A. Pendahuluan
Di Indonesia, pelaksanaan hukum
Islam diwakili oleh beberapa institusi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih
dikenal oleh masyarakat sebagai lembaga yang berusaha menyelesaikan banyak
permasalahan agama dengan mengeluarkan fatwa. Di samping itu, ormas-ormas Islam
seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan yang
lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan merekomendasikan
pendapat (bahkan sikap) organisasi terhadap persoalan (hukum) yang terjadi di
masyarakat.
NU adalah sebuah kelompok yang sudah
lama berdiri di Indonesia serta berkembang dengan pesat. Mereka (ulama NU)
telah banyak mengambil keputusan hukum Islam dengan jalan melakukan Bahtsul
Masāil(mencari
solusi dari sebuah masalah) dengan banyak merujuk pada kitab-kitab fiqih yang
berbagai mazhab. Meskipun sebenarnya mereka lebih condong pada mazhab Syafi’i.
Pada makalah ini, penulis berusaha mengupas tuntas bagaimana pengambilan hukum
para ulama NU melakukannya, serta pedoman dan taktisnya dalam melakukan penetapan
sebuah hukum di Indonesia. Telah banyak penetapan hukum Islam yang dihasilkan
oleh ulama-ulama NU ini.
Menurut Ahmad Zahro -melalui
telaah dokumenter- sepanjang kurun waktu 1926 sampai dengan 1999 disimpulkan
bahwa Lajnah Bahtsul Masāil[1](dalam
penyebutan selanjutnya penulis menggunakan akronim LBM) dalam
mengaplikasikan pendekatan bermazhab menggunakan tiga macam metode penggalian
hukum yang diterapkan secara berjenjang,[2]
yaitu sebagai berikut:
Pertama,
metode qauly (tekstual); yaitu dengan merujuk langsung pada teks
pendapat imam mazhab empat atau pendapat ulama pengikutnya.[3]Kedua,
metode ilhaqi; yaitu menyamakan hukum suatu kasus yang belum ada
ketentuan hukumnya dengan kasus yang telah ada hukumnya dalam kitab-kitab fiqih.[4]Ketiga,
metode manhajiy (bermazhab secara manhajiy/metodologis); yaitu
menyelesaikan masalah hukum dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan
hukum yang telah disusun oleh imam mazhab. Prosedur operasional metode manhajiy
adalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fiqih)
dan qawaid fiqihiyyah (kaidah-kaidah fiqih).[5]
B.
Latar Belakang BerdirinyaNahdlatul Ulama
Menurut Deliar Noer,[6]NU
didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 sebagai usaha menahan
perkembangan paham pembaharu dalam Islam di Tanah Air, serta usaha
mempertahankan ajaran tradisional dan mazhab di Tanah Suci yang baru dikuasai
golongan Wahabi di bawah Raja Abdul Aziz bin Sa’ud.
Menurut Ali Haidar,[7]
kalau kemudian konflik keagamaan dengan aliran baru itu dianggap sebagai bukti
karena NU lahir di sekitar peristiwa yang terjadi itu, masih tidak bisa menutup
fakta lain adanya pergulatan panjang yang terjadi sebelumnya, sejak awal tahun
belasan, ketika sejumlah ulama muda pesantren mengembangkan kegiatan sosial
kemasyarakatan dengan obsesi mengenai hari depan umat Islam Indonesia. Mereka
inilah yang kemudian membidani kelahiran NU. Hal ini juga terbukti dari visi
keagamaan NU yang sampai sekarang tetap berkembang.
Menurut Martin van Bruinessen,[8]
kelahiran NU pada tahun 1926 tidak hanya sebagai reaksi atas serangan Islam
reformis secara nasional, tetapi juga merupakan respon atas bangkitnya
kekuasaan Islam puritan Wahabi di Mekkah.
Menurut Sholahuddin Wahid,[9]NU didirikan tahun 1926 Masehi di Jombang. Didirikan
oleh sejumlah Ulama yang pada waktu itu ada kaitannya dengan Komite Hijaz. Di
Saudi Arabia, ada gerakan dari kaum Wahabi yang dikhawatirkan akan merusak
beberapa peninggalan termasuk makam Rasulullah Saw. Kemudian ditindaklanjuti
dengan suatu kegiatan yang akhirnya memunculkan NU ini, untuk mempertahankan
Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah.
Setelah melihat keempat pendapat
tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan didirikannya NU adalah
untuk mensosialisasikan paham Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah.
Tapi perlu ditegaskan di sini bahwa berdirinya NU bukanlah antitesa bagi organisasi Islam yang
telah ada, tetapi sangat diharapkan untuk menjadi "Mitra Jihad"
bersama dalam menggalang suatu persatuan umat menuju kemajuan Islam di bumi
persada pertiwi. Kelahiran NU merupakan respon
langsung atas bangkitnya kekuasan Islam puritan Wahabi di Mekkah.
Komite Khilafah yang dibentuk
untuk mengirimkan wakil Indonesia ke Mekkah dianggap tidak dapat mewakili suara
pihak pesantren sehingga para ulama membentuk Komite Hijaz dan bersidang pada
31 Januari 1926 untuk mengirimkan wakil ke Mekkah. Dalam sidangnya menetapkan
wakil yang akan dikirim ke Mekkah; mendirikan NU yang akan memberi mandat pada
Komite Hijaz ini; dan sekaligus membubarkan Komite Hijaz ini.[10]
C.
Nahdlatul Ulama dan AhlAs-Sunnah wa Al-Jama’ah
Dalam
Anggaran Dasar NU dicantumkan bahwa NU menganut madzab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Dari segi nama mempunyai dua pengertian:[11]
1.
Sunnah berarti
metoda (tariqah), yaitu mengikuti
metoda para sahabat dan tabi’in serta salaf dalam memahami ayat-ayat
mutasyabihat dengan menyerahkan sepenuhnya pengertian ayat tersebut kepada
Allah sendiri, tidak mereka-reka menurut daya nalar manusia semata-mata.
2.
Sunnah berarti
hadis Nabi Muhammad, yaitu meyakini kebenaran hadis sahih sebagai dasar keagamaan.
Hal
tersebut menunjukkan bahwa dasar keagamaan yang dianut bersumber kepada
al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan sunnah para sahabat atau lazim dengan
ungkapan ijma’ sahabat, yaitu tradisi
yang telah melembaga dalam kehidupan sosial keagamaan para sahabat.
Dalam
Qonun Asasi yang ditulis Hadlratus
Syaikh K.H.M. Hasyim Asy’ari diberikan batasan yang praktis tentang Aswaja[12],
yaitu mazhab yang:
1.
Dalam akidah,
mengikuti salah satu dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur
al-Maturidi.
2.
Dalam ‘ubudiyah (praktek beribadah) mengikuti
salah satu imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad al-Syafi’i da
Ahmad bin Hambal.
3.
Dan dalam ber-tashawuf mengikuti salah satu dua imam:
Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.
Sekarang
ada usaha untuk merevitalisasi Aswaja dan untuk keperluan tersebut pertama kali
dilakukan usaha untuk mendudukkan Aswaja secara tepat. Selanjutnya ditandaskan
bahwa Aswaja bukanlah mazhab, tetapi manhaj
al-fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para Sahabat dan para
muridnya, yaitu generasi Tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan
relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu.
Dalam
situasi politik yang tidak menentu ada beberapa orang dari generasi Tabi’in yang bisa berpikir jernih dan
netral, seperti Sufyan al-Tsauri bin Uyainah, Imam Abi Yusuf dan Abu Hanifah.
Mereka berpendapat bahwa dalam situasi seperti itu, satu-satunya cara untuk
tetap berada di jalan lurus adalah kembaali kepada al-Qur’an. Berkaitan dengan
upaya mencari kebenaran, harus merujuk pada Q.S. al-Hajj 54 bahwa kebenaran
harus dicari dengan nalar (logika). Dari dasar ini kemudian lahir teori-teori
kebenaran, seperti ilmu bayan, ilmu burhan, dan ilmu irfan. Abu Hanifahlah
orang yang pertama merintis cara berpikir Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah. Yakni
cara berpikir dalam memahami agama yang meletakkan aspek tawasuth, tasamuh sebagai
pijakan dalam mencari jalan tengah.
Sementara
mazhab Aswaja secara resmi tersebar ketika Abu Hasan al-Asy’ari mendapat
peluang bekerjasama dengan pemerintahan Dinasti Abbasiah. Dari sini dapat
ditarik kesimpulan bahwa Aswaja adalah suatu sistem atau cara yang kembali pada
Q.S. al-Hajj 54, terlepas dari mazhabnya siapa, atau partainya apa. Abu Hanifah
mendukung dan baiat terhadap Zaid bin Ali Zainal Abidin ketika berontak
terhadap Dinasti Umayah. Ini berarti cara berpikir Abu Hanifah adalah Aswaja
tapi sikap politiknya Syi’ah. Demikian pula Imam Syafi’i mempunyai sikap
politik Syi’ah. Dengan demikian, Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah, sebagai sebuah mazhab
yang bisa dibaca secara jelas dokumen-dokumennya, sebenarnya tidak ada. Sikap
jalan tengah dipakai karena bisa menjawab situasi saat itu, dimana rakyat
sedang mengalami kebingungan.[13]
D. Otoritas Lajnah Bahtsul Masāil dalam Penetapan Hukum
1. Antropologi LajnahBahtsul Masāil
Menelisik antropologi LajnahBahtsul Masāil sama halnya
menelursuri asal-usul sebuah pemikiran yang membutuhkan upaya serius
menghubungkan antara pemikiran tersebut dengan ruang dan waktu, serta
masyarakat yang melingkupinya. Sejarah telah membuktikan bahwa tidak satupun
sebuah pemikiran muncul dari ruang kosong budaya yang terkonstruksi oleh sebuah
komunitas sosial. Demikian halnya LBMsebagai wahana untuk meretas pemikiran
ulama NU sebagai respon terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat
baik yang bersifat kasuistik (al-masāil al-wāqi'yyah), maupun yang
bersifat pengembangan pemikiran (al-masāil al-ittirādiyyah). Dalam
rentang sejarah perjalanannya, tentu LBM tidak terlepas dari pengaruh situasi
dan kondisi yang ada dan sekaligus mewarnai corak dan tampilannya serta
keragaman produk hukum yang dihasilkannya.
Adapun LBM secara institusional baru berdiri pada Muktamar
XXVIII di Yogyakarta 1989. Ketika itu Komisi I (Bahtsul Masāil)
merekomendasikan kepada Pengurus Besar NU untuk membentuk Lajnah Bahtsul
Masāil ad-Diniyyah (lembaga kajian masalah-masalah keagamaan) sebagai
lembaga permanent yang khusus menangani persoalan-persoalan keagamaan.
Rekomendasi tersebut kemudian didukung oleh forum halaqah (sarasehan)
pada tanggal 26-28 Januari 1990 bertempat di Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif
Denanyar, Jombang, Jawa Timur yang juga merekomendasikan terbentuknya lembaga
tersebut dengan harapan dapat menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk
melakukan ikhtiyar istinbatjama'i (penggalian dan penetapan hukum secara
kolektif). Kemudian pada tahun 1990 M. terbentuklah sebuah institusi yang
bernama Lajnah Bahtsul Masāil ad-Diniyyah tersebut berdasarkan Surat
Keputusan PBNU Nomor 30/A.I.05/5/1990.[14]
Institusi tersebut bertugas mengkoordinasikan kegiatan kajian-kajian seputar
masalah-masalah keagamaan yang bersifat fiqih. Kegiatannya meliputi pengumpulan
masalah dari warga sampai dengan menyelenggarakan forum kajian untuk membahas
masalah-masalah yang telah diinventarisasi sebelumnya.
Sejak tahun 1926 sampai dengan 2004 LBM telah memutus 436
masalah keagamaan kasuistik-praktis dan 20 masalah keagamaan tematik-teoritis.
Muktamar I di Surabaya pada tanggal 13 Rabius Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 M
memutus 27 masalah, Muktamar II di Surabaya pada tanggal 12 Rabius Tsani 1346
H./9 Oktober 1927 M memutus 9 masalah, Muktamar III di Surabaya pada tanggal 12
Rabius Tsani 1347 H./28 September 1928 M. memutus 22 masalah, Muktamar IV di
Semarang pada tanggal 14 Rabius Tsani 1348 H./19 September 1929 M. memutus 26
masalah, Muktamar V di Pekalongan pada tanggal 13 Rabius Tsani 1349 H./7
September 1930 M. memutus 23 masalah, Muktamar VI di Pekalongan tanggal 22
Rabius Tsani 1350 H./27 Agustus 1931 M. memutus 11 masalah, Muktamar VII di
Bandung pada tanggal 13 Rabius Tsani 1351 H./9 Agustus 1932 M. memutus 11
masalah, Muktamar VIII di Jakarta pada tanggal 12 Muharram 1352 H./7 Mei 1933
M. memutus 15 masalah, Muktamar IX di Banyuwangi pada tanggal 8 Muharram 1353
H./23 April 1934 M. memutus 12 masalah, Muktamar X di Surakarta pada tanggal 10
Muharram 1354 H./ 5 April 1935 M. memutus 25 masalah, Muktamar XI di
Banjarmasin pada tanggal 19 Rabiul Awal 1355 H./9 Juni 1936 M. memutus 15
masalah, Muktamar XII di Malang pada tanggal 12 Rabius Tsani 1356 H./25 Maret
1937 M. memutus 18 masalah, Muktamar XIII di Menes Banten pada tanggal 13
Rabius Tsani 1357 H./12 Juli 1938 M. memutus 22 masalah, Muktamar XIV di
Magelang pada tanggal 14 Jumadil Ula 1358 H./1 Juli 1939 M. memutus 21 masalah,
Muktamar XV di Surabaya 10 Dzul Hijjah 1359 H./9 Pebruari 1940 M. memutus 13
masalah. Muktamar XVI di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946 M. memutus 5
masalah, Muktamar XX di Surabaya tanggal 10-15 Muharram 1374 H./8-13 September
1954 M. memutus 5 masalah, Konfrensi Besar Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul
Ulama di Surabaya tanggal 16-17 Sya’ban 1376 H./19 Maret 1957 M. memutus 2
masalah, Konfrensi Besar Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Jakarta
21-25 Syawal 1379 H./18-22 April 1960 M. memutus 19 masalah, Konfrensi Besar
Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Jakarta 1-3 Jumadil Ula 1381 H./11-13
Oktober 1961 M. memutus 7 masalah, Rapat dewan partai NU di Salatiga tanggal 25
Oktober 1961 M. memutus 1 masalah tentang perempuan mencalonkan diri menjadi
kepala desa, Muktamar Nahdlatul Ulama XXIII di Solo tanggal 29 Rojab - 3
Sya’ban 1381 H./25-29 Desember 1962 M. memutus 6 masalah, Muktamar Nahdlatul
Ulama XXV di Surabaya tanggal 20-25 Desember 1971 M. memutus 8 Masalah,
Muktamar Nahdlatul Ulama XXVI di Semarang tanggal 10-16 Rojab 1399 H./5-11 Juni
1979 M. memutus 6 masalah, Munas Alim Ulama di Kaliurang Yogyakarta tanggal 30
Syawal 1401 H./30 Agustus 1981 M. memutus 11 masalah, Munas Alim Ulama di
Sukorejo Situbondo tanggal 6 Rabiul Awal 1404 H./21 Desember 1983 M. memutus 6
masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXVII di Situbondo 8-12 Desember 1984 M.
memutus 16 masalah, Munas Alim Ulama di Kesugihan Cilacap 23-26 Rabiul Awal
1408 H./15-18 Nopember 1987 M. memutus 8 masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama
XXVIII d Muktamar Nahdlatul Ulama di Pndok Pesantren Krapayak Yogyakarta 26-29
Rabiul Akhir 1410 H./25-28 Nopember 1989 M. memutus 23 masalah, Munas Alim
Ulama di Bandar Lampung 16-20 Rajab 1412 H./21-25 Januari 1992 M. memutus 1
masalah penting yaitu tentang sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahtsul
Masail di lingkungan NU. Pada saat inilah dunia pemikiran di kalangan NU telah
mengalami kejuan yang signifikan karena melelui Munas ini dapat disepakati
tentang metode bermazhab secara manhaji (metodologi). Metode ini sebagai
metode alternatif dari dua metode yang telah digunakan sebelumnya yakni metode qauli
(tekstual) dan metode ilhaqi (analogi).
Selanjutnya pada Muktamar Nahdlatul Ulama XXIX di Cipasung
Tasikmalaya tanggal 1 Rojab 1415 H./4 Desember 1994 M. memutus 9 masalah waqi’iyyah
dan 3 masalah maudu’iyyah, Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren Qomaeul
Huda Bagu, Pringgarata Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat tanggal 16-20 Rojab
1418 H./17-20 Nopember 1997 M. memutus 13 masalah waqi’iyyah dan 4
masalah maudu’iyyah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXX di Lirboyo Kediri Jawa
Timur 21-27 Nopember 1999 M. memutus 10 masalah waqi’iyyah dan 6 masalah
maudu’iyyah, Munas Alim Ulama di Pondok Gede Jakarta tanggal 14-17
Rabiul Akhir 1423 H./25-28 Juli 2002 M. memutus 5 masalah waqi’iyyah
(kasuistik) dan 4 masalah muduiyyahsiyasiyyah (tematik-teoritis-politik)
kontemporer seperti masalah zakat profesi, Hutang Negara, hukuman bagi
koruptor, dan money politik. Muktamar Nahdlatul Ulama XXXI di Asrama Haji
Donohudan Boyolali Jawa Tengah 16-18 Syawal 1425 H./29 Nopember-1 Desember 2004
M. memutus 4 masalah waqi’iyyah (realistis-kasuistik) dan 3 masalah mauduiyyah
(tematik-teoritis).
Sudah menjadi tradisi Fatwa Bahtsul Masāil NU ruang
lingkup wilayah fatwanya bernuansa Masāilal-Waqi’yah,
Masāilal-Maudlu’iyyah dan dan pada tahun 2006 ditambah dengan Masāil
al-Qanuniyyah.
Fatwa-fatwa NU kurun waktu 2000 hingga tahun 2010 konstruksi
fatwanya dibangun dari pendapat-pendapat ulama yang tergolong mu’tabarat,
kedudukan kitab-kitab mu’tabarat semakin kuat dijadikan pegangan fatwa
NU di perkuat dengan hasil Muktamar XXXI NU tahun 2004 Boyolali Jawa Tengah dan
MUNAS Alim Ulama NU tahun 2006 di Surabaya. Bermazhab sebagai metodologis fatwa
semakin kokoh dengan dikeluarkannya Keputusan Munas Alim Ulama NU Nomer
02/Munas/VII/2006 tentang kerteria referensi al-Kutub al-Mu’tabarah yang
lebih rinci dari mazhab al-arba’ah dan kitab-kitab yang memenuhi fikrah
Nahdliyah termasuk kitab-kitab yang digolongkan Mu’tamad dan Mu’tasar,
kitab-kitab yang dikelompokan dapat dijadikan dasar fatwa dan kitab-kitab yang
hanya sebagai penjelasan saja, tetapi tidak dapat dijadikan pegangan fatwa.
Kurun waktu 2000-2010 dari tiga kali Munas NU di antaranya
tanggal 25-28 Juli 2002. di Pondok gede jakarta, Asrama Haji Sukolilo Surabaya
27-30 juli 2006 dan 2010 di Makasar memiliki dua pola konstruksi fatwa, kurun
waktu 1926 ketika kelahiran NU hingga tahun 2002 Fatwa NU di dalam diktum
keputusan fatwa ditulis dengan sistematika: permasalahan dan pemaparan jawaban
yang dinukilkan dari kitab-kitab mu’tabarat, setelah tahun 2006 format
keputusan fatwa berubah sistematika yaitu terdiri dari tiga diktum (1)
Permasalahan, (2) dalil Al-Qur’an dan Hadis, (3) pendapat ulama yang dinukilkan
dari kitab mu’tabarat.
Kegiatan Bahtsul masail sesungguhnya tidak hanya dilakukan di
tingkat Pengurus Besar NU tetapi juga dibudayakan di tingkat Pengurus Wilayah,
Pengurus Cabang, dan Pengurus Majelis Wakil Cabang di tingkat kecamatan.
2.
Dominasi Fiqih Empat Mażhab
dalamBahtsul Masāil
Dalam setiap kajian hukum Islam (fiqih) di NU, yang secara
operasional pelaksanaannya dilaksanakan oleh LBM menggunakan pola bermazhab,
yakni mengikuti salah satu dari empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali,
baik secara qauliy (tektual) maupun manhajiy (metodologis).
Menurut Kyai Hasyim Asy'ari, dengan mengikuti pola bermazhab akan mendapatkan
kebaikan dan mashlahah yang tak terhitung bagi umat Islam. Sebab ajaran Islam
tidak dapat fahami kecuali melalui pemindahan dan pengambilan hukum dengan cara
tertentu yang disebut istinbāt al-ahkām. Pemindahan tidak akan benar dan
murni kecuali dengan cara mentransformasikan ajaran secara langsung dari suatu
generasi ke generasi selanjutnya.[15]
Dalam konteks istinbāt al-ahkām, mazhab-mazhab sebelumnya harus dikenali
agar tidak keluar dari pendapat ulama sebelumnya yang dapat menyebabkan keluar
dari ijma'. Dalam Qanūn Asāsi (undang-undang dasar) NU juga disebutkan,
barang siapa mengambil ilmu dengan tidak menyebut sanad (dengan kata
lain tidak bermazhab), maka orang itu seperti pencuri.[16]
Oleh karenanya, ilmu yang didapat dengan cara seperti itu disebut ilmu tanpa
guru yang berkonsekuensi diragukan akan kebenaran dan validitasnya.
Berbeda dari pandangan kelompok
seperti Muhammadiyah dan Persis (keduanya hanya menerima skolastisisme
al-Asy’ari sebagai landasan “kesunnian” mereka), NU melalui doktrin Ahlussunnah
wal jamaah-nya sengaja mengembangkan tradisi keilmu agamaan paripurna dan
baku karena telah membagi siklus kehidupan para warganya dalam sejumlah
lingkaran kegiatan atau bidang yang baku.[17]
Dalam berfiqih, NU sesungguhnya
tidak hanya terbatas pada mengikuti pandangan empat imam mazhab besar tersebut
tetapi juga pendapat ulama-ulama turunannnya yang telah mengembangkan tidak
hanya literatur keputusan hukum agama dalam skala massif (misalnya sebuah corpusmagnum
berjudul al-Majmu’, komentar atas kitab al-Muhazzab, terdiri dari
empat belas jilid dengan rata-rata 400 halaman perjilidnya), melainkan juga
cara-cara untuk menyusun pemikiran hukum (legal maxim, qawaidul fiqih),
menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisinya dan
persyaratan yang melatarbelakangi sesuatu masalah yang tadinya sudah diputuskan
ternyata telah mengalami perubahan. Di sinilah terletak dinamika perkembangan
hukum Islam melalui fiqih dapat dilakukan, walaupun dalam batasan-batasan yang
tetap masih ketat karena harus tidak boleh keluar dari lingkup bermazhab.[18]
Pada praktiknya NU mempunyai
kecenderungan mengikuti mazhab Syafi'i secara lebih dominan dibanding tiga
mazhab yang lain bahkan sering “tidak konsisten” karena menggunakan pegangan
pendapat para ahli fiqih "turunan" imam mazhab, tidak langsung dari
sumberutamanya (pendapat imam mazhab). Hal itu terjadi karena keterbatasan
referensi di luar mazhab Syafi’i dan kebiasaan para pengkajinya yang mayoritas
di lingkungan pesantren yang diasuh oleh para Kyai yang mengajarkan kitab-kitab
syafi’iyyah, seperti Fath al-Qarīb al-Mujīb, Fath al-Mu’īn, Fath al-Wahhāb,
Qulyubi ibn ‘Amīrah, Tuhfah, dan sebagainya. Dalam mazhab Syafi'i misalnya,
NU lebih sering menggunakan pendapat Imam Nawawi[19]
atau Imam Rafi'i[20]
dan para ulama syafi’iyyah lainnya seperti al-Muzani,[21]
ar-Ramli,[22]
ibn Hajar al-Haitami,[23]
Zakariya al-Anshari[24]
dan sebagainya dari pada pendapat Imam Syafi'i sendiri. Dengan kata lain, NU
sebetulnya mengikuti pendapat "syafi'iyyah" ketimbang
"Syafi'i". Hal itu tampak jelas terutama dalam kajian-kajian wāqi’iyyah,
qānūniyyah, dan maudū’iyyah di forum-forumBahtsul Masāil yang
merupakan forum ilmiah di lingkungan NU untuk membahas persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan hukum.[25]
E.
Sistem Pengambilan Keputusan Hukum
1.
Prosedur Pemecahan Masalah
Keputusan Bahtsul Masāil di
lingkungan Nahdlatul Ulama dibuat dalam kerangka bermazhab kepada salah satu
mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauliy
dari pada bermazhab secara manhaji. Oleh karena itu, prosedur pemecahan
masalah yang dibahas dalam forum tersebut sederhana dan praktis dengan langkah
sebagai berikut:[26]
Pertama, dalam kasus ketika jawaban
masalah bisa dicukupi oleh 'ibārah al-kitāb (ungkapan teks kitab
rujukan) dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah (pendapat), maka
dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam teks tersebut.
Secara operasional prosedur pertama ini dilakukan dengan mencocokkan kasus yang
hendak dicari jawaban hukumnya dengan arti teks fiqih secara tektual tanpa ada
pertimbangan konteks situasi dan kondisi dimana teks itu muncul.
Kedua, dalam kasus ketika jawaban
masalah bisa dicukupi oleh 'ibārah al-kitāb (ungkapan teks kitab
rujukan) dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan
taqrīr jama'i (penetapan secara kolektif) untuk memilih satu qaul/wajah
yang dianggap lebih valide. Perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih
secara hirarkis sebagai berikut:
(1)
Pendapat yang disepakati asy-Syaikhani (al-Nawawi dan
Rofi’i),
(2)
Pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja,
(3)
Pendapat yang dipegang oleh Rafi’i saja,
(4)
Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama,
(5)
Pendapat ulama yang terpandai,
(6)
Pendapat ulama yang paling wara’.
Ketiga, dalam kasus tidak ada qaul/wajah
sama sekali yang dapat memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur lhāqul
masāil bi naza'iriha (mempersamakan masalah-masalah dengan masalah-masalah
lain yang mempunyai kemiripan)secara jama'i (kolektif) oleh para
ahlinya. Prosedur yang ketiga ini dilakukan dengan mengikuti logika analogi
dalam metode al-qiyās. Prosedur ini sering disebut sebagai metode “al-qiyās”
khas Nahdlatul Ulama. Betapapun dinamisnya, metode ini masih belum beranjak
dari kerikatan dengan teks fiqih tanpa mempertimbangkan konteks masing-masing
masalah yang hendak dipersamakan hukumnya.
Keempat, dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan
tidak mungkin dilakukan ilhāqul masāil bi naza'iriha (mempersamakan
masalah-masalah dengan masalah-masalah lain yang mempunyai kemiripan) secara jama'i
(kolektif), maka bisa dilakukan istinbatjama'i[27]
(menggali hukum dari sumbernya secara kolektif) dengan prosedur bermazhab
secara manhaji (metodologis) oleh para ahlinya. Metode ini secara
operasional dilakukan dengan cara mengalisa masalah menggunakan perangkat
metodologis teori-teori dalam uşūl fiqih dan qawāidul fiqihiyyah.
Dari hirarki tersebut dapat dipahami bahwa arus utama prosedur yang digunakan
oleh Lembaga Bahtsul Masail NU masih bersifat tekstual.
2. Hirarki dan Sifat Keputusan
Ketetapan hukum yang dihasilkan di
lingkungan Nahdlatul Ulama hanya bersifat sebagai fatwa yang diambil dalam
rangka memberikan jawaban terhadap kasus yang terjadi di tengah masyarakat.
Dengan demikian tidak ada keharusan bagi setiap warga Nahdlatul Ulama tunduk
pada hasil keputusan hukum tersebut. Begitu pula tidak ada tata urutan yang
secara hirarki dapat membedakan dari segi kekuatan hukum antara yang satu
dengan yang lain. Hal ini dilatarbelakangi bahwa apa pun hasil keputusan hukum
yang telah dihasilkan dalam Bahtsul masail (kajian masalah) baik dalam
tingkatan Muktamar, Munas, Konfrensi, maupun yang lain adalah tidak ubahnya
sebagai hasil ijtihad.[28]
Oleh karenanya, seluruh keputusan Bahtsul
masail di lingkungan Nahdlatul Ulama yang diambil dengan prosedur yang
telah disepakati dalam Munas 1992, baik diselenggarakan dalam struktur
organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajad dan tidak
saling membatalkan.[29]
Suatu hasil keputusan Bahtsul masail dianggap mempunyai kekuatan daya
ikat (secara moral bagi warga NU) lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus
Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.[30]
Adapun sifat keputusan dalam Bahtsul masail tingkat Munas dan tingkat
Muktamar adalah untuk mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan
sebelumnya dan atau diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai
dampak yang luas dalam segala bidang.[31]
Macam-macam Bahtsul masail
dapat dipetakan dengan mengikuti ragam permusyawaratan organisasi yang meliputi
empat tingkatan yakni
(1)
tingkat pusat/berskala nasional terdiri dari Muktamar,
Musyawarah Nasional Alim-ulama, Konfrensi Besar;
(2)
tingkat wilayah/setingkat propinsi, permusyawaratan (termasuk
Bahtsul masail) dilaksanakan dalam Konfrensi Wilayah;
(3)
tingkat cabang/kabupaten dan kecamatan Bahtsul masail
dilakukan melalui forum Konfrensi Cabang (untuk tingkatcabang/kabupaten dan
kotamadya), dan Konfrensi Majelis Wakil Cabang (untuk tingkat majelis wakil
cabang/kecamatan);
(4)
tingkat desa pembahasan tentang masalah-masalah keagamaan
dilaksanakan dalam forum Rapat Anggota.[32]
Muktamar diselenggarakan oleh
Pengurus Besar setiap lima tahun sekali dan dihadiri oleh Pengurus Besar,
Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang di Seluruh Indonesia dan dihadiri juga oleh
para alim-ulama serta undangan dari tenaga ahli yang berkompeten. Muktamar NU
membahas persoalan-persoalan sosial dan keagamaan (wāqi’iyyah, maudūiyyah,
dan qānūniyyah), program pengembangan NU, laporan pertanggungjawaban
Pengurus Besar, menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta
memilih pengurus baru.[33]
Musyawarah Nasional (Munas)
Alim-ulama adalah permusyawaratan yang dihadiri oleh para alim-ulama
diselenggarakan oleh Pengurus Besar Syuriah yang dipimpin oleh seorang Ra’is Am
sebagai pimpinan tertinggi dalam organisasi NU, sebanyak-banyaknya satu kali dalam
satu periode masa khidmah (pengabdian/5 tahun) Pengurus Besar. Pertemuan
nasional tersebut diselenggarakan secara khusus untuk membahas masalah
keagamaan. Munas Alim-ulama tidak dapat mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga, keputusan-keputusan Muktamar, dan tidak dapat memilih pengurus
baru.[34]
Permusyawaratan lain yang
setingkat dengan Munas Alim-ulama adalah Konfrensi Besar. Permusyawaratan ini
diadakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (tingkat pusat) atau
direkomendasikan oleh sekurang-kurangnya separoh dari jumlah Pengurus Wilayah
(tingkat propinsi) yang sah dan merupakan instansi permusyawaratan tertinggi
setelah Muktamar. Konfrensi ini dihadiri oleh Pengurus Wilayah untuk
membicarakan, mengevaluasi dan monitoring pelaksanakan keputusan Muktamar,
mengkaji perkembangan organisasi dan peranannya di masyarakat, serta membahas
masalah-masalah sosial dan keagamaan baik yang bersifat wāqi’iyyah
(kasuistik), maudūiyyah (tematik), maupun qānūniyyah (peraturan
dan perundang-undangan).[35]
Adapun permusyawaratan yang lain
di tingkat wilayah/propinsi, daerah/kabupaten dan kota madya, dan majelis wakil
cabang/kecamatan secara berurutan bernama Konferesi Wilayah, Konferensi Cabang,
dan Konferensi Majelis Wakil Cabang. Ketiga-tiganya digelar sekali dalam lima
tahun, dihadiri oleh pengurus pada tingkat masing-masing dan pengurus satu
tingkat di bawahnya, kecuali Konferensi Cabang yang diikuti oleh Pengurus
Cabang, pengurus Wakil Cabang, dan Pengurus Ranting. Agenda utama yang dibahas
dalam forum ini adalah disamping membahas tentang laporan pertanggungjawaban
kerja dari pengurus lama, evaluasi keorganisasian, pemilihan pengurus baru
termasuk program kerja dan tugas-tugas terkait, juga membahas masalah-masalah
sosial dan keagamaan.[36]
Selain bentuk permusyawaratan
tersebut masih terdapat bentuk permusyawaratan tingkat paling rendah.
Permusyawaratan itu bernama Rapat Anggota; diselenggarakan oleh pengurus
ranting sekurang-kurangnya setiap lima tahun sekali, untuk membahas laporan
pertanggungjawaban pengurus serta membahas masalah-masalah sosial keagamaan.[37]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa forum Bahtsul masail diselenggarakan pada setiap event
permusyawaratan dari tingkat Pengurus Besar sampai dengan tingkat Pengurus
Ranting di desa-desa. Di luar event tersebut sesungguhnya Lembaga Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) diberikan kelonggaran untuk menyelenggarakan
kajian-kajian sosial keagamaaan secara rutin yang waktu, durasi, dan
frekuensinya secara teknis dapat ditentukan oleh pengurus lembaga tersebut di
bawah koordinasi pengurus NU pada tingkat masing-masing sesuai dengan
kebutuhan.
Pola seperti inilah yang pada
perkembangannya menjadi sebuah budaya yang dapat memberikan ruang kebebasan
bagi masyarakat NU untuk memberikan pendapat hukum terkait dengan persoalan
yang muncul. Budaya tersebut di satu sisi memang positif karena dapat
memunculkan egalitarianitas pendapat hukum karena keputusan hukum tidak harus
ditentukan oleh institusi tertentu yang lebih tinggi dan bersifat absolute. Di
sisi yang sama juga memunculkan dampak negatif karena kepastian hukum menjadi
relatif artinya masyarakat dihadapkan pada alternatif-alternatif pendapat hukum
yang beragam, sehingga terkesan sebuah keputusan hukum menjadi sebuah informasi
biasa yang tidak punya daya ikat sama sekali. Akibatnya, keputusan hukum yang
dihasilkan dari forum tertinggi (tingkat muktamar) sekalipun misalnya, menjadi
tidak dapat tersisialisasi dan terimplementasi dengan baik ketika ternyata
bertentangan atau tidak disetujui oleh keputusan ditingkat paling rendah, yakni
pengurus ranting (para kyai “ndeso”) yang sesungguhnya merekalah yang berurusan
langsung dengan masyarakat NU di bawah.
F.
Kesimpulan
Lembaga Bahtsul Masail NU sudah punya perangkat motode yang
cukup komprehensif untuk mengkaji persoalan-persoalan sosial kemasyarakat
kontemporer, walau perlu juga adanya penyempurnaan secara terus-menerus supaya ada integrasi model penemuan hukum yang merupakan tazwij (integrasi) antara istidlal dengan model kajian deduktif-normatif
dan istiqra’ dengan induksi empiris atau scientif cum doctriner, karena salah satu kelemahan terbesar kajian hukum adalah lack of empiricism. Supaya empiris dan kontekstual, maka kajian hukum
Islamnya juga harus menggunakan referensi lokalitas di mana lingkungan sosiologis
dan geografis dijadikan salah satu faktor analisis penentuan hukum. Pemahaman
hukum Islam jangan sampai hanya terjebak pada kungkungan teks dengan model
produk hukum hitam putih, kaku dan a
historis tetapi
pembahasan terhadap persoalan hukum juga harus bertumpu pada realitas sosial
yang disentuh dengan pandangan maslahah dan maqashid
syari’ah lewat
pendekatan burhani. Oleh karena itu, LBM NU perlu
melakukan verifikasi keputusan hukum dan melakukan reaktualisasi serta
mengaplikasikan pembaharuan metodologi dan kajian hukum multidisiplin. Beberapa
keputusan NU di masa lalu dirasa sudah out of
date dan perlu
verifikasi. Oleh karena itu, tim NU harus melakukan verifikasi terhadap
beberapa keputusan sesuai dengan paradigma, pendekatan dan metodologi ilmu modern.
Hal ini untuk mengembalikan fungsi hukum Islam sebagai al-ahkam al-‘amaliyyah.
[1] LajnahBahsul
Masāiladalah semacam lembaga fatwa keagamaan milik Nahdlatul Ulama (NU). Secara
operasional lembaga ini melakukan kajian hukum Islam untuk menemukan ketentuan
hukum dari masalah-masalah yang terjadi di masyarakat (masa’il waqi’iyyah).
[2] Ahmad Zahro, Tradisi
Intelektual NU: LajnahBahsul Masāil1926-1999, (Yogyakarta: LKiS, 2004),hlm. 118-124.
[3] Aziz
Masyhuri, Masalah Keagamaan NU, (Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press,
1997), hlm. 365-367.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional,
(Bandung: Mizan, 2000), hlm. 85.
[7] M. Ali
Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di
Indonesia: Pendekatan Fiqih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm.
11.
[8] Imam Baehaqi
(ed.), Kontroversi Aswaja: Aula
Perdebatan dan Interpretasi, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm. Ix.
[9] Sholahuddin
Wahid, “Profil Nahdlatul Ulama”, Wawancara dimuat dalam Majalah Tabligh Vol.01/No.08/Maret 2003, Diakses
pada hari minggu 20 April 2014.
[10] M. Ali
Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di
Indonesia: Pendekatan Fiqih dalam Politik, hlm. 58-59.
[12]Said Aqiel
Siradj,“Latar Kultural dan Politik Kelahiran Aswaja”, Dalam Imam Baehaqi (ed.),
Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan
Interpretasi, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm. 3.
[14]Imam AZ dan
Nasikh, "Liputan: Dari halaqah Denanyar", Santri, No. 3, Th. I
(1990), hlm. 22-26.
[15]Mata rantai dalam transfer ajaran tersebut dikenal dengan
sebutan sanad; sebuah istilah yang diadopsi dari istilah mata rantai
dalam periwayatan hadis yang dikaji dalam ilmu dirāyah al-hadis. Lihat
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Musthalahu al-Hadīś wa ‘Ulūmuhu,Cet. Baru
(Beirut: Dar al-Fikr, 2006), hlm. 200.
[16]M. Muhsin Jamil dkk., Nalar Islam Nusantara, Studi Islam
Ala Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan NU, (Jakarta: Dirdiktis Dirjend Pendis, 2007), hlm. 363.
[19]Nama aslinya adalah Yahya bin Syaraf bin
Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada
bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus)
yang sekarang merupakan ibukota Suriah.
[20]Nama aslinya adalah Abu al-Qasim Abdul Karim al-Rafi’i.
[21]Nama aslinya adalah Iyas Ibn
Muawiyah Al-Muzani (175-264 H).
[22]Nama aslinya adalah Imam Syihabuddin Ahmad bin Hamzah
ar-Ramli al-Anshari. Anaknya bernama Imam Syamsuddin Muhammad ar-Ramli
al-Anshari pengarang buku“Nihayah”.
[23]Nama aslinya adalah Syihabuddin Ahmad bin Hajar al Haitami,
Lahir di Mesir tahun 909 H. dan wafat di Mekkah tahun 974H. Pada waktu kecil
beliau diasuh oleh dua orang Syeikh, yaitu Syeikh.Syihabuddin Abul Hamail dan
Syeikh Syamsuddin as Syanawi. Pada usia 14 tahun beliau dipindahkan belajar
masuk Jami’ Al Azhar. Pada Unirnersitas Al Azhar beliau belajar kepada Syeikhul
Islam Zakariya al Anshari dan lain-lain.
[24]Nama aslinya adalah Syeikh Zakaria al-Anshari al-Khazraji.
Khazraj adalah daerah asal beliau.
[25]Abdurrahman Wahid, Prisma …, hlm. 365.
[26]Tim PW LTN NU Jatim (Penyunting), Ahkamul Fuqaha, Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul
Ulama (1926-2004 M.), Cet. III, (Surabaya: LTN NU Jawa Timur - Khalista,
2007), hlm. 446-449.
[27]Ibid.
[28]Ibid.
[29]Ibid.
[30]Keputusan Muktamar 31 Nahdlatul
Ulama tahun 2004 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Diakses pada
hari minggu 20 April 2014 dari www.gp-ansor.org/.../sistem-pengambilan-hukum-islam-dalam-bahtsul-masail.html.
[31]Ibid.
[32]Ibid.
[33]Ibid.
[34]Lihat Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama.
[35]Aceng Abdul Azis Dy. dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di
Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Cet. II
(Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007), hlm. 134.
[36]Ibid.
[37]Lihat Ibid, hlm 135.Konfrensi Besar dikatakan
setingkat dengan Munas Alim-ulama karena Konfrensi Besar jugs tidak memiliki
kompetensi untuk mengubah AD/ART dan tidak dapat mengadakan pemilihan pengurus
baru.