Jual Beli Uang Dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Islam
Disusun oleh:
Mu’tashim billah 11360071
Septi
ermawati 11360059
M. Aprizal 11370032
Dosen pengampu:
Bapak Fathurrahman
Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta
2013
I.
Pendahuluan
Ketika menjelang perayaan idul fitri, sementara orang akan
mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapinya. Baik berupa makanan, minuman,
hingga pecahan uang kecil untuk
diberikan kepada anak anak dari kerabat dan para tetangga. Pemberian uang kecil
kepada anak anak biasa disebut angpao lebaran. Biasanya untuk mendapatkan uang
kecil tersebut masyarakt menukarkannya di bank bank terdekat dengan nominal
yang sama, bisa juga melalui orang orang yang menjual uang kecil di pinggir
jalan. Membeli uang di pinggir jalan biasanya akan membayar uang lebih dari
nominal yang ditukarkan, semisal ketika membutuhkan pecahan lima ribuan dengan
jumlah seratus ribu, maka kita akan membutuhkan seratus sepuluh ribu.
Menukarkan uang
dipinggir jalan merupakan sebuah alternatif bagi orang yang malas mengantri di
bank. Dan penukaran seperti itu secara kasat mata dapat dikatakan sebagai riba,
karena penukaran seperti itu menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang
lain. Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa menjual barang yang sejenis harus
dengan nilai yang sama dan harus secara tunai, terjemah hadits itu berbunyi:
“juallah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam (dengan syarat harus)sama
dan sejenis secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu
jika dilakukan secara tunai.”
Melihat teks
matan hadits diatas, maka sangat jelas bahwa penukaran benda yang sejenis harus
dilakukan dengan nilai yang sama dan dilakukan dengan uang tunai. Bila
dilakukan dengan nilai yang lebih, maka itu meupakan riba fadhl yaitu riba yang
dilakukan ketika ada pertukaran benda sejenis dan terdapat kelebihan nilai dari
salah satu pihak yang menukarkannya. Larangan melakukan riba juga terdapat
dalam beberapa ayt al-qur’an, diantaranya surat al-baqarah ayat 275 yang artinya
kuran lebih sebagai berikut: “... dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba...”.
Pengharaman
riba tentu saja mempunyai tujuan dan maksud tersendiri oleh Allah bagi
kemaslahatan manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya. Bila ditinjau
dari segi kemaslahatan yang terkandung dalam ayat dan hadits pelarangan
melakukan riba, maka akan diketahui apa maksud dari pembuat syariat dalam
pelarangan riba tersebut. Untuk menjaga harta benda umat islam pada khususnya
diberlakukanlah pelarangan riba yang akan merugikan salah satu pihak saat
transaksi. Namun sebagai pembuat syariat, Allah tidak hanya melarang transaksi
riba, melainkan menghalalkan jual beli secara normal sebagai alternatifnya.
Pengharaman riba dikarenakan pada saat transaksi ada pihak yang dirugikan dan
ada pihak yang diuntungkan, dan tidak sesuai dengan maslahat bagi salah satu
pihak.
Jual beli uang
menjelang lebaran pada umumnya dilakukan oleh orang yang mempunyai taraf
ekonomi dibawah rata rata, atau bisa dikatakan menengah kebawah. Penjualan uang
merupakan peluang menambah penghasilan untuk menambah keperluan disaat lebaran
tiba, sehingga sebagian orang yang merasa belum mempunyai biaya cukup saat
lebaran akan menjadikan momen ini sebagai media penghasil uang. Penjual uang
biasanya berdiri ditepian jalan, lampu merah, dibawah terik matahari dan di
beberapa tempat strategis sebagai tempat lalu lalangnya kendaraan mobil. Mereka
akan menawarkan pecahan mata uang yang akan ditukarkan dengan mata uang besar
sebagai gantinya dan tentu saja akan ada tambahan biaya bagi orang yang hendak
menukarkan uang kepada para penjual.
Sebagaimana
ayat dan hadits diatas, transaksi model ini secara eksplisit diharamkan oleh
kedua dalil tersebut, karena didalamnya terdapat unsur biaya tambahan atas
barang sejenis yang ditukarkan. Namun bila kita melihat aspek sosial masyarakat
indonesia, maka tidak boleh kita mengatakan segala sesuatu haram tanpa meneliti
terlebih dahulu apa yang sebenarnya. Disaat ayat dan hadits mengatakan sesuatu
hal yang berlebih itu haram, maka ada baiknya kita melihat kondisi sosial yang
ada pada konteks indonesia saat ini. Bila yang ditukarkan atau lebih yang
diterima itu bukanlah biaya penukaran, akan tetapi yang dibayarkan lebih adalah
jasa dari penjual tersebut, maka konteks penukaran uang disini bukanlah riba
fadhl, melainkan pembaaran jasa atas penjual yang berdiri panas panasan dibawah
terik matahari menunggu orang yang hendak membeli atau menukarkan uangnya.
Jadi yang
dibayarkan lebih disini bukanlah materi uang pecahan kecil atas pecahan besar,
melainkan jasa dari penjual, yang mungkin sebelum memiliki uang kecil tersebut
mereka antri di bank berjam jam, kemudian mencari untung atas jasa yang telah
dilakukan. Namun bila dilihat dari realitas yang ada secara lebih teliti, dapat
kita jumpai beberapa oknum orang kaya yang memanfaatkan situasi tersebut untuk
mengeruk keuntungan lebih, ambil contoh ada seorang kaya yang menukarkan
uangnya secara gratis ke bank, yang ditukarkan ke bank adalah dengan nominal
yang sangat besar hingga berjuta juta. Kemudian uang itu akan dijual dengan
keuntunga misalnya 5000 rupiah setiap penukaran kepada orang yang akan
menjualnya di jalan jalan. Dari ilustrasi diatas, jelas terdapat dalang yang
kemudian menyebabkan maraknya jual beli uang dijalanan. Dalang disini seakan
menjadi bandar yang membawahi ratusan penjual uang yang beredar di pinggir
jalanan.
Pada saat
pengantrian di bank juga bandar ini tidak melakukannya sendiri, melainkan
mereka sudah mempunyai beberapa orang yang akan mengangkut berkarung karung
uang pecahan kecil kedalam mobil dan kemudian dibagikan kepada para penjual
uang di jalanan. Apa yang ditawarkan oleh bendar tersebut? Jasakah, atau apa.
Hal ini menurut hemat penulis bahwa bandar tersebut benar benar telah melakukan
riba, karena dia tidak mengeluarkan jasa sedikitpun atas uang yang dijualnya.
Berbeda dengan penjual yang telah bertahan dibawah terik matahari sambil
berteriak teriak menawarkan jasa penukaran uang.
II.
Sejarah
Jual Beli
Kehidupan
masyarakat dahulu masih sangat sederhana, pekerjaan mereka pun masih sangat
sederhana, tidak seperti sekarang. Pekerjaan zaman dahulu hanya berupa berburu,
bercocok tanam, menangkap ikan, dan beternak. Lalu bagaimana para petani
mendapatkan ikan atau daging? Begitu pula sebaliknya. Untuk memperoleh
kebutuhan, karena saat itu belum mengenal uang, maka diadakan cara menukar
barang. Tukar menukar barang itu disebut barter. Seorang petani menukar padi
atau beras dengan telur milik peternak begitu pula sebaliknya.[1]
Sistem barter
ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan pokok manusia pada zaman itu. Untuk
memenuhi kebutuhan lauk misalnya, petani menukarkan beras kepada peternak atau
nelayan dengan jumlah yang telah disepakati atau jumlah yang sudah biasa
dilakukan. Adanya sistem barter dikarenakan belum adanya dan belum dikenal
sistem penukaran barang melalui media uang, baik itu uang logam maupun uang
kertas.
Tidak diketahui
masyarakat di belahan bumi yang mana yang pertama kali menggunakan uang. Yang
pasti, konsep uang adalah konsep hasil daya pikir manusia yang diterima secara
universal. Dengan adanya kemajuan pola pikir di masyarakat, sedikit demi
sedikit cara barter tidak digunakan lagi. Mereka berpikir banyak sekali
kerugian dalam cara barter tersebut. Mereka mulai menetapkan barang barang yang
dapat digunakan sebagai alat tukar. Contohnya adalah garam, mank manik, kulit
kerang, tanah liat, tembaga dan lain sebagainya. Kemudian abad ke 7 M, koin
pertama dibuat di kerajaan Lydia (sekarang dikenal dengan turki) sebagai alat
tukar yang sah. Koin ini terbuat dari campuran antara emas dan perak dan dicap
sebagai tanda keberadaan nilainya. Kemudian muncul uang kertas. Semula uang
kertas yang beredar merupakan surat
bukti kepemilikan emas dan perak. Surat bukti itu digunakan sebagai alat
perantara untuk melakukan transaksi. Seiring dengan berkembangnya zaman, orang
orang tidak lagi menggunakan emas dan perak seagai alat tukar. Mereka kemudian
menggantinya dengan uang yang terbuat dari kertas.[2]
III.
Pengertian
Riba
Riba biasanya
diartikan sebagai tambahan harta dalam suatu transaksi, baik itu jual beli
maupun lebihan dari pinjam meminjam. Riba juga dapat dikatakan sebagai jual
beli benda sejenis dengan perbedaan nilai[3].
Namun pengertian ini lebih condong pada pengertian riba fadhl, yaitu riba yang
terdapat pada lebihnya jual beli.
“juallah emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma
dengan kurma, garam dengan garam (dengan syarat harus)sama dan sejenis secara
tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah
sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”
Dari hadits
diatas dapat disimpulkan, persyaratan pertukaran barang sejenis harus dilakukan
dengan nilai yang sama, misal emas 5 gram juga ditukar dengan emas lima gram,
tidak boleh lebih, karena kelebihannya disebut sebagai riba.
IV.
Jual
Beli Uang
Sebagaimana
dikatakan pada pendahuluan, yang menjadi fokus pembahasan disini adalah jual
bel yang terjadi di jalan menjelang hari raya idul fitri. Karena jual beli
tersebut dilihat dari mata fiqh merupakan sebuah transaksi ribawi karena
terdapat kelebihan harta dalam transaksi barang sejenis. Alasan pengharaman
riba dalam jual beli uang adalah seperti yang dikemukakan Al-Ghazali dalam bab
Asy-Syukur dalam bukunya ihya’ ulumuddin yang dinukil dalam akhir jilid
kedua dari tafsir Al-Mizan. Ringkasannya, uang hanya dibuat untuk dijadikan
standar penetapan harga dan alat tukar. Uang itu sediri tidak memiliki nilai
intristik.[4]
Jikalau uang
memiliki nilai intristik, maka ia tidak memainkan peran sebagai unag, dan
seperti barang barang niaga yang lainnya. Setiap barang niaga mungkin
diperlukan bendanya untuk memenuhi salah satu kebutuhan. Tapi uang tidak
diperlukan bendanya. Ribanya terletak pada seseorang mendapatkan uang dari
uang, dari uang yang sedikit mendapatkan uang yang lebih banyak.
V.
Tinjauan
Sosiologis Terhadap Jual Beli Uang
Penjualan uang
sebagaimana terjadi menjelang bulan Syawal pada prakteknya jelas mengandung
unsur riba. Riba yang terkandung dalam transaksi model itu adalah adanya
kelebihan harta dalam penukaran uang tersebut. Riba dalam transaksi ini sering
disebut sebagai riba fadhl, atau riba yang terdapat kelebihan harta dalam
sebuah transaksi.
Dewan Syariah
Nasional juga telah menetapkan bahwa jual beli mata uang sejenis dan tidak sama
nilainya termasuk dalm syariah. Namun apabila kita meninjau kembali kehidupan
sosial ekonomi masyarakat indonesia,apakah hukum riba itu tetap melekat pada
model transaksi semacam itu. Atau melihat pada niat dari transaksi itu sebagai
sebuah embayaran atas jasa penukaran, apakah itu tetap merupakan sebuah riba.
Apabila yang
kita lihat dari transaksi itu adalah jenis dari penawaran jasa, maka uang lebih
dari transaksi itu bukanlah riba, akan tetapi itu adalah pembayaran jasa
penjual atas uang yang sebelumnya ditukarkan kepada bank. Pedagang uang
tidakakan mempunyai uang dengan pecahan kecil dalam jumlah banyak dan dalm
bentuk baru tanpa menukarkannya terlebih dahulu kepada bank. Antri di bank
ukanlah suatu pekerjaan mudah, karena pada saat yang sama ada ribuan orang yang
mengantri untuk menukarkan uang. Kemudian setelah menukarkan uang, penjual akan
menunggu di pinggir jalan orang yang akan menukarkan jasanya dengan uang. Dari
tinjauan kronologis penjualan uang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
perbuatan riba, karena yang ditukar adalah jasa.
Namun ada
permasalahan lain dalam proses penjualan tersebut. Di balik penjual uang
dipinggir jalan ada orang kaya pemilik modal yang memanfaatkan situasi
tersebut. Orang ini bisa disebut bandar penukar uang. Bandar ini membawahi
ratusan pedagang uang dipinggir jalan. Dengan bermodalkan uang yang banyak,
mereka menukarkan uang di bank kemudian disebarkan kepada beberapa penjual
bawahannya.
Bandar tersebut
akan meraup uang yang banyak karena dia tidak bekerja, hanya cukup
mempekerjakan orang lain untuk menukarkan uang di bank, kemudian
didistribusikan kepada penjual. Pemilik modal ini hanya duduk santai dengan
uang yang akan mengalir ke kantongnya. Proses inilah yang bisa idsebut sebagai
kegiatan riba besar besaran.
0 komentar:
Posting Komentar