RESPON UMAT
TERHADAP GERAKAN BERMAZHAB
Bab
I
Pendahuluan.
A.
Latar belakang.
Islam
seperti yang diketahui bersama telah bertahan hingga abad ke empat belas
semenjak kelahirannya. Islam berkembang diikuti dengan hadirnya ahli-ahli di
bidang agama beserta ahli bidang lain sehingga bisa mengikuti perubahan zaman.
Mereka mengadakan beberapa kodifikasi aturan dan pengetahuan untuk berkembang
dari hari ke hari. Tidak terkecuali islam juga hidup dengan beberapa kerjaan
sehingga mengalami kejayaan dan keruntuhan.
Yang
tidak bisa dipisahkan dari perjalanan Islam menuju empat belas abad setelahnya
adalah perkembangan sistematika fikih atau hasil penyaduran aturan Allah dari
kitab dan sabda Rasulnya. Beberapa ahli muncul dan menjelaskan sistematika
fikih menurut pendalamannya masing-masing sehingga ahli tersebut memiliki
pengikut dan bukti-bukti keilmuannya dan memiliki wilayah sendiri-sendiri.
Munculnya hal yang kemudian disebut madzhab itu dipandang perlu karena era Nabi
sebagai penjelas sistematika sudah lewat dan imam madzhab dengan kemampuannya
tidak disalahkan karena tempat, waktu , dan kondisi sudah berubah.
Namun,
munculnya madzhab itu menimbulkan beberapa respon umat. Ada beberapa madzhab
yang bebas untuk dipilih sehingga memunculkan respon kewajiban untuk bermadhab.
Ada pula respon seperti kewajiban tidak bermadzhab. Tidak terkecuali ada respon
seperti pluralisme madzhab.
Beberapa
bahasan seperti itulah yang akan dijelaskan penulis di makalah ini. Penulis
memandang perlu untuk membeberkan hal-hal tersebut karena pemahaman yang
seadanya mempengaruhi cara pandang dan pola pikir untuk memberikan respon yang
tepat untuk perbedaan madzhab. Penulis berharap makalah ini dapat menjelaskan
respon yang sebenarnya untuk perbedaan madzhab yang ada.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Bagaimanakah respon gerakan anti
madzhab itu?
2.
Bagaimanakah respon gerakan wajib
bermadzhab itu?
3.
Bagaimanakah pluralisme bermadzhab
yang dicanangkan ulama ushul fiqih itu?
C.
Bab
II
Pembahasan.
A.
Respon
Berupa Gerakan Anti Mazhab.
Sebagian
golongan ada yang mengikuti ulamanya yakni ikut melarang, mencela keras bahkan
sampai berani mengkafirkan orang-orang muslim yang mengikuti salah satu dari
madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali [ra] ). Ulama golongan
ini berkata: “Sesungguhnya ilmu fiqih dan syariat Islam yang anda ajarkan
selama ini dengan susah payah itu sebenarnya hanyalah buah pikiran para imam
madzhab yang tentang masalah hukum yang mereka rangkaikan dengan Al-Qur’an dan
Sunnah. Empat madzhab itu adalah suatu bid’ah yang diadakan dalam agama Islam
serta mereka ini sama sekali bukan dari Islam. Kitab-kitab empat imam ini ialah
kitab-kitab yang bisa membawa kehancuran (Kutub al-Mushaddiah)”.
Mereka
berpendapat bahwa para Imam bukanlah maksum yang terpelihara dari kesalahan.
Bagaiman mungkin mereka harus meninggalkan yang maksum dan berpegang pada orang
yang bukan ma’shum?
Syekh
Khajandi berkata; bahwa Islam itu tidak lebih dari hukum-hukum yang sederhana
yang dengan mudah dapat dimengerti oleh orang arab atau muslim manapun. Beliau
membuktikan kebenaran pernyataannya ini dengan mengetengahkan beberapa dalil
berikut ini
·
hadits Jibril
as. ketika bertanya kepada Rasulallah saw. tentang makna Islam. Kemudian
Rasulallah menjawab dengan menyebutkan rukun-rukun Islam yang lima. Tidak lebih
dari itu.
·
hadits tentang
seseorang yang mendatangi Rasulallah saw. seraya berkata : ‘Wahai Rasulallah,
tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang apabila aku kerjakan, maka aku akan
masuk surga’. Lalu Rasulallah saw. bersabda ; ‘Bersaksilah bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah…sampai akhir hadits’ “.
·
hadits tentang
seseorang yang datang dan mengikat ontanya dimasjid Rasulallah saw., kemudian
masuk menghadap Nabi saw. dan bertanya tentang rukun Islam yang paling penting.
Selanjutnya
berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh ini menegas- kan bahwa Islam
itu tidaklah lebih dari beberapa kata dan beberapa hukum yang sederhana yang
bisa dipahami oleh setiap muslim, arab ataupun non arab. Hal ini karena setelah
Nabi saw. menyebutkan tentang rukun Islam yang lima, lelaki yang bertanya
itupun langsung pergi dan tidak menoleh lagi. Ini membuktikan bahwa rukun-rukun
Islam itu adalah satu permasalahan yang mudah dan penjelasannya tidaklah perlu
sampai taqlid kepada seorang imam atau menetapi seorang mujtahid.
Madzhab-madzhab yang ada tidak- lah lebih dari sekedar pemahaman para ulama
terhadap beberapa masalah. Allah serta Rasul-Nya tidaklah pernah mewajibkan
seorangpun untuk meng- ikutinya.
Syeikh
Khajandi berkata; bahwa dasar berpegang teguh kepada Islam adalah berpegang
teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya inilah yang ma’shum (terjaga) dari
kesalahan. Adapun mengikuti imam-imam madzhab, maka samalah artinya dengan kita
telah merubah diri. Semula kita mengikuti yang ma’shum yakni Qur’an dan Sunnah
kemudian pindah mengikuti yang tidak ma’shum yakni imam-imam madzhab itu.
Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa kedatangan madzhab-madzhab yang empat itu
hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah saw.
B.
Gerakan
wajib bermazhab
Dalam
soal menjalankan ibadat, umat Islam telah sepakat bahwa al-Quran dan al-Hadits
adalah dua sumber utama yang wajib ditaati dan diamalkan. Kedua-duanya
merupakan pedoman dan rujukan paten bagi umat Islam di muka bumi ini.
Pada
hakikatnya kita diperintahkan untuk mengikuti orang yang mengetahui Al Qur’an
dan As Sunnah Firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Namun
kenyataannya sekarang adalah tidak semua orang Islam mampu melakukan istinbath
(mengeluarkan hukum) dari al-Quran dan al-Hadits seperti imam-imam madzhab.
Inilah sebabnya mengapa ada madzhab dan taqlid. Dan ternyata sejarah
membuktikan, bahwa taqlid tidaklah menyebabkan umat menjadi jumud atau beku.
Sebaliknya, seruan ijtihad dan bebas madzhab hanya menimbulkan perpecahan dan
kehinaan yang berkepanjangan bagi umat ini.
Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang
menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut:
1. Munculnya sikap taklid ta’assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di
kalangan pengikut mazhab. 2. Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada
suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum
fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode
ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak
terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan
3. Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal
ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri
mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut. Sekalipun ada mujtahid yang
melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang
dianutnya.[1]
Seruan
agar umat berijtihad tanpa melihat apakah umat memiliki kemampuan dan kelayakan
sebagai mujtahid atau tidak, adalah satu seruan yang berbahaya yang dapat
menimbulkan kekacauan dan perpecahan serta kerusakan di berbagai sektor
kehidupan. Asy-Syahid asy-Syeikh Dr. M. Said Ramadhan al-Buthiy dalam kitabnya
yang berjudul Alla Madzhabiyyah Akhtharu Bid`atin Tuhaddidu asy-Syarii`at
al-Islamiyyah” telah menjelaskan panjang lebar tentang bahaya bebas madzhab.
Madzhab
empat yang ada dan kita kenal selama ini adalah hasil ijtihad ulama-ulama yang
tidak diragukan lagi kemampuannya di bidang itu, yaitu, Imam Hanafi, Imam Maliki,
Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.
Ijtihad
sebagaimana yang telah ketahui, adalah menggali isi al-Quran dan al-Hadits
untuk dikaji, diteliti dan dianalisa sehingga membuahkan hukum-hukum Islam yang
konkrit dan positif. Buah atau hasil ijtihad itulah yang kemudian oleh orang
disebut “madzhab”.Jelasnya, orang yang bermadzhab sama artinya dengan orang
yang mengamalkan al-Quran dan al-Hadits, karena semua pendapat yang difatwakan
oleh imam-imam madzhab adalah hasil dari kajian mereka terhadap al-Quran dan al-Hadits.
Bahkan
untuk memudahkan orang-orang awam, mereka siang malam berusaha mengkaji dan
menggali hukum-hukum didalam al-Quran dan al-Hadits yang notabene ribuan dan
tidak berurutan, mereka atur sedemikian rupa, diurutkan dari bab ke bab.
Sehingga hukum-hukum islam lebih mudah dipelajari.
Kemudian
sebagai manusia biasa, mereka juga bisa salah, tentu kita maklumi itu. Dan ini
bukan berarti kita lalu menolak atau bahkan anti dengan mereka hanya gara-gara
ada satu atau dua kesalahan yang timbul dari mereka. Sebab kesalahan satu dua
dalam rangka menggarap persoalan yang ribuan banyaknya adalah sudah wajar dan
logis. Justru yang tidak wajar dan tidak logis adalah menolak seluruh
persoalan-persoalan tersebut hanya karena adanya satu atau dua kesalahan tadi.
Ironinya
ada sebagian orang yang mungkin karena dengki atau iri atau karena kepentingan
pribadi, bermaksud menghapus secara total madzhab-madzhab yang ada dengan cara
menolak dan mengibarkan bendera “anti madzhab”, serta mengharuskan setiap orang
Islam agar berijtihad atau menggali hukum secara langsung dari sumbernya, tanpa
melihat apakah mereka memiliki kemampuan dan kelayakan sebagai mujtahid atau
tidak.
C.
Pluralisme
Mazhab Menurut Ulama’ Ushul Fiqih.
Semua ahli ushul fiqh telah sepakat dalam pandangan bahwa
permasalahan-permasalahan logika murni dan ushuliyyah itu mengarah pada haq dan
benar, karena haq dan benar dalam masalah di atas hanya satu dan tidak
berbilang maka mujtahid yang benar pun hanya satu. Karena jika tidak maka akan
dua kebenaran yang bertentangan. Begitupun dengan masalah-masalah qoth’iyyah yang ‘maklumah minan din bi ddoruroh’ seperti
wajibnya salat, zakat, puasa haji larangan mabuk-mabukan zina dan lain-lain.[2]
Adapan dalam masalah-masalah fiqhiyyah yang zanniah, artinya selain
hukum yang di ambil dari dalil-dalil yang tidak qath’’i yang memamng merupakan
area ijtihad, maka jika salah tidak berdosa, hanya saja para ulama ushul fiqh
berbeda pendapat; apakah para mujtahid dalam wilayah zhanniyah ini semua benar
atau yang benar hanya satu dan yg lain salah namun tidak berdosa?
Berkaitan denagn hal tersebut ada dua pendapat. Pertama :
berpendapat bahwa semua mujtahid benar, karena tidak ada hukum Allah sebelum
adanya ijtihad dari seorang mujtahid, maka hukum itu tergantung kepada zhon
{praduga} mujtahidnya sendiri, artinya selama pendapat itu merupakan zhon atau
pilihannya mujtahid, maka di situ jugapendapat hukum Allah swt. Ini merupakan
pendapat yang di pilih oleh beberapa ulama seperti Al-Asya’ri, Al-Baqalani,
Al-Ghazali dan lain lain.[3]
Kedua: yang diklaim sebagai pendapat mayoritas ulama, yaitu
pendapat yang menyatakan bahwa Alloh swt telah menetapkansebuah hukum yang
bersifat zhonniyah jauh sebelum para mujtahid itu mencari ijtihadnya, maka
barang siapa yang hasil ijtihadnya sesuai dengan hukum Alloh swt yang telah
digariskan dalam ilmuNya sejak zaman azali itu, maka berarti ia telah sesuai
dan benar dalam ijtihadnya, adapun jika tidak sesuai, maka berarti ia salah,
hanya saja di ma;fu dan tidak berdosa.
Lebih lanjut ada beberapa istinbath hukum yang di ambil dari hadist
nabi seperti ‘innamal a’’malu binniyyah’ . Dalam beristinbath di hadist
ini imam As-syafi’i memahami bahwa
maksutnya ‘innama shihhatul a’mal binniyyat’{sesungguhnya sah nya amal dengan
niat} , menghasilkan produk hukum yang primer dan esensial berbeda dengan imam
Hanafi “innama kamalul a’mal binniyyat” {sesungguhnya sempurnanya amal itu
tergantung dengan niatnya} yang dapat di simpulkan bahwa niat hanyalah
kebutuhan pelengkap tetapi tidak mempengaruhi sah tidaknya dalam beribadah.
Dalam contoh lain pemahaman ulama dalam ayat ‘lamastum mun nnisa’’ yang secara
tekstual bermakna bersentuhan kulit, ini di fahami imam Syafi’i apa adannya
sehingga dalam madzhab syafi’i ; bersentuhan kulit antara laki-laki dan
perempuan yang bukan mahrom membatalkan wudhu. Berbeda dengan madzhab maliki
yang memahami kata ‘lamasa’ secara majaz atau kiasan yang berarti
bersetubuh maka persentuhan kulit
langsung tidak membatalkan wudhu. Dan dalam misal lain penetapan satu syawal
dan lain lain.
Disini dapat sama-sama difahami bahwa dalil-dalil yang digunakan para
mujtahid pada hakikatnya sama, hanya saja interpretasi atau pemahamannya yang
berbeda. Jadi dengan inilah pluralisme madzhab harus digalakkan. Semua orang
tidak perlu meributkan kefanatikan suatu madzhab, karena semua imam menggunakan
dalil yang sama.
D.
Kesimpulan.
Terhadap
perbedaan madzhab, ada beberapa respon dari umat:
a.
Respon kewajiban
bermadzhab, yang secara umum mempunyai alasan madzhab harus diikuti karena
pintu ijtihad telah ditutup : lewat taqlid atau ittiba’.
b.
Respon anti
madzhab, yang secara umum
c.
Respon berupa
perlunya pluralisme madzhab, ini berarti semua madzhab tidak perlu
diperselisihkan dan bebas dijalankan, karena imam madzhab seluruhnya menggali
hukum dengan sebenar-benarnya.
Daftar Pustaka.
Arfan,
Abbas. 2008. Geneologi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam. Malang : UIN
Malang Press.
edukasi.kompasiana.com/2012/12/08/tumbuhnya-jiwa-taqlid-timbulnya-mazhab-dan-kegiatan-fuqaha-dalam-periode-taqlid--515092.html
diakses 27 mei 2013.
[1] edukasi.kompasiana.com/2012/12/08/tumbuhnya-jiwa-taqlid-timbulnya-mazhab-dan-kegiatan-fuqaha-dalam-periode-taqlid--515092.html
diakses 27 mei 2013.
[2] Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam,
(Malang, UIN Malang Press : 2008) halaman 192.
[3] Abbas Arfan, ibid halaman 194.
0 komentar:
Posting Komentar