Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Sabtu, 19 April 2014

Landasan Normatife HAM dalam Islam


Landasan Normatif HAM dalam Islam
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam dan HAM
Yang diampu oleh:



Disusun Oleh:
Rosiyass Tam             13360088
Mudmainnah                         13360086
A Makrus                               13360075
Said Jakfat                             11260024
Rosikhotin Qoyyimah           11360007
Eko Yunianto                                    11360041
Muhammad Abdul Wahab    11360050

Perbandingan Mazhab dan Hukum
Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
2014

Bab I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang.
Pembicaraan mengenai HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan hal baru. Hal itu dibuktikan dengan munculnya istilah Human Rights dalam Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948, yang berlanjut pada International Covenant on Economic, social, and Cultural Rights pada 1966, dan International Covenant on Civil and Political Rights pada tahun yang sama.
Sementara itu, agama Islam memberikan tanggapan atas munculnya istilah Hak Asasi Manusia belakangan setelah beberapa deklarasi di atas berkibar. Sebagian umatnya meyakini bahwa isi dari deklarasi dan kovenan di atas adalah muatan yang sama dengan kandungan yang pernah dilakukan oleh Umat Islam zaman dahulu, dengan sayangnya tidak ada teks, namun tercermin dalam Piagam Madinah.
Di kemudian hari, Islam kembali memunculkan beberapa pemikiran tentang pentingnya pemeliharaan atas diri sendiri, orang lain dan sebagainya yang tergabung dalam konsep maqashid syariah. Konsep ini kemudian bisa ditafsiri sebagai tujuan utama pelaksanaan syariah yang menjamin keberadaan manusia satu dengan manusia yang lain, serta kehidupan mereka di kemudian hari. Konsep ini, seiring dengan munculnya HAM, lalu ditafsirkan sebagai pelaksanaan hak asasi manusia pada umumnya.
Dari penjelasan di atas, penulis akan mencari beberapa hal yang berkaitan dengan HAM dalam Islam. Tujuan utama penulis adalah mengetahui HAM dan menegaskannya apakah HAM itu berhubungan dengan Islam ataukah tidak.
B.     Rumusan Masalah.
Berikut adalah beberapa permasalahan yang akan dikaji oleh penulis:
1.      Bagaimanakah HAM menurut sumber hukum Islam?
2.      Bagaimanakah isu-isu seputar HAM di dalam Islam?
3.      Bagaimanakah landasan modern HAM dalam Islam?




Bab II
Landasan Normatif Hak Asasi Manusia dalam Islam
A.                HAM menurut Sumber Hukum Islam.
Hak asasi manusia pada awalnya merupakan terjemahan dari kata droits de I’homme (Prancis), yang terjemahan harfiahnya ialah hak-hak manusia. Lebih jelas itu berarti suatu hak-hak manusia yang dikeluarkan di prancis dalam tahun 1789 sewaktu berlangsung revolusi negeri itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Hak asasi diartikan sebagai hak dasar atau hak pokok seperti hak hidup dan hak mendapatkan perlindungan” (KBBI, 1988:292).[1] Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu konsep etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesama manusia. Tuntutan moral tersebut, sejatinya, merupakan ajaran inti dari semua agama. Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan  (Human centred development ).[2]
Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek, dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, suku bangsa, bahasa maupun agamanya. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apapun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apapun terhadap kebebasan dasar manusia.
Dari sinilah lalu diyakini bahwa konsep HAM sejalan dengan ajaran Islam, khususnya prinsip tauhid yang merupakan ajaran paling mendasar dalam Islam.[3] Pengertian Hak Asasi Manusia di dalam Sumber hukum Islam :
1.                  Hak Asasi Manusia Dalam Al-Qur’an
Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an berisi petunjuk bagi manusia, memberikan penjelasan-penjelasan tentang petunjuk dan pembeda antara yang hak dan yang bathil, (Furqan)”[4]. Di antara petunjuk yang diberikan Al-Qur’an itu adalah mengenai eksistensi manusia itu sendiri dan bagaimana ia berperan di tengah jagad raya ini. Manusia juga diberi hak-hak yang bersifat sangat mendasar (asasi), dan diberikan langsung oleh Allah sejak kehadirannya di muka bumi ini. Karena itu, tak seorangpun dapat mengingkarinya dan mencabut dari dirinya. Hak-hak itu antara lain akan diuraikan dalam pembahasan berikut:
·         Hak Persamaan dan Kebebasan.
Di dalam Universal Deklaration of Human Rights (UDHR) pasal 7, dinyatakan:
“Semua orang adalah sama di depan hukum dan berhak memperoleh perlindungan yang sama dari hukum tanpa dibedakan. Semua orang berhak memperoleh perlindungan yang sama terhadap diskriminasi yang melanggar deklarasi ini dan terhadap hasutan apapun semacam itu”.
Di dalam Al-Qur’an Allah menegaskan dalam QS. An-Nisa’:58
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”(QS. An-Nisa’/4:58).
Kedua pernyataan diatas menegaskan tidak bolehnya berlaku diskriminatif dalam bidang hukum. Setiap orang adalah sama di depan hukum (equality before the law), tanpa dibedakan dari segi status maupun kedudukannya. Demikian pula seseorang tidak dinyatakan bersalah sebelum ada vonis yang menyatakan bahwa ia bersalah oleh hakim (qadhi) berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan terpercaya. Bila dibandingkan antara pasal 7 UDHR dan pasal 19 Cairo Declaration (CD)[5] pada umumnya terdapat persamaan. Hanya saja yang membedakannya ialah dasar hukum yang dipakai. Di dalam UDHR dasarnya adalah hukum nasional atau internasional yang berlaku, sedangkan di dalam CD ditegaskan, ”tidak boleh ada kejahatan atau penghukuman kecuali ditetapkan syari’at. Jadi ukuran sesuatu itu termasuk kejahatan atau tidak adalah hukum syari’at bukan hukum yang dibuat oleh manusia semata.[6] Maka dari itu hak persamaan dan kebebasan dapat di kelompokkan menjadi 7[7], yaitu :
a)                  Persamaan di dalam politik dan hukum
b)                  Hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat
c)                  Hak berpartisispasi dalam politik dan pemerintahan
d)                 Hak wanita sederajat dengan pria (persamaan)
e)                  Hak kebebasan memilih Agama
f)                   Hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial
g)                  Hak kebebasan bertempat tinggal dan mencari serta memberi suaka.
·         Hak Hidup, Perlindungan dan Kehormatan
Di dalam UDHR disebutkan :
“Setiap orang mempunyai hak hidup, bebas merdeka dan keamanan pribadi” (pasal 3)
“Tiada seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba; perbudakan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun harus dilarang” (pasal 4)
“Tiada seorangpun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam, atau hina atau dihukum dengan tidak berperikemanusiaan” (pasal 5)
Pasal-pasal di atas pada dasarnya menegaskan adanya hak hidup dan mendapatkan perlindungan pada diri setiap orang, tanpa membedakan suku, bangsa, ras, warna kulit dan agama yang dianutnya. Dalam Al-Qur’an juga menegaskan dalam QS. Al-Israa’/17:33
Ÿwur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3 `tBur Ÿ@ÏFè% $YBqè=ôàtB ôs)sù $uZù=yèy_ ¾ÏmÍhÏ9uqÏ9 $YZ»sÜù=ß Ÿxsù ̍ó¡ç Îpû È@÷Fs)ø9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. #YqÝÁZtB ÇÌÌÈ
 Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuh) nya, melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”(QS. Al-Israa’/17:33).
Jadi perlindungan tidak hanya diberikan kepada orang yang sedang teraniaya, tapi juga kepada orang yang menganiaya itu sendiri yaitu dengan jalan melepaskan tangannya dari perbuatan aniaya (zhalim) tersebut.
Dari konsep itu maka hak hidup, perlindungan dan kehormatan dapat dibagi menjadi 6 kelompok :[8]
a)                  Hak hidup dan memperoleh perlindungan
b)                  Hak atas kehormatan pribadi
c)                  Hak anak dari orangtua
d)                 Hak memperoleh pendidikan dan berperanserta dalam perkembangan iptek.
e)                  Hak untuk bekerja dan memperoleh imbalan
f)                   Hak tahanan dan narapidana
a.                   Hak Kepemilikan
Di dalam UDHR pasal 17 dinyatakan :
1)                  Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
2)                  Tidak boleh seseorangpun boleh dicabut hak miliknya secara sewenang-wenang.
Berkaitan dengan kepemilikan pribadi ini Islam sangat menghargai hak-hak kepemilikan pribadi seseorang. Hal ini tercermin dari adanya persyaratan hak milik untuk kewajiban zakat dan pewarisan. Seseorang juga diberi hak untuk mempertahankan hak miliknya dari gangguan orang lain. Bahkan jika ia mati di dalam membela dan mempertahankan hak miliknya itu dipandang sebagai syahid, suatu penghargaan dari Allah Swt. sehubungan dengan hak kepemilikan pribadi ini, Cairo declaration pasal 15 menegaskan[9] :
a)                  Setiap orang berhak untuk memiliki kekayaan dengan jalan yang sah, dan harus diberi hak untuk memiliki kekayaan tanpa prasangka bagi diri sendiri, orang lain atau masyarakat pada umumnya. Pengambil-alihan tidak diizinkan kecuali untuk kepentingan umum dengan pembayaran segera dan ganti rugi yang wajar.
b)                  Penyitaan dan perampasan harta kekayaan adalah dilarang kecuali untuk suatu kepentingan berdasarkan hukum.
Maka dari itu hukum senantiasa sesuai dengan kepentingan negara, maka tentu saja hukum itu tidak lahir spontan, melainkan dikembangkan secara sistematis dan rasional, sesuai dengan perkembangan kebutuhan negara.[10]
Prinsip-prinsip penghormatan terhadap HAM, seperti yang menyangkut keadilan, persamaan derajat, kebebasan beragama dan lainnya  tanpa diskriminasi atas dasar ras, warna kulit,  jenis kelamin dan agama dapat dijumpai terutama pada ayat-ayat  Makiyah (yang turun selama periode Mekah). Kemudian dalam perjalanan peradaban Islam, para ulama dan sarjana muslim mengembangkan konsep-konsep rasional baik dalam masalah hukum, (yang lazim disebut fiqih) atau teologia (yang sering disebut ilmu kalam), dan disitu mulai terlihat adanya banyak perbedaan persepsi dalam menyikapi  HAM di kalangan ulama dan sarjana Islam dan hal ini berlangsung sampai sekarang, ditambah lagi dengan gencarnya revivalisme Islam dalam dekade terakhir ini. Semangat  revivalisme Islam juga menyentuh tentang HAM. Konsep HAM yang universal ditolak karena dianggap mengandung Bias kepentingan Barat, sebaliknya kemudian diajukan prinsip HAM dalam prinsip Islam dan Formulasi paling modern dari HAM versi Islam ini adalah “Al-Bayan al-alami’an huquq al insan fil islam” (deklarasi Internasional tentang Hak-hak asasi manusia dalam Islam), yang disampaikan di Paris pada tahun 1981.[11]
B.                 Isu-isu HAM dalam Islam.
Diskursus tentang HAM terus berlanjut seiring dengan perkembangannya, tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu instrumen hukum HAM di Indonesia adalah lahirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Maka dengan lahirnya undang-undang tersebut, HAM adalah hak-hak yang diakui secara konstitusional sehingga pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran atas konstitusi.[12] Untuk mendukung terwujudnya kesadaran kolektif atas eksistensi HAM maka pemerintah menyadari bahwa kebijakannya harus mengedepankan isu-isu HAM. Meskipun pada dasarnya HAM bukanlah berada pada wilayah politik, namun dalam praktek bernegara, terlaksananya HAM secara baik dan bertanggung jawab sangat tergantung kepada political will dan political action dari penyelenggara negara.
Di antara kebijakan negara Indonesia dalam persoalan klasik yang tetap menjadi isu aktual dalam wacana hukum Islam (khususnya di Indonesia) adalah wacana perkawinan beda agama dan penanganan kasus terorisme serta kekerasaan keagamaan di indonesia.
Lebih jauh lagi, dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Untuk memenuhi tuntutan bunyi pasal tersebut, maka bagi umat Islam di Indonesia melahirkan Kompilasi Hukum Islam yang diantara materi-materinya adalah masalah kawin beda agama yaitu pasal 40 huruf (c) dan pasal 44. Hanya saja materi yang termuat dalam pasal tersebut adalah berupa pelarangan tegas terhadap persoalan kawin beda agama.
Larangan tersebut tentu saja perlu dikritisi lebih lanjut karena beberapa hal yaitu, pertama, idealnya negara menjamin kebebasan warganya untuk memilih pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga. Hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh negara. Berdasarkan pasal 10 ayat (1) dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas. Kenyataannya, negara justru membatasi perkawinan tersebut. Kedua, Indonesia bukan negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler sehingga di dalam pembentukan hukum nasional, pemerintah harus bisa menjamin kepastian hukum kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut, termasuk dalam persoalan perkawinan beda agama. Ketiga, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya membentuk sebuah keluarga. Keempat, akibat tidak diaturnya ketentuan mengenai perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974, maka hal tersebut membuka ruang terjadinya penyelundupan hukum. Untuk memenuhi persyaratan formal secara perdata, suami-istri berbeda agama rela melangsungkan pernikahan di luar negeri tanpa memperhatikan hukum agama, atau salah satu pihak pura-pura pindah agama.[13]
Istilah terorisme menjadi aktual semenjak peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York USA pada 11 September 2011. Kemudian berlanjut khusus di Indonesia tragedi bom Bali yang terjadi 12 Oktober 2002 menewaskan 184 orang dan melukai 300 orang menjadi awal kerjasama kepolisian RI dengan negara lain dalam memberantas teroris.
Dalam praktiknya, Direktur Jamaah Anshorut Tauhid Media Center Son Hadi melihat penanganan Abu Bakar Ba`asyir penuh rekayasa dan ditunggangi pihak asing. Empat kali dijerat teroris tidak pernah terbukti lalu didakwa dengan hukuman mati. Gayus seorang koruptor kelas kakap dijatuhi hukuman 7 tahun sementara Sofyan Tsauri terdakwa teroris dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Isu terorisme perlu kajian yang mendalam tentang siapa, apa, bagaimana, bila, mengapa dan dimananya dengan bebas dan mendalam yang melibatkan semua pihak yang berkelayakan. Ini agar supaya tidak menjadi monopoli polisi -yang rata-rata tamat sekolah menengah- menjadi sumber berita dalam isu terorisme. Ketulusan dan profesionalisme polisi dalam hal ini Densus 88 perlu dipertingkatkan mengingat berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia dan kezaliman yang berlaku.
Rentang waktu tujuh tahun era reformasi (1998-2008) secara umum lahir kebijakan mendasar bagi pembangunan dan jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Tidak lama setelah itu, politik hukum keagamaan di negeri ini mulai bergeser dengan apa yang dikenal dengan pembatasan kebebasan beragama yang lambat laun semakin mengkhawatirkan. Indikasi yang paling terasa dalam politik kebijakan keagamaan pada era reformasi adalah tidak adanya perspektif harmonisasi hukum untuk melakukan evaluasi kritis terhadap produk hukum kebijakan yang dihasilkan pemerintah sebelumnya, terutama orde baru dengan perspektif amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mengedepankan semangat dan nilai hak asasi manusia.
Relasi keagamaan pada tahun 2008 masih didominasi kekerasan (fisik), dan kelompok Ahmadiyah adalah salah satu korban kekerasan keagamaan yang paling mencolok di negeri ini. Konflik kekerasan yang berbasis paham keagamaan di masyarakat tidak kunjung selesai dan tidak dapat diatasi dengan baik. Persoalannya, disamping karena terkait ekonomi dan politik, yang terpenting adalah pemahaman agama bagi para pemeluknya yang cenderung anti pluralitas. Indonesia dikenal sebagai negara yang masyarakatnya multi agama. Dalam statistik nasional menunjukkan afiliasi keberagamaan masyarakat terbagi ke dalam enam agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu. Merujuk pada periode sensus sebelumnya pernah dikenal juga dengan lima agama, karena belum dimasukkannya Konghucu sebagai salah satu agama. Baru tahun 2000, agama Konghucu diakui atau dimasukkan lagi sebagai agama dalam perundang-undangan di Indonesia. Pada tahun 2005 mulai dicatat dalam survei penduduk nasional. Adapun komposisi penyebaran penduduk beragama, Islam merupakan mayoritas secara nasional. Sedangkan agama-agama tertentu lainnya menunjukkan mayoritas penduduk di propinsi tertentu, seperti Hindu di Bali, Kristen di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Komposisi jumlah penduduk Islam dan Kristen berimbang di Maluku. Sedangkan di Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Maluku Utara jumlah penduduk beragama Kristen menunjukkan jumlah minoritas yang signifikan.
Di dalam rentang tujuh tahun pertama era reformasi (1998-2006), umumnya lahir kebijakan nasional yang mendasar bagi pembangunan dan sekaligus jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Walaupun tidak lama setelah itu politik hukum kebijakan keagamaan di Indonesia mulai bergeser pada apa yang disebut sebagai pembatasan kebebasan beragama, yang dari waktu ke waktu menunjukkan semakin mencolok. Titik lemah yang paling dianggap mencolok adalah tidak adanya perspektif harmonisasi hukum untuk melakukan muhasabah kebijakan kebijakan oleh pemerintah sebelumnya dengan perspektif amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mengedepankan semangat dan nilai hak asasi manusia. Di era reformasi, reformasi hukum belum banyak, bahkan boleh dibilang belum sama sekali menyentuh aturan operasional kebijakan keagamaan atau turunannya secara serius. Sehingga, kondisi ini memperparah jalan pada penguatan kembali pemanfaatan kebijakan kebijakankeagamaan yang menostalgiakan keberadaan masa lalu, yang secara substansial masih bertentangan dengan pasal hak asasi manusia dalam konstitusi RI.[14]
C.     Landasan Nomatif Islam tentang Hak Asasi Manusia
Pemikiran tentang HAM muncul mulai abad 19 M, dengan adanya beberapa revolusi yang menghantarkan kemanusiaan pada harkatnya sendiri. PBB telah mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights pada 1948, International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights pada 1966, dan diikuti oleh International Covenant on Civil and Political Rights pada tahun yang sama.[15] Sementara itu, dunia Islam belum mengenal hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Hanya saja, bibit-bibit pemikiran dan bukti nyata penegakan HAM yang saat itu istilah yang demikian belum muncul, sudah direalisasikan.
Beberapa negara Islam menolak untuk meratifikasi beberapa deklarasi dan kovenan itu seperti halnya Pakistan, Saudi Arabia,Turki, United Arab Emirates. Sementara yang lain seperti Afghanistan, Algeria, Mesir, dan lain-lain menyetujui hasil perundingan perjanjian Internasional di atas. Kedua pihak tersebut saling berkukuh sehinnga mereka memunculkan solusi islami.
Secara internasional umat Islam yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang juga dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuan tentang HAM berdasarkan syari’ah.
Sebenarnya HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu. Ini dibuktikan oleh adanya Piagam Madinah (mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa.[16] Dari pengakuan terhadap semua pihak untuk bekerja sama sebagai satu bangsa, di dalam piagam itu terdapat pengakuan mengenai HAM bagi masing-masing pihak yang bersepakat dalam piagam itu. Secara langsung dapat dilihat bahwa dalam piagam madinah itu HAM sudah mendapatkan pengakuan oleh Islam. Hal ini memberi kepastian bahwa pandangan Islam yang khas tentang HAM sebenarnya telah hadir sebelum deklarasi universal HAM PBB pada 10 Desember 1948 Masehi.  [17]
Terdapat beberapa prinsip HAM yang universal; sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (huqul al-insan), yang dalam banyak hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga harus diakui, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana Muslim dan negara Islam di Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan DUHAM dengan interpretasi tertentu dalam Islam dan bahkan dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Muslim tertentu pula.
Pertama, islam menegakkan persamaan di bidang hukum dan dasar-dasar terapannya, baik bagi kaum muslimin atau non-muslimin. Mereka yang berada di negara islam atau yang tunduk terhadap islam mendapatkan hak yang sama seperti hak kaum muslimin dengan kewajiban-kewajibannya. Bahkan tanpa harus mendiskriminasikan antara muslim dan non-muslim dalam pendidikan dan pengajaran.[18]
Kedua, islam memberi persamaan hak belajar kepada laki-laki dan wanita, dengan memperkenalkan wanita dengan menimba ilmu pengetahuan dan kebudayaan sampai sempurna. Bahkan islam mewajibkan wanita memperdalam ilmu pengetahuan dalam masalah-masalah keagamaan, kemasyarakatan, problema-problemanya, serta metode pendidikan bagi anak-anaknya kelak.[19]
Ketiga, islam selalu mewajibkan menuntut ilmu pengetahuan bagi mereka yang belum belajar, bagi yang berilmu pun harus mengamalkan ilmunya; jika tidak demikian pasti akan diancam dengan siksa di dunia, apalagi dengan melacurkan kebenaran dan meninggalkan kewajiban.
Keempat, segala hal yang ada, dalam konotasi islam iselalu mengacu pada aturan-aturan ilmiah (saintifik) dan hikmah (sapentifik) sebagaimana Allah berirman, “sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.” (Q.s. Al-Qomar:49)
Kelima, islam yang menjunjung harkat manusia, dalam Al-Qur’an dijelaskan, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka.” (Q.S. Al-Baqarah:34).[20]
Keenam,  manusia diajibkan islam belajar sampai tunyas. Karenanya jelas dan nyata itu merupakan makna dari pada akal dan pemikiran.
Ketujuh, metode spesifik islam yang sempurna mampu menuangkan sistem pendidikan islam, jauh dari diskriminasi dan fanatisme kebangsaan, bahkan tidak mengasingkan mereka, yang menjadi bagian dari sikap positif terhadap dunia secara menyeluruh, ketika hubungan horisontal manusiawi, sedangkan artian individual sebenarnya cenderung antara manusia dengan Tuhannya, melakukan kewajiban-kewajibannya. Semua itu merupakan manifestasi dari proses pembentukan kearah manusia paripurna[21].
Lembaga Organisasi Kemasyaratakatn NU memberikan dukungan terseniri terhadap HAM. Salah satu buktinya adalah sesuai dengan Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama pada 1997 di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dengan merekomendasikan agar lima prinsip dasar kemanusiaan menjadi konsep yang utuh untuk memperjuangkannya terwujudnya al-huquqal-insaniyyah (HAM) secara aktif dan sungguh-sungguh di bumi Indonesia.[22]
Pertama, hifzh al-din, memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk memelihara agama dan keyakinannya (al-din). Kedua, hifzh al nafs wa al-’irdh, memberikan jaminan hak atas setiap jiwa (nyawa) manusia, untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menutut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar (hak atas penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan, dan keselamatan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan. Ketiga, hifzh al-’aql, adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan opini, melakukan penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah. Keempat, hifzh al-nasl, merupakan jaminan atas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas profesi (pekerjaan), jaminan masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Kelima, hifzh al-maal, dimaksudkan sebagai jaminan atas pemilikan harta benda, properti dan lain-lain.
Lima prinsip dasar kemanusiaan (al huquq al insaniyyah) di atas relevan dan seiring dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia (HAM). Di samping itu, Islam sebagai agama tauhid, suatu keyakinan (akidah) yang secara transendental, dengan menisbikan tuntutan ketaatan kepada segenap kekuasaan duniawi serta segala perbudakan manusia dengan berbagai macam jenis kelamin, status sosial, warna kulit dan lain sebagainya. Keyakinan semacam ini jelas memberikan kesuburan bagi tumbuhnya penegakan HAM melalui suatu kekuasaan yang demokratis. 
Sementara Ormas Muhammadiyah menegaskan bahwa HAM dalam Islam didasarkan pada "persamaan", sehingga berwujud pada persamaan secara menyeluruh, apakah yang menyangkut hak-hak sipil tertentu atau hak-hak umum. Di antaranya hak asasi di bidang pendidikan. Mengenai HAM dalam pendidikan dan pengajaran, Islamlah yang pertama memberikan pedoman dan prinsipnya di antaranya: pertama, Islam menegakkan persamaan di bidang hukum dan dasar-dasar terapannya, baik bagi kaum Muslimin maupun non muslim. Kedua, Islam memberikan hak belajar kepada -laki-laki dan wanita, dengan memperkenankan wanita untuk menimba ilmu pengetahuan dan kebudayaan sampai sempurna dalam masalah-masalah keagamaan, sosial kemasyarakatan, problema-problemanya serta memberikan metode pendidikan kepada anak-anaknya. Ketiga, Islam selalu mewajibkan menuntut ilmu pengetahuan bagi mereka yang belum belajar. Bagi yang berilmupun harus mengamalkan illmunya walaupun hanya satu ayat saja. Keempat, Islam menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Dari penjelasan tersebut, disimpulkan bahwa organisasi Muhammadiyah menjunjung tinggi nilai HAM.[23]


Bab III
Penutup
A.   Kesimpulan.
1.      Al Qur’an memiliki beberapa ayat yang menyinggung tentang perlunya memperlakukan manusia secara setara.
2.      Bahwa isu-isu hak asasi manusia di dalam agama Islam memiliki contoh berupa pernikahan beda agama, terorisme dan kekerasan dalam beragama.
3.      Terdapat Cairo Declaration, huquq islamiyyah, dan beerapa landasan normatif lain yang mendukung adanya HAM di dalam Islam.





Daftar Pustaka
Al-muhtaj, Mahda. 2005. HAM Dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta: Kencana
Kosasih, Ahmad. 2003.  HAM dalam Perspektif Islam. Jakarta: Salemba Diniyah
Luqman Hakiem, Mohammad. 2003.  Deklarasi Islam Tentang HAM, surabaya : Risalah Gusti.
Mayer, Ann Elizabeth. 1999. Islam and Human Rights Tradition and Politics. Colorado: Westview Press.
Musdah Mulia, Siti. 2005. Muslimah Re-Formis: Perempuan Pembaru Keagamaan.Bandung: Mizan
Musdah Mulia, Siti. 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Naufan Pustaka
Prasetyo, Teguh, Abdul Halim Barkatullah. 2011. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suma, Amin. 1996. Perkawinan Beda Agama Antara Teori Dan Praktek. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Syafii, M, Nova Umiyati.2012. To Fulfill To Protect. Yogyakarta: Fusham Uii Yogyakarta
Thaha, Idris. 2004. Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais. Jakarta: Penerbit Teraju
Urbaningrum, Anas. 2004.  Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta:Republika.



[1] Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hlm. xvii
[2] Siti Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), hlm.1-2
[3] Siti Musdah Mulia, Muslimah Re-Formis: Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: Mizan,2005), hlm. 3-35
[4] Q.S. Al-Baqarah : 185
[5] ARTICLE 19:(a) All individuals are equal before the law, without distinction between the ruler and
the ruled.
[6] Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam, ibid hlm. 47-49
[7] Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam, ibid hlm. 46-65
[8] Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam, Ibid hlm. 68-80
[9] Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam, Ibid hlm. 81-89
[10] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011), hlm.102
[11] M. Luqman Hakim,  Deklarasi Islam tentang HAM, (Risalah Gusti: Surabaya,  1993), hal. 12.
[12] Mahda al-muhtaj, HAM dalam konstitusi indonesia (jakarta:kencana,2005) hlm 12.
[13] Amin Suma, Perkawinan Beda Agama Antara Teori Dan Praktek (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1996) hlm 35-26.
[14] M. Syafii, Nova Umiyati. To Fulfill To Protect (Yogyakarta: Fusham Uii Yogyakarta,2012) hlm 35-38
[15] Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, (Colorado: Westview Press, 1999) halaman 18.
[16] Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta: Penerbit Teraju, 2004
[17] Anas Urbaningrum. Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta:Republika, 2004) , halaman 91.
[18] ARTICLE 19:(a) All individuals are equal before the law,without distinction between the ruler and the ruled.
[19] ARTICLE 6: (a) Woman is equal to man in human dignity, and has her own rights to enjoy as well as duties to perform, and has her own civil entity and financial independence, and the right to retain her name and lineage.
[20] ARTICLE 2: (a) Life is a God-given gift and the right to life is guaranteed to every human being. It is the duty of individuals,  ocieties and states to safeguard this right against any violation, and it is prohibited to take away life except for a shari’ah prescribed reason
[21] Luqman hakiem,mohammad, Deklarasi Islam tentang HAM,hlm. 13-139.
[22] http://www.rmi-nu.or.id/search/label/Artikel/HakAsasiManusiaPerspektifNU
[23] http://muhammadiyahmalang.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar