PROBLEMATIKA BERHUKUM DI
INDONESIA
A.
Menuju
penegakan hukum responsif
Memang rumit ketika kita menelurusuri teori-teori hukum aliran
positivisme dan berbagai macam kritik-kritiknya khususnya yang berikaitan
dengan penegakkan hukum di Indonesia, karena mereka yang membuat teori tersebut
masih terkontaminasi dengan sudut pandang yang pasti dari teori positivisme
tersebut.Padahal kalau dilihat secara kondisional hal tersebut tidaklah lagi
sejalan dengan karakteristik manusia di zaman sekarang.
Hukum itu tidak bisa terlepas dari sejarah manusia, karena
sesungguhnya perkembangan hukum terus berjalan sesuai dengan dinamika sosial
atau masyarakat. Maka, jika masyarakat berubah, pastilah hukum itu juga berubah
atau dengan kata lain ketika masyarakat Indonesia ini telah bebas dari
penjajahan maka hukumnya harus sejalan dengan kebebasan itu.[1]
Kalau kita melihat bangsa Indonesia berhukum, pastinya kita tidak
melihat bagaimana penegakan hukum bangsa lain, akan tetapi kita melihat
karakteristik bangsa kita sendiri, dari segala perjalanan hukum dan
perubahannya. Nonet dan Selznick
menyatakan bahwa:
“Pemahaman kita tentang perubahan
sosial tidak akan utuh jika kita tidal mencari cara-caraadaptasi yang
melahirkan alternatif-alternatif
historis yang baru dan mampu terus bertahan, seperti misalnya, perubahan dari
status ke kontrak, dari Gemeinschaft (masyarakat paguyuban) ke Gesellschaft
(masyarakat patembayan), dari hukum yang keras ke keadilan”.
Dalam berhukum di Indonesia, mungkin yang kita kenal selama ini
adalah Undang-undang (sekalipun tanpa memandang perubahan masyarakatnya), yang
akibat dari hal ini menjadikan tidak adanya komitmen untuk mengubah hukum yang
lebih ideal berkeadilan dan juga professional, bukan menjadi hukum
transaksional sebagai bentuk untuk memperkaya diri sendiri dan golongan seperti
partai dll. Memang sudah begitu parah kalau kita lihat secara ril dan nyata,
sebagai contoh kasus yaitu putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun Kalimantan
Tengah tentang Penghapusan Jaring Trawl terpidana Sanan Bin Tawe berasal dari
Thailand (Putusan No:15/PID/B/2000/P.N./P.Bun, Tanggal 2 Maret 2000)
Hukum yang secara maknanya yang sudah tentu berjiwa Pancasila dan UUD 1945, yangmasih menjadi pertanyaan
besar adalah seberapa besar hukum bermanfaat dalam kehidupan masyarakatnya.
Maka untuk menjawab itu semua pastinya tidak terlepas dari pilar-pilar
berhukum, seperti: bagaimana perundang-undangannya, aparat penegak hukumnya dan
juga bagaimana budaya hukum masyarakatnya. Sehingga paling tidak, ada sedikit
kontribusi yang dilakukan bersama-sama dalam persoalan berhukum bagi
masyarakat.Dengan mengawalinya meninggalkan paradigma tunggal positivism dan
membangun paradigma ganda atau bersama.
Merupakan kekeliuran yang paling mendasar dari cara berhukum di
Indonesia adalah ketika kita melihat para praktisi hukum hanya memahami hukum
secara harfiah yang mengakibatkan hukum itu dipandang secara kaku, pesimis dan
seadanya. Maka praktisi kita kalau mau dikatakan seakan-akan dalam memutuskan
suatu persoalan seperti tidak ada tanggungjawab, kekeliruan dan juga
konsekuensi terhadap apa yang diputuskannya, sekalipun itu salah, tidak tepat,
bertentangan dengan hukum bahkan bertentangan dengan hati nuraninya sekalipun,
karena sudah menganggap bahwa Undang-Undang
itu telah sempurna dan menghasilkan
kepastian serta kesatuan hukum.[2]
Betapa semrawutnya cara berhukum di Indonesia, bahkan seorang
mantan Presiden Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid berkomentar:
“Marilah kita
periksa, apa yang sebenarnya terjadi dengan hukum Nasional kita itu dan pelaksanaan-pelaksaannya
di lapangan.Kalau dimaksudkan dengan kata “tidak berjalannya” produk hukum,
kita lihat terletak pada kenyataan hukum tidak berjalannya sebagaimana
mestinya, seluruh bangsa menjadi korban dan sekaligus penyebab dari adanya hal
itu.Akan kita teruskankah hal itu? Namun, kita terjerembab pada kenyataan bahwa
cara lain tidak akan mungkin berhasil. Jadi, dengan ungkapan lain kita sampai
pada kesimpulan bahwa “krisis hukum”, dalam kehidupan kita sebagai bangsa akan
berlangsung sangat lama. Sementara itu, para pengamat hukum kita akan sengaja
“membius diri” dalam berbagai kegiatan: menulis buku, mengajar, dan berdebat
dalam berbagai forum, semuanya tanpa membawa akibat perubahan-perubahan yang
kita perlukan.
B.
Problematika
Penegakkan Hukum di Indonesia
Memang kalau kita melihat aliran-aliran hukum yang berkembang di
Indonesia bersifat polemik, bisa positivistik versus non-positivistik dan
aliran-aliran lainnya.Sekalipun ini adalah polemik hukum yang tidak pernah
berakhir selama kehidupan manusia masih ada, namun penegakkan hukum juga tidak
kalah penting.Lawyer atau jurist merupakan posisi yang sangat penting dalam
penegakkan supremasi hukum. Prof. Wignjosoebroto merancang dua doktrin atau
paradigma sebagai berikut:
Non progresif
|
Progresif
|
1
|
2
|
1. Setiap
statemen prekriptif yang bsa dikulifikasi sebagai hukum yang positif itu mesti
diruskan dalam suatu kalimat yang menyatakan adanya hubungan kausal yang
logis yuridis antara suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum (iudexfactic)
dengan akibat yang timbul sebagai konsekuensi peristiwa itu (iudex iuris);
yang
2. Terbentuk
sebagai hasil kesepakatan kontraktual oleh para hakim yang berkepentingan di
ranah publik sebagaimana dirupakan dalam bentuk undang-undang, dan oleh sebab
itu,
3. bisa
diakui sifatnya yang intersubjektif-efektif (objectivied intersubjectivy)
netral alias tidak memihak, untuk kemudian
4.
difungsikan sebagai sarana control yang pengelolaan pendayagunaannya dan
pengembangan doktrinnya dipercayakan ke suatu kelompok khusus yang
professional, disebut lawyer atau jurist.
|
1. Mengkonsepkan
setiap pasal dalam hukumundang-undang itu tidak Cuma merupakan pernyataan
tentang adanya hubungan kusal yang lugas menurut hukum logika melainkan juga
selalu mengandung substansi moral yang bersumber pada etika profesional
hakim, yang oleh sebab itu
2.
subjektifitas hakim yang terobjektifkan dalam bentuk putusan-putusan hukum (subjectivied
objectivity) akan memberikan warna etis dan estetis pada setiap hukum
yang manifes sebagai hukum in concreto dari kasus ke kasus, yang
dengan demikian
3. hukum yang
tersubjektifkan dalam kepribadian hakim akan lebih mampu memandang manusia
yang terlibat dalam perkara hukum dalam wujud-wujudnnya in concreto
dalam segala aspeknya lebih ril, yang kemudia dari pada itu
4. akan “memaksa”
para legal professionals untuk tidak bekerja di dalam dan untuk suaut
system hukum yang sepenuhnya tersusun dari teks-teks formal yang bastrak,
melainkan alih-alih akan bekerja dengan konteks-konteksnya yang non-yuridis,
yang diberlakukan sebagai sumber hukum yang materil, demi terkembangnya suatu
system hukum yang lebih ril dan fungsional dalam masyarakat.
|
Menegakkan hukum di Indonesia memang sangatlah rumit.Bangsa ini
melakukan reformasi dengan tujuan untuk memberantas segala kezaliman khususnya
“korupsi” yang semakin menjamur dengan melalui penegakan supremasi hukum.Akan tetapi
kenyataannya berbalik, semua itu mekar dengan subur sementara supremasi hukum
bagaikan menegakkan benang basah.Begitu ironinya bangsa ini karena bangunan
hukum semakin carut marut tak jelas arahnya. Prof. Mahfud MD secara lantang
berteriak bahwa:
“…Pengacara banyak
yang rusak karena kegenitannya mereka bukan tampil sebagai pengacara untuk
idealism, melainkan untuk mencari kemenangan dengan berbagai cara demi uang
popularitas. ..
Hakim pun setali tiga uang, kinerjanya semakin buruk, suap-menyuap
dalam menangani perkara semakin marak.Bahkan, ada kasus hakim menerima suap dan
memeras justru ketika kita sedang meneriakkan banyaknya hakim yang
menjualbelikan kasus. … Celakanya, putusan putusan pengadilan betapapun salah
dan sesatnya tetaplah mengikat dan harus dilaksanakanjika sudah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Inilah permasalahan bangsa kita yang sangat besar dan mendesak,
mengingat permasalahan negara adalah permasalahan kita juga sebagai warga
Negara, maka sangatlah tepat kalau kritikan dan masukan kepada permasalahan
hukum juga memiliki alternatif untuk pemecahannya. Kita mengakui bahwa konsep
hukum kita belum menjadi sesuatu yang sempurna walaupun diakui oleh si
pembuatnya itu secara garis besar sudah memenuhi kerangka ideal (sudah menjadi kebiasaan
dalam pembuatan hukum selalu mengabaikan kultur dan karakter masyarakat yang
sesungguhnya sangatlah penting dan fungsional). Karenanya, dalam mengolah
bangsa ini, tidaklah cukup kalau hanya berpendidikan tinggi, akan tetapi harus
dibarengi dengan kepribadian yang ideal dan berkualitas pula. Ini penting,
apalagi kalau kita menyorot para penegak hukum yang sejatinya sebagai suri
tauladan bagi yang lain dan hukum itu sendiri. Namun, ironinya fakta yang
sampai kepada kita saat ini tidaklah sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Kalau kita bercermin dari keadaan seperti ini, maka bisa disorot
bahwa masyarakat Indonesia memang bukanlah masyarakat yang sadar hukum.Sehingga
dengan mudahnya kita menyaksikan bukan hanya para penegak hukum, bahkan
masyarakatpun terjamur dengan adanya penyakit ini. Sebagian masyarakat menilai
bahwa dengan demonstrasi, pembakaran, pengeroyokan bahkan pembunuhan menjadi
sisi lain cara yang paling ampuh untuk mengimplementasikan arti dari sebuah
keadilan karena berkeyakinan bahwa institusi Negara bukan lagi sebagai tempat
dalam memproses dan menemukan keadilan.
Pada dasarnya penegakan hukum di Indonesia harus memiliki tiga aspek yang mendasar, yaitu:
Kultur masyarakat, penegak hukum, dan hukum itu sendiri.
Dari paparan ini dapat disimpulkan sebagai berikut “Terjadinya
kebobrokan supremasi hukum bangsa kita yang ditandai dengan aparat penegak
hukumnya yang selalu melakukan penyimpangan
dan dibarengi pula dengan penghakiman
masa tentang tindak krimanal di masyarakat, berhubungankah dengan hukum
positivistik”.[3]
C.
Penyebab
Problematika Berhukum DI Indonesia
Sebenarnya merupakan suatu hal yang rumit ketika kita ingin mencari
ujung pangkal problematika penegakan supremasi hukum di Indonesia. Sabian Usman
menggambarkan lingkaran Problematika Penegakan Hukum di Indonesia dalam bukunya
“Dasar-Dasar Sosiologi Hukum” sebagai berikut:
Substansi Hukum
/ajektif hukum/perundang-undangan yang nir-sosiologis.
|
Proses pembuatan
hukum yang positifistik, hakim yang kaku dan bermental teks (ada UU
No.35/1999, belum berhasil)_
|
Hukuman yang tidak
setimpal terhadap pelaku tindakan krimminal.
|
MAFIA
|
Aparat penegak hukum
yang korup/melakukan penyimpangan.
|
Pengadaan aparat
penegak hukum dengan jalan KKN
|
Amuk missal
menghakimi sendiri tindak criminal yang ditemuinya/protes atas hukum
Negara yang tidak mewakili masyarakat
|
Masyarakat yang
kecewa/tidak puas terhadap penegakan hukum yang tak kunjung tegak
|
RAPUHNYA SUPREMASI
HUKUM
|
Mafia peradilan merupakan pokok dari penyakit yang harus
dihindari.keberadaannya di negara kita sangatlah serius dan berkembang secara sistematis
di Negara kita yang katanya Negara hukum.
Dari paradigma perspektif “sociological crime”hal-hal yang
dapat dibuktikan sebagai penyebab timbulnya mafia ini antara lain, selain
nilai-nilai positivistik, juga adanya perubahan yang melatari hubungan antara
penegak hukum dengan pihak yang berperkara yang seharusnya menjalin secara
professional tetapii berubah menjadi transaksional. Sehingga dalam hal ini
menimbulkan pertaanyaan besar ”apakah pengadilan itu milik orang yang benar
dan jujur atau hanya milik orang-orang yang mampu membayar ketentuan hukum dan harga diri para penegak
hukumnya?”
Olehnya, terjadinya amuk masa, main hakim sendiri dan kebiasaan
masyarakat melanggar hukum, itu semua menjadi korelasi yang tidak dapat
dipisahkan dengan tindakan-tindakan bejat para praktisi maupun teoritisi hukum
yang tidak konsisten terhadap peradilan yang sejatinya, dimana masyarakat
menyerahkan kepada mereka untuk dapat menjalankan keadilan sebagaimana mestinya
dengan mendengarkan kepentingan masyarakat , akuntable, terbuka, transparan dan
kredibel.[4]
D.
Solusi yang
ditawarkan
Berangkat dari beberapa hal yang melatarbelakangi prolematikan
berhukum di Indonesia seperti yang telah dipaparkan diatas, ada tiga pilar
penunjang sebagai solusi yang dapat ditawarkan:
1.
Perundang-Undangan
Mengingat bahwa
peraturan dan institusi yang digunakan di Indonesia adalah warisan Belanda, yang
sebenarnya hanya dimaksudkan untuk mencegah kevakuman di bidang hukum, maka diharapkan
secepat mungkin kita dapat membuat sendiri peraturan yang disesuaikan dengan karakteristik
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam persekutuan hukum adat di
dalamnya. Sehingga bisa kita lihat beberapa keputusan perundang-undangan di
Indonesia masih tercecer dalam undang-undang sesuai pembahasannya, misalnya
UUPA, UU Perkawinan, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan sebagainya.
Selama setengah abad lebih
BW, WVK, FV, WVS tersebut telah digunakan oleh penegak hukum di
Indonesia . namun tetap saja terjadi penyelewengan secara legal. Sehingga kita
bangsa Indonesia sudah saatnya menggunakan peraturan baru untuk mengganti
peraturan peninggalan Belanda tersebut (paling tidak mengurangi).[5]
Menurut Prof. Zainuddin Ali MA, salah satu solusi penegakan hukum
di Indonesia adalah dengan efektivitas hukum dalam masyarakat. yaitu dengan
mengkaji kaidah hukum (peraturan hukum) berlaku secara yuridis (Penentuan hukum
didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya), berlaku secara
Sosiologis (kaidah hukum tersebut efektif. Dapat dipaksakan berlakunya (teori
kekuasaan).Atau kaidah hukum tersebut berlaku karena ada pengakuan dari
masyarakat), berlaku secara Filosofis (sesuai dengan cita hukum).[6]
2.
Aparat Penegak
Hukum
Perbaikan struktur aparatur hukum merupakan hal mendasar dalam
penegakan supremasi hukum, yaitu dengan perbaikan moralitas dan komitmen
sebagai seorang penegak hukum, sehingga dapat bertanggungjawab secara moral
bukan justru penegak hukum menjadi lahan yang empuk untuk menunpuk kekayaan
pribadi.
Aparat penegak hukum yang memiliki komitmen dapat mengendalikan
kejahatan walaupun harus bertentangan atau “melanggar hukum yang positivism”
dengan mereduksi, mengeliminir, memperkecil, dan tidak menutup kemungkinan
untuk menghilangkan atau memberantas penyebabnya.
Salah satu yang harus dilakukan adalah mengkaji ulang, apakah
tindakan represif dari penegak hukum, bisa saja keputusan hakim malah justru
penyebab tindakan kriminal.Hal ini sangat mungkin terjadi manakala keputusan
hakim dirasakan tidak rasional dan lepas dari asas keadilan.Sehingga yang
terjadi adalah amuk massal dimana-mana di penjuru tanah air.[7]
3.
Kultur Hukum
Masyarakat
Penegakan hukum bertujuan untuk tercapainya kedamaian dan
ketenteraman dalam masyarakat, oleh karena itu masyarakat sangat mempengaruhi
dan menentukan penegakan supremasi hukum.
Jika kita melihat sistem sosial budaya, Indonesia memiliki
masyarakat yang majemuk (plural society)dan berbagai macam stratifikasi
sosial (pembedaan penduduk secara bertingkat-tingkat berdasar hierarkinya).[8]Para
ahli sosiologi hukum biasanya mengemukakan suatu hipotesis bahwa semakin
kompleks stratifikasi sosial dalam suatu masyarakat, semakin banyak hukum yang
mengaturnya.[9]
Terlebih masyarakat Indonesia sekarang berada pada masa transisi
keadilan (transisional justice) yang berpotensi menimbulkan chaos, maka
solusi penegakan hukum jangan sampaijustru memicu kerusuhan masyarakat.
Oleh karena itu, perlu
adanya peranan pengkajian secara sosiologis dalam proses pembuatan peraturan.
Sehingga, masyarakat bukan saja merasa ikut memproses dan memiliki lahirnya
suatu kesepakatan dan atau ketentuan dalam proses peraturan perundang-undangan,
tetapi juga ada panggilan tanggungjawab yang melekat
dalam komitmen, kepribadian, dan moralitasnya.
KONDISI
IDEAL
|
Meramu aliran; legal positivism,
freie rechtsbewegung, rechtsvinding, alternatif lain yang sesuai dengan
Indonesia, dan efektifkan UU No. 35/19999
|
Adanya komitmen dalam menegakkan
hukum
|
Setiap kasus pelaku tindak
pelanggaran hukum ditindak sesuai proses hukum
|
Pengadaan aparat penegak hukum dan
atau pemerintah tidak melalui KKN
|
Aparat penegak hukum atau aparat
pemerintah mempunyai moralitas baik
|
Peraturan perundang-undangan yang
representatif (filosofis, ideologis. Yuridis, dan sosiologis)
|
Menciptakan kultur masyarakat
sadar hukum tumbuh dari dalam dirinya
|
Prof.
Zainudin Ali, dalam bukunya “Sosiologi Hukum” mengemukakan bahwa salah satu
faktor penegakan hukum adalah mengefektifkan peraturan perundang-undangan, dan salah
satu faktor mengefektifkan suatu peraturan adalah kesadaran masyarakat untuk
mematuhi peraturan perundang-undangan, yang biasanya disebut dengan derajat
kepatuhan.
Pada
umumnya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang
tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.Sebaliknya, apabila kesadaran warga masyarakat
terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga rendah.
Namun,
kesadaran warga masyarakat terhadap hukum harus diusahakan dengan cara misalnya
ada peraturan perundang-undangan yang baru, maka, harus ada pengumuman melalui
berbagai macam media massa, kemudian perlu untuk mengambil jangka waktu
tertentu untuk menelaah reaksi dari masyarakat, bila jangka waktu tersebut
telah lampau barulah diambil tindakan yang tegas bagi yang melanggarnya.
Sehingga jika peraturan sudah diberlakukan. Maka diharapkan masyarakat telah
memiliki:[10]
1.
Pengetahuan
Hukum, asumsi setiap masyarakat mengetahui adanya uu tsb.
2.
Pemahaman Hukum
3.
Penaatan Hukum
4.
Penghargaan
Terhadap Hukum
5.
Peningkatan
Kesadaran Hukum
E.
Kritikan
Penegak Hukumyang Legisme (Legal Positivism) Menurut Optic Philippe
Nonet Dan Philip Selznick
Betapa memprihatinkannya penegakan hukum di Indonesia, sehingga
banyak masyarakat, baik masyarakat terdidik maupun masyarakat tidak terdidik
terheran-heran melihat keadaan hukum di Indonesia, yang seharusnya hukum
sebagai panglima untuk menjawab, memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu
perkara, ternyata tidak sedikit peraturan-peraturan hukum tersebut yang menjadi
mandul tidak melahirkan apa yang diharapkan masyarakat itu sendiri. Mahfud MD.
dalam bukunya “Politik Hukum di Indonesia” bahwa:
“… mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat
sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin
keadilan. Banyak sekali yang tumpul, tidak mempan memotong
kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan, dan tidak dapat
menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan
berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum.Bahkan banyak produk
hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik memegang
kekuasaan dominan.
Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat, tapi sekaligusia juga
menciptakan masyarakat.Sehingga konsep dalam berhukum seyogyanya adalah sejalan
dengan perkembangan masyarakatnya.“Perkembangan hukum sejalan dengan
perkembangan Negara”:
Represif, adalah saat Negara Poverty of Power, sumber daya
kekuasaannya lemah sehingga harus represif.
Otonom, adalah saat kepercayaan kepada negara makin meningkat,
pembangkangan mengecil, birokrasi dipersempit menjadi rasional, hukum dibuat
oleh dan secara profesional di lembaga-lembaga negara tanpa kontaminasi dan
subordinasi oleh negara.
Responsif, adalah untuk mengatasi kekakuan dan tak sensitifnya hukum
terhadap perkembangan sosial.Senantiasa dikurangi dan kewenangan membuat hukum
diserahkan kepada unit-unit kekuasaan yang lebih rendah agar lebih memahami
inti persoalan masyarakat.
Menurut Nonet dan Selznick ketiga jenis hukum tersebut sangatlah
sesui dengan karakter hukum yang ada di Indonesia.maka, ketika ketiga hukum itu
menjadi bagian dan dipraktekkan di Indonesia akan menghasilkan hukum yang lebih
responsif. Masih menurut mereka, ada tiga hal dalam penegakkan hukum yaitu:
a.
Peraturan
perundang-undangannya;
Tujuan perundang-undangan adalah untuk ketertiban dan
legitimasi.Disamping sebagai ketahanan sosial juga sebagai tujuan Negara
(daerah-daerah tertentu) juga mencapai legitimasi procedural walaupun belum
pada subtantif.Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan hendaknya harus
melahirkan alternative-alternative yang mampu secara memadai.Sebagai contoh,
dalam pasal-pasal pencurian dalam WVS masih sangat kental sanksi-sanksi yang
seharusnya tidak lagi diberikan kepada pencuri-pencuri kelas kecil (pencuri
sandal, jemuran, ayam dll), namun harus diberikan pembinaan sehingga memenuhi
rasa keadilan. Contohnya di Negara jepang tidak menganggap pencuri kecil
sebagai penjahat, akan tetapi dibina.
b.
Aparat Penegak
Hukumnya
Seperti yang kita tahu bahwa kerusakan hukum di Indonesia justru
disebabkan oleh para-para mafia peradilan yang seharusnya menegakkan supremasi
hukum.Menurut gagasan nonet dan Selznick yang komprehensif ini, mengkritik
bahwa hukum yang terjadi di negara kita dalam menyikapi suatu kejahatan justru
aparat penegak hukum dan Negaralah yang memonopoli bahkan Negara melegitimasi
hal itu.
c.
Budaya
masyarakatnya
Masyarakat merupakan bagian dari hukum yang sangat penting.Menurut
Nonet dan Selznick sumber hukum yang menekankan pada kesatuan dan perdamaian,
peranan masyarakat hukum sangatlah penting.Model hukum apapun yang diterapkan
di Negara ini, tidak dapat bertahan dan berfungsi secara baik dan teratur jika
tanpa adanya landasan berupa persetujuan warga Negara yang diberikan secara
sukarela.[11]
F.
Kesimpulan
Teori-teori hukum aliran positivisme adalah paradigma saintifik
yang merambahPada tataran pemikiran ketertiban bermasyarakat bersejalan dengan
tertib hukum sejak abad 19.Kaitan dengan penegakan hukum di Indonesia, para
digmaTunggal legal positivism bukanlah berarti tidak baik. Namun secara
fungsionalnya dalam memahami,menganalisis,dan lebih dalam untuk mengontrol
karakteristik kehidupan yang pluralistik berformat regional,nasional,maupun
global adalah sudah tidak memadahi dan perlunya pemikiran alternatif.Banyak
aliran hukum yang digagas para ahli,misalkan meramu;aliran legal positivism,aliran
Freie Rechtsbewegung, aliran rechtsvinding, atau aliran-aliran
dalam format lain yang sejatinya sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia
seutuhnya.
Penegakan supremasi hukum adalah supaya upaya manusia untuk
menggapai keteraturan atau ketertiban yang dibutuhkannya.Dalam hal mana yang
penegakan tersebut, yang pokok adalah menyinergikan ketiga pilarnya;
peraturan-perundangan, aparat penegak hukum, dan budaya hukum masyarakatnya.
Optic nonet dan Selznick terhadap penegakan hukum di Indonesia yang
legisme (legal positivism), mereka menggagas modelisisasi hukum kedalam
teori besarnya “hukum responsif” mencakup tiga harapan; hukum represif, hukum
otonom, hukum responsif. Model yang ditawarkan tersebut sangat cocok dengan
pluralisme dan realisme bangsa Indonesia berhukum dan potensi untuk penegakan
hukum sesuai modelisasi serta tahapannya kepada hukum responsif secara
totalitas sangat memungkinkan sepanjang aparat pembuat dan penegak hukum
mempunyai komitmen dan moralitas yang tinggi.
Dalam kekerasan
aparat penegak hukum di Indonesia, tesis Nonet dan Selznick dapat distrukturkan
menjadi tiga; pertama, kekerasan murni atas kepentingan negara, kedua,
kekerasan sebenarnya untuk kepentingan individu, organisasi atau golongan,
tetapi mengatasnamakan rakyat atau negara, ketiga, kekerasan sebagai
cara-cara untuk menuntut keadilan karena cara-cara lain tidak ada yang bisa
dilakukan (biasanya dilakukan oleh masyarakat
kelas bawah yang tidak ada akses atau mengadvokasikan hak-haknya sebagai
warga negara).[12]
Daftar Pustaka:
Usman, Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2013.
Ali, Zainuddin. Prof., MA. Sosiologi
Hukum, Sinar Grafika: Jakarta, 2012.
[1]
Sabian Usman. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2013, hal 219.
[2]
Ibid, hal 222-225
[3]Ibid,
hal 225-230.
[4]Ibid,
hal 231-235.
[5]Ibid,
hal 236-237.
[6]Prof.
Zainuddin Ali, MA.Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal 62.
[7]Sabian
Usman. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013,
hal 237-239.
[8]
Ibid, hal 239
[9]Prof.
Zainuddin Ali, MA.Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal 56.
[10]Ibid,
Prpf. Zainuddin Ali, hal 64-70.
0 komentar:
Posting Komentar