Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Sabtu, 31 Mei 2014

Resume Materi PTUN


RESUME HUKUM TATA USAHA NEGARA

I.       KETENTUAN UMUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A.    Pengertian-Pengertian
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, diuraikan tentang pengertian-pengertian yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai berikut:
1.      Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
2.      Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.      Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
4.      Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.      Gugatan Tata Usaha Negara adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan.
6.      Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
7.      Penggugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
8.      Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud (Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002).
B.     Subjek
Yang menjadi subjek di  Peradilan Tata Usaha Negara adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat.
C.    Objek
Dari pengertian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut di atas dapat diambil unsur-unsurnya sebagai berikut:
1.      Penetapan Tertulis.
2.      Dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
3.      Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara.
4.      Berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.      Bersifat konkret, individual, dan final.
6.      Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
-          Perluasan:
Pasal 3 UU Peradilan Tata Usaha Negara yang biasa disebut Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat fiktif negatif merupakan perluasan pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3, yaitu:
1)      Apabila badan/pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara.
2)      Jika suatu badan/pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud telah lewat, maka badan/pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
3)      Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
-          Mempersempit:
Pasal 49 UU Peradilan Tata Usaha Negara merupakan ketentuan yang mempersempit pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 3 dengan kata lain mempersempit kompetensi pengadilan, yaitu: “pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a.       Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang2an yang berlaku.
-          Pengecualian:
Pasal 2 UU Peradilan Tata Usaha Negara merupakan pengecualian dari pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu; “Tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara menurut Undang-undang ini:
a.       Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b.      Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c.       Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan;
d.      Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHPidana/KUHAcara Pidana/Peraturan Perundang-undagan yang bersifat hukum pidana;
e.       Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan pereundang-undangan yang berlaku;
f.       Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g.      Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.”
II.    KEWENANGAN DAN SUSUNAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A.    Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa: “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara”. Dengan demikian, maka wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1.      Memeriksa,
2.      Memutus, dan
3.      Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara.
Ketiga kewenangan ini merupakan Kekuasaan Absolut (Kompetensi Absolut) dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
B.     Susunan Pengadilan dan Tempat Kedudukan
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan dalam 3 (tiga) tingkatan peradilan, yaitu:
1.      Makhamah Agung; sebagai pengadilan tertinggi dalam kekuasaan kehakiman, yang berfungsi untuk memeriksa di tingkat kasasi perkara yang telah diputus oleh pengadilan di tingkat bawahnya.
2.      Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; yang mempunyai tugas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu:
(1)   Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus Sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.
(2)   Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.
(3)   Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
(4)   Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi.
3.      Pengadilan Tata Usaha Negara; pengadilan yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama.
III.       KEIKUTSERTAAN PIHAK KETIGA DAN DASAR PENGUJIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
A.    Keikutsertaan Pihak Ketiga
Keikutsertaan pihak ketiga ini sering disebut dengan istilah Pihak Intervensi. Ketentuan Pasal 83 ayat (1) dapat diketahui bahwa Pihak Intervensi dapat masuk ke dalam sengketa Tata Usaha Negara, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Inisiatif untuk masuk ke dalam sengketa Tata Usaha Negara dapat berasal dari permintaan hakim, prakarsa sendiri atau dimungkinkan juga atas permintaan dari para pihak yang bersengketa.
2.      Kedudukan Pihak Intervensi adalah sebagai pihak yang membela haknya atau bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (Penggugat Intervensi atau Tergugat Intervensi).
3.      Keikutsertaan Pihak Intervensi dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, hanya dapat dilakukan selama pemeriksaan berlangsung.
B.     Dasar Pengujian Keputusan Tata Usaha Negara
Dasar pengujian yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan sama dengan dasar gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Menurut Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, ditentukan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, yaitu:
1.      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
IV. GUGATAN
A.    Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan (Pasal 55)
Pada proses pengajuan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara yang penting harus diperhatikan dengan seksama adalah masalah tenggang waktu pengajuan gugatan. Gugatan dapat diajukan hanya dalam 90 hari terhitung sejak saat diterimanya/diumumkannya keputusan badan/pejabat tata usaha negara.
Metode perhitungan tenggang waktu 90 hari untuk pengajuan gugatan adalah meliputi sebagai berikut:
a.       Untuk keputusan positif (berwujud, pasala 1 angka 3) maka, saat mulai dihitungnya 90 hari adalah menurut bunyi rumusan pasal 55 beserta penjelasannya, yaitu:
1)      Sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang digugat itu yang memuat nama Penggugat.
2)      Sejak hari pengumuman Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan.
b.      Keputusan fiktif (pasal 3), perhitungan tenggang waktu 90 hari tersebut harus dilihat apakah dalam peraturan dasarnya ditentukan mengenai batasan tenggang waktu keharusan badan/pejabat tata usaha negara mengadakan reaksi atas suatu permohonan yang telah masuk. Sehingga, perhitungan tenggang waktu 90 hari tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan pasal 3 ayat 2, maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewat tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
2)      Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan pasal 3 ayat 3, maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewatnya batas waktu 4 bulan, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
B.     Pengajuan Gugatan (pasal 54)
Menurut pasal 54:
1)      Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
2)      Apabila tergugat lebih dari satu badan/pejabat tata usaha negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan/pejabat tata usaha negara.
3)      Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan pengadilan yang bersangkutan.
4)      Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang bersangkutan yang diatur dengan peraturan pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
5)      Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan/berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan Jakarta.
6)      Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan ke pengadilan tempat kedudukan tergugat.
C.    Identitas Para pihak (pasal 56)
Di dalam ketentuan pasal 56 UU Peradilan Tata Usaha Negara , ada suatu syarat yang wajib/harus dipenuhi dalam gugatan yang apabila tidak dipenuhi akan berakibat kurang lengkapnya gugatan tersebut antara lain:
1.      Syarat Formil
Syarat formil, gugatan harus memuat identitas para pihak:
a.       Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat/kuasanya.
b.      Nama jabatan, Tempat kedudukan tergugat.
2. Syarat Materiil
Secara materiil suatu gugatan harus menyebutkan/menguraikan tentang:
a.       Dasar gugatan yang biasanya diistilahkan posita/fundamentum petendi.
b.      Tuntutan/Petitum.
D.    Posita (pasal 53)
 Dasar gugatan/posita/fundamentum petendi berisi uraian sebagai berikut:
1.      Adanya surat keputusan tata usaha negara yang akan dijadikan sebagai obyek gugatan.
2.      Adanya kepentingan penggugat yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha negara tersebut.
3.      Gugatan diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
4.      Uraian tentang alasan gugatan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 53 ayat (2) huruf a dan b UU Peradilan Tata Usaha Negara sebagai berikut:
a.       Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
E.     Petitum (pasal 53 jo. Psal 97 ayat 9)
Tuntutan/petitum/hal-hal yang diminta dalam gugatan tidak dapat secara bebas/leluasa, akan tetapi telah ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) UU Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu agar keputusan tata usaha negara yang digugat tersebut dinyatakan batal/tidak sah dengan/tanpa disertai tuntutan ganti rugi/rehabilitasi sedangkan apabila gugatan mengenai objek gugatan yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara (gugatan melalui pasal 3) yaitu: “mewajibkan kepada tergugat menerbitkan keputusan tata usaha negara yang dimohon” (pasal 97 ayat 9).
F.     Hal-hal Lain Yang Dapat Diajukan Dalam Gugatan
1.      Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (Schorsing) (pasal 67).
 Sebagai menifestasi asas Praduga Rechmatig (het Vermoeden ven rechmatigheid atau praesumptio iustae causa). Berkaitan dengan prinsip tersebut pasal 67 UU Peradilan Tata Usaha Negara menegaskan sebagai berikut:
1)      Gugatan tidak menunda/menghalangi dilaksanakannya keputusan badan/pejabat tata usaha negara serta tindakan tata usaha negara yang digugat.
2)      Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan tata usaha negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa tata usaha negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
3)      Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan yang dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
4)      Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);
a.       Dapat dikabulkan apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika keputusan tata usaha negara yang digugat itu tetap dilaksanakan.
b.      Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
2.      Permohonan Acara Cepat (pasal 98)
Dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 98 disebutkan:
1)      Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat/kepentingan penggugat dianggap cukup mendesak apabila kepentingan itu menyangkut keputusan tata usaha negara yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan/rumah yang ditempati penggugat. Sebagai kriteria dapat digunakan alasan-alasan pemohon, yang memang dapat diterima. Yang dipercepat bukan hanya pemeriksaanya melainkan juga putusannya.
2)      Ketua pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan/tidak dikabulkan permohonan tersebut.
3)      Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 98 ini, tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pemeriksaan dengan hakim tunggal
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pasal 98 ayat (1) tersebut di atas dikabulkan, Ketua pengadilan dalam jangka waktu 7 hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 dari UU Peradilan Tata Usaha Negara. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari.
3.      Beracara dengan Cuma-Cuma/prodeo (pasal 60)
Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk bersengketa dengan Cuma-cuma. Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai surat keterangan tidak mampu dari kepala desa/lurah tempat kediaman penggugat.
Permohonan biaya perkara Cuma-cuma dalam pasal 60 harus diperiksa dan ditetapkan oleh pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. Penetapan ini diambil ditingkat pertama dan terakhir. Dalam hal permohonan bersengketa dengan Cuma-cuma dikabulkan, pengadilan mengeluarkan penetapan yang salinannya diberikan kepada pemohon dan biaya ditanggung oleh negara. Penetapan ini diambil di tingkat pertana dan terakhir. Penetapan pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan Cuma-cuma di tingkat pertama, juga berlaku di tingkat banding dan kasasi.
V.    KARAKTERISTIK HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Ada beberapa ciri khusus yang menjadi karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu antara lain sebagai berikut:
1.      Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechmatigheid = praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa harus dianggap sah (rechtmatig) sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986).
2.      Asas pembuktian bebas (vrij bewijs). Hakim menetapkan beban pembuktian. Asas ini dianut pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 hanya saja dibatasi ketentuan pasal 100.
3.      Asas keaktifan hakim (active rechter = dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang/badan hukum perdata. Penetapan pasal ini antara lain terdapat dalam ketentuan pasal 58, 63 ayat 1 dan 2, 80, dan 85.
4.      Asas erga omnes. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian, putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.

VI.       PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
A.    Upaya Adminstratif
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara (Penjelasan Pasal 48 ayat (1)). Upaya administratif ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.      Keberatan, yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap Keputusan Tata Usaha Negara, yang penyelesaiannya dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
2.      Banding Administratif, yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap Keputusan Tata Usaha Negara, yang penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut atau instansi lain dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
B.     Upaya Peradilan.
1.      Pemerikasaan Acara Biasa
a.      Penelitian Administratif
Yang berhak melakukan penelitian administratif adalah panitera, wakil panitera, dan panitera muda perkara sesuai dengan pembagian tugas yang diberikan. Adapun yang menjadi objek penelitian administratif adalah hanya segi formalnya saja, tidak sampai menyangkut segi meteriil gugatan.
b.      Bentuk formal yang isinya meliputi:
1)      Siapa subjek gugatan dan apakah Penggugat maju sendiri ataukah diwakili oleh kuasa.
2)      Apa yang menjadi obyek gugatan dan objek gugatan tersebut termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi unsur-unsur pasal 1 butir 3.
3)      Apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan dan apakah alasan tersebut memenuhi unsur pasal 53 ayat (2) butir a dan b.
4)      Apakah yang menjadi petitum, yaitu hanya pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara saja, ataukkah ditambah pula dengan tuntutan ganti rugi/rehabilitasi.
Setelah gugatan beserta resume gugatan diterima oleh ketua pengadilan dari panitera, maka oleh ketua pengadilan gugatan tersebut diperiksa dalam rapat musayawarah, sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat (1) yang menentukan .
Pemerikasaan dalam rapat musyawarah hanya terpusat apakah gugatan memenuhi salah satu atau beberapa/semua ketentuan sebagaimanan dimaksud huruf a, b, c, d, dan e pasal 62 ayat (1) saja, yaitu sebagai berikut:
1.      Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara.
2.      Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun telah diberitahu dan diperingatkan.
3.      Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
4.      Apa yag dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
5.      Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
2.      Pemeriksaan Acara Singkat
Jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh ketua pengadilan tersebut gugatan memenuhi salah satu atau beberapa atau semua ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a, b, c, d, dan e pasal 62 ayat (1), ketua pengadilan mengeluarkan penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan, yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar yang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan Panitera Kepala/wakil panitera.
Penetapan dismissal di samping merupakan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar, karena telah memenuhi salah satu atau beberapa atau telah memenuhi semua apa yang dimaksud oleh huruf a,b,c,d, dan e pasal 62 ayat (1), sesuai dengan petunjuk MA, penetapan dismissal juga dimungkinkan dalan hal adanya bagian petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan.
Terhadap penetapan dismissal tersebut, menurut pasal 62 ayat (3) huruf a, Penggugat dapat mengajukan upaya hukum berupa perlawanan ke Pengadilan dalam tenggang waktu 14 hari setelah penetapan dismissal diucapkan.
3.      Acara Pemeriksaan Cepat
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara dengan Acara Pemeriksaan Cepat, hal ini dituangkan dalam Pasal 98, yang menyatakan bahwa:
(1)   Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya sengketa dipercepat.
(2)   Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3)   Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum.
Kepentingan yang bersifat mendesak ini bersifat kasuistis, sehingga kepada Ketua Pengadilan diberikan kebebasan untuk membuat penilaian terhadap alasan-alasan yang diajukan oleh penggugat dalam permohonannya agar sengketa Tata Usaha Negara dapat dipercepat pemeriksaannya. Contoh kasus: Sengketa Tata Usaha Negara yang obyeknya Keputusan Tata Usaha Negara tentang Perintah Pembongkaran Bangunan atau Rumah yang ditempati penggugat.
Dalam Pemeriksaan Pokok Sengketa perlu diperhatikan hal-hal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 99 UU Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan bahwa:
(1)   Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.
(2)   Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
(3)   Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.
VII.          PEMBUKTIAN
Pembuktian adalah tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.
Ketentuan-ketentuan tentang alat bukti dalam hukum Acara tata Usaha Negara sedikit (pasal 100 sampai Pasal 107). Pasal 100 ayat (1) menentukan bahwa alat bukti adalah:
1)      Surat atau tulisan
Surat/tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati/untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang digunakan sebagai pembuktian.
Pasal 101 menentukan bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis, yaitu:
a)      Akta Autentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa/peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
b)      Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa-peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
c)      Surat-surat lainnya yang bukan akta.
2)      Keterangan Ahli
Pasal 102 ayat (1) menentukan; “Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal apa yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya”. Keterangan ahli dapat berupa keterangan secara tertulis maupun secara lisan.
3)      Keterangan Saksi
Pasal 104 menentukan; “keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri”.
 Pasal 88 menentukan bahwa yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:
a.       Keluarga sedarah/semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa.
b.      Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai.
c.       Anak yang belum berusia 17 tahun.
d.      Orang sakit ingatan.
Pasal 89 ayat (1) menentukan bahwa orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan keterangan adalah
1.      Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak.
2.      Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan itu.
4)      Pengakuan Para Pihak
Yang dimaksud pengakuan di sini adalah pengakuan para pihak yang diberikan pada waktu pemeriksaan di sidang Pengadilan. Pengakuan adalah keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan.
5)      Pengetahuan Hakim
Oleh Pasal 106 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarnnya. Pengetahuan hakim tersebut adalah pengetahuan dari hakim yang diperolah selama pemeriksaan di sidang pengadilan berlangsung.
VIII.       PUTUSAN
Menurut sifatnya, amar atau diktum putusan dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu:
1.      Putusan condamnator, yaitu yang amarnya berbunyi sebagai berikut: “Menghukum dan seterusnya.................”
2.      Putusan konstitutif, yaitu yang amarnya menimbulkan suatu keadaan hukum baru atau meniadakan keadaan hukum baru.
Dari dua sifat putusan tersebut maka dapat dilihat bahwa putusan hakim dalam Peradilan Tata Usaha Negara bersifat konstitutif, yang mempunyai daya kerja seperti suatu keputusan hukum publik yang bersifat umum yang berlaku terhadap siapapun (erga omnes).
A.    Jenis Putusan
Secara garis besar dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara dikenal dua jenis putusan, yaitu:
a.       Putusan yang bukan putusan akhir
Pasal 113 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang”.
Pasal 124 yang menyatakan bahwa: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir”.
b.      Putusan akhir
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat pengadilan tertentu. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (7), diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa:
1.      Gugatan ditolak. Putusan yang berupa gugatan ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dinyatakan batal atau dinyatakan sah.
2.      Gugatan dikabulkan. Putusan yang berupa gugatan dikabulkan adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal atau tidak sah. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (9), berupa:
-          pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, atau
-          pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau
-          penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara baru.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (10) bahwa kewajiban yang dilakukan oleh Tergugat tersebut dapat disertai pembebanan ganti kerugian. Di samping, pembebanan ganti kerugian terhadap gugatan dikabulkan berkenaan dengan kepegawaian dapat juga disertai rehabilitasi atau kompensasi.
3.      Gugatan tidak dapat diterima
Putusan yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang menyatakan bahwa syarat-syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh penggugat.
4.      Gugatan gugur
Putusan yang berupa gugatan gugur adalah putusan yang dijatuhkan hakim karena penggugat tidak hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun telah dipanggil dengan patut atau penggugat telah meninggal dunia.
B.     Isi Putusan
Isi putusan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 109 ayat (1), harus memuat:
a.       Kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b.      Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediamana, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c.       Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d.      Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e.       Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f.       Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g.      Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
C.    Kekuatan Hukum dari Putusan
Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara dikenal adanya beberapa kekuatan hukum dari putusan hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
a.       Kekuatan pembuktian. Kekuatan pembuktian dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa dengan putusan tersebut telah diperoleh bukti tentang kepastian sesuatu.
b.      Kekuatan mengikat. Kekuatan mengikat dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut mengikat yang berkepentingan untuk menaati dan melaksanakannya. Karena dalam Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas Erga Omnes.
c.       Kekuatan eksekutorial. Kekuatan eksekutorial dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan.
IX. UPAYA HUKUM
A.    Upaya Hukum Biasa
1.      Upaya Hukum banding
Para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan pasal 122 UU Peradilan Tata Usaha Negara, putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Permohonan pemerikasaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 hari setelah keputusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.
2.      Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan Pengadilan Tingkat banding dapat dilakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan di tingkat kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan Tingkat terakhir Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada MA. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA.
B.     Upaya Hukum Luar Biasa (Upaya Hukum Peninjauan Kembali)
Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa:
Ayat (1): “terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan PK pada MA.”
Ayat (2): “acara pemeriksaan PK ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”



X.    PELAKSANAAN PUTUSAN
Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam pasal 115 UU Peradilan Tata Usaha Negara.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan tidak lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam pasal 116 s/d 119 UU Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan lahirnya UU No. 9 tahun 2004, putusan Peradilan Tata Usaha Negara telah mempunyai kekuatan eksekuitabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom (uang paksa), sanksi administratif, dan publikasi terhadap Badan/Pejabat Tata Usaha Negara (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara.

0 komentar:

Posting Komentar