Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Selasa, 06 Mei 2014

Macam macam Respon Umat



RESPON UMAT TERHADAP GERAKAN BERMAZHAB


Bab I
Pendahuluan.
A.     Latar belakang.
Islam seperti yang diketahui bersama telah bertahan hingga abad ke empat belas semenjak kelahirannya. Islam berkembang diikuti dengan hadirnya ahli-ahli di bidang agama beserta ahli bidang lain sehingga bisa mengikuti perubahan zaman. Mereka mengadakan beberapa kodifikasi aturan dan pengetahuan untuk berkembang dari hari ke hari. Tidak terkecuali islam juga hidup dengan beberapa kerjaan sehingga mengalami kejayaan dan keruntuhan.
Yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan Islam menuju empat belas abad setelahnya adalah perkembangan sistematika fikih atau hasil penyaduran aturan Allah dari kitab dan sabda Rasulnya. Beberapa ahli muncul dan menjelaskan sistematika fikih menurut pendalamannya masing-masing sehingga ahli tersebut memiliki pengikut dan bukti-bukti keilmuannya dan memiliki wilayah sendiri-sendiri. Munculnya hal yang kemudian disebut madzhab itu dipandang perlu karena era Nabi sebagai penjelas sistematika sudah lewat dan imam madzhab dengan kemampuannya tidak disalahkan karena tempat, waktu , dan kondisi sudah berubah.
Namun, munculnya madzhab itu menimbulkan beberapa respon umat. Ada beberapa madzhab yang bebas untuk dipilih sehingga memunculkan respon kewajiban untuk bermadhab. Ada pula respon seperti kewajiban tidak bermadzhab. Tidak terkecuali ada respon seperti pluralisme madzhab.
Beberapa bahasan seperti itulah yang akan dijelaskan penulis di makalah ini. Penulis memandang perlu untuk membeberkan hal-hal tersebut karena pemahaman yang seadanya mempengaruhi cara pandang dan pola pikir untuk memberikan respon yang tepat untuk perbedaan madzhab. Penulis berharap makalah ini dapat menjelaskan respon yang sebenarnya untuk perbedaan madzhab yang ada.
B.     Rumusan Masalah.
1.      Bagaimanakah respon gerakan anti madzhab itu?
2.      Bagaimanakah respon gerakan wajib bermadzhab itu?
3.      Bagaimanakah pluralisme bermadzhab yang dicanangkan ulama ushul fiqih itu?

C.     
Bab II
Pembahasan.

A.    Respon Berupa Gerakan Anti Mazhab.
Sebagian golongan ada yang mengikuti ulamanya yakni ikut melarang, mencela keras bahkan sampai berani mengkafirkan orang-orang muslim yang mengikuti salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali [ra] ). Ulama golongan ini berkata: “Sesungguhnya ilmu fiqih dan syariat Islam yang anda ajarkan selama ini dengan susah payah itu sebenarnya hanyalah buah pikiran para imam madzhab yang tentang masalah hukum yang mereka rangkaikan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Empat madzhab itu adalah suatu bid’ah yang diadakan dalam agama Islam serta mereka ini sama sekali bukan dari Islam. Kitab-kitab empat imam ini ialah kitab-kitab yang bisa membawa kehancuran (Kutub al-Mushaddiah)”.
Mereka berpendapat bahwa para Imam bukanlah maksum yang terpelihara dari kesalahan. Bagaiman mungkin mereka harus meninggalkan yang maksum dan berpegang pada orang yang bukan ma’shum?
Syekh Khajandi berkata; bahwa Islam itu tidak lebih dari hukum-hukum yang sederhana yang dengan mudah dapat dimengerti oleh orang arab atau muslim manapun. Beliau membuktikan kebenaran pernyataannya ini dengan mengetengahkan beberapa dalil berikut ini
·         hadits Jibril as. ketika bertanya kepada Rasulallah saw. tentang makna Islam. Kemudian Rasulallah menjawab dengan menyebutkan rukun-rukun Islam yang lima. Tidak lebih dari itu.
·         hadits tentang seseorang yang mendatangi Rasulallah saw. seraya berkata : ‘Wahai Rasulallah, tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang apabila aku kerjakan, maka aku akan masuk surga’. Lalu Rasulallah saw. bersabda ; ‘Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah…sampai akhir hadits’ “.

·         hadits tentang seseorang yang datang dan mengikat ontanya dimasjid Rasulallah saw., kemudian masuk menghadap Nabi saw. dan bertanya tentang rukun Islam yang paling penting.
Selanjutnya berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh ini menegas- kan bahwa Islam itu tidaklah lebih dari beberapa kata dan beberapa hukum yang sederhana yang bisa dipahami oleh setiap muslim, arab ataupun non arab. Hal ini karena setelah Nabi saw. menyebutkan tentang rukun Islam yang lima, lelaki yang bertanya itupun langsung pergi dan tidak menoleh lagi. Ini membuktikan bahwa rukun-rukun Islam itu adalah satu permasalahan yang mudah dan penjelasannya tidaklah perlu sampai taqlid kepada seorang imam atau menetapi seorang mujtahid. Madzhab-madzhab yang ada tidak- lah lebih dari sekedar pemahaman para ulama terhadap beberapa masalah. Allah serta Rasul-Nya tidaklah pernah mewajibkan seorangpun untuk meng- ikutinya.
Syeikh Khajandi berkata; bahwa dasar berpegang teguh kepada Islam adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya inilah yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Adapun mengikuti imam-imam madzhab, maka samalah artinya dengan kita telah merubah diri. Semula kita mengikuti yang ma’shum yakni Qur’an dan Sunnah kemudian pindah mengikuti yang tidak ma’shum yakni imam-imam madzhab itu. Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa kedatangan madzhab-madzhab yang empat itu hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah saw.

B.     Gerakan wajib bermazhab
Dalam soal menjalankan ibadat, umat Islam telah sepakat bahwa al-Quran dan al-Hadits adalah dua sumber utama yang wajib ditaati dan diamalkan. Kedua-duanya merupakan pedoman dan rujukan paten bagi umat Islam di muka bumi ini.
Pada hakikatnya kita diperintahkan untuk mengikuti orang yang mengetahui Al Qur’an dan As Sunnah Firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Namun kenyataannya sekarang adalah tidak semua orang Islam mampu melakukan istinbath (mengeluarkan hukum) dari al-Quran dan al-Hadits seperti imam-imam madzhab. Inilah sebabnya mengapa ada madzhab dan taqlid. Dan ternyata sejarah membuktikan, bahwa taqlid tidaklah menyebabkan umat menjadi jumud atau beku. Sebaliknya, seruan ijtihad dan bebas madzhab hanya menimbulkan perpecahan dan kehinaan yang berkepanjangan bagi umat ini.
Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut: 1.  Munculnya sikap taklid ta’assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. 2. Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan  3. Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut. Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang dianutnya.[1]
Seruan agar umat berijtihad tanpa melihat apakah umat memiliki kemampuan dan kelayakan sebagai mujtahid atau tidak, adalah satu seruan yang berbahaya yang dapat menimbulkan kekacauan dan perpecahan serta kerusakan di berbagai sektor kehidupan. Asy-Syahid asy-Syeikh Dr. M. Said Ramadhan al-Buthiy dalam kitabnya yang berjudul Alla Madzhabiyyah Akhtharu Bid`atin Tuhaddidu asy-Syarii`at al-Islamiyyah” telah menjelaskan panjang lebar tentang bahaya bebas madzhab.
Madzhab empat yang ada dan kita kenal selama ini adalah hasil ijtihad ulama-ulama yang tidak diragukan lagi kemampuannya di bidang itu, yaitu, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.
Ijtihad sebagaimana yang telah ketahui, adalah menggali isi al-Quran dan al-Hadits untuk dikaji, diteliti dan dianalisa sehingga membuahkan hukum-hukum Islam yang konkrit dan positif. Buah atau hasil ijtihad itulah yang kemudian oleh orang disebut “madzhab”.Jelasnya, orang yang bermadzhab sama artinya dengan orang yang mengamalkan al-Quran dan al-Hadits, karena semua pendapat yang difatwakan oleh imam-imam madzhab adalah hasil dari kajian mereka terhadap al-Quran dan al-Hadits.
Bahkan untuk memudahkan orang-orang awam, mereka siang malam berusaha mengkaji dan menggali hukum-hukum didalam al-Quran dan al-Hadits yang notabene ribuan dan tidak berurutan, mereka atur sedemikian rupa, diurutkan dari bab ke bab. Sehingga hukum-hukum islam lebih mudah dipelajari.
Kemudian sebagai manusia biasa, mereka juga bisa salah, tentu kita maklumi itu. Dan ini bukan berarti kita lalu menolak atau bahkan anti dengan mereka hanya gara-gara ada satu atau dua kesalahan yang timbul dari mereka. Sebab kesalahan satu dua dalam rangka menggarap persoalan yang ribuan banyaknya adalah sudah wajar dan logis. Justru yang tidak wajar dan tidak logis adalah menolak seluruh persoalan-persoalan tersebut hanya karena adanya satu atau dua kesalahan tadi.
Ironinya ada sebagian orang yang mungkin karena dengki atau iri atau karena kepentingan pribadi, bermaksud menghapus secara total madzhab-madzhab yang ada dengan cara menolak dan mengibarkan bendera “anti madzhab”, serta mengharuskan setiap orang Islam agar berijtihad atau menggali hukum secara langsung dari sumbernya, tanpa melihat apakah mereka memiliki kemampuan dan kelayakan sebagai mujtahid atau tidak.
C.    Pluralisme Mazhab Menurut Ulama’ Ushul Fiqih.
Semua ahli ushul fiqh telah sepakat dalam pandangan bahwa permasalahan-permasalahan logika murni dan ushuliyyah itu mengarah pada haq dan benar, karena haq dan benar dalam masalah di atas hanya satu dan tidak berbilang maka mujtahid yang benar pun hanya satu. Karena jika tidak maka akan dua kebenaran yang bertentangan. Begitupun dengan masalah-masalah qoth’iyyah  yang ‘maklumah minan din bi ddoruroh’ seperti wajibnya salat, zakat, puasa haji larangan mabuk-mabukan zina dan lain-lain.[2]
Adapan dalam masalah-masalah fiqhiyyah yang zanniah, artinya selain hukum yang di ambil dari dalil-dalil yang tidak qath’’i yang memamng merupakan area ijtihad, maka jika salah tidak berdosa, hanya saja para ulama ushul fiqh berbeda pendapat; apakah para mujtahid dalam wilayah zhanniyah ini semua benar atau yang benar hanya satu dan yg lain salah namun tidak berdosa?
Berkaitan denagn hal tersebut ada dua pendapat. Pertama : berpendapat bahwa semua mujtahid benar, karena tidak ada hukum Allah sebelum adanya ijtihad dari seorang mujtahid, maka hukum itu tergantung kepada zhon {praduga} mujtahidnya sendiri, artinya selama pendapat itu merupakan zhon atau pilihannya mujtahid, maka di situ jugapendapat hukum Allah swt. Ini merupakan pendapat yang di pilih oleh beberapa ulama seperti Al-Asya’ri, Al-Baqalani, Al-Ghazali dan lain lain.[3]
Kedua: yang diklaim sebagai pendapat mayoritas ulama, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa Alloh swt telah menetapkansebuah hukum yang bersifat zhonniyah jauh sebelum para mujtahid itu mencari ijtihadnya, maka barang siapa yang hasil ijtihadnya sesuai dengan hukum Alloh swt yang telah digariskan dalam ilmuNya sejak zaman azali itu, maka berarti ia telah sesuai dan benar dalam ijtihadnya, adapun jika tidak sesuai, maka berarti ia salah, hanya saja di ma;fu dan tidak berdosa.
Lebih lanjut ada beberapa istinbath hukum yang di ambil dari hadist nabi seperti ‘innamal a’’malu binniyyah’ . Dalam beristinbath di hadist ini  imam As-syafi’i memahami bahwa maksutnya ‘innama shihhatul a’mal binniyyat’{sesungguhnya sah nya amal dengan niat} , menghasilkan produk hukum yang primer dan esensial berbeda dengan imam Hanafi “innama kamalul a’mal binniyyat” {sesungguhnya sempurnanya amal itu tergantung dengan niatnya} yang dapat di simpulkan bahwa niat hanyalah kebutuhan pelengkap tetapi tidak mempengaruhi sah tidaknya dalam beribadah. Dalam contoh lain pemahaman ulama dalam ayat ‘lamastum mun nnisa’’ yang secara tekstual bermakna bersentuhan kulit, ini di fahami imam Syafi’i apa adannya sehingga dalam madzhab syafi’i ; bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom membatalkan wudhu. Berbeda dengan madzhab maliki yang memahami kata ‘lamasa’ secara majaz atau kiasan yang berarti bersetubuh  maka persentuhan kulit langsung tidak membatalkan wudhu. Dan dalam misal lain penetapan satu syawal dan lain lain.
Disini dapat sama-sama difahami bahwa dalil-dalil yang digunakan para mujtahid pada hakikatnya sama, hanya saja interpretasi atau pemahamannya yang berbeda. Jadi dengan inilah pluralisme madzhab harus digalakkan. Semua orang tidak perlu meributkan kefanatikan suatu madzhab, karena semua imam menggunakan dalil yang sama.
D.    Kesimpulan.
Terhadap perbedaan madzhab, ada beberapa respon dari umat:
a.       Respon kewajiban bermadzhab, yang secara umum mempunyai alasan madzhab harus diikuti karena pintu ijtihad telah ditutup : lewat taqlid atau ittiba’.
b.      Respon anti madzhab, yang secara umum
c.       Respon berupa perlunya pluralisme madzhab, ini berarti semua madzhab tidak perlu diperselisihkan dan bebas dijalankan, karena imam madzhab seluruhnya menggali hukum dengan sebenar-benarnya.

Daftar Pustaka.
Arfan, Abbas. 2008. Geneologi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam. Malang : UIN Malang Press.
edukasi.kompasiana.com/2012/12/08/tumbuhnya-jiwa-taqlid-timbulnya-mazhab-dan-kegiatan-fuqaha-dalam-periode-taqlid--515092.html diakses 27 mei 2013.




[1] edukasi.kompasiana.com/2012/12/08/tumbuhnya-jiwa-taqlid-timbulnya-mazhab-dan-kegiatan-fuqaha-dalam-periode-taqlid--515092.html diakses 27 mei 2013.
[2] Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam, (Malang, UIN Malang Press : 2008) halaman 192.
[3] Abbas Arfan, ibid halaman 194.
 

0 komentar:

Posting Komentar