RESUME HUKUM TATA USAHA NEGARA
I.
KETENTUAN UMUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A. Pengertian-Pengertian
Dalam
Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, diuraikan tentang
pengertian-pengertian yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara,
sebagai berikut:
1. Tata
Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
2. Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.
4. Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
5. Gugatan
Tata Usaha Negara adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan
keputusan.
6. Tergugat
adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang
digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
7. Penggugat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
adalah Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
8. Gugatan
Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu
orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau
diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya
banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan
anggota kelompok dimaksud (Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1
Tahun 2002).
B. Subjek
Yang
menjadi subjek di Peradilan Tata Usaha
Negara adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat dan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat.
C. Objek
Dari
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut di atas dapat diambil
unsur-unsurnya sebagai berikut:
1.
Penetapan Tertulis.
2.
Dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
3.
Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara.
4.
Berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.
Bersifat konkret, individual, dan final.
6.
Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
-
Perluasan:
Pasal
3 UU Peradilan Tata Usaha Negara yang biasa disebut Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersifat fiktif negatif merupakan perluasan pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3, yaitu:
1)
Apabila badan/pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan
keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan
dengan keputusan tata usaha negara.
2)
Jika suatu badan/pejabat tata usaha negara tidak
mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud telah lewat, maka
badan/pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan
keputusan yang dimaksud.
3)
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah
lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, badan/pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
-
Mempersempit:
Pasal
49 UU Peradilan Tata Usaha Negara merupakan ketentuan yang mempersempit
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 3
dengan kata lain mempersempit kompetensi pengadilan, yaitu: “pengadilan tidak berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha tertentu dalam hal
keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a.
Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam,
atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b.
Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan
peraturan perundang2an yang berlaku.
-
Pengecualian:
Pasal
2 UU Peradilan Tata Usaha Negara merupakan pengecualian dari pengertian Keputusan
Tata Usaha Negara, yaitu; “Tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha
negara menurut Undang-undang ini:
a. Keputusan
tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b.
Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum;
c. Keputusan
tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan;
d.
Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan KUHPidana/KUHAcara Pidana/Peraturan Perundang-undagan yang bersifat
hukum pidana;
e. Keputusan
tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan pereundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan
tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilihan umum.”
II. KEWENANGAN
DAN SUSUNAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A. Kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal
47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa: “Pengadilan bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara”.
Dengan demikian, maka wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dapat dibagi menjadi
3 (tiga), yaitu:
1.
Memeriksa,
2.
Memutus, dan
3.
Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara.
Ketiga
kewenangan ini merupakan Kekuasaan Absolut (Kompetensi Absolut) dari pengadilan
di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Susunan
Pengadilan dan Tempat Kedudukan
Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan dalam 3 (tiga)
tingkatan peradilan, yaitu:
1.
Makhamah Agung; sebagai pengadilan tertinggi dalam
kekuasaan kehakiman, yang berfungsi untuk memeriksa di tingkat kasasi perkara
yang telah diputus oleh pengadilan di tingkat bawahnya.
2.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; yang mempunyai tugas
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu:
(1) Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus Sengketa
Tata Usaha Negara di tingkat banding.
(2) Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di
tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan
Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.
(3) Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan di tingkat pertama Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48.
(4) Terhadap
putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dapat diajukan permohonan kasasi.
3.
Pengadilan Tata Usaha Negara; pengadilan yang berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara di tingkat
pertama.
III.
KEIKUTSERTAAN PIHAK KETIGA DAN DASAR PENGUJIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
A. Keikutsertaan
Pihak Ketiga
Keikutsertaan
pihak ketiga ini sering disebut dengan istilah Pihak Intervensi. Ketentuan
Pasal 83 ayat (1) dapat diketahui bahwa Pihak Intervensi dapat masuk ke dalam
sengketa Tata Usaha Negara, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Inisiatif untuk masuk ke dalam sengketa Tata Usaha Negara
dapat berasal dari permintaan hakim, prakarsa sendiri atau dimungkinkan juga
atas permintaan dari para pihak yang bersengketa.
2.
Kedudukan Pihak Intervensi adalah sebagai pihak
yang membela haknya atau bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa
(Penggugat Intervensi atau Tergugat Intervensi).
3.
Keikutsertaan Pihak Intervensi dalam penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara, hanya dapat dilakukan selama pemeriksaan
berlangsung.
B. Dasar
Pengujian Keputusan Tata Usaha Negara
Dasar
pengujian yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan sama dengan
dasar gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Menurut Pasal 53 ayat (2)
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, ditentukan alasan-alasan yang dapat digunakan
dalam gugatan, yaitu:
1.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
IV. GUGATAN
A. Tenggang
Waktu Mengajukan Gugatan (Pasal 55)
Pada
proses pengajuan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara yang penting harus
diperhatikan dengan seksama adalah masalah tenggang waktu pengajuan gugatan.
Gugatan dapat diajukan hanya dalam 90 hari terhitung sejak saat
diterimanya/diumumkannya keputusan badan/pejabat tata usaha negara.
Metode
perhitungan tenggang waktu 90 hari untuk pengajuan gugatan adalah meliputi
sebagai berikut:
a. Untuk
keputusan positif (berwujud, pasala 1 angka 3) maka, saat mulai dihitungnya 90
hari adalah menurut bunyi rumusan pasal 55 beserta penjelasannya, yaitu:
1)
Sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
yang digugat itu yang memuat nama Penggugat.
2)
Sejak hari pengumuman Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus
diumumkan.
b.
Keputusan fiktif (pasal 3), perhitungan tenggang waktu 90
hari tersebut harus dilihat apakah dalam peraturan dasarnya ditentukan mengenai
batasan tenggang waktu keharusan badan/pejabat tata usaha negara mengadakan
reaksi atas suatu permohonan yang telah masuk. Sehingga, perhitungan tenggang
waktu 90 hari tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan
menurut ketentuan pasal 3 ayat 2, maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah
lewat tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung
sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
2)
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan
menurut ketentuan pasal 3 ayat 3, maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah
lewatnya batas waktu 4 bulan, yang dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan yang bersangkutan.
B. Pengajuan
Gugatan (pasal 54)
Menurut
pasal 54:
1)
Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada
pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
tergugat.
2)
Apabila tergugat lebih dari satu badan/pejabat tata usaha
negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah
satu badan/pejabat tata usaha negara.
3)
Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam
daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan
ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat untuk
selanjutnya diteruskan pengadilan yang bersangkutan.
4)
Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata
usaha negara yang bersangkutan yang diatur dengan peraturan pemerintah, gugatan
dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat.
5)
Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan/berada di luar
negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan Jakarta.
6)
Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan
penggugat di luar negeri, gugatan diajukan ke pengadilan tempat kedudukan
tergugat.
C. Identitas
Para pihak (pasal 56)
Di dalam
ketentuan pasal 56 UU Peradilan Tata Usaha Negara , ada suatu syarat yang
wajib/harus dipenuhi dalam gugatan yang apabila tidak dipenuhi akan berakibat
kurang lengkapnya gugatan tersebut antara lain:
1. Syarat
Formil
Syarat
formil, gugatan harus memuat identitas para pihak:
a. Nama,
kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat/kuasanya.
b.
Nama jabatan, Tempat kedudukan tergugat.
2.
Syarat Materiil
Secara
materiil suatu gugatan harus menyebutkan/menguraikan tentang:
a. Dasar
gugatan yang biasanya diistilahkan posita/fundamentum petendi.
b.
Tuntutan/Petitum.
D. Posita
(pasal 53)
Dasar gugatan/posita/fundamentum petendi
berisi uraian sebagai berikut:
1. Adanya
surat keputusan tata usaha negara yang akan dijadikan sebagai obyek gugatan.
2. Adanya
kepentingan penggugat yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan
tata usaha negara tersebut.
3. Gugatan
diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
4. Uraian
tentang alasan gugatan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 53 ayat (2)
huruf a dan b UU Peradilan Tata Usaha Negara sebagai berikut:
a.
Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
E. Petitum
(pasal 53 jo. Psal 97 ayat 9)
Tuntutan/petitum/hal-hal
yang diminta dalam gugatan tidak dapat secara bebas/leluasa, akan tetapi telah
ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) UU Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu agar
keputusan tata usaha negara yang digugat tersebut dinyatakan batal/tidak sah
dengan/tanpa disertai tuntutan ganti rugi/rehabilitasi sedangkan apabila
gugatan mengenai objek gugatan yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha
Negara (gugatan melalui pasal 3) yaitu: “mewajibkan kepada tergugat menerbitkan
keputusan tata usaha negara yang dimohon” (pasal 97 ayat 9).
F. Hal-hal
Lain Yang Dapat Diajukan Dalam Gugatan
1.
Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (Schorsing)
(pasal 67).
Sebagai
menifestasi asas Praduga Rechmatig (het Vermoeden ven rechmatigheid atau
praesumptio iustae causa). Berkaitan dengan prinsip tersebut pasal 67
UU Peradilan Tata Usaha Negara menegaskan sebagai berikut:
1)
Gugatan tidak menunda/menghalangi dilaksanakannya
keputusan badan/pejabat tata usaha negara serta tindakan tata usaha negara yang
digugat.
2)
Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan
keputusan tata usaha negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa tata usaha
negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap.
3)
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
diajukan sekaligus dalam gugatan yang dapat diputus terlebih dahulu dari pokok
sengketanya.
4)
Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);
a.
Dapat dikabulkan apabila terdapat keadaan yang sangat
mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika
keputusan tata usaha negara yang digugat itu tetap dilaksanakan.
b.
Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam
rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
2.
Permohonan Acara Cepat (pasal 98)
Dalam
UU Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 98 disebutkan:
1)
Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak
yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam
gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat/kepentingan
penggugat dianggap cukup mendesak apabila kepentingan itu menyangkut keputusan
tata usaha negara yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan/rumah
yang ditempati penggugat. Sebagai kriteria dapat digunakan alasan-alasan
pemohon, yang memang dapat diterima. Yang dipercepat bukan hanya pemeriksaanya
melainkan juga putusannya.
2)
Ketua pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah
diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan
penetapan tentang dikabulkan/tidak dikabulkan permohonan tersebut.
3)
Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
pasal 98 ini, tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pemeriksaan
dengan hakim tunggal
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim
tunggal. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pasal 98 ayat (1) tersebut
di atas dikabulkan, Ketua pengadilan dalam jangka waktu 7 hari setelah
dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud pasal 98 ayat (2) menentukan hari,
tempat dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 dari UU Peradilan Tata Usaha Negara.
Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak,
masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari.
3.
Beracara dengan Cuma-Cuma/prodeo (pasal 60)
Penggugat
dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk bersengketa dengan
Cuma-cuma. Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya
disertai surat keterangan tidak mampu dari kepala desa/lurah tempat kediaman
penggugat.
Permohonan
biaya perkara Cuma-cuma dalam pasal 60 harus diperiksa dan ditetapkan oleh
pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. Penetapan ini diambil ditingkat
pertama dan terakhir. Dalam hal permohonan bersengketa dengan Cuma-cuma
dikabulkan, pengadilan mengeluarkan penetapan yang salinannya diberikan kepada
pemohon dan biaya ditanggung oleh negara. Penetapan ini diambil di tingkat
pertana dan terakhir. Penetapan pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat
untuk bersengketa dengan Cuma-cuma di tingkat pertama, juga berlaku di tingkat
banding dan kasasi.
V. KARAKTERISTIK
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Ada beberapa
ciri khusus yang menjadi karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
yaitu antara lain sebagai berikut:
1.
Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechmatigheid
= praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap
tindakan penguasa harus dianggap sah (rechtmatig) sampai ada pembatalannya.
Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat (pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986).
2.
Asas pembuktian bebas (vrij bewijs). Hakim
menetapkan beban pembuktian. Asas ini dianut pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986
hanya saja dibatasi ketentuan pasal 100.
3.
Asas keaktifan hakim (active rechter = dominus litis).
Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena
tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah
orang/badan hukum perdata. Penetapan pasal ini antara lain terdapat dalam
ketentuan pasal 58, 63 ayat 1 dan 2, 80, dan 85.
4.
Asas erga omnes. Sengketa tata usaha negara
adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian, putusan pengadilan Tata Usaha
Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.
VI.
PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
A. Upaya
Adminstratif
Upaya administratif
adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum
perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara
(Penjelasan Pasal 48 ayat (1)). Upaya administratif ini dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu:
1.
Keberatan, yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh
seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap Keputusan Tata
Usaha Negara, yang penyelesaiannya dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
2.
Banding Administratif, yaitu prosedur yang dapat ditempuh
oleh seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap Keputusan Tata
Usaha Negara, yang penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan dari Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
atau instansi lain dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan
Tata Usaha Negara tersebut.
B. Upaya
Peradilan.
1.
Pemerikasaan Acara Biasa
a. Penelitian
Administratif
Yang
berhak melakukan penelitian administratif adalah panitera, wakil panitera, dan panitera
muda perkara sesuai dengan pembagian tugas yang diberikan. Adapun yang menjadi
objek penelitian administratif adalah hanya segi formalnya saja, tidak sampai
menyangkut segi meteriil gugatan.
b. Bentuk
formal yang isinya meliputi:
1)
Siapa subjek gugatan dan apakah Penggugat maju sendiri
ataukah diwakili oleh kuasa.
2)
Apa yang menjadi obyek gugatan dan objek gugatan tersebut
termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi unsur-unsur
pasal 1 butir 3.
3)
Apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan dan apakah
alasan tersebut memenuhi unsur pasal 53 ayat (2) butir a dan b.
4)
Apakah yang menjadi petitum, yaitu hanya pembatalan
Keputusan Tata Usaha Negara saja, ataukkah ditambah pula dengan tuntutan ganti
rugi/rehabilitasi.
Setelah
gugatan beserta resume gugatan diterima oleh ketua pengadilan dari panitera,
maka oleh ketua pengadilan gugatan tersebut diperiksa dalam rapat musayawarah,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat (1) yang menentukan .
Pemerikasaan
dalam rapat musyawarah hanya terpusat apakah gugatan memenuhi salah satu atau
beberapa/semua ketentuan sebagaimanan dimaksud huruf a, b, c, d, dan e pasal 62
ayat (1) saja, yaitu sebagai berikut:
1.
Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam
wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara.
2.
Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56
tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun telah diberitahu dan diperingatkan.
3.
Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang
layak.
4.
Apa yag dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi
oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
5.
Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat
waktunya.
2.
Pemeriksaan Acara Singkat
Jika
hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh ketua pengadilan tersebut gugatan
memenuhi salah satu atau beberapa atau semua ketentuan sebagaimana dimaksud
huruf a, b, c, d, dan e pasal 62 ayat (1), ketua pengadilan mengeluarkan
penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan, yang menyatakan
bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar yang ditanda tangani oleh
Ketua Pengadilan Panitera Kepala/wakil panitera.
Penetapan
dismissal di samping merupakan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan tidak
diterima atau tidak berdasar, karena telah memenuhi salah satu atau beberapa
atau telah memenuhi semua apa yang dimaksud oleh huruf a,b,c,d, dan e pasal 62
ayat (1), sesuai dengan petunjuk MA, penetapan dismissal juga dimungkinkan
dalan hal adanya bagian petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat
dikabulkan.
Terhadap
penetapan dismissal tersebut, menurut pasal 62 ayat (3) huruf a, Penggugat
dapat mengajukan upaya hukum berupa perlawanan ke Pengadilan dalam tenggang
waktu 14 hari setelah penetapan dismissal diucapkan.
3.
Acara Pemeriksaan Cepat
Undang-undang
Peradilan Tata Usaha Negara memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara dengan Acara Pemeriksaan Cepat, hal ini dituangkan dalam Pasal 98,
yang menyatakan bahwa:
(1) Apabila
terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan
dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon
kepada pengadilan supaya sengketa dipercepat.
(2) Ketua
Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan
atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap
penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum.
Kepentingan
yang bersifat mendesak ini bersifat kasuistis, sehingga kepada Ketua Pengadilan
diberikan kebebasan untuk membuat penilaian terhadap alasan-alasan yang
diajukan oleh penggugat dalam permohonannya agar sengketa Tata Usaha Negara dapat
dipercepat pemeriksaannya. Contoh kasus: Sengketa Tata Usaha Negara yang
obyeknya Keputusan Tata Usaha Negara tentang Perintah Pembongkaran Bangunan
atau Rumah yang ditempati penggugat.
Dalam
Pemeriksaan Pokok Sengketa perlu diperhatikan hal-hal sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 99 UU Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan bahwa:
(1) Pemeriksaan
dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.
(2) Dalam
hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua
Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu
sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63.
(3) Tenggang
waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing
ditentukan tidak melebihi empat belas hari.
VII.
PEMBUKTIAN
Pembuktian
adalah tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari
pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.
Ketentuan-ketentuan
tentang alat bukti dalam hukum Acara tata Usaha Negara sedikit (pasal 100
sampai Pasal 107). Pasal 100 ayat (1) menentukan bahwa alat bukti adalah:
1) Surat
atau tulisan
Surat/tulisan
adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati/untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang digunakan
sebagai pembuktian.
Pasal
101 menentukan bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis, yaitu:
a)
Akta Autentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan
seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang
membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa/peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
b)
Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa-peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya.
c)
Surat-surat lainnya yang bukan akta.
2) Keterangan
Ahli
Pasal
102 ayat (1) menentukan; “Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan
di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal apa yang ia ketahui menurut
pengalaman dan pengetahuannya”. Keterangan ahli dapat berupa keterangan secara
tertulis maupun secara lisan.
3) Keterangan
Saksi
Pasal
104 menentukan; “keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila
keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh
saksi sendiri”.
Pasal 88 menentukan bahwa yang tidak boleh
didengar sebagai saksi adalah:
a. Keluarga
sedarah/semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa.
b. Istri
atau suami salah seorang pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai.
c. Anak
yang belum berusia 17 tahun.
d. Orang
sakit ingatan.
Pasal
89 ayat (1) menentukan bahwa orang yang dapat minta pengunduran diri dari
kewajiban untuk memberikan keterangan adalah
1.
Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan
perempuan salah satu pihak.
2.
Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau
jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
martabat, pekerjaan itu.
4) Pengakuan
Para Pihak
Yang
dimaksud pengakuan di sini adalah pengakuan para pihak yang diberikan pada
waktu pemeriksaan di sidang Pengadilan. Pengakuan adalah keterangan sepihak
yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak
lawan.
5) Pengetahuan
Hakim
Oleh
Pasal 106 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal
yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarnnya. Pengetahuan hakim tersebut
adalah pengetahuan dari hakim yang diperolah selama pemeriksaan di sidang pengadilan
berlangsung.
VIII.
PUTUSAN
Menurut
sifatnya, amar atau diktum putusan dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu:
1.
Putusan condamnator, yaitu yang amarnya berbunyi
sebagai berikut: “Menghukum dan seterusnya.................”
2.
Putusan konstitutif, yaitu yang amarnya menimbulkan suatu
keadaan hukum baru atau meniadakan keadaan hukum baru.
Dari
dua sifat putusan tersebut maka dapat dilihat bahwa putusan hakim dalam
Peradilan Tata Usaha Negara bersifat konstitutif, yang mempunyai daya kerja
seperti suatu keputusan hukum publik yang bersifat umum yang berlaku terhadap
siapapun (erga omnes).
A. Jenis
Putusan
Secara
garis besar dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara dikenal dua jenis putusan,
yaitu:
a.
Putusan yang bukan putusan akhir
Pasal
113 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Putusan Pengadilan yang bukan putusan
akhir meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri
melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang”.
Pasal
124 yang menyatakan bahwa: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan
putusan akhir hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan
putusan akhir”.
b.
Putusan akhir
Putusan
akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa Tata
Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat pengadilan
tertentu. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (7), diketahui bahwa
putusan akhir dapat berupa:
1.
Gugatan ditolak. Putusan yang berupa gugatan ditolak
adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang
menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang
tidak dinyatakan batal atau dinyatakan sah.
2.
Gugatan dikabulkan. Putusan yang berupa gugatan dikabulkan
adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang
menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang
dinyatakan batal atau tidak sah. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 97 ayat (9), berupa:
-
pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan,
atau
-
pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
dan penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau
-
penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara baru.
Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (10) bahwa kewajiban yang dilakukan oleh
Tergugat tersebut dapat disertai pembebanan ganti kerugian. Di samping,
pembebanan ganti kerugian terhadap gugatan dikabulkan berkenaan dengan
kepegawaian dapat juga disertai rehabilitasi atau kompensasi.
3.
Gugatan tidak dapat diterima
Putusan
yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang menyatakan bahwa
syarat-syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan
oleh penggugat.
4.
Gugatan gugur
Putusan
yang berupa gugatan gugur adalah putusan yang dijatuhkan hakim karena penggugat
tidak hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun telah dipanggil dengan patut
atau penggugat telah meninggal dunia.
B. Isi
Putusan
Isi
putusan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 109 ayat (1), harus memuat:
a.
Kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b.
Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediamana, atau
tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c.
Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d.
Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan
hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e.
Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f.
Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g.
Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama
panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
C. Kekuatan
Hukum dari Putusan
Dalam
Hukum Acara Tata Usaha Negara dikenal adanya beberapa kekuatan hukum dari
putusan hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
a.
Kekuatan pembuktian. Kekuatan pembuktian dari putusan
hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa
dengan putusan tersebut telah diperoleh bukti tentang kepastian sesuatu.
b.
Kekuatan mengikat. Kekuatan mengikat dari putusan hakim
adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan
tersebut mengikat yang berkepentingan untuk menaati dan melaksanakannya. Karena
dalam Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas Erga Omnes.
c.
Kekuatan eksekutorial. Kekuatan eksekutorial dari putusan
hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa
putusan tersebut dapat dilaksanakan.
IX. UPAYA
HUKUM
A. Upaya
Hukum Biasa
1.
Upaya Hukum banding
Para
pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama
(PTUN), berdasarkan ketentuan pasal 122 UU Peradilan Tata Usaha Negara, putusan
PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat
kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Permohonan
pemerikasaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang
khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut,
dalam tenggang waktu 14 hari setelah keputusan diberitahukan kepada yang
bersangkutan secara patut.
2.
Upaya Hukum Kasasi
Terhadap
putusan Pengadilan Tingkat banding dapat dilakukan upaya hukum kasasi ke
Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan di tingkat kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peradilan
Tata Usaha Negara, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan Tingkat terakhir
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada
MA. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No. 14 Tahun
1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA.
B. Upaya
Hukum Luar Biasa (Upaya Hukum Peninjauan Kembali)
Pemeriksaan
Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peradilan Tata Usaha Negara yang
menyebutkan bahwa:
Ayat (1): “terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan PK pada MA.”
Ayat (2): “acara pemeriksaan PK ini dilakukan menurut
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.”
X. PELAKSANAAN
PUTUSAN
Putusan
Pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam pasal 115 UU Peradilan Tata
Usaha Negara.
Putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan
tersebut telah tidak ada upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum
akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan tidak lewat
tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
Mengenai
mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam pasal 116 s/d 119 UU Peradilan
Tata Usaha Negara. Dengan lahirnya UU No. 9 tahun 2004, putusan Peradilan Tata
Usaha Negara telah mempunyai kekuatan eksekuitabel. Hal ini dikarenakan adanya
sanksi berupa dwangsom (uang paksa), sanksi administratif, dan publikasi
terhadap Badan/Pejabat Tata Usaha Negara (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan
putusan Peradilan Tata Usaha Negara.
0 komentar:
Posting Komentar