BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Wakaf, sebagaimana
halnya zakat, adalah termasuk harta/asset umat muslim yang harus dijaga dan dikembangkan
demi kepentingan umat muslim itu sendiri.[1]
Dalam perjalanannya, wakaf pada dunia Islam mengalami berbagai macam kondisi
pasang surut yang terus mewarnai perkembangannya dan tampaknya hal seperti itu
akan terus terjadi sepanjang masa. Meski
demikian, masih banyak masyarakat, khususnya umat Islam di Indonesia yang belum
memahami makna wakaf secara komprehensif. Padahal kondisi umat Islam di
Indonesia saat ini dapat dikatakan masih jauh dari kondisi ideal.[2]
Oleh karena itu, optimalisasi pengumpulan dan pendayagunaan wakaf menjadi salah
satu opsi yang potensial dalam menanggulangi kemiskinan yang melilit mayoritas
umat Islam di Indonesia.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan
seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola
secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam
merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk
mengatur perwakafan dengan baik.
Maka dari itu, penting kiranya mengetahui
lebih lanjut bagaimana sejarah perkembangan wakaf di Indonesia serta
kemungkinan yang mampu membentuk fikih wakaf yang lebih komprehensif bagi
masyarakat Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan wakaf di
Indonesia?
2. Bagaimana kemungkinan Pembentukan fikih wakaf
responsif di Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Sejarah Wakaf Di Indonesia
Lembaga wakaf yang dipraktekkan
di berbagai negara juga dipraktekkan di Indonesia sejak pra Islam datang ke
Indonesia walaupun tidak sepenuhnya persis dengan yang terdapat dalam ajaran
Islam. Namun spriritnya sama dengan syari’at wakaf. Hal ini dapat dilihat
kenyataan sejarah yang sebagian masih berlangsung sampai sekarang diberbagai daerah di Indonesia. Di Banten
umpamanya, terdapat “ Huma serang” adalah ladang-ladang yang setiap tahun
dikelola secara bersama-sama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan
bersama. Di Lombok terdapat “ tanah paremen “ ialah tanah negara yang di
bebaskan dari pajak untuk kepentingan bersama. Di Jawa Timur terdapat tanah
“Perdikan“ ialah sebagai tanah yang merupakan pemberian raja kepada seseorang
atau kelompok yang ber jasa.
Menurut Rachmat Djatnika bahwa, bentuk ini hampir menyerupai wakaf keluarga
dari segi fungsi dan pemanfaatan yang tidak boleh diperjualbelikan. Secara umum perkembangan wakaf di
Indonesia dapat dibagi dalam 3 kurun waktu, yaitu :[3]
1.
Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia
Wakaf merupakan suatu lembaga ekonomi Islam yang
eksistensinya sudah ada semenjak awal kedatangan Islam.[4]
Wakaf adalah lembaga Islam kedua tertua di Indonesia setelah (atau bersamaan
dengan) perkawinan. Sejak zaman awal telah dikenal wakaf masjid, dan wakaf
tanah pemakaman di berbagai wilayah Indonesia. Selanjutnya muncul wakaf tanah
untuk pesantren dan madrasah atau wakaf tanah pertanian untuk membiayai
pendidikan Islam dan wakaf-wakaf lainnya.[5]
Pada mulanya lembaga wakaf di Indonesia sering dilakukan
oleh umat Islam, sebagai konsekuensi logis banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia. Sekalipun lembaga wakaf merupakan salah satu pranata Islam, tetapi
seolah-olah sudah merupakan kesepakatan diantara para ahli hukum bahwa pewakafan
merupakan masalah dalam Hukum Adat Indonesia, sebab diterimanya lembaga berasal
dari suatu kebiasaan dalam pergaulannya. Sejak itu persoalan wakaf telah diatur
dalam Hukum Adat yang sifatnya tidak tertulis dengan mengambil sumber dari
Hukum Islam.
Sewaktu Belanda mulai menjajah Indonesia lebih kurang
tiga abad yang lalu, maka wakaf sebagai lembaga keuangan Islam telah tersebar
di berbagai persada nusantara Indonesia. Pada masa pemerintah Kolonial
Belanda dalam menyikapi pratek dan banyaknya harta benda wakaf telah di
keluarkan sebagai aturan yang mengatur tentang persoalan wakaf, antara lain:[6]
a.
Surat Edaraan skretaris
Convernemen pertama tanggal 31 Januari 1905, No. 435, sebagai mana termuat di
dalam Bijblad 1905 No. 6196, tentang Toezicht op den bouw van Muhammadaansch
bedehuizen. Dalam surat edaran ini meskipun tidak secara khusus tentang wakaf,
tetapi pemerintah kolonial tidak bermaksud melarang atau menghalang-halangi
praktek wakaf yang dilakukan oleh umat Islam untuk memenuhi keperluan keagamaannya.
b.
Surat Edaran dari sekretaris Convernemen tanggal 4
Jani 1931 nomer 1361/A tentang Toezich van de regeering op Muhammadaansche
bedehuizen, vridagdiensten en wakafs. Dalam surat Edaran ini pada garis
besarnya memuat agar Biblad tahun1905
nomor 6169 diperhatikan dengan baik untuk mewakafkan harta tetap diperlukan
izin Bupati, yang menilai permohonan itu dari segi tempat harta tetap itu dan
masuk pendirian. Bupati memberi perintah supaya wakaf yang diizinkannya di
masukan ke dalam daftar, yang di pelihara oleh ketua pengadilan agtama. Dari
semua pendaftaran diberitahukan kepada Asisten Wedana untuk bahan baginya dalam
pembuatan laporan kepada kantor
Landrente.
c.
Surat Edara skretaris Governemen
tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagai mana termuat didalam Bijblad
tahun 1934 tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht van regeering op
Muhammadaansche bedehuizen, vrijdag diesten en wakafs. Surat Edaran ini
sifatnya hanya mempertegas apa yang di sebutkan oleh surat Edaran sebelumnya,
yang isinya memberi wewenang kepada Bvupati untuk menyelesaikan perkara, jika
terjadi perselisihan atau sengketa tentang tanah-tanah wakaf tersebut.
d.
Surat Edaran skretaris Governemen
tanggal 27 May 1935 Nomor 13480. Surat Edaran inipun bersifat penegasan
terhadap surat-surat di dalam sebelumnya, yaitu khusus mengenai tata cara
perwakafan, sebagai realisasi dari ketentuan Bijblad Nomor 6169/1905 yang menginginkan
registasi dari tanah-tanah wakaf tersebut.
2.
Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia
Peraturan-peraturan tentang perwakafan yang dikeluarkan
pada masa penjajah Belanda, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agusus
1945 masih tetap berlaku berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan UUD
1945. Maka untuk menyesuaikan dengan Negara Republik Indonesia
dikeluarkan petunjuk Menteri Agama RI tanggal 22 Desember 1953 tentang
Petunjuk-petunjuk mengenai wakaf, menjadi wewenang Bagian D (Ibadaha Sosial),
Jawatan Urusan Agama, dan pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan SE
Nomor 5/D/1959 tentang Prosedur Perwakafan Tanah.[7]
Dalam rangka penertiban dan pembaharuan sistem Hukum
Agraria, masalah wakaf mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah nasional,
antara lain melalui Departemen Agama RI. Selama lebih tiga puluh tahun sejak
tahun 1960, telah dikeluarkan berbagai Undang-undang, Peraturana Pemerintah,
Peraturan Menteri, Insturksi Menetri / Gebernur dan lain-lain yang berhubungan
karena satu dan lain hal dengan masalah wakaf.
Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, yang pada
intinya menyatakan benda wakaf adalah hukum agama yang diakui oleh hukum adat
di Indonesia, di samping kenyataan bahwa hukum adat (al-‘uruf) adalah
salah satu sumber komplementer hukum Islam. Sehingga dalam pasal 29 ayat (1) UU
yang sama dinyatakan secara jelas tentang hak-hak tanah untuk kepelruan suci
dan sosial. Wakaf adalah salah satu lembaga keagaaan dan sosial yang diakui dan
dilingdungi oleh UU ini.
3.
Era Peraturan Perudang-undangan Republik Indonesia
Sebagaimana yang diketahui peraturan tentang perwakafan
tanah di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan maupun dapat memberikan
kepastian hukum, dari sebab itulah seuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (3) UUPA,
pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan berlakunya peraturan ini maka
semua peraturan perundang tentang perwakafan sebelumnya yang bertentangan
dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku.
Dalam rangka mengamankan, mengatur dan mengelola tanah
wakaf secara lebih baik maka pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya juga mengatur masalah wakaf,
sehingga setelah munculnya Inpres ini, kondisi wakaf lebih terjaga dan terawat,
walaupun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal.
Pada tanggal 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia
mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al nuqud)
dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Dan atas dukungan
political will Pemerintah secara penuh salah satunya adalah
lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf).
Dari pasal undang-undang ini telah mewacana yang
mengemuka tentang wakaf tunai dan realitas respon dari berbagai kalangan
menjadi dasar pemikiran pentingnya penyusunan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf yang di dalamnya memuat aturan tentang wakaf tunai. Karena
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, sebagai satu-satunya peraturan
perundang-undangan tentang wakaf sama sekali tidak mengcover masalah
tersebut, Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan optimisme dan
keteraturan dalam pengelolaan wakaf secara umum dan wakaf tunai secara khusus
di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan.
B. Fiqih Wakaf
yang Responsif di Indonesia
Pendayagunaan wakaf secara optimal dapat membantu pemerintah dalam
mensejahterakan rakyat karena jika wakaf dikelola dengan baik maka akan sangat
menunjang pembangunan, baik di bidang ekonomi, agama, sosial, budaya, politik
maupun pertahanan keamanan seperti yang di lakukan oleh negara-negara timur
yang sudah maju seperti misalnya negara Mesir dan turki.[8]
Memang ditinjau dari kekuatan hukum yang dimiliki, ajaran wakaf merupakan
ajaran yang bersifat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki
sesungguhnya begitu besar sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat
banyak.[9]
Indonesia pun dapat
mengoptimalkan peran wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi yang dapat
mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia.[10]
Selain itu, wakaf sejatinya merupakan salah satu instrumen
penting dalam Islam yang memiliki potensi besar untuk mengangkat kesejahteraan
ummat Islam, sehingga wakaf dapat dikatakan mampu mengangkat kondisi ummat
Islam dari kondisi terpuruk menuju ummat yang terbaik (khoiru ummah).[11]
Menurut perkembangannya pembentukan
fikih wakaf terbagi kedalam 3 (tiga) periode antara lain sebagai berikut:
1.
Wakaf traditional
Dalam
periode ini paham-paham yang menonjol antara lain[12]:
a)
Ikrar wakaf yang hanya sebatas ucapan lisan, tanpa adanya bukti
tertulis (sertifikat ikrar wakaf), sehingga banyak harta wakaf yang hilang
karena tidak adanya bukti setelah dikelola oleh generasi selanjutnya
b)
Harta yang diwakafkan lebih banyak berupa benda-benda yang tidak
bergerak, sehingga peruntukanya tidak maksimal untuk kebijakan.
c)
Nadzir berdasarkan ketokohan yaitu penyerahan wakaf hanya kepada
tokoh tertentu dalam masyarakat seperti kyai, ustadz, kyai dan lain-lain
d)
Legalitas hukum yang belum memadai, sehingga wakaf cenderung
menjadi beban pengelolaan nadzir.
2.
Periode semi-profesional
Periode
ini adalah masa dimana pengelolaan wakaf secara umum sama dengan periode
traditional, namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan
wakaf secara produktif, meskipun belum maksimal.
3.
Periode professional
Periode ini
adalah sebuah kondisi, dimana wakaf mempunyai kekuatan ekonomi umat mulai
diperhatikan. Keprofesional yang dilakukan meliputi aspek menejemen sumber daya
kemanusian kenadziran.
Upaya pembentukan fikih wakaf responsif di Indonesia dapat
dilakukan dengan jalan istidlal. Istibdal wakaf merupakan istilah
penggantian barang wakaf yang telah dijual maupun penggantian dalam hal
peruntukan wakaf.[13]
Jelaslah sudah bahwa salah satu cara bagaimana wakaf bisa menjadi produktif
adalah dengan melakukan praktik Istibdal wakaf. Maqasid syariah dari
Istibdal wakaf adalah manfaatnya yang terus mengalir dan memberikan
kesejateraan umat. Dengan melihat realita umat muslim Indonesia yang notabene
masih dibawah sejahtera, Istibdal wakaf sangat relevan dengan kebutuhan
umat. Apalagi kalau melihat data yang ada bahwa sebagian besar wakaf yang ada
di Indonesia adalah berbentuk fix asset khususnya tanah. Sampai abad
ke-19 saja, menurut Rahmat Djatnika, dari semua luas tanah wakaf yang ada
hampir semuanya berupa tanah kering. Jika tidak diberdayakan dengan baik maka maqasid
syariah wakaf akan sulit tercapai.[14]
Tidak perlu ragu lagi, sesungguhnya praktik Istibdal
wakaf bukanlah hal yang bertentangan dengan Syariah. Karena para ulama berbagai
mazhab pun sudah membahasnya dan sampai pada membolehkan praktek tersebut.
Melihat kondisi tersebut maka perlu dilakukan upaya secara serius untuk
merumuskan strategi nasional untuk mengoptimalkan penggalangan dan pengembangan
dana wakaf.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Perkembangan wakaf di Indonesia terjadi dalam
tiga kurun waktu yaitu Sebelum Kemerdekaan
Republik Indonesia, Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, Era Peraturan
Perudang-undangan Republik Indonesia
2.
Upaya pembentukan fikih wakaf
responsif di Indonesia dapat dilakukan dengan jalan istidlal. Istibdal
wakaf merupakan istilah penggantian barang wakaf yang telah dijual maupun
penggantian dalam hal peruntukan wakaf.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah al-kabisi, abid, Hukum
wakaf (kajian kontemporer pertama dan terlengkap tentang fungsi dan pengelolaan
wakaf serta penyelesaian atas sengketa wakaf), Jakarta, Dompet Dhuafa
Republika, 2003
Djunaidi, Achmad dan thobieb
al-asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta, Mitra
Abadi Press, 2006
Farid, Wadjdy, Wakaf
dan Kesejahteraan Umat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007
Fiqih Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Jakarta 2006
Fiqih Wakaf, Pedoman Pengelolaan wakaf Tunai, Jakarta, 2006
Lubis, Suhrawardi K, Wakaf Dan
Pemberdayaan Umat, Jakarta, Sinar Grafika, 2010
Suhadi, Imam, Wakaf Untuk
Kesejahteraan Umat, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 2002
[5]Direktorat
pemberdayaan wakaf, Pedoman Pengelolaan wakaf Tunai, (Jakarta, 2006),
hlm. 70
[7] Ibid,
hlm. 41
[8] Abid Abdullah al-kabisi, Hukum wakaf (kajian kontemporer
pertama dan terlengkap tentang fungsi dan pengelolaan wakaf serta penyelesaian
atas sengketa wakaf), (Jakarta; Dompet Dhuafa Republika, 2003), hlm 23
[10] Achmad djunaidi dan thobieb al-asyhar, Menuju Era Wakaf
Produktif, (Jakarta: Mitra Abadi
Press, 2006), hlm. 70
[12]
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 61.
[13]
Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002), hlm.32.
[14] Ibid,
hlm. 64
0 komentar:
Posting Komentar