Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Sabtu, 19 April 2014

Makalah Jual beli uang


Jual Beli Uang Dalam Perspektif Sosiologi Hukum Islam
logo-uin-suka-baru-warna.jpg
Disusun oleh:
Mu’tashim billah         11360071
            Septi ermawati            11360059            
M. Aprizal                   11370032

Dosen pengampu:
Bapak Fathurrahman

Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta
2013


I.              Pendahuluan
Ketika menjelang perayaan idul fitri, sementara orang akan mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapinya. Baik berupa makanan, minuman, hingga pecahan uang kecil  untuk diberikan kepada anak anak dari kerabat dan para tetangga. Pemberian uang kecil kepada anak anak biasa disebut angpao lebaran. Biasanya untuk mendapatkan uang kecil tersebut masyarakt menukarkannya di bank bank terdekat dengan nominal yang sama, bisa juga melalui orang orang yang menjual uang kecil di pinggir jalan. Membeli uang di pinggir jalan biasanya akan membayar uang lebih dari nominal yang ditukarkan, semisal ketika membutuhkan pecahan lima ribuan dengan jumlah seratus ribu, maka kita akan membutuhkan seratus sepuluh ribu.
Menukarkan uang dipinggir jalan merupakan sebuah alternatif bagi orang yang malas mengantri di bank. Dan penukaran seperti itu secara kasat mata dapat dikatakan sebagai riba, karena penukaran seperti itu menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa menjual barang yang sejenis harus dengan nilai yang sama dan harus secara tunai, terjemah hadits itu berbunyi: “juallah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam (dengan syarat harus)sama dan sejenis secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”
Melihat teks matan hadits diatas, maka sangat jelas bahwa penukaran benda yang sejenis harus dilakukan dengan nilai yang sama dan dilakukan dengan uang tunai. Bila dilakukan dengan nilai yang lebih, maka itu meupakan riba fadhl yaitu riba yang dilakukan ketika ada pertukaran benda sejenis dan terdapat kelebihan nilai dari salah satu pihak yang menukarkannya. Larangan melakukan riba juga terdapat dalam beberapa ayt al-qur’an, diantaranya surat al-baqarah ayat 275 yang artinya kuran lebih sebagai berikut: “... dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”.
Pengharaman riba tentu saja mempunyai tujuan dan maksud tersendiri oleh Allah bagi kemaslahatan manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya. Bila ditinjau dari segi kemaslahatan yang terkandung dalam ayat dan hadits pelarangan melakukan riba, maka akan diketahui apa maksud dari pembuat syariat dalam pelarangan riba tersebut. Untuk menjaga harta benda umat islam pada khususnya diberlakukanlah pelarangan riba yang akan merugikan salah satu pihak saat transaksi. Namun sebagai pembuat syariat, Allah tidak hanya melarang transaksi riba, melainkan menghalalkan jual beli secara normal sebagai alternatifnya. Pengharaman riba dikarenakan pada saat transaksi ada pihak yang dirugikan dan ada pihak yang diuntungkan, dan tidak sesuai dengan maslahat bagi salah satu pihak.
Jual beli uang menjelang lebaran pada umumnya dilakukan oleh orang yang mempunyai taraf ekonomi dibawah rata rata, atau bisa dikatakan menengah kebawah. Penjualan uang merupakan peluang menambah penghasilan untuk menambah keperluan disaat lebaran tiba, sehingga sebagian orang yang merasa belum mempunyai biaya cukup saat lebaran akan menjadikan momen ini sebagai media penghasil uang. Penjual uang biasanya berdiri ditepian jalan, lampu merah, dibawah terik matahari dan di beberapa tempat strategis sebagai tempat lalu lalangnya kendaraan mobil. Mereka akan menawarkan pecahan mata uang yang akan ditukarkan dengan mata uang besar sebagai gantinya dan tentu saja akan ada tambahan biaya bagi orang yang hendak menukarkan uang kepada para penjual.
Sebagaimana ayat dan hadits diatas, transaksi model ini secara eksplisit diharamkan oleh kedua dalil tersebut, karena didalamnya terdapat unsur biaya tambahan atas barang sejenis yang ditukarkan. Namun bila kita melihat aspek sosial masyarakat indonesia, maka tidak boleh kita mengatakan segala sesuatu haram tanpa meneliti terlebih dahulu apa yang sebenarnya. Disaat ayat dan hadits mengatakan sesuatu hal yang berlebih itu haram, maka ada baiknya kita melihat kondisi sosial yang ada pada konteks indonesia saat ini. Bila yang ditukarkan atau lebih yang diterima itu bukanlah biaya penukaran, akan tetapi yang dibayarkan lebih adalah jasa dari penjual tersebut, maka konteks penukaran uang disini bukanlah riba fadhl, melainkan pembaaran jasa atas penjual yang berdiri panas panasan dibawah terik matahari menunggu orang yang hendak membeli atau menukarkan uangnya.
Jadi yang dibayarkan lebih disini bukanlah materi uang pecahan kecil atas pecahan besar, melainkan jasa dari penjual, yang mungkin sebelum memiliki uang kecil tersebut mereka antri di bank berjam jam, kemudian mencari untung atas jasa yang telah dilakukan. Namun bila dilihat dari realitas yang ada secara lebih teliti, dapat kita jumpai beberapa oknum orang kaya yang memanfaatkan situasi tersebut untuk mengeruk keuntungan lebih, ambil contoh ada seorang kaya yang menukarkan uangnya secara gratis ke bank, yang ditukarkan ke bank adalah dengan nominal yang sangat besar hingga berjuta juta. Kemudian uang itu akan dijual dengan keuntunga misalnya 5000 rupiah setiap penukaran kepada orang yang akan menjualnya di jalan jalan. Dari ilustrasi diatas, jelas terdapat dalang yang kemudian menyebabkan maraknya jual beli uang dijalanan. Dalang disini seakan menjadi bandar yang membawahi ratusan penjual uang yang beredar di pinggir jalanan.
Pada saat pengantrian di bank juga bandar ini tidak melakukannya sendiri, melainkan mereka sudah mempunyai beberapa orang yang akan mengangkut berkarung karung uang pecahan kecil kedalam mobil dan kemudian dibagikan kepada para penjual uang di jalanan. Apa yang ditawarkan oleh bendar tersebut? Jasakah, atau apa. Hal ini menurut hemat penulis bahwa bandar tersebut benar benar telah melakukan riba, karena dia tidak mengeluarkan jasa sedikitpun atas uang yang dijualnya. Berbeda dengan penjual yang telah bertahan dibawah terik matahari sambil berteriak teriak menawarkan jasa penukaran uang.
II.           Sejarah Jual Beli
Kehidupan masyarakat dahulu masih sangat sederhana, pekerjaan mereka pun masih sangat sederhana, tidak seperti sekarang. Pekerjaan zaman dahulu hanya berupa berburu, bercocok tanam, menangkap ikan, dan beternak. Lalu bagaimana para petani mendapatkan ikan atau daging? Begitu pula sebaliknya. Untuk memperoleh kebutuhan, karena saat itu belum mengenal uang, maka diadakan cara menukar barang. Tukar menukar barang itu disebut barter. Seorang petani menukar padi atau beras dengan telur milik peternak begitu pula sebaliknya.[1]
Sistem barter ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan pokok manusia pada zaman itu. Untuk memenuhi kebutuhan lauk misalnya, petani menukarkan beras kepada peternak atau nelayan dengan jumlah yang telah disepakati atau jumlah yang sudah biasa dilakukan. Adanya sistem barter dikarenakan belum adanya dan belum dikenal sistem penukaran barang melalui media uang, baik itu uang logam maupun uang kertas.
Tidak diketahui masyarakat di belahan bumi yang mana yang pertama kali menggunakan uang. Yang pasti, konsep uang adalah konsep hasil daya pikir manusia yang diterima secara universal. Dengan adanya kemajuan pola pikir di masyarakat, sedikit demi sedikit cara barter tidak digunakan lagi. Mereka berpikir banyak sekali kerugian dalam cara barter tersebut. Mereka mulai menetapkan barang barang yang dapat digunakan sebagai alat tukar. Contohnya adalah garam, mank manik, kulit kerang, tanah liat, tembaga dan lain sebagainya. Kemudian abad ke 7 M, koin pertama dibuat di kerajaan Lydia (sekarang dikenal dengan turki) sebagai alat tukar yang sah. Koin ini terbuat dari campuran antara emas dan perak dan dicap sebagai tanda keberadaan nilainya. Kemudian muncul uang kertas. Semula uang kertas  yang beredar merupakan surat bukti kepemilikan emas dan perak. Surat bukti itu digunakan sebagai alat perantara untuk melakukan transaksi. Seiring dengan berkembangnya zaman, orang orang tidak lagi menggunakan emas dan perak seagai alat tukar. Mereka kemudian menggantinya dengan uang yang terbuat dari kertas.[2]
III.        Pengertian Riba
Riba biasanya diartikan sebagai tambahan harta dalam suatu transaksi, baik itu jual beli maupun lebihan dari pinjam meminjam. Riba juga dapat dikatakan sebagai jual beli benda sejenis dengan perbedaan nilai[3]. Namun pengertian ini lebih condong pada pengertian riba fadhl, yaitu riba yang terdapat pada lebihnya jual beli.
“juallah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam (dengan syarat harus)sama dan sejenis secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”
Dari hadits diatas dapat disimpulkan, persyaratan pertukaran barang sejenis harus dilakukan dengan nilai yang sama, misal emas 5 gram juga ditukar dengan emas lima gram, tidak boleh lebih, karena kelebihannya disebut sebagai riba.
IV.        Jual Beli Uang
Sebagaimana dikatakan pada pendahuluan, yang menjadi fokus pembahasan disini adalah jual bel yang terjadi di jalan menjelang hari raya idul fitri. Karena jual beli tersebut dilihat dari mata fiqh merupakan sebuah transaksi ribawi karena terdapat kelebihan harta dalam transaksi barang sejenis. Alasan pengharaman riba dalam jual beli uang adalah seperti yang dikemukakan Al-Ghazali dalam bab Asy-Syukur dalam bukunya ihya’ ulumuddin yang dinukil dalam akhir jilid kedua dari tafsir Al-Mizan. Ringkasannya, uang hanya dibuat untuk dijadikan standar penetapan harga dan alat tukar. Uang itu sediri tidak memiliki nilai intristik.[4]
Jikalau uang memiliki nilai intristik, maka ia tidak memainkan peran sebagai unag, dan seperti barang barang niaga yang lainnya. Setiap barang niaga mungkin diperlukan bendanya untuk memenuhi salah satu kebutuhan. Tapi uang tidak diperlukan bendanya. Ribanya terletak pada seseorang mendapatkan uang dari uang, dari uang yang sedikit mendapatkan uang yang lebih banyak.
V.           Tinjauan Sosiologis Terhadap Jual Beli Uang
Penjualan uang sebagaimana terjadi menjelang bulan Syawal pada prakteknya jelas mengandung unsur riba. Riba yang terkandung dalam transaksi model itu adalah adanya kelebihan harta dalam penukaran uang tersebut. Riba dalam transaksi ini sering disebut sebagai riba fadhl, atau riba yang terdapat kelebihan harta dalam sebuah transaksi.
Dewan Syariah Nasional juga telah menetapkan bahwa jual beli mata uang sejenis dan tidak sama nilainya termasuk dalm syariah. Namun apabila kita meninjau kembali kehidupan sosial ekonomi masyarakat indonesia,apakah hukum riba itu tetap melekat pada model transaksi semacam itu. Atau melihat pada niat dari transaksi itu sebagai sebuah embayaran atas jasa penukaran, apakah itu tetap merupakan sebuah riba.
Apabila yang kita lihat dari transaksi itu adalah jenis dari penawaran jasa, maka uang lebih dari transaksi itu bukanlah riba, akan tetapi itu adalah pembayaran jasa penjual atas uang yang sebelumnya ditukarkan kepada bank. Pedagang uang tidakakan mempunyai uang dengan pecahan kecil dalam jumlah banyak dan dalm bentuk baru tanpa menukarkannya terlebih dahulu kepada bank. Antri di bank ukanlah suatu pekerjaan mudah, karena pada saat yang sama ada ribuan orang yang mengantri untuk menukarkan uang. Kemudian setelah menukarkan uang, penjual akan menunggu di pinggir jalan orang yang akan menukarkan jasanya dengan uang. Dari tinjauan kronologis penjualan uang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan riba, karena yang ditukar adalah jasa.
Namun ada permasalahan lain dalam proses penjualan tersebut. Di balik penjual uang dipinggir jalan ada orang kaya pemilik modal yang memanfaatkan situasi tersebut. Orang ini bisa disebut bandar penukar uang. Bandar ini membawahi ratusan pedagang uang dipinggir jalan. Dengan bermodalkan uang yang banyak, mereka menukarkan uang di bank kemudian disebarkan kepada beberapa penjual bawahannya.
Bandar tersebut akan meraup uang yang banyak karena dia tidak bekerja, hanya cukup mempekerjakan orang lain untuk menukarkan uang di bank, kemudian didistribusikan kepada penjual. Pemilik modal ini hanya duduk santai dengan uang yang akan mengalir ke kantongnya. Proses inilah yang bisa idsebut sebagai kegiatan riba besar besaran.


[1] www.anneahira.com
[2] Ibid.
[3] Murthada muthahhari, pandangan islam tentang asuransi & riba, (pustaka hidayah, Bandung: 1995), hlm., 72.
[4] Ibid., hlm., 29.

0 komentar:

Posting Komentar