PENDAHULUAN
Perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan, bahkan kekerasan
terhadap perempuan merupakan kontruk sosial yang dan budaya yang sangat
panjang. Namun karena kontruk sosial itu telah menjadi “kebiasaan” dalam waktu
yang lama, maka ia menjadi sebuah ideologi yang mengakar dalam kesadaran
individu masing-masing. Perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang
tidak dapat diubah dan bersifat kodrati. Tak dipungkiri juga bahwa salah satu
penyebab yang melanggengkan kontuk-sosial perbedaan (ketidak adilan) gender
adalah pemahaman agama.
Islam sebagai agama yang datang untuk mendobrak kontruk sosial
serta budaya patriarkhi sejatinya telah menempatkan laki-laki dan perempuan
dalam posisi yang sama-sejajar. Tradisi Arab yang waktu itu secara umum
menempatkan perempuan hampir sama-bahkan dapat dikatakan sama dengan hamba
sahaya dan harta benda, yaitu perempuan-perempuan diperbudak, diperjual
belikan, dan seorang anak dapat mewarisi isteri ayahnya yang tak lain adalah
ibu-ibu mereka.
Tak hanya itu, tradisi dan budaya Arab juga sangat keji tatkala
seorang isteri melahirkan bayi perempuan, maka serta merta anak itu langsung
dikubur hidup-hidup, karena bagi mereka mempunyai anak perempuan itu adalah
sebuah aib dan melambangkan simbol kelemahan. Lalu setelah itu, datanglah Nabi
Muhammad saw. Sebagai suri tauladan yang baik membawa semangat universalisme “kesetaraan”
serta mendobrak budaya patriarkhi ditengah-tengah bangsa Arab.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: “Barangsiapa mengerjakan
amal-amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia beriman, maka mereka
itu masuk surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (Q.S. an-Nisa: 124),
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”
(Q.S. al-Muddatsir: 38).[1]
Semangat Islam yang seperti itu kemudian diinterpretasi dan dipahami oleh
orang-orang Arab yang mempunyai budaya dan ideologi patriarkhi, sehingga hasil
penafsiran cenderung bias gender dengan memposisikan wanita lebih rendah
daripada laki-laki. Hasil penafsiran-penafsiran yang bias gender tersebut
menghantarkan salah satu produk pada pemahaman teks nash Al-Qur’an dan Hadits
yang misoginis,[2] salah
satunya adalah pemaknaan hadits Nabi bahwa seorang perempuan muslimah tidak
diperkenankan berpuasa sunnah tanpa izin suaminya.
Pemahaman seperti itu patut dipersoalkan karena bertentangan dengan
prinsip universalisme dan kesetaraan yang sudah dikemukakan dimuka.
Rumusan Masalah:
1.
Bagaimana
pandangan Al-Qur’an terhadap perempuan dan segala aspek kehidupan sosialnya?
2.
Apakah
benar pemahaman makna hadits tentang keharusan izin seorang perempuan dalam
melakukan ibadah puasa sunnah?
Tujuan Masalah:
1.
Untuk
mengetahui sejauh mana Al-Qur’an dalam memandang seorang perempuan dan segala
aktivitas kehidupan sosial yang dilakukannya.
2.
Untuk
mengetahui dan mencari makna hadits yang adil dalam hak perempuan terkait
keharusan izin seorang perempuan dalam melakukan ibadah puasa sunnah.
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Perempuan dalam Al-Qur’an
Secara historis, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat
disepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat matriakal, yang jumlahnya tidak
seberapa perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Disinilah muncul
doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak cocok
memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki dan
karena itu dianggap tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan
mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, dengan
bertindak sebagai ayah, saudara laki-laki, ataupun suami. Disini perempuan
sangat dibatasi, yaitu hanya berada dirumah, dapur, dia dianggap tidak mampu
mengambil keputusan diluar wilayahnya. Dalam hal ini terutama memusatkan
perhatian kepada status yang diberikan Al-Qur’an kepada perempuan dan bagaimana
para fuqaha memandangnya dalam kondisi yang berbeda-beda. Pertanyaannya adalah
apakah status yang diberikan Al-Qur’an kepada perempuan? Apakah status yang
setara ataukah yang lebih rendah? Para ulama fuqaha menyatakan secara tegas
bahwa perempuan diberikan status yang lebih rendah; sebagian ulama kontemporer
atau modernis cenderung menyakini bahwa Al-Qur’an memberikan status yang setara
antara laki-laki dan perempuan.[3]
Para fuqaha cenderung memberikan status lebih unggul laki-laki
dengan perempuan, hal ini dapat dipengaruhi beberapa faktor, karena seperti
kitab-kitab suci lainnya, interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an sangat tergantung
kepada sudut pandang penafsirnya. Pada puncaknya posisi apriori seseoranglah
yang menentukan makna dari sebuah kitab suci bagi pembaca atau penafsirnya.
Ayat yang sama dipahami secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda tergantung
kesukaan dan kecenderungan mereka.
Maulana Qari Muhammad Tyeb, pimpinan Darul Ulum, Doeban, menerima
adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dia mengatakan, sebenarnya perempuan
memiliki hak yang sama dengan laki-laki; dan dalam hal yang tertentu mereka
bahkan memiliki hak lebih. Selanjutnya ia berbicara tentang Aisyah adalah
isteri Nabi. Nabi mengatakan bahwa separoh dari pengetahuan wahyu harus
diperoleh dari semua sahabat-sahabatku dan separoh lainnya dari Aisyah.[4]
Al-Qur’an juga mengatakan, “ Kami telah memuliakan anak-anak
Adam....[5]”
dalam ayat ini seorang mufassir, Maulana Usmani berpendapat bahwa kalimat “bani
adam” mencakup laki-laki dan perempuan, dan karena itu menurut ayat ini
kedua-duanya harus atau sama-sama dimuliakan tanpa ada pembedaan jenis kelamin.
Dalam ayat lain juga al-Qur’an menggunakan kalimat metafora libas (pakaian)
bagi laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an mengatakan: “Mereka adalah pakaian
bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.[6]
Hal ini jelas mengisyaratkan bahwa sebagaimana pakaian, keduanya saling
membutuhkan dan yang satu tidak dapat sempurna tanpa kehadiran yang lain. Tidak
mungkin ada ketidaksetaraan dimana ada fungsi saling melengkapi.
Dalam ayat lain, Al-Qur’an menjelaskan tentang konsep kesetaraan, “
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dari jenis yang satu”,[7]
dan darinyalah Allah mengatakan bahwa semua laki-laki dan perempuan diciptakan
dari satu nafs (makhluk hidup) dan karena itu tak ada yang lebih unggul
dari yang lain. Pada ayat lain, sebagaimana ditunjukan Muhammad Asad, seorang
penafsir Al-Qur’an kontemporer terkemuka, dalam catatan kaki ayat ini
diungkapkan: “Dia menciptakan darinya pasangannya”, “dia menciptakan
pasangannya (yakni, pasangan jenis kelamin) dari jenis sendiri (min jins
siha).[8]
Dalam beberapa ayat juga, memang Al-Qur’an memberikan kelebihan
tertentu bagi laki-laki atas perempuan, Al-Qur’an menjelaskan bahwa hal ini
bukan karena kelemahan inheren yang ada pada diri perempuan tetapi karena
konteks sosialnya. Al-Qur’an mengatakan : “Laki-laki adalah pemberi nafkah
perempuan, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain”,[9]
ayat ini jelas bahwa fadhilat yang diberikan Allah kepada satu atas yang
lain atau kepada laki-laki atas perempuan bukanlah keunggulan jenis kelamin.
Itu adalah fungsi sosial yang waktu itu diemban keduanya, karena laki-laki
mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan. Tentu saja, sekarang
kaum feminis berpendirian bahwa pekerjaan domestik perempuan juga
diperhitungkan sebagai pekerjaan produktif
secara ekonomi dan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai kewajiban
domestik mereka.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi, bahwa ada dorongan kearah
kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur’an. Ada beberapa alasan untuk
ini, pertama, sebagaimana yang ditunjukan diatas, al-Qur’an memberikan tempat
yang terhormat bagi seluruh manusia yang mencakup laki-laki dan perempuan.
Kedua, sebagai masalah norma, Al-Qur’an membela prinsip-prinsip kesetaraan
laki-laki dan perempuan, perbedaan biologis, menurut al-Qur’an tidak berarti
ketidaksetaraan dalam status jenis kelamin. Fungsi-fungsi biologis harus
dibedakan dari fungsi-fungsi sosial.
B.
Hadits-hadits Keharusan Izin Seorang Isteri Kepada Suami Terkait
Masalah Puasa Sunnah
1.
Kitab
Shahih al-Bukhari
حدثنا محمد بن
مقاتل أخبرنا معمر عن همام بن منبه عن أبي هريرة رضي الله عنه عن الني صلى الله
عليه وسلم : لا تصوم المرأة وبعلها شاهد إلا بإ ذ ن زوجها
“Telah
menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Muqatil, memberitakan kepada kami Ma’mar
dari Hammam bin Munabah dari Abu Hurairah, dari Nabi saw bersabda :” Seorang
perempuan tak boleh berpuasa tatkala suaminya ada dirumah kecuali dengan
izinnya.”
2.
Kitab
Shahih Muslim
حدثنا محمد بن رافع حدثنا عبدالرزاق حدثنا معمر عن همام بن منبه قال:
هذا ما حدثنا أبو هريرت عن محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكر أحاديث منها:
وقال رسول الله صلعم لا تصوم المرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه
“ Menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi’,
kami diberi riwayat oleh Ma’mar dari Hammam ibn Munabah, Hammam berkata: Inilah
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi Muhammad saw. Lalu
ia menyebutkan beberapa hadits diantaranya: Seorang perempuan tidak boleh
berpuasa tatkala suaminya ada dirumah kecuali dengan izinnya.
3.
Kitab
Sunan At- Tirmidzi.
حدثنا قتيبة ونصربن علي قال أخبرنا سفيان بن عيينة عن أبي الزناد عن
الأعرج عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم: لاتصوم المرأة وزوجها شاهد يوما
من غير رمضان الا بإذنه
“Telah
meriwayatkan kepada kami Qutaibah dan Nasr bin Ali keduanya berkata: “ Telah
meriwayatkan kepada kami Sufyan Ibn Uyainah dari Abu Zinad dari al-A’raj dari
Abu Hurairah dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Seorang perempuan tidak boleh
berpuasa satu hari pun diluar Ramadhan ketika suaminya ada dirumah kecuali
dengan izinnya.”
4.
Kitab
Sunan Ibn Majjah.
حدثنا هشام بن عمار حدثنا سفيان بن عيينة ن أبي الزناد عن الأعرج عن
أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم : لاتصوم المرأة وزوجها شاهد يوما من غير
رمضان الا بإذنه
“Telah meriwayatkan kepada kami Hisyam Ibn Ammar, telah
meriwayatkan kepada kami Sufyan Ibn Uyainah dari Abu Zinad dari al-A’raj dari
Abu Hurairah dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Seorang perempuan tidak boleh
berpuasa satu hari pun diluar Ramadhan ketika suaminya ada dirumah kecuali
dengan izinnya.”
5.
Kitab
Sunan Ad- Darimi.
أخبرنا يزيد بن هارون حدثنا شريك عن الأعمش أبي صالح عن أبي سعد الخدري عن النبي صلعم أنه قال لإمرأة : لاتصومي
إلا بإذنه
“Telah meriwayatkan kepada kami Yazid bin Harun telah meriwayatkan
kepada kami Syuraik dari al-A’masyi dari Abi Shalih dari Abu Sa’id al-Khudri
dari Nabi saw. Bahwa Nabi bersabda kepada seorang perempuan; “Jangan engkau
berpuasa (sunah) tanpa izinnya.”
6.
Kitab
Musnad Imam Ahmad ibn Hambal.[10]
حدثنا عبدالله حدثني أبي حدثنا محمد بن عبدالله عمار حدثنا سفيان بن
عيينة عن أبي الزناد عن موسى عن أبي عثمان عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه
وسلم : لاتصوم المرأة إذا كا ن زوجها شاهدا إلا بإذنه
“Telah meriwayatkan kepada kami ‘Abdullah, telah meriwayatkan
kepada saya, ayah saya, telah meriwayatkan kepada kami Muhammad ibn Abdillah,
meriwayatkan kepada kami Sufyan dari Abu Zinad, dari Musa bin Abi Usman dari
ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi saw. “Seorang perempuan tidak boleh
berpuasa apabila suaminya ada dirumah kecuali dengan izinnya.”
C.
Kritik Sanad
Dalam penelitian hadits, kritik sanad sangat diperlukan untuk
memberikan klarifikasi keshahihan hadits,disamping untuk memastikan perlu
tidaknya dilakukan kritik matan. Sebab dalam disiplin ilmu hadits, jika suatu
hadits itu dha’if maka kritik matan tidak diperlukan lagi, namun jika haditsnya
itu sanadnya shahih, maka langkah berikutnya adalah melakukan kritik matan.
Dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib karya al-Imam al-Hafizh Syaikh al-Islam
Syihabbudin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, menginformasikan tentang
masing-masing kualitas perawi hadits pada sanad yang termuat di kitab Sahih
Bukhari dan Shahih Muslim sebagai berikut:
a)
Muhammad
ibn Muqatil (226 H)
Ia memiliki
nama lengkap Muhammad Ibn Muqatil al-Marwazi dan bergelar Abu Hasan al-Kisaa-i,
Muhammad berguru hadis kepada beberapa guru, diantaranya, Abdullah ibn Mubarak,
Mubarak Ibn Sa’id as-Sawri dan Khalaf bin Khalifah. Beliau sendiri menjadi guru
para tokoh hadits diantaranya seperti; Imam Bukhari, Ahmad Ibn Hambal, Abu
Zur’ah, Ibrahim al-Junaid, dll. Oleh Ibn Hatim beliau dinilai saduq, orang yang
sangat jujur,sedangkan oleh Ibn Hibban dikelompokan kepada orang orang siqah,
yang terpercaya.
b)
Abdullah
Ibn Mubarak (Wafat 181 H)
Beliau beranama
lengkap Abdullah ibn Mubarak Wadih al-Hanzali at-Tamimi. Ia berguru hadits
kepada lebih dari tujuh puluh orang ulama hadits dan karenanya digelari sebagai
orang yang haus ilmu. Pada masanya, menurut Ibn Hajar al-Asqalani, tidak
dijumpai orang yang lebih mulia dari dirinya sehingga ia diberi gelar al- Imam
al-Muttafaq ‘alaih. Menurut Ibn Hambal, Abdullah ibn Mubarak adalah orang yang
siqah, seorang panutan yang tak terbantahkan, dan hadits-hadits yang
diriwayatkannya dapat dijadikan hujjah.
c)
Muhammad
ibn Rafi’ (wafat 45 H)
Ia mempunyai
nama lengkap Muhammad Ibn Rafi’ ibn Abi Zaid, beliau berguru hadits kepada ibnu
Uyainah, Abu Dawud al-Harbi dan Abu Dawud at-Tayalisi dan lain-lain.
Beliau sendiri
menjadi rujukan utama para ulama hadits, seperti Abu Dawud, Ibn Majjah, Abu
Zu’rah, Abu Hatim, Ibn Khuzaimah, dan Al-Bukhari. Menurut Muhammad ibn Abdil
Wahab, Muhammad ibn Rafi’ adalah orang yang wara’, Imam Bukhari menilainya
sebagai hamba Allah terpilih (Khiyar Ibadillah), sedangkan an-Nasa-i dan Ibn Hibban
sebagai siqah al-ma’mun.
d)
Abdurrazaq
(wafat 211 H)
Beliau
mempunyai nama lengkap Abdurrazak Ibn Hammam Ibn Nafi al- Humairi. Selain
berguru hadits kepada Wahhab ibn Munabah ia juga menuntut ilmu kepada pamannya
yang bernama Ma’mar juga Ubaidillah Ibn Umar dan Abdullah ibn Umar al- Umari.
Ia sempat diisukan masuk kedalam kelompok syi’ah karena kecintaannya terhadap
Ali Ibn Thalib, tetapi oleh Ibn Hibban ia dikelompokan kepada golongan
orang-orang yang siqah.
e)
Ma’mar
(wafat 152 H.)
Nama lengkapnya
ada;ah Ma’mar ibn Rasyid al-Azadi al- Kadani, ia berguru diantara gurunya
adalah Qatadah, az-Zuhri, Abdullah ibn Tawus, Yahya ibn Ali, Hammam ibn
Munabah, dan Hisyam ibn Urwah. Imam As-Syafi’i memberikan pujian terhadapnya,
sedangkan Ibn Abi Khaisamah mengatakan bahwa riwayat dari Ma’mar lebih kuat
dari Uyainah.
f)
Hammam
Ibn Munabah (wafat 132 H.)
Nama lengkap yang disandangnya adalah Hammam ibn Kamil ibn Syaikh
al-Yamani Abu Uqbah as-San’ani. Ia meriwayatkan hadits dari para Sahabat
seperti Mu’awiyah, Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abu Hurairah. Semua ulama, khususnya
dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim ia adalah orang yang siqah terpercaya,
karena tidak ada seorang ulama-pun yang menilainya cacat atau jarh. Jadi semua
hadits yang ada disini secara kualitatif adalah shahih.[11]
D.
Kritik Matan
Secara harfiah hadits-hadits yang telah disebutkan memberikan
pengertian bahwa seorang isteri yang mau melakukan puasa sunnah tatkala
suaminya ada dirumah, diharuskan izin kepada suaminya. Berdasarkan pendekatan tekstual
atau dalam bahasa ushul fiqhnya metode thariqah lafzhiyah lughowiyah maka semua
ulama klasik memberikan pemahaman terhadap hadis ini selama seorang suami
berada dirumah maka haram hukumnnya kalau seorang isteri melakukan ibadah puasa
sunnah. Jika hal itu dilakukan, maka ia akan mendapatkan dosa bukan mendapatkan
pahala. Pendapat seperti ini masih dipegang teguh oleh umat muslim pada
umumnya.
Karena ibadah puasa sunnah seorang isteri ini nantinya akan membuat
suami marah, ketika seorang suami ingin melakukan hubungan seksual, sementara
isterinya sedang dalam keadaan berpuasa sunnah. Maka isteri wajib membatalkan
puasa tersebut, untuk memenuhi hajat suami itu, seperti yang dikatakan oleh
An-Nawawi, bahwa seorang isteri harus siap dalam situasi apapun untuk
memberikan pelayanan kepada suaminya.[12]
E.
Asbab al-Wurud Hadits
Sebagaimana ayat al-Qur’an, maka turunnya hadis (asbab al-wurud)
tak lepas dari berbagai aspek, seperti kondisi sosial, budaya, ataupun
memberikan jawaban kepada para sahabat-sahabatnya, karena pada masa itu Nabi
adalah panutan, yang memberikan jawaban permasalahan ketika ada sahabatnya yang
bertannya.
Dalam hadits ini, ada asbab al-wurud terkait masalah nafakah.
Berbagai versi hadis diatas menunjukan adanya hak dan kewajiban dalam kehidupan
rumah tangga. Suami wajib memberikan nafkah yang ma’ruf kepada isterinya,
hadits tentang hal tersebut redaksinya bermacam-macam. Namun intinya tetap sama
yakni pergaulan yang baik antara suami dan isteri dalam rumah tangga.
F.
Membaca Makna Hadis Secara Komprehensif Mencari Makna Alternatif
Dalam kebudayaan khazanah Islam, kegiatan interpretasi nash-nash
Al-Qur’an dan Hadis Nabi lebih dikenal dengan istilah fiqh. Pemahaman terhadap
ketaatan seorang isteri dalam kasus izin isteri ketika melakukan ibadah puasa
adalah produk fiqh. Melihat produk fiqh di dalam umat Islam seringkali
memperlihatkan dominasi laki-laki dan karenanya lebih menguntungkan laki-laki.
Seorang Liberal kontemporer dari Maroko, Mohammed Arkoun dan Muhammad Shahrour,
pemikir Liberal Syuriah, mengatakan; bahwa tidak mungkin mengobati penyakit
kronis kekerasan atas nama agama, kekerasan terhadap perempuan (bias gender),
kecuali dengan cara merekonstruksi secara komperhensif dasar-dasar Fiqh Islam
yang telah dibangun oleh para Fuqaha pada abad kedua dan ketiga Hijriah.[13]
Maka dalam
hadits-hadits yang oleh para Ulama klasik melahirkan pemahaman fiqh patriarkhi
inilah yang sampai sekarang tumbuh dan berkembang dalam cara pandang umat islam
terhadap hadits misoginis. Karena sebagaimana sudah dijelaskan, maka sangatlah
bertentangan dengan peran Nabi yang membawa perdamaian, dan kesetaraan,
menjunjung tinggi keadilan kepada setiap manusia, baik laki-laki ataupun
perempuan.
Dalam disiplin
ilmu hadits, jika ada ta’arud al-adillah (pertentangan antar dalil), maka ada
tiga penyebab hadis itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Pertama, hadits itu
tidak shahih, kedua, adanya pemahaman yang kurang tepat yang
mengakibatkan-sebab, ketiga, adanya pertentangan semu antara al-Qur’an dan
Hadits.
Untuk menghindari
hal tersebut, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencari makna
komprehensif dan mashlahat.
1.
Memposisikan
hadits sebagai penjelas Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an adalah sumber utama dalam
semua ilmu, ia adalah muara ilmu, sedangkan hadits merupakan penjelas, ataupub
perinci ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal ataupun mutasyabbihat. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa hadits sebagai penjelas tidak mungkin bertentangan denga
Al-Qur’an.
2.
Mengupayakan
penghimpunan hadits-hadits yang dapat dijadikan dalam satu tema. Cara ini
ditempuh untuk menghilangkan kemungkinan suatu hadits dipahami secara tekstual,
dalam ilmu ishulnya menggunakan metode thariqah lafziyah lughowiyah.
3.
Memastikan
antara hadits secara tekstual dan kontekstual. Hal ini didasari oleh fakta
bahwa tatkala Rasulullah saw hidup ditengah para sahabat, beliau memerankan
diri dalam berbagai fungsi tugas sekaligus. Jadi Nabi tidak dilihat dari satu
sisi saja, tetapi Ia harus dilihat perannya ketika menjadi seorang Rasul utusan
Allah, menjadi panglima perang, menjadi manusia biasa dalam kehidupan rumah
tangga, mencari nafkah untuk isteri-isterinya dengan berdagang, dan sebagai
orang Arab.[14]
Maka untuk membaca hadits tersebut harus dengan menggunakan metode
thariqah lafzhiyah ma’nawiyah/ kontekstual dengan melihat asbab al-wurud dari
hadits dan semangat pesan yang terkandung di dalamnya (al-Ibrah bil jauhar
la bil mazhar), min an-Nushus ila al-Waqi’ (dari teks-teks agama
kepada realitas sosial).[15]
Jadi kesimpulannya hadits larangan wanita berpuasa tanpa izin suami itu secara
sanad shahih, tetapi secara matan tidak. Karena hal ini bertentangan dengan
konsep kesetaraan yang dijelaskan Al-Qur’an dalam status perempuan. Akhir kata
dari kami, “ Kebenaran itu tidak hanya milik Ulama Klasik semata, tetapi
kebenaran itu ia bisa hadir dari haribaan seorang cendekiawan, karena ukuran
kebenaran itu bukan dari kealiman dan keshalihan ulama tersebut, tetapi
kebenaran itu dapat dinilai dari mashlahat yang sesuai di eranya.”
إن رمت علم الأصل كن مجتهدا ولا تقلد فالخلاف
قد بدا
والقولة الصحيحة الشهيرة عصيانه إن كان ذا
بصيرة
PENUTUP
KESIMPULAN
Ø Pada hakikatnya al-Qur’an telah memberikan status dan predikat
kepada mereka (perempuan) sebagai makhluk yang setara dengan laki-laki. Banyak
ayat-ayat yang menyatakan tentang konsep al-musawa atau persamaan yang
diajarkan oleh Islam dalam Al-Qur’an.
Ø Produk fiqh yang patriarkhi itu terlahir atas penafsiran para ulama
yang secara umum adalah kaum laki-laki, karenanya produk fiqh tersebut
cenderung lebih menguntungkan para laki-laki (bias gender) atas perempuan. Maka
perlu merekonstruksi ulang pemahaman dan pengkajian fiqh yang patriarkhi
tersebut agar dapat memberikan kemashlahatan terhadap kaum perempuan.
Ø Hadits-hadits misoginis yang menyatakan larangan terhadap
para perempuan ketika melakukan ibadah puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya
perlu dikaji dan dilakukan pembacaan ulang yang komprehensif. Karena hadits
sebagai penjelas dan perinci al-Qur’an tidak boleh bertentangan dengan konsep
Al-Qur’an yang mengajarkan dan memberikan status kesetaraan bagi perempuan.
[1] Fatima Umar Nasif, Manggugat Sejarah
Perempuan, Mewujudkan Idealisme gender sesuai tuntunan Islam, (Jakarta:
Cendekia Sentra Muslim, 2001), hlm. 148.
ومن يعمل
من الصلحت من ذكر او انثي وهو مؤمن فأ ولٌئك يد خلون الجنة ولا يظلمون نقيرا
{النساء ۱۲۴}
كل نفس
بما كسبت رهينة {المدثر ۳۸}
[2] Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadits- Hadits
“Misoginis”, (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga,
2003), hlm. 146.
[3] Asghar Ali Enginer, Hak-hak Perempuan
dalam Islam, (Yogyakarta: LSPPA(Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan
dan Anak), : Cet. 2, 2000), hlm. 63-64.
[4] Ibid, hlm. 66.
[5] Ibid, Q.S. Al-Israa
: 70.
ولقد
كرمنا بني ادم
هنّ لباس
لكم وأنتم لباس لهنّ
ياأيهاالناس
التقوا ربكم الذي خلقنكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها
[8] Ibid, Menurut Muhammad Asad, dalam
bukunya ( The Messege of The Quran) kata nafs sangat penting. Kata ini
berarti jiwa, ruh, pikiran, makhluk hidup, manusia, kemanusiaan, dan
seterusnya. Banyak para mufassir klasik memilih kata “manusia” sebagaimana
makna dari kata nafs dan merujuk kepada Adam. Namun, Muhammad Abduh lebih
menyukai makna “Kemanusiaan” karena istilah ini menekankan asal-usul manusia
yang sama dan persaudaraan umat manusia.
الرجال
قوا مون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض
[10] Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadits- Hadits
“Misoginis”, (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga,
2003), hlm. 150-154.
[11] Ibid, hlm. 155-158.
[12] Ibid, hlm. 159.
[13] Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2011), lihat kata pengantar Prof. Dawam Rahardjo,
xxix.
[14] Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadits- Hadits
“Misoginis”, (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga,
2003), hlm. 162-163.
[15] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan
Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaanan, (Jakarta: The Wahid
Institute, Cet. 1, 2008, Lihat kata pengantar Agus Maftuh Abegebriel viii.