Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Sabtu, 31 Mei 2014

PROBLEMATIKA BERHUKUM DI INDONESIA


 PROBLEMATIKA BERHUKUM DI INDONESIA
A.     Menuju penegakan hukum responsif
Memang rumit ketika kita menelurusuri teori-teori hukum aliran positivisme dan berbagai macam kritik-kritiknya khususnya yang berikaitan dengan penegakkan hukum di Indonesia, karena mereka yang membuat teori tersebut masih terkontaminasi dengan sudut pandang yang pasti dari teori positivisme tersebut.Padahal kalau dilihat secara kondisional hal tersebut tidaklah lagi sejalan dengan karakteristik manusia di zaman sekarang.
Hukum itu tidak bisa terlepas dari sejarah manusia, karena sesungguhnya perkembangan hukum terus berjalan sesuai dengan dinamika sosial atau masyarakat. Maka, jika masyarakat berubah, pastilah hukum itu juga berubah atau dengan kata lain ketika masyarakat Indonesia ini telah bebas dari penjajahan maka hukumnya harus sejalan dengan kebebasan itu.[1]
Kalau kita melihat bangsa Indonesia berhukum, pastinya kita tidak melihat bagaimana penegakan hukum bangsa lain, akan tetapi kita melihat karakteristik bangsa kita sendiri, dari segala perjalanan hukum dan perubahannya. Nonet  dan Selznick menyatakan bahwa:
            Pemahaman kita tentang perubahan sosial tidak akan utuh jika kita tidal mencari cara-caraadaptasi yang melahirkan  alternatif-alternatif historis yang baru dan mampu terus bertahan, seperti misalnya, perubahan dari status ke kontrak, dari Gemeinschaft (masyarakat paguyuban) ke Gesellschaft (masyarakat patembayan), dari hukum yang keras ke keadilan”.
Dalam berhukum di Indonesia, mungkin yang kita kenal selama ini adalah Undang-undang (sekalipun tanpa memandang perubahan masyarakatnya), yang akibat dari hal ini menjadikan tidak adanya komitmen untuk mengubah hukum yang lebih ideal berkeadilan dan juga professional, bukan menjadi hukum transaksional sebagai bentuk untuk memperkaya diri sendiri dan golongan seperti partai dll. Memang sudah begitu parah kalau kita lihat secara ril dan nyata, sebagai contoh kasus yaitu putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun Kalimantan Tengah tentang Penghapusan Jaring Trawl terpidana Sanan Bin Tawe berasal dari Thailand (Putusan No:15/PID/B/2000/P.N./P.Bun, Tanggal 2 Maret 2000)
Hukum yang secara maknanya yang sudah tentu berjiwa Pancasila  dan UUD 1945, yangmasih menjadi pertanyaan besar adalah seberapa besar hukum bermanfaat dalam kehidupan masyarakatnya. Maka untuk menjawab itu semua pastinya tidak terlepas dari pilar-pilar berhukum, seperti: bagaimana perundang-undangannya, aparat penegak hukumnya dan juga bagaimana budaya hukum masyarakatnya. Sehingga paling tidak, ada sedikit kontribusi yang dilakukan bersama-sama dalam persoalan berhukum bagi masyarakat.Dengan mengawalinya meninggalkan paradigma tunggal positivism dan membangun paradigma ganda atau bersama.
Merupakan kekeliuran yang paling mendasar dari cara berhukum di Indonesia adalah ketika kita melihat para praktisi hukum hanya memahami hukum secara harfiah yang mengakibatkan hukum itu dipandang secara kaku, pesimis dan seadanya. Maka praktisi kita kalau mau dikatakan seakan-akan dalam memutuskan suatu persoalan seperti tidak ada tanggungjawab, kekeliruan dan juga konsekuensi terhadap apa yang diputuskannya, sekalipun itu salah, tidak tepat, bertentangan dengan hukum bahkan bertentangan dengan hati nuraninya sekalipun, karena sudah menganggap bahwa Undang-Undang  itu telah sempurna dan menghasilkan  kepastian serta kesatuan hukum.[2]
Betapa semrawutnya cara berhukum di Indonesia, bahkan seorang mantan Presiden Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid berkomentar:
          “Marilah kita periksa, apa yang sebenarnya terjadi dengan hukum Nasional kita itu dan pelaksanaan-pelaksaannya di lapangan.Kalau dimaksudkan dengan kata “tidak berjalannya” produk hukum, kita lihat terletak pada kenyataan hukum tidak berjalannya sebagaimana mestinya, seluruh bangsa menjadi korban dan sekaligus penyebab dari adanya hal itu.Akan kita teruskankah hal itu? Namun, kita terjerembab pada kenyataan bahwa cara lain tidak akan mungkin berhasil. Jadi, dengan ungkapan lain kita sampai pada kesimpulan bahwa “krisis hukum”, dalam kehidupan kita sebagai bangsa akan berlangsung sangat lama. Sementara itu, para pengamat hukum kita akan sengaja “membius diri” dalam berbagai kegiatan: menulis buku, mengajar, dan berdebat dalam berbagai forum, semuanya tanpa membawa akibat perubahan-perubahan yang kita perlukan.
B.     Problematika Penegakkan Hukum di Indonesia
Memang kalau kita melihat aliran-aliran hukum yang berkembang di Indonesia bersifat polemik, bisa positivistik versus non-positivistik dan aliran-aliran lainnya.Sekalipun ini adalah polemik hukum yang tidak pernah berakhir selama kehidupan manusia masih ada, namun penegakkan hukum juga tidak kalah penting.Lawyer atau jurist merupakan posisi yang sangat penting dalam penegakkan supremasi hukum. Prof. Wignjosoebroto merancang dua doktrin atau paradigma sebagai berikut:
Non progresif
Progresif
1
2
1. Setiap statemen prekriptif yang bsa dikulifikasi sebagai hukum yang positif itu mesti diruskan dalam suatu kalimat yang menyatakan adanya hubungan kausal yang logis yuridis antara suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum (iudexfactic) dengan akibat yang timbul sebagai konsekuensi peristiwa itu (iudex iuris); yang
2. Terbentuk sebagai hasil kesepakatan kontraktual oleh para hakim yang berkepentingan di ranah publik sebagaimana dirupakan dalam bentuk undang-undang, dan oleh sebab itu,
3. bisa diakui sifatnya yang intersubjektif-efektif (objectivied intersubjectivy) netral alias tidak memihak, untuk kemudian
4. difungsikan sebagai sarana control yang pengelolaan pendayagunaannya dan pengembangan doktrinnya dipercayakan ke suatu kelompok khusus yang professional, disebut lawyer atau jurist.
1. Mengkonsepkan setiap pasal dalam hukumundang-undang itu tidak Cuma merupakan pernyataan tentang adanya hubungan kusal yang lugas menurut hukum logika melainkan juga selalu mengandung substansi moral yang bersumber pada etika profesional hakim, yang oleh sebab itu
2. subjektifitas hakim yang terobjektifkan dalam bentuk putusan-putusan hukum (subjectivied objectivity) akan memberikan warna etis dan estetis pada setiap hukum yang manifes sebagai hukum in concreto dari kasus ke kasus, yang dengan demikian
3. hukum yang tersubjektifkan dalam kepribadian hakim akan lebih mampu memandang manusia yang terlibat dalam perkara hukum dalam wujud-wujudnnya in concreto dalam segala aspeknya lebih ril, yang kemudia dari pada itu
4. akan “memaksa” para legal professionals untuk tidak bekerja di dalam dan untuk suaut system hukum yang sepenuhnya tersusun dari teks-teks formal yang bastrak, melainkan alih-alih akan bekerja dengan konteks-konteksnya yang non-yuridis, yang diberlakukan sebagai sumber hukum yang materil, demi terkembangnya suatu system hukum yang lebih ril dan fungsional dalam masyarakat.

Menegakkan hukum di Indonesia memang sangatlah rumit.Bangsa ini melakukan reformasi dengan tujuan untuk memberantas segala kezaliman khususnya “korupsi” yang semakin menjamur dengan melalui penegakan supremasi hukum.Akan tetapi kenyataannya berbalik, semua itu mekar dengan subur sementara supremasi hukum bagaikan menegakkan benang basah.Begitu ironinya bangsa ini karena bangunan hukum semakin carut marut tak jelas arahnya. Prof. Mahfud MD secara lantang berteriak bahwa:
            “…Pengacara banyak yang rusak karena kegenitannya mereka bukan tampil sebagai pengacara untuk idealism, melainkan untuk mencari kemenangan dengan berbagai cara demi uang popularitas. ..
Hakim pun setali tiga uang, kinerjanya semakin buruk, suap-menyuap dalam menangani perkara semakin marak.Bahkan, ada kasus hakim menerima suap dan memeras justru ketika kita sedang meneriakkan banyaknya hakim yang menjualbelikan kasus. … Celakanya, putusan putusan pengadilan betapapun salah dan sesatnya tetaplah mengikat dan harus dilaksanakanjika sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Inilah permasalahan bangsa kita yang sangat besar dan mendesak, mengingat permasalahan negara adalah permasalahan kita juga sebagai warga Negara, maka sangatlah tepat kalau kritikan dan masukan kepada permasalahan hukum juga memiliki alternatif untuk pemecahannya. Kita mengakui bahwa konsep hukum kita belum menjadi sesuatu yang sempurna walaupun diakui oleh si pembuatnya itu secara garis besar sudah memenuhi kerangka ideal (sudah menjadi kebiasaan dalam pembuatan hukum selalu mengabaikan kultur dan karakter masyarakat yang sesungguhnya sangatlah penting dan fungsional). Karenanya, dalam mengolah bangsa ini, tidaklah cukup kalau hanya berpendidikan tinggi, akan tetapi harus dibarengi dengan kepribadian yang ideal dan berkualitas pula. Ini penting, apalagi kalau kita menyorot para penegak hukum yang sejatinya sebagai suri tauladan bagi yang lain dan hukum itu sendiri. Namun, ironinya fakta yang sampai kepada kita saat ini tidaklah sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Kalau kita bercermin dari keadaan seperti ini, maka bisa disorot bahwa masyarakat Indonesia memang bukanlah masyarakat yang sadar hukum.Sehingga dengan mudahnya kita menyaksikan bukan hanya para penegak hukum, bahkan masyarakatpun terjamur dengan adanya penyakit ini. Sebagian masyarakat menilai bahwa dengan demonstrasi, pembakaran, pengeroyokan bahkan pembunuhan menjadi sisi lain cara yang paling ampuh untuk mengimplementasikan arti dari sebuah keadilan karena berkeyakinan bahwa institusi Negara bukan lagi sebagai tempat dalam memproses dan menemukan keadilan.
Pada dasarnya penegakan hukum di Indonesia harus  memiliki tiga aspek yang mendasar, yaitu: Kultur masyarakat, penegak hukum, dan hukum itu sendiri.
Dari paparan ini dapat disimpulkan sebagai berikut “Terjadinya kebobrokan supremasi hukum bangsa kita yang ditandai dengan aparat penegak hukumnya yang selalu melakukan penyimpangan  dan dibarengi pula dengan penghakiman  masa tentang tindak krimanal di masyarakat, berhubungankah dengan hukum positivistik”.[3]
C.     Penyebab Problematika Berhukum DI Indonesia
Sebenarnya merupakan suatu hal yang rumit ketika kita ingin mencari ujung pangkal problematika penegakan supremasi hukum di Indonesia. Sabian Usman menggambarkan lingkaran Problematika Penegakan Hukum di Indonesia dalam bukunya “Dasar-Dasar Sosiologi Hukum” sebagai berikut:
Substansi Hukum /ajektif hukum/perundang-undangan yang nir-sosiologis.
Proses pembuatan hukum yang positifistik, hakim yang kaku dan bermental teks (ada UU No.35/1999, belum berhasil)_
Hukuman yang tidak setimpal terhadap pelaku tindakan krimminal.
MAFIA

Aparat penegak hukum yang korup/melakukan penyimpangan.
Pengadaan aparat penegak hukum dengan jalan KKN
Amuk missal menghakimi sendiri tindak criminal yang ditemuinya/protes atas hukum Negara yang tidak mewakili masyarakat
Masyarakat yang kecewa/tidak puas terhadap penegakan hukum yang tak kunjung  tegak
RAPUHNYA SUPREMASI HUKUM
 












Mafia peradilan merupakan pokok dari penyakit yang harus dihindari.keberadaannya di negara kita sangatlah serius dan berkembang secara sistematis di Negara kita yang katanya Negara hukum.
Dari paradigma perspektif “sociological crime”hal-hal yang dapat dibuktikan sebagai penyebab timbulnya mafia ini antara lain, selain nilai-nilai positivistik, juga adanya perubahan yang melatari hubungan antara penegak hukum dengan pihak yang berperkara yang seharusnya menjalin secara professional tetapii berubah menjadi transaksional. Sehingga dalam hal ini menimbulkan pertaanyaan besar ”apakah pengadilan itu milik orang yang benar dan jujur atau hanya milik orang-orang yang mampu membayar  ketentuan hukum dan harga diri para penegak hukumnya?”
Olehnya, terjadinya amuk masa, main hakim sendiri dan kebiasaan masyarakat melanggar hukum, itu semua menjadi korelasi yang tidak dapat dipisahkan dengan tindakan-tindakan bejat para praktisi maupun teoritisi hukum yang tidak konsisten terhadap peradilan yang sejatinya, dimana masyarakat menyerahkan kepada mereka untuk dapat menjalankan keadilan sebagaimana mestinya dengan mendengarkan kepentingan masyarakat , akuntable, terbuka, transparan dan kredibel.[4]

D.     Solusi yang ditawarkan
Berangkat dari beberapa hal yang melatarbelakangi prolematikan berhukum di Indonesia seperti yang telah dipaparkan diatas, ada tiga pilar penunjang sebagai solusi yang dapat ditawarkan:
1.      Perundang-Undangan
Mengingat bahwa peraturan dan institusi yang digunakan di Indonesia adalah warisan Belanda, yang sebenarnya hanya dimaksudkan untuk mencegah kevakuman di bidang hukum, maka diharapkan secepat mungkin kita dapat membuat sendiri peraturan yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam persekutuan hukum adat di dalamnya. Sehingga bisa kita lihat beberapa keputusan perundang-undangan di Indonesia masih tercecer dalam undang-undang sesuai pembahasannya, misalnya UUPA, UU Perkawinan, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan sebagainya.
Selama setengah abad lebih  BW, WVK, FV, WVS tersebut telah digunakan oleh penegak hukum di Indonesia . namun tetap saja terjadi penyelewengan secara legal. Sehingga kita bangsa Indonesia sudah saatnya menggunakan peraturan baru untuk mengganti peraturan peninggalan Belanda tersebut (paling tidak mengurangi).[5]
Menurut Prof. Zainuddin Ali MA, salah satu solusi penegakan hukum di Indonesia adalah dengan efektivitas hukum dalam masyarakat. yaitu dengan mengkaji kaidah hukum (peraturan hukum) berlaku secara yuridis (Penentuan hukum didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya), berlaku secara Sosiologis (kaidah hukum tersebut efektif. Dapat dipaksakan berlakunya (teori kekuasaan).Atau kaidah hukum tersebut berlaku karena ada pengakuan dari masyarakat), berlaku secara Filosofis (sesuai dengan cita hukum).[6]
2.      Aparat Penegak Hukum
Perbaikan struktur aparatur hukum merupakan hal mendasar dalam penegakan supremasi hukum, yaitu dengan perbaikan moralitas dan komitmen sebagai seorang penegak hukum, sehingga dapat bertanggungjawab secara moral bukan justru penegak hukum menjadi lahan yang empuk untuk menunpuk kekayaan pribadi.
Aparat penegak hukum yang memiliki komitmen dapat mengendalikan kejahatan walaupun harus bertentangan atau “melanggar hukum yang positivism” dengan mereduksi, mengeliminir, memperkecil, dan tidak menutup kemungkinan untuk menghilangkan atau memberantas penyebabnya.
Salah satu yang harus dilakukan adalah mengkaji ulang, apakah tindakan represif dari penegak hukum, bisa saja keputusan hakim malah justru penyebab tindakan kriminal.Hal ini sangat mungkin terjadi manakala keputusan hakim dirasakan tidak rasional dan lepas dari asas keadilan.Sehingga yang terjadi adalah amuk massal dimana-mana di penjuru tanah air.[7]
3.      Kultur Hukum Masyarakat
Penegakan hukum bertujuan untuk tercapainya kedamaian dan ketenteraman dalam masyarakat, oleh karena itu masyarakat sangat mempengaruhi dan menentukan penegakan supremasi hukum.
Jika kita melihat sistem sosial budaya, Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk (plural society)dan berbagai macam stratifikasi sosial (pembedaan penduduk secara bertingkat-tingkat berdasar hierarkinya).[8]Para ahli sosiologi hukum biasanya mengemukakan suatu hipotesis bahwa semakin kompleks stratifikasi sosial dalam suatu masyarakat, semakin banyak hukum yang mengaturnya.[9]
Terlebih masyarakat Indonesia sekarang berada pada masa transisi keadilan (transisional justice) yang berpotensi menimbulkan chaos, maka solusi penegakan hukum jangan sampaijustru memicu kerusuhan masyarakat.
Oleh karena itu,  perlu adanya peranan pengkajian secara sosiologis dalam proses pembuatan peraturan. Sehingga, masyarakat bukan saja merasa ikut memproses dan memiliki lahirnya suatu kesepakatan dan atau ketentuan dalam proses peraturan perundang-undangan, tetapi juga ada panggilan tanggungjawab yang melekat dalam komitmen, kepribadian, dan moralitasnya.
KONDISI IDEAL
Meramu aliran; legal positivism, freie rechtsbewegung, rechtsvinding, alternatif lain yang sesuai dengan Indonesia, dan efektifkan UU No. 35/19999
Adanya komitmen dalam menegakkan hukum
Setiap kasus pelaku tindak pelanggaran hukum ditindak sesuai proses hukum
Pengadaan aparat penegak hukum dan atau pemerintah tidak melalui KKN
Aparat penegak hukum atau aparat pemerintah mempunyai moralitas baik
Peraturan perundang-undangan yang representatif (filosofis, ideologis. Yuridis, dan sosiologis)
Menciptakan kultur masyarakat sadar hukum tumbuh dari dalam dirinya
 










Prof. Zainudin Ali, dalam bukunya “Sosiologi Hukum” mengemukakan bahwa salah satu faktor penegakan hukum adalah mengefektifkan peraturan perundang-undangan, dan salah satu faktor mengefektifkan suatu peraturan adalah kesadaran masyarakat untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, yang biasanya disebut dengan derajat kepatuhan.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Sebaliknya, apabila kesadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga rendah.
Namun, kesadaran warga masyarakat terhadap hukum harus diusahakan dengan cara misalnya ada peraturan perundang-undangan yang baru, maka, harus ada pengumuman melalui berbagai macam media massa, kemudian perlu untuk mengambil jangka waktu tertentu untuk menelaah reaksi dari masyarakat, bila jangka waktu tersebut telah lampau barulah diambil tindakan yang tegas bagi yang melanggarnya. Sehingga jika peraturan sudah diberlakukan. Maka diharapkan masyarakat telah memiliki:[10]
1.      Pengetahuan Hukum, asumsi setiap masyarakat mengetahui adanya uu tsb.
2.      Pemahaman Hukum
3.      Penaatan Hukum
4.      Penghargaan Terhadap Hukum
5.      Peningkatan Kesadaran Hukum

E.     Kritikan Penegak Hukumyang Legisme (Legal Positivism) Menurut Optic Philippe Nonet Dan Philip Selznick
Betapa memprihatinkannya penegakan hukum di Indonesia, sehingga banyak masyarakat, baik masyarakat terdidik maupun masyarakat tidak terdidik terheran-heran melihat keadaan hukum di Indonesia, yang seharusnya hukum sebagai panglima untuk menjawab, memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu perkara, ternyata tidak sedikit peraturan-peraturan hukum tersebut yang menjadi mandul tidak melahirkan apa yang diharapkan masyarakat itu sendiri. Mahfud MD. dalam bukunya “Politik Hukum di Indonesia” bahwa:
“… mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan, dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum.Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik memegang kekuasaan dominan.
Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat, tapi sekaligusia juga menciptakan masyarakat.Sehingga konsep dalam berhukum seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.“Perkembangan hukum sejalan dengan perkembangan Negara”:
Represif, adalah saat Negara Poverty of Power, sumber daya kekuasaannya lemah sehingga harus represif.
Otonom, adalah saat kepercayaan kepada negara makin meningkat, pembangkangan mengecil, birokrasi dipersempit menjadi rasional, hukum dibuat oleh dan secara profesional di lembaga-lembaga negara tanpa kontaminasi dan subordinasi oleh negara.
Responsif, adalah untuk mengatasi kekakuan dan tak sensitifnya hukum terhadap perkembangan sosial.Senantiasa dikurangi dan kewenangan membuat hukum diserahkan kepada unit-unit kekuasaan yang lebih rendah agar lebih memahami inti persoalan masyarakat.
Menurut Nonet dan Selznick ketiga jenis hukum tersebut sangatlah sesui dengan karakter hukum yang ada di Indonesia.maka, ketika ketiga hukum itu menjadi bagian dan dipraktekkan di Indonesia akan menghasilkan hukum yang lebih responsif. Masih menurut mereka, ada tiga hal dalam penegakkan hukum yaitu:
a.      Peraturan perundang-undangannya;
Tujuan perundang-undangan adalah untuk ketertiban dan legitimasi.Disamping sebagai ketahanan sosial juga sebagai tujuan Negara (daerah-daerah tertentu) juga mencapai legitimasi procedural walaupun belum pada subtantif.Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan hendaknya harus melahirkan alternative-alternative yang mampu secara memadai.Sebagai contoh, dalam pasal-pasal pencurian dalam WVS masih sangat kental sanksi-sanksi yang seharusnya tidak lagi diberikan kepada pencuri-pencuri kelas kecil (pencuri sandal, jemuran, ayam dll), namun harus diberikan pembinaan sehingga memenuhi rasa keadilan. Contohnya di Negara jepang tidak menganggap pencuri kecil sebagai penjahat, akan tetapi dibina.
b.      Aparat Penegak Hukumnya
Seperti yang kita tahu bahwa kerusakan hukum di Indonesia justru disebabkan oleh para-para mafia peradilan yang seharusnya menegakkan supremasi hukum.Menurut gagasan nonet dan Selznick yang komprehensif ini, mengkritik bahwa hukum yang terjadi di negara kita dalam menyikapi suatu kejahatan justru aparat penegak hukum dan Negaralah yang memonopoli bahkan Negara melegitimasi hal itu.
c.       Budaya masyarakatnya
Masyarakat merupakan bagian dari hukum yang sangat penting.Menurut Nonet dan Selznick sumber hukum yang menekankan pada kesatuan dan perdamaian, peranan masyarakat hukum sangatlah penting.Model hukum apapun yang diterapkan di Negara ini, tidak dapat bertahan dan berfungsi secara baik dan teratur jika tanpa adanya landasan berupa persetujuan warga Negara yang diberikan secara sukarela.[11]
F.      Kesimpulan
Teori-teori hukum aliran positivisme adalah paradigma saintifik yang merambahPada tataran pemikiran ketertiban bermasyarakat bersejalan dengan tertib hukum sejak abad 19.Kaitan dengan penegakan hukum di Indonesia, para digmaTunggal legal positivism bukanlah berarti tidak baik. Namun secara fungsionalnya dalam memahami,menganalisis,dan lebih dalam untuk mengontrol karakteristik kehidupan yang pluralistik berformat regional,nasional,maupun global adalah sudah tidak memadahi dan perlunya pemikiran alternatif.Banyak aliran hukum yang digagas para ahli,misalkan meramu;aliran legal positivism,aliran Freie Rechtsbewegung, aliran rechtsvinding, atau aliran-aliran dalam format lain yang sejatinya sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia seutuhnya.
Penegakan supremasi hukum adalah supaya upaya manusia untuk menggapai keteraturan atau ketertiban yang dibutuhkannya.Dalam hal mana yang penegakan tersebut, yang pokok adalah menyinergikan ketiga pilarnya; peraturan-perundangan, aparat penegak hukum, dan budaya hukum masyarakatnya.
Optic nonet dan Selznick terhadap penegakan hukum di Indonesia yang legisme (legal positivism), mereka menggagas modelisisasi hukum kedalam teori besarnya “hukum responsif” mencakup tiga harapan; hukum represif, hukum otonom, hukum responsif. Model yang ditawarkan tersebut sangat cocok dengan pluralisme dan realisme bangsa Indonesia berhukum dan potensi untuk penegakan hukum sesuai modelisasi serta tahapannya kepada hukum responsif secara totalitas sangat memungkinkan sepanjang aparat pembuat dan penegak hukum mempunyai komitmen dan moralitas yang tinggi.
Dalam kekerasan aparat penegak hukum di Indonesia, tesis Nonet dan Selznick dapat distrukturkan menjadi tiga; pertama, kekerasan murni atas kepentingan negara, kedua, kekerasan sebenarnya untuk kepentingan individu, organisasi atau golongan, tetapi mengatasnamakan rakyat atau negara, ketiga, kekerasan sebagai cara-cara untuk menuntut keadilan karena cara-cara lain tidak ada yang bisa dilakukan (biasanya dilakukan oleh masyarakat  kelas bawah yang tidak ada akses atau mengadvokasikan hak-haknya sebagai warga negara).[12]


Daftar Pustaka:
Usman, Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2013.
Ali, Zainuddin. Prof., MA. Sosiologi Hukum, Sinar Grafika: Jakarta, 2012.



[1] Sabian Usman. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 219.
[2] Ibid, hal 222-225
[3]Ibid, hal 225-230.
[4]Ibid, hal 231-235.
[5]Ibid, hal 236-237.
[6]Prof. Zainuddin Ali, MA.Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal 62.
[7]Sabian Usman. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 237-239.
[8] Ibid, hal 239
[9]Prof. Zainuddin Ali, MA.Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal 56.
[10]Ibid, Prpf. Zainuddin Ali, hal 64-70.
[11]Sabian Usman. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal 241-255.
[12]Ibid, Sabian Usman. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, hal 256-257

0 komentar:

Posting Komentar