APAKAH SISTEM EKONOMI ISLAM DAPAT
DIPERTANGGUNG JAWABKAN SECARA ILMIAH?
A.
APAKAH “BENAR” ITU?
Benar menurut
manusia adalah: pernyataan yang sama dengan kenyataan. Dengan kata lain, suatu
pernyataan yang dibuat manusia itu dapat dikatakan benar, jika pernyataan
tersebut sama dengan kenyataan. Contohnya: jika ada orang yang mengatakan bahwa
“gunung itu ada”. Pernyataan itu dikatakan “benar” apabila pada kenyataannya
gunung itu memang benar-benar ada. Pernyataan itu dapat dikatakan “salah”,
apabila gunung itu ternyata tidajk ada.
Contoh yang
lain adalah, jika ada orang yang mengatakan bahwa “gunung itu berwarna biru”.
Pernyataan itu dikatakan “salah” apabila dalam kenyataannya, setelah didekati
dan dibuktikan dalam pengelihatan jarak yang dekat, ternyata gunungnya berwarna
coklat. Jika ada orang yang mengatakan bahwa di dalam perut bumi yang
diinjaknya itu ada minyaknya. Pernyataan ini dikatakan “benar”, jika di perut
bumi di bawah telapak kakinya itu memang benar-benar ada kandungan minyaknya.
B.
PENGETAHUAN TINGKAT I
Pengetahuan
tingkat ini merupakan tingkatan pengetahuan yang paling dasar yang ingin
diketahui oleh manusia. Ciri utama dari pengetahuan tingkat I ini adalah
keinginan dari manusia untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan
obyek-obyek yang dapat terindra secara langsung. Oleh karena itu pengetahuan
dalam tingkatan ini dapat disebut juga sebagai pengetahuan langsung.
Walaupun
pengetahuan ini adalah pengetahuan yang paling dasar bagi manusia, namun untuk
memperolehnya manusia memerlukan syarat-syarat tertentu. Untuk memperoleh
pengetahuan tingkat I ini, harus ada 4 unsur yang harus ada dalam diri manusia.
Keempat unsur ini juga dapat dikatakan syarat dasar bagi manusia untuk dapat
disebut sebagai manusia yang sudah mampu berfikir. Atau, syarat bagi manusia
itu dapat dikatakan telah memiliki akal yang sempurna. Keempat unsur tersebut
adalah (An-Nabhani 1973) :
1.
Harus
ada fakta yang terindra.
2.
Harus
ada indra-indra.
3.
Harus
ada otak.
4.
Harus
ada maklumat (informasi) sebelumnya.
C.
PENGETAHUAN TINGKAT II
Manusia selain ingin mengetahui kebenaran-kebenaran yang langsung
dapat di indra, dia juga ingin mengetahui obyek-obyek yang tidak dapat terindra
secara langsung (obyek yang ghaib). Obyek ghaib ada tiga yaitu (An-Nabhani
1973):
1.
Sesuatu
yang tersembunyi.
2.
Suatu
kejadian di masa lampau.
3.
Suatu
kejadian di masa yang akan datang.
Untuk memperoleh
pengetahuan tingkat II syaratnya lebih mudah di bandingkan dengan pengetahuan
tingkat I, untuk memperoleh pengetahuan tingkat II syaratnya hanya satu, yaitu
: harus ada dalil yang terindra secara langsung. Dalil artinya adalah petunjuk.
Oleh karena itu untuk memperoleh pengetahuan tingkat II ini manusia harus
mempunyai dalil terlebih dahulu. Dalil itu harus terindra secara langsung.
Dengan kata lain, dalil tersebut harus merupakan kebenaran yang diperoleh dari
pengetahuan tingkat I (kebenaran langsung).
D.
PENGETAHUAN TINGKAT III
Setelah manusia memperoleh pengetahuan tingkat II, manusia tentu
tidak akan berhenti sampai disini. Pengetahuan yang ingin doperoleh manusia
selanjutnya adalah pengetahuan tentang pemanfaatan ilmu-ilmu murni yang telah
mereka dapatkan dari pengetahuan tingkat II.
Jika manusia telah
mempunyaai banyak pengetahuan tentang unsur-unsur kimia yang murni, unsur-unsur
mineral, logam, struktur atom, struktur kromosom, inti sel dan sebagainya, maka
akan timbul pertanyaan, akan digunakan untuk apa semua ilmu-ilmu tersebut?
Disini manusia
akan tertantanguntuk ingin mrndapatkan pengetahuan lebih lanjut. Dengan
menggunakan metode ilmiah seperti di atas, maka manusia dapat melakukan
berbagai uji coba dari berbagai temuan unsur-unsur murni tersebut.
Inilah tingkatan
pengetahuan yang lebih tinggi yang akan di dapat oleh manusia, yaitu
pengetahuan tingkat III. Pengetahuan tingkat III ini diperoleh manusia dengan
melakukan proses rekayasa (engineering) terhadap temuan-temuan murni yang
berasal dari pengetahuan tingkat II. Tujuannya tentu agar manusia bisa
mendapatkan produk-produk yang memiliki nilai guna yang lebih tinggi bagi
manusia (Triono, 2010).
Ilmu pengetahuan
yang diperoleh dalam tingkatan III ini dapat dogolongkan ke dalam kelompok
ilmu-ilmu terapan (applied sciences). Contohnya adalah: teknik mesin, teknik
elektro, teknik kimia, kedokteran, pertanian, peternakan dan sebagainya. Semua
ilmu pengetahuan ini masuk dalam kategori rumpun ilmu pengetahuan alam.
E.
PENGETAHUAN TINGKAT IV
Pengetahuan
tingkat IV itu tidak hanya sekedar keinginan dari manusia untuk mengetahui
berbagai fenomena alam maupun fenomena sosial yang dapat terindra secara
langsung, yang ghaib, maupun srgala proses rekayasa dari hasil pengetahuan tersebut.
Pengetahuan
tingkat IV adalah keinginan dari manusia untuk mengetahui hakikat dibalik
fenomena yang ada dari seluruh alam semesta ini. Dengan demikian, pengetahuan
yang ingin diperoleh tidak hanya sekedar tingkat I, II dan III, tetapi ingin
mengetahui hakikat dibalik dari semua pengetahuan tersebut, yaitu mulai dari
pengetahuan tingkat I, II dan III. Manusia tentu menyimpan rasa keingintahuan
yang tinggi terhadap misteri keberadaan alam semesta ini (Triono 2010).
Jika hendak dirumuskan, maka hakikat
(kebenaran) dari pengetahuan tingkat IV
ini memang hanya dua kemungkinan, yaitu:
1. Alam semesta, manusia dan kehidupan ini ada penciptanya.
2. Alam semesta, manusia dan kehidupan ini tidak ada penciptanya.
Jika pra ilmuan
hendak menguji asal-muasal dari alam (materi) ini dengan menggunakan eksperimen
ilmiahahatau diuji di dalam skala laboratorium, maka yang didapat oleh para
ilmuan adalah sama, yaitu materi tidak akan pernah bisa diciptakan dan
dimusnahkan oleh manusia. Ketika manusia berusaha menghancurkan suatu benda
atau materi tertentu, dengan cara melumatnya, membakarnya, melelehkannya,
menembaknya dengan sinar leser dan sebagainya, tentu tidak akan pernah bisa.
Materi tidak akan pernah bisa hilang atau berkurang jumlah massanya. Yang
terjadi hanyalah perubahan wujudnya saja, yaitu berubah dari bentuk padat,
menjadi cair, kemudian menjadi gas dan seterusnya (Athiyat, 1988).
Demikian juga
ketika manusia berupaya untuk menambahkan jumlah materi yang ada di alam ini,
sekecil apapun jumlah massa yang ingin ditambahkan, maka manusia selamanya
tidak akan berhasil menambahkannya. Kesimpulan dari semua eksperimen ini adalah
para ilmuwan berhasil merumuskan hukum bagi materi dan energi yang ada di dalam
semesta ini yang dikenal dengan Hukum Kekekalan Materi dan Energi. Hukum
kekekalan materi dan energi isinya adalah: “materi dan energi itu tidak dapat
diciptakan dan juga tidak dapat dimusnahkan”.
F.
METODE ILMIAH VERSUS METODE AQLIYAH
Setelah kita
menyimak uraian terakhir dari sub-bab diatas, maka kita dapat mempertanyakan
kembali posisi Islam dalam kancah ilmu pengetahuan saat ini. Lebih khusus lagi
tentu saja adalah posisi dari Sistem Ekonomi Islam, yang tengah kita
pebincangkan ini, apakah bisa diterima dalam ranah ilmiah atau tidak?
Untuk dapat
menjawabnya, yang menjadi pertaruhan
adalah menyangkut metode yang digunakan itu sendiri. Benarkah klaim para
ilmuwan sekarang ini bahwa yang disebut “kebenaran” itu hanya dapat dihasilkan
dari satu proses saja, yaitu hanya dengan metode ilmiah saja, inilah yang
sseharusnya kita gugat dan kita pertanyakan kembali.
Sekarang marilah
kita memasuki area pertarungan ini. Ketika para ilmuwan berusaha untuk “memaksakan” metode ilmiah sebagai satu-satunya
metode yang dianggap absah untuk meraih kebenaran, sesungguhnya hal itu
merupakan langkah mundur manusia dari khazanah ilmu pengetahuan manusia.
Sebagaimana telah disingggung diatas, metode ilmiah sesungguhnya hanya
merupakan salah satu cabang dari metode aqliyah. Metode ilmiah memang memiliki
keunggulan,terutama kemampuannya dalam mengungkap fenomena alammaupun dalam
proses untuk menghasilkan teknologi. Namun demikian, metode ilmiah sesungguhnya
memiliki banyak kelemahan.
Sebagaimana telah
diuraikan diatas, keunggulan dari metode ilmiah ini adalah untuk kepentingan
riset atau penelitian yang obyeknya bisa diuji dalam skala laboratorium.
Sedangkan untuk obyek-obyek yang tidak bisa diuji dalam skala laboratorium,
maka penggunaan metode ilmiah ini tentu akan memiliki banyak kelemahan.
Sehingga kesimpulan ilmiah yang dihasilkan tentu akan sangat lemah, jauh dari
kebenaran yang bersifat pasti (Athiyat 1988).
Misalnya untuk
penelitian yang obyeknya adalah fenomena sosial kemanusiaan dan sosial
kemasyarakatan maka penggunaan metode ilmiah adalah langkah yang terlalu
dipaksakan. Sebab, fenomena sosial tidak bisa dibuat skala laboratoriumnya.
Sedangkan penggunaan model matematika sesungguhnya akan “mengebiri” fenomena
kehidupan sosial itu sendiri. Fenomena sosial adalah fenomena yang sangat
kompleks dan dinamis, sehingga sangat tidak layak jika harus diberangus dengan
hanya sekedar model matematika.
Metode yang
seharusnya digunakan manusia untuk melakukan pengkajian dan penelitian terhadap
obyek-obyek seperti diatas adalah menggunakan metode aqliyah, bukan metode
ilmiah. Karena dengan metode aqliyah inilah kebenaran yang bersifat pasti akan
bisa diraih oleh manusia. Sekaligus, kita juga dapat mengoreksi kesalahan dari
kesimpulan-kesimpulan ilmiah produk metode ilmiah tersebut.
Metode aqliyah
sebagaimana telah dibahas diatas dapat digunakan untuk mencari kebenaran dari
fakta-fakta yang bersifat ghaib, dengan syarat harus ada dalil-nya. Selanjutnya
dari dalil yang diperoleh tersebut, akal manusia dapat memikirkan dengan
akalnya untuk mencari kesimpulan yang nilainya pasti benar.
G. PENGETAHUAN TINGKAT V
Untuk mengetahui apa saja tujuan pencipta menciptakan manusia ,
alam semesta dan kehidupan ini, maka ada tiga kemungkinan yang dapat difikirkan
manusia, yaitu :
1.
Manusia
harus menemui Pencipta untuk mempertanyakanya.
2.
Pencipta
yang akan memberi informasi kepada manusia.
3.
Pencipta
tidak memberi informasi kepada manusia.
Menurut manusia kemungkinan yang ke-dua yang dapat diterima akal.
Sistem ekonomi islam bersumber dari
Al-Qur’an (kitab Suci ) sehingga kebenaranya dapat diteliti dengan metode
Aqliyah, sehingga ada 3 kemungkinan yang akan menjadi pemikiran manusia
terhadap fakta Al-Qur’an tersebut, yaitu (An-Nahbani,1953) :
1.
Al-Qur’an
itu kitab karangan bangsa arab.
2.
Al-Qur’an
itu karangan Muhammad.
3.
Al-Qur’an
itu kitab yang berasal dari Pencipta.
Setelah diteliti yang ke tiga inilah yang terbukti
kebenarannya dan dapat diterima akal
manusia.
Dengan membuka Al-Qur’an, maka manusia akan memperoleh pengetahuan
tingkat V, yaitu pengetahuan yang akan memberi penjelasan kepada manusia
tenteng hakikat segala sesuatu yang ada di alam ini, khususnya yang berkaitan
dengan hakikat dari tujuan penciptaan manusia.
Manusia wajib terikat dengan
syari’at islam yang telah diturunkan Allah SWT melallui Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi-Nya. Selanjutnya, syari’at islam itu mencangkup apa saja? Jawabnya dapat
diringkaskan dalam tiga dimensi syari’at islam sebagai berikut :
1.
Dimensi
satu
Dimensi satu adalah syari’at islam yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah SWT secara langsung. Syar’iat Islam yang masuk dimensi satu ini
meliputi :
a.
Aqoid
b.
Ibadah
2.
Dimensi
dua
Dimensi dua adalah Syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia
dengan dirinya sendiri. Syari’at Islam yang masuk dimensi dua antara lain :
a.
Makanan
b.
Minuman
c.
Pakaian
d.
akhlaq
3.
Dimensi
tiga
Dimensi tiga adalah Syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia lain dalam bermasyarakat dan bernegara. Syari’at Islam yang
masuk dimensi tiga meliputi :
a.
Sistem
Pemerintahan Islam
b.
Sistem
Ekonomi Islam
c.
Sistem
Sosial Islam
d.
Sistem
Pidana Islam
e.
Politik
Pendidikan Islam
f.
Politik
Luar Negeri Islam
Pengetahuan tingkat V adalah pengetahuan tentang gambaran
pengaturan kehidupan manusia di atas muka bumi ini, secara utuh dan menyeluruh. Gambaran sistem
kehidupan yang utuh dan menyeluruh dari islam inilah yang kemudian dikenal
dengan istilah Nidzom (sistem kehidupan islam).
Jika kita mau memperhatikan Nidzom islam dalam tiga dimensi diatas,
maka kita dapat mengetahui bahwa sistem ekonomi Islam ternyata masuk dalam
dimensi yang ketiga. Dengan demikian , sekarang kita dapat menyimpulkan bahwa
sesungguhnya sistem ekonomi islam itu dapat dikategorikan sebagai pengetahuan
tingkat V.
H.
PENGETAHUAN TINGKAT VI
Kebutuhan manusia akan pengetahuan
tingkat VI baru dapat muncul ketika manusia benar-benar telah menerapkan Nidzom
Islam di atas. Agar semua amal yang dilakukan manusia dapat
dipertanggungjawakan secara benar, yaitu keterikatanya dengan Syari’at Allah,
maka manusia membutuhkan status hukum terhadap persoalan yang baru
Penentuan status hukum terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan
manusia yang baru, yang status hukumnya tidak tertuang secara tekstual dalam
Al-Qur’an dan Sunnah. Penentuan status hukum ini harus dapat dipertanggung
jawabkan secara “ilmiah” dihadapan Allah SWT. Metode tersebut adalah metode
“ijtihad”.
Dengan demikian, apa yang disebut dengan pengetahuan tingkat VI
itu? Pengetahuan tidak lain adalah
produk-produk ijtihad dari para mujtahid untuk memecahkan berbagai persoalan
kehidupan manusia yang baru, yang senantiasa berkembang sedemikian dinamis dan
kompleksnya seperti sekarang ini ( Triono, 2010).
0 komentar:
Posting Komentar