhensif dasar-dasar Fiqh Islam yang telah dibangun oleh para Fuqaha pada abad kedua dan ketiga Hijriah.[13]
            Maka dalam hadits-hadits yang oleh para Ulama klasik melahirkan pemahaman fiqh patriarkhi inilah yang sampai sekarang tumbuh dan berkembang dalam cara pandang umat islam terhadap hadits misoginis. Karena sebagaimana sudah dijelaskan, maka sangatlah bertentangan dengan peran Nabi yang membawa perdamaian, dan kesetaraan, menjunjung tinggi keadilan kepada setiap manusia, baik laki-laki ataupun perempuan.
            Dalam disiplin ilmu hadits, jika ada ta’arud al-adillah (pertentangan antar dalil), maka ada tiga penyebab hadis itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Pertama, hadits itu tidak shahih, kedua, adanya pemahaman yang kurang tepat yang mengakibatkan-sebab, ketiga, adanya pertentangan semu antara al-Qur’an dan Hadits.
            Untuk menghindari hal tersebut, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencari makna komprehensif dan mashlahat.
1.      Memposisikan hadits sebagai penjelas Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an adalah sumber utama dalam semua ilmu, ia adalah muara ilmu, sedangkan hadits merupakan penjelas, ataupub perinci ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal ataupun mutasyabbihat. Hal ini dapat disimpulkan bahwa hadits sebagai penjelas tidak mungkin bertentangan denga Al-Qur’an.
2.      Mengupayakan penghimpunan hadits-hadits yang dapat dijadikan dalam satu tema. Cara ini ditempuh untuk menghilangkan kemungkinan suatu hadits dipahami secara tekstual, dalam ilmu ishulnya menggunakan metode thariqah lafziyah lughowiyah.
3.      Memastikan antara hadits secara tekstual dan kontekstual. Hal ini didasari oleh fakta bahwa tatkala Rasulullah saw hidup ditengah para sahabat, beliau memerankan diri dalam berbagai fungsi tugas sekaligus. Jadi Nabi tidak dilihat dari satu sisi saja, tetapi Ia harus dilihat perannya ketika menjadi seorang Rasul utusan Allah, menjadi panglima perang, menjadi manusia biasa dalam kehidupan rumah tangga, mencari nafkah untuk isteri-isterinya dengan berdagang, dan sebagai orang Arab.[14]
Maka untuk membaca hadits tersebut harus dengan menggunakan metode thariqah lafzhiyah ma’nawiyah/ kontekstual dengan melihat asbab al-wurud dari hadits dan semangat pesan yang terkandung di dalamnya (al-Ibrah bil jauhar la bil mazhar), min an-Nushus ila al-Waqi’ (dari teks-teks agama kepada realitas sosial).[15] Jadi kesimpulannya hadits larangan wanita berpuasa tanpa izin suami itu secara sanad shahih, tetapi secara matan tidak. Karena hal ini bertentangan dengan konsep kesetaraan yang dijelaskan Al-Qur’an dalam status perempuan. Akhir kata dari kami, “ Kebenaran itu tidak hanya milik Ulama Klasik semata, tetapi kebenaran itu ia bisa hadir dari haribaan seorang cendekiawan, karena ukuran kebenaran itu bukan dari kealiman dan keshalihan ulama tersebut, tetapi kebenaran itu dapat dinilai dari mashlahat yang sesuai di eranya.”
إن رمت علم الأصل كن مجتهدا ولا تقلد فالخلاف قد بدا
والقولة الصحيحة الشهيرة عصيانه إن كان ذا بصيرة
PENUTUP
KESIMPULAN
Ø  Pada hakikatnya al-Qur’an telah memberikan status dan predikat kepada mereka (perempuan) sebagai makhluk yang setara dengan laki-laki. Banyak ayat-ayat yang menyatakan tentang konsep al-musawa atau persamaan yang diajarkan oleh Islam dalam Al-Qur’an.
Ø  Produk fiqh yang patriarkhi itu terlahir atas penafsiran para ulama yang secara umum adalah kaum laki-laki, karenanya produk fiqh tersebut cenderung lebih menguntungkan para laki-laki (bias gender) atas perempuan. Maka perlu merekonstruksi ulang pemahaman dan pengkajian fiqh yang patriarkhi tersebut agar dapat memberikan kemashlahatan terhadap kaum perempuan.
Ø  Hadits-hadits misoginis yang menyatakan larangan terhadap para perempuan ketika melakukan ibadah puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya perlu dikaji dan dilakukan pembacaan ulang yang komprehensif. Karena hadits sebagai penjelas dan perinci al-Qur’an tidak boleh bertentangan dengan konsep Al-Qur’an yang mengajarkan dan memberikan status kesetaraan bagi perempuan.



[1]  Fatima Umar Nasif, Manggugat Sejarah Perempuan, Mewujudkan Idealisme gender sesuai tuntunan Islam, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), hlm. 148.
ومن يعمل من الصلحت من ذكر او انثي وهو مؤمن فأ ولٌئك يد خلون الجنة ولا يظلمون نقيرا {النساء ۱۲۴}
كل نفس بما كسبت رهينة {المدثر ۳۸}
[2]  Hamim Ilyas, dkk,  Perempuan Tertindas? Kajian Hadits- Hadits “Misoginis”, (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 146.
[3]  Asghar Ali Enginer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: LSPPA(Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak), : Cet. 2, 2000), hlm. 63-64.
[4]  Ibid, hlm. 66.
[5] Ibid, Q.S. Al-Israa : 70. 
ولقد كرمنا بني ادم
[6]  Ibid,  Q.S. Al-Baqarah : 187.
هنّ لباس لكم وأنتم لباس لهنّ
[7]  Ibid, Q.S. An- Nisa : 1, hlm. 65
ياأيهاالناس التقوا ربكم الذي خلقنكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها
[8]  Ibid, Menurut Muhammad Asad, dalam bukunya ( The Messege of The Quran) kata nafs sangat penting. Kata ini berarti jiwa, ruh, pikiran, makhluk hidup, manusia, kemanusiaan, dan seterusnya. Banyak para mufassir klasik memilih kata “manusia” sebagaimana makna dari kata nafs dan merujuk kepada Adam. Namun, Muhammad Abduh lebih menyukai makna “Kemanusiaan” karena istilah ini menekankan asal-usul manusia yang sama dan persaudaraan umat manusia.
[9]  Ibid, Q.S. An-Nisaa : 34, hlm. 69.
الرجال قوا مون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض
[10]  Hamim Ilyas, dkk,  Perempuan Tertindas? Kajian Hadits- Hadits “Misoginis”, (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 150-154.
[11]  Ibid, hlm. 155-158.
[12]  Ibid, hlm. 159.
[13]  Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2011), lihat kata pengantar Prof. Dawam Rahardjo, xxix.
[14]  Hamim Ilyas, dkk,  Perempuan Tertindas? Kajian Hadits- Hadits “Misoginis”, (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 162-163.
[15]  Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaanan, (Jakarta: The Wahid Institute, Cet. 1, 2008, Lihat kata pengantar Agus Maftuh Abegebriel viii.

1 komentar:

  1. tolong terjemahkan syair sebelum penutup kang, saya masih bingung

    BalasHapus