Positif Thinking

Justitia Rueat Colouem : Hukum tetap harus di tegakkan Meski langit akan Runtuh

Sabtu, 19 April 2014

Resume buku filsafat Ilmu : kebenaran


APAKAH SISTEM EKONOMI ISLAM DAPAT DIPERTANGGUNG JAWABKAN SECARA ILMIAH?

A.    APAKAH “BENAR” ITU?
Benar menurut manusia adalah: pernyataan yang sama dengan kenyataan. Dengan kata lain, suatu pernyataan yang dibuat manusia itu dapat dikatakan benar, jika pernyataan tersebut sama dengan kenyataan. Contohnya: jika ada orang yang mengatakan bahwa “gunung itu ada”. Pernyataan itu dikatakan “benar” apabila pada kenyataannya gunung itu memang benar-benar ada. Pernyataan itu dapat dikatakan “salah”, apabila gunung itu ternyata tidajk ada.
Contoh yang lain adalah, jika ada orang yang mengatakan bahwa “gunung itu berwarna biru”. Pernyataan itu dikatakan “salah” apabila dalam kenyataannya, setelah didekati dan dibuktikan dalam pengelihatan jarak yang dekat, ternyata gunungnya berwarna coklat. Jika ada orang yang mengatakan bahwa di dalam perut bumi yang diinjaknya itu ada minyaknya. Pernyataan ini dikatakan “benar”, jika di perut bumi di bawah telapak kakinya itu memang benar-benar ada kandungan minyaknya.

B.     PENGETAHUAN TINGKAT I
Pengetahuan tingkat ini merupakan tingkatan pengetahuan yang paling dasar yang ingin diketahui oleh manusia. Ciri utama dari pengetahuan tingkat I ini adalah keinginan dari manusia untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan obyek-obyek yang dapat terindra secara langsung. Oleh karena itu pengetahuan dalam tingkatan ini dapat disebut juga sebagai pengetahuan langsung.
Walaupun pengetahuan ini adalah pengetahuan yang paling dasar bagi manusia, namun untuk memperolehnya manusia memerlukan syarat-syarat tertentu. Untuk memperoleh pengetahuan tingkat I ini, harus ada 4 unsur yang harus ada dalam diri manusia. Keempat unsur ini juga dapat dikatakan syarat dasar bagi manusia untuk dapat disebut sebagai manusia yang sudah mampu berfikir. Atau, syarat bagi manusia itu dapat dikatakan telah memiliki akal yang sempurna. Keempat unsur tersebut adalah (An-Nabhani 1973) :
1.      Harus ada fakta yang terindra.
2.      Harus ada indra-indra.
3.      Harus ada otak.
4.      Harus ada maklumat (informasi) sebelumnya.

C.    PENGETAHUAN TINGKAT II
            Manusia selain ingin mengetahui kebenaran-kebenaran yang langsung dapat di indra, dia juga ingin mengetahui obyek-obyek yang tidak dapat terindra secara langsung (obyek yang ghaib). Obyek ghaib ada tiga yaitu (An-Nabhani 1973):
1.      Sesuatu yang tersembunyi.
2.      Suatu kejadian di masa lampau.
3.      Suatu kejadian di masa yang akan datang.
            Untuk memperoleh pengetahuan tingkat II syaratnya lebih mudah di bandingkan dengan pengetahuan tingkat I, untuk memperoleh pengetahuan tingkat II syaratnya hanya satu, yaitu : harus ada dalil yang terindra secara langsung. Dalil artinya adalah petunjuk. Oleh karena itu untuk memperoleh pengetahuan tingkat II ini manusia harus mempunyai dalil terlebih dahulu. Dalil itu harus terindra secara langsung. Dengan kata lain, dalil tersebut harus merupakan kebenaran yang diperoleh dari pengetahuan tingkat I (kebenaran langsung).
D.    PENGETAHUAN TINGKAT III
            Setelah manusia memperoleh pengetahuan tingkat II, manusia tentu tidak akan berhenti sampai disini. Pengetahuan yang ingin doperoleh manusia selanjutnya adalah pengetahuan tentang pemanfaatan ilmu-ilmu murni yang telah mereka dapatkan dari pengetahuan tingkat II.
            Jika manusia telah mempunyaai banyak pengetahuan tentang unsur-unsur kimia yang murni, unsur-unsur mineral, logam, struktur atom, struktur kromosom, inti sel dan sebagainya, maka akan timbul pertanyaan, akan digunakan untuk apa semua ilmu-ilmu tersebut?
            Disini manusia akan tertantanguntuk ingin mrndapatkan pengetahuan lebih lanjut. Dengan menggunakan metode ilmiah seperti di atas, maka manusia dapat melakukan berbagai uji coba dari berbagai temuan unsur-unsur murni tersebut.
            Inilah tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi yang akan di dapat oleh manusia, yaitu pengetahuan tingkat III. Pengetahuan tingkat III ini diperoleh manusia dengan melakukan proses rekayasa (engineering) terhadap temuan-temuan murni yang berasal dari pengetahuan tingkat II. Tujuannya tentu agar manusia bisa mendapatkan produk-produk yang memiliki nilai guna yang lebih tinggi bagi manusia (Triono, 2010).
            Ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam tingkatan III ini dapat dogolongkan ke dalam kelompok ilmu-ilmu terapan (applied sciences). Contohnya adalah: teknik mesin, teknik elektro, teknik kimia, kedokteran, pertanian, peternakan dan sebagainya. Semua ilmu pengetahuan ini masuk dalam kategori rumpun ilmu pengetahuan alam.

E.     PENGETAHUAN TINGKAT IV
            Pengetahuan tingkat IV itu tidak hanya sekedar keinginan dari manusia untuk mengetahui berbagai fenomena alam maupun fenomena sosial yang dapat terindra secara langsung, yang ghaib, maupun srgala proses rekayasa dari hasil  pengetahuan tersebut.
            Pengetahuan tingkat IV adalah keinginan dari manusia untuk mengetahui hakikat dibalik fenomena yang ada dari seluruh alam semesta ini. Dengan demikian, pengetahuan yang ingin diperoleh tidak hanya sekedar tingkat I, II dan III, tetapi ingin mengetahui hakikat dibalik dari semua pengetahuan tersebut, yaitu mulai dari pengetahuan tingkat I, II dan III. Manusia tentu menyimpan rasa keingintahuan yang tinggi terhadap misteri keberadaan alam semesta ini (Triono 2010).
            Jika hendak dirumuskan, maka hakikat (kebenaran) dari pengetahuan tingkat IV  ini memang hanya dua kemungkinan, yaitu:
1.      Alam semesta, manusia dan kehidupan ini ada penciptanya.
2.      Alam semesta, manusia dan kehidupan ini tidak ada penciptanya.
            Jika pra ilmuan hendak menguji asal-muasal dari alam (materi) ini dengan menggunakan eksperimen ilmiahahatau diuji di dalam skala laboratorium, maka yang didapat oleh para ilmuan adalah sama, yaitu materi tidak akan pernah bisa diciptakan dan dimusnahkan oleh manusia. Ketika manusia berusaha menghancurkan suatu benda atau materi tertentu, dengan cara melumatnya, membakarnya, melelehkannya, menembaknya dengan sinar leser dan sebagainya, tentu tidak akan pernah bisa. Materi tidak akan pernah bisa hilang atau berkurang jumlah massanya. Yang terjadi hanyalah perubahan wujudnya saja, yaitu berubah dari bentuk padat, menjadi cair, kemudian menjadi gas dan seterusnya (Athiyat, 1988).
            Demikian juga ketika manusia berupaya untuk menambahkan jumlah materi yang ada di alam ini, sekecil apapun jumlah massa yang ingin ditambahkan, maka manusia selamanya tidak akan berhasil menambahkannya. Kesimpulan dari semua eksperimen ini adalah para ilmuwan berhasil merumuskan hukum bagi materi dan energi yang ada di dalam semesta ini yang dikenal dengan Hukum Kekekalan Materi dan Energi. Hukum kekekalan materi dan energi isinya adalah: “materi dan energi itu tidak dapat diciptakan dan juga tidak dapat dimusnahkan”.
F.     METODE ILMIAH VERSUS METODE AQLIYAH
            Setelah kita menyimak uraian terakhir dari sub-bab diatas, maka kita dapat mempertanyakan kembali posisi Islam dalam kancah ilmu pengetahuan saat ini. Lebih khusus lagi tentu saja adalah posisi dari Sistem Ekonomi Islam, yang tengah kita pebincangkan ini, apakah bisa diterima dalam ranah ilmiah atau tidak?
            Untuk dapat menjawabnya, yang menjadi  pertaruhan adalah menyangkut metode yang digunakan itu sendiri. Benarkah klaim para ilmuwan sekarang ini bahwa yang disebut “kebenaran” itu hanya dapat dihasilkan dari satu proses saja, yaitu hanya dengan metode ilmiah saja, inilah yang sseharusnya kita gugat dan kita pertanyakan kembali.
            Sekarang marilah kita memasuki area pertarungan ini. Ketika para ilmuwan berusaha untuk  “memaksakan” metode ilmiah sebagai satu-satunya metode yang dianggap absah untuk meraih kebenaran, sesungguhnya hal itu merupakan langkah mundur manusia dari khazanah ilmu pengetahuan manusia. Sebagaimana telah disingggung diatas, metode ilmiah sesungguhnya hanya merupakan salah satu cabang dari metode aqliyah. Metode ilmiah memang memiliki keunggulan,terutama kemampuannya dalam mengungkap fenomena alammaupun dalam proses untuk menghasilkan teknologi. Namun demikian, metode ilmiah sesungguhnya memiliki banyak kelemahan.
            Sebagaimana telah diuraikan diatas, keunggulan dari metode ilmiah ini adalah untuk kepentingan riset atau penelitian yang obyeknya bisa diuji dalam skala laboratorium. Sedangkan untuk obyek-obyek yang tidak bisa diuji dalam skala laboratorium, maka penggunaan metode ilmiah ini tentu akan memiliki banyak kelemahan. Sehingga kesimpulan ilmiah yang dihasilkan tentu akan sangat lemah, jauh dari kebenaran yang bersifat pasti (Athiyat 1988).
            Misalnya untuk penelitian yang obyeknya adalah fenomena sosial kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan maka penggunaan metode ilmiah adalah langkah yang terlalu dipaksakan. Sebab, fenomena sosial tidak bisa dibuat skala laboratoriumnya. Sedangkan penggunaan model matematika sesungguhnya akan “mengebiri” fenomena kehidupan sosial itu sendiri. Fenomena sosial adalah fenomena yang sangat kompleks dan dinamis, sehingga sangat tidak layak jika harus diberangus dengan hanya sekedar model matematika.
            Metode yang seharusnya digunakan manusia untuk melakukan pengkajian dan penelitian terhadap obyek-obyek seperti diatas adalah menggunakan metode aqliyah, bukan metode ilmiah. Karena dengan metode aqliyah inilah kebenaran yang bersifat pasti akan bisa diraih oleh manusia. Sekaligus, kita juga dapat mengoreksi kesalahan dari kesimpulan-kesimpulan ilmiah produk metode ilmiah tersebut.
Metode aqliyah sebagaimana telah dibahas diatas dapat digunakan untuk mencari kebenaran dari fakta-fakta yang bersifat ghaib, dengan syarat harus ada dalil-nya. Selanjutnya dari dalil yang diperoleh tersebut, akal manusia dapat memikirkan dengan akalnya untuk mencari kesimpulan yang nilainya pasti benar.
G.  PENGETAHUAN TINGKAT V
Untuk mengetahui apa saja tujuan pencipta menciptakan manusia , alam semesta dan kehidupan ini, maka ada tiga kemungkinan yang dapat difikirkan manusia, yaitu :
1.      Manusia harus menemui Pencipta untuk mempertanyakanya.
2.      Pencipta yang akan memberi informasi kepada manusia.
3.      Pencipta tidak memberi informasi kepada manusia.
Menurut manusia kemungkinan yang ke-dua yang dapat diterima akal. Sistem ekonomi islam bersumber  dari Al-Qur’an (kitab Suci ) sehingga kebenaranya dapat diteliti dengan metode Aqliyah, sehingga ada 3 kemungkinan yang akan menjadi pemikiran manusia terhadap fakta Al-Qur’an tersebut, yaitu (An-Nahbani,1953) :
1.      Al-Qur’an itu kitab karangan bangsa arab.
2.      Al-Qur’an itu karangan  Muhammad.
3.      Al-Qur’an itu kitab yang berasal dari Pencipta.
Setelah diteliti yang ke tiga inilah yang terbukti kebenarannya  dan dapat diterima akal manusia.
Dengan membuka Al-Qur’an, maka manusia akan memperoleh pengetahuan tingkat V, yaitu pengetahuan yang akan memberi penjelasan kepada manusia tenteng hakikat segala sesuatu yang ada di alam ini, khususnya yang berkaitan dengan hakikat dari tujuan penciptaan manusia.
            Manusia wajib terikat dengan syari’at islam yang telah diturunkan Allah SWT melallui Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya. Selanjutnya, syari’at islam itu mencangkup apa saja? Jawabnya dapat diringkaskan dalam tiga dimensi syari’at islam sebagai berikut :
1.      Dimensi satu
Dimensi satu adalah syari’at islam yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT secara langsung. Syar’iat Islam yang masuk dimensi satu ini meliputi :
a.       Aqoid
b.      Ibadah
2.      Dimensi dua
Dimensi dua adalah Syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Syari’at Islam yang masuk dimensi dua antara lain :
a.       Makanan
b.      Minuman
c.       Pakaian
d.      akhlaq
3.      Dimensi tiga
Dimensi tiga adalah Syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dalam bermasyarakat dan bernegara. Syari’at Islam yang masuk dimensi tiga meliputi :
a.       Sistem Pemerintahan Islam
b.      Sistem Ekonomi Islam
c.       Sistem Sosial Islam
d.      Sistem Pidana Islam
e.       Politik Pendidikan Islam
f.       Politik Luar Negeri Islam
Pengetahuan tingkat V adalah pengetahuan tentang gambaran pengaturan kehidupan manusia di atas muka bumi ini,  secara utuh dan menyeluruh. Gambaran sistem kehidupan yang utuh dan menyeluruh dari islam inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Nidzom (sistem kehidupan islam).
Jika kita mau memperhatikan Nidzom islam dalam tiga dimensi diatas, maka kita dapat mengetahui bahwa sistem ekonomi Islam ternyata masuk dalam dimensi yang ketiga. Dengan demikian , sekarang kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya sistem ekonomi islam itu dapat dikategorikan sebagai pengetahuan tingkat V.
H. PENGETAHUAN TINGKAT VI
            Kebutuhan manusia akan pengetahuan tingkat VI baru dapat muncul ketika manusia benar-benar telah menerapkan Nidzom Islam di atas. Agar semua amal yang dilakukan manusia dapat dipertanggungjawakan secara benar, yaitu keterikatanya dengan Syari’at Allah, maka manusia membutuhkan status hukum terhadap persoalan yang baru
Penentuan status hukum terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan manusia yang baru, yang status hukumnya tidak tertuang secara tekstual dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Penentuan status hukum ini harus dapat dipertanggung jawabkan secara “ilmiah” dihadapan Allah SWT. Metode tersebut adalah metode “ijtihad”.
Dengan demikian, apa yang disebut dengan pengetahuan tingkat VI itu?  Pengetahuan tidak lain adalah produk-produk ijtihad dari para mujtahid untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan manusia yang baru, yang senantiasa berkembang sedemikian dinamis dan kompleksnya seperti sekarang ini ( Triono, 2010).

0 komentar:

Posting Komentar